"Aku ingin tau apakah mereka juga merasa tertekan dengan pekerjaan mereka itu?" ujar Ge ketika melihat para pria berseragam hijau sedang berpatroli rutin keliling perkebunan dengan menaiki mobil bak terbuka.
Pandanganku mengikuti objek yang dimaksud, ada sekitar empat orang berseragam lengkap yang sedang berkeliling kali ini. Seperti biasa, mereka selalu memasang tampang tanpa senyum dengan memegang senjata mereka.
"Bersikap kasar dan tidak sopan, apa itu tidak melelahkan?" ujarnya lagi sambil memberikan pupuk untuk sayurannya.
"Kenapa kamu memikirkan hal itu? Ku kira kamu tidak akan peduli dengan mereka?" sahutku.
Aku sedikit terkejut karena tiba-tiba Ge menanyakan mengenai hal yang tidak menguntungkan karena dia pernah mengatakan padaku kalau dia hanya akan membahas tentang hal yang penting dan menguntungkan saja.
"Entahlah, aku hanya penasaran."
Aku kembali melanjutkan mencabuti rumbut bersama ibu, ayah sedang menyiapkan lahan baru untuk sayuran yang lain.
Ge di temani oleh Sam, mereka berdua memang sangat dekat sejak dulu. Orang tua Ge masih libur hari ini karena ayahnya masih belum pulih dan ibunya merawat beliau di rumah. Sejak para pengawas kebun berpatroli, Ge dan Sam terus membahas tentang mereka mulai dari seragam mereka, sikap dan perangai.
Mereka menduga-duga kalau sebenarnya mereka juga mendapat tekanan dari atasan sehingga mereka memperlakukan para warga dengan sangat kasar pula. Ge dan Sam juga membahas kemungkinan para pasukan hijau itu sebenarnya berhati baik, hanya karena tuntutan pekerjaan sehingga mereka harus menjadi sosok yang jahat.
Aku hanya mendengarkan dan tidak berniat untuk ikut berbicara, aku sedang tidak ingin membahas dan mengingat para anak buah Elit Negara itu.
"Kalian sedang membicarakan kami?"
Tiba-tiba terdengar suara berat seorang pria terdengar dari arah belakang, spontan saja kami menoleh.
"Apa pekerjaan kalian akan cepat selesai jika dilakukan dengan banyak bicara?" tambah pria itu lagi. Dia adalah Ketua pasukan hijau yang kemarin menemuiku.
Ge dan Sam saling pandang, "Maaf, pak. Kami hanya tertarik dengan kehidupan kalian yang keren," sahut Ge yang membuatku langsung menatapnya dengan heran.
"Kalian pasti mendapat pendidikan yang sangat bagus sehingga kalian terbiasa hidup tegas dan disiplin. Jujur aku menyukai sesuatu yang seperti itu," sambung Ge dengan diiringi senyum. Sam hanya ikut mengangguk.
Pria berseragam hijau itu menoleh ke arahku sebentar, "Tidak semua orang dapat bergabung dengan kami, karena hanya orang terpilih yang akan kami jadikan tim dalam pasukan."
Aku melanjutkan pekerjaanku dan berpura-pura untuk tidak mendengarkan obrolan Ge dengan pria itu.
"Apa ada syarat tertentu untuk bergabung dengan kalian?"
"Banyak!" jawab pria itu dengan suaranya yang berat, "Ku rasa kalian tidak akan sanggup"
"Aku mau mencobanya!"
Spontan aku melirik ke arah suara, Gege terlihat antusias. Aku benar-benar tidak mengerti dengan isi kepalanya hari ini, apakah mungkin dia ada salah makan sehingga pemikirannya berubah?
"Aku dan sepupuku, kami akan memenuhi syarat yang kalian minta," kata Ge.
"Benar, aku ingin.. eh maksudku, kami ingin menjadi pria kuat dan keren seperti kalian." tambah Sam yang suaranya tidak kalah antusias dengan sepupunya.
Aku menggelengkan kepalaku, benar-benar tidak habis piker dengan mereka berdua. Ibuku juga tampak heran, beliau bertanya padaku dengan tanda isyarat lalu ku jawab dengan mengangkat kedua bahu.
Setelah pria itu pergi, aku langsung menghampiri Ge dan Sam untuk mendapatkan penjelasan. Mereka bilang, mereka benar-benar ingin bergabung menjadi pasukan hijau yang memiliki kepribadian tegas dan disiplin. Mereka tampak sangat yakin dan antusias tapi aku ragu, aku memiliki firasat yang tidak baik terhadap pria itu.
Setelah selesai membantu ibu di kebun, aku ikut pergi bersama Ge ke wilayah Timur tepatnya di Distrik 21 untuk mengambil bibit sayuran sekaligus menjual hasil panen buah rambutan. Sam tidak ikut pergi karena dia juga harus membantu orang tuanya memanen padi. Kami menaiki mobil bak terbuka, walau tidak begitu jauh perjalanan menuju wilayah timur cukup melelahkan terlebih aku belum pernah sama sekali pergi ke wilayah itu.
Ku tutupi wajahku dengan topi bundar yang tadi ku kenakan agar tidak terpapar sinar matahari, sementara Ge dengan santainya dia menikmati perjalanan yang sangat panas dan berdebu. Di sepanjang jalan, kami tidak terlalu banyak bicara hanya sesekali membahas tentang keseriusan Ge untuk mengikuti pelatihan Pasukan Hijau.
Kanan kiri jalan dan sepanjang mata memandang adalah hamparan sawah dan perkebunan buah seperti semangka, timun dan berbagai jenis sayur. Anginnya sangat sejuk. Ketika mobil mulai memasuki wilayah Timur, aku merasakan aura yang berbeda dari sebelumnya. Ku kira mendung mau hujan ternyata memang wilayah Timur suasananya lebih gelap dari wilayah sebelumnya.
Udara sudah tidak begitu panas tetapi sedikit lembab bagiku, tanaman pun tidak begitu subur, dedaunan berwarna lebih gelap dan tampak sayu. Saat angina bertiup cukup deras, aku merasakan banyak abu yang menabrak tubuhku. Ku pandangi sekeliling, aku berfikiran mungkin ada pabrik besar di sekitar yang membuat polusinya menyebar kemana-mana.
"Ini abu dari Gedung Kuning" Ujar Ge yang seolah paham dengan kebingunganku.
"Inilah yang dikabarkan oleh warga sebagai abu 'ritual'. Mereka melakukan ritual untuk menumbalkan anak-anak di bawah umur dengan cara dijadikan abu, sehingga udara disini pun tidak nyaman karena setiap hari selalu ada abu seperti ini."
"Apa maksudmu, anak-anak itu dibakar?"
Ge mengangkat kedua bahunya, "Aku hanya mendengar itu dari ayah dan beberapa teman beliau yang sering ke wilayah ini."
Ini gila, apa untungnya para elit mengorbankan anak-anak seperti itu. Wilayah mereka aman? Ku rasa tidak. Wilayah mereka subur? Ku rasa juga tidak, karena wilayah Timur adalah wilayah paling tidak subur yang pernah ku kunjungi. Agar mereka kaya? Entahlah, alasan ini yang paling sering ku dengar dari rumor yang beredar.
"Apakah kita akan melewati Gedung Kuning?" Tanyaku penasaran.
"Tidak, kita melewati jalur yang berbeda."
"Apakah kamu tau jalurnya? Maksudku, jalan menuju Gedung Kuning. Kamu tau?"
Ge menatapku untuk beberapa saat, dia paham dengan rasa ingin tahuku yang sangat besar.
"Aku tau…" ujarnya sambil tersenyum, "Tapi kita harus membereskan ini semua terlebih dahulu," tambahnya lagi.
Aku sama sekali tidak keberatan, lagi pula tujuan utama kami ke wilayah ini memang untuk keperluan perdagangan. Aku hanya penasaran dan ingin melihat secara langsung bangunan Kenegaraan yang penuh dengan rumor tidak enak.
Sesampainya kami di tempat perdagangan, aku dan Ge segera menurunkan barang dan menyerahkannya kepada pengepul. Dua, tiga, hingga sepuluh karung kami turunkan bersama. Ge banyak membawa hasil panen ubi juga, cukup melelahkan karena karungnya lumayan berat.
Aku mehela napas panjang, aku merasakan sesak dan mulai kesulitan untuk bernapas. Ge memberiku sebuah masker yang baru dia beli pada seorang pedagang. Dia bilang, benda itu (masker) adalah benda wajib untuk warga wilayah Timur mengingat udara seperti ini sering terjadi dan hamper setiap hari.
"Kenapa mereka tidak pindah ke wilayah lain?" tanyaku kepada Ge yang sudah cukup mengerti tentang wilayah Timur.
"Mereka akan pindah kemana? Mereka memiliki tanah dan harta disini, para Elit melarang mereka untuk menjual tanah sama dengan di wilayah kita, kan? Bedanya, khusus wilayah sini para Elit enggan membeli dengan alasan ini adalah tanah warga sehingga tidak akan mereka beli. Kalau untuk wilayah lain kan yang mereka beli adalah lahan tidak bertuan, sehingga mereka tidak membeli tanah warga, gitu."
"Bukannya sebagian tanah perkebunan di dekat rumah kita itu adalah milik warga yang di beli oleh Mereka?" tanyaku lagi.
"Hemm… Aku akan membantumu menjawab setelah aku bergabung dengan pasukan hijau, hehe. Ada banyak hal yang di lakukan oleh pihak Elit yang tidak dapat kita pahami dengan mudah."
Aku mengangguk pelan, aku membeli minum kemasan dari seorang pedagang cilik yang lewat. Satu hal yang ku tau dari wilayah Timur ini, yaitu hidup yang lebih keras dari wilayahku di Distrik 25. Anak kecil bahkan sudah bekerja untuk membantu mencari uang orang tuanya.
Sebentar, kenapa anak kecil di bawah umur di wilayah ini tidak di kurung di rumah? Kenapa mereka tetap beraktifitas di luar rumah dengan santai, apa mereka tidak takut untuk di jadikan tumbal oleh para elit? Pikiranku mulai berkelana mengenai hal ini.
Topi bundarku kembali ku kenakan, masker sudah ku pasang, sekarang aku sudah tampak seperti warga Timur.
Para pengepul kali ini mau membeli dengan harga yang sedikit lebih tinggi untuk sayuran dan ubi, tetapi untuk buah mereka masih membeli dengan harga lama. Mereka bilang, untuk saat ini kebutuhan warga lebih banyak untuk makanan dan sayuran, warga banyak yang telah memiliki tanaman buah di halaman rumah masing-masing.
Padahal aku memberi jaminan kalau rasa dari buah rambutan dan semangka dari kebunku jauh lebih segar dan manis tetapi mereka tetap membeli dengan harga sama karena para warga yang telah memiliki kebun sendiri tidak akan tertarik untuk membeli sehingga mereka pun harus gencar untuk mempromosikannya.
Kami membayar ongkos mobil bak terbuka yang tadi kami tumpangi, untuk pulang nanti rencananya kami akan kembali menumpang pada mobil yang akan pergi ke arah Selatan.
Ge membayar enam puluh lima persen dari jumlah tagihan, hal itu karena muatan barang miliknya tadi lebih banyak dibandingkan denganku. Tubuhnya pun lebih besar dan berat disbanding denganku, jadi dia bersedia untuk membayar lebih banyak. Untuk saat-saat seperti ini, aku sangat bersyukur memiliki tubuh yang dapat di kategorikan mungil.
Kami akan melanjutkan misi rahasia kami, yaitu berkunjung ke Gedung Kuning. Walaupun tau arah dan jalannya, Ge belum pernah pergi ke Gedung Kuning karena memang tempat itu memiliki penjagaan yang sangat ketat.
"Jika kita hanya mampu berada di radius lima ratus meter, bagaimana? Aku belum ada persiapan untuk hal mengerikan di dalam sana?" ujar Ge ketika kami sudah mulai berjalan menuju arah Gedung Kuning.
"Apa benar-benar menakutkan seperti yang di bicarakan warga?"
***
Creation is hard, cheer me up!
Like it ? Add to library!