Hari telah berganti, malam yang panjang dan indah telah Seno dan Hanum arungi bersama. Pagi ini seperti biasa, Seno akan memulai aktivitasnya yaitu bekerja. Meski baru saja menikah, tetapi pria bermata tajam itu memilih untuk tetap bekerja. Hari ini kehidupan baru akan mereka berdua jalani. Meskipun tidak untuk selamanya, tetapi Hanum berharap bisa menjadi istri yang berguna.
"Mas, sarapannya sudah siap," ucap Hanum setelah selesai menyiapkan sarapan untuk suaminya.
"Baik, tolong pakein dasi dulu. Hari ini aku buru-buru," titah Seno. Dengan cepat Hanum melakukan apa yang telah suaminya perintahkan.
"Oya, selama aku di kantor. Kamu tidak boleh pergi, jika perlu sesuatu bilang sama bi Siti atau mang Asep," ujar Seno. Ia tidak ingin Hanum keluar dari rumah karena itu sangat berbahaya.
"Iya, Mas. Sudah selesai." Selesai memasang dasi, Hanum beralih memasang jas pada tubuh tegap suaminya itu.
Setelah itu, Seno dan Hanum beranjak keluar dari kamar dan bergegas menuju meja makan. Semua sarapan telah tersaji, dan semua makanan itu hasil dari masakan Hanum. Keduanya kini sudah berada di meja makan, dengan sigap Hanum meladeni suaminya itu. Seno tertegun melihat apa yang sang istri lakukan.
Selesai sarapan, Seno akan bergegas untuk berangkat ke kantor. Sementara itu, Hanum akan mengantarkan suaminya ke depan terlebih dahulu. Setibanya di teras rumah, Seno berpamitan untuk segera pergi. Tak lupa Hanum mencium punggung tangan sang suami. Berharap Seno akan membalasnya dengan mencium keningnya, tetapi itu hanya angan-angan saja.
"Aku pergi dulu, ingat jangan pergi tanpa seizinku," pesan Seno. Ia takut jika sampai ada orang lain yang tahu tentang statusnya.
"Baik, Mas." Hanum menganggukkan kepalanya.
Selepas itu, Seno beranjak masuk ke dalam mobilnya. Perlahan mobil BMW i8 berwarna putih melaju meninggalkan halaman rumah. Setelah mobil suaminya hilang dari pandangan matanya, Hanum bergegas masuk ke dalam. Ia akan membereskan meja makan terlebih dahulu, tak lupa mencuci piring dan gelas yang kotor.
Selepas itu, Hanum beranjak ke lantai atas menuju ke kamar. Ia berniat untuk membersihkan kamar, Hanum mulai membenarkan selimut, mengumpulkan pakaian kotor dan mengganti seprei. Namun saat Hanum ingin mengambil seprei yang bersih dari dalam almari. Ia tidak sengaja melihat album foto, merasa penasaran Hanum mengambilnya.
"Foto apa ini." Hanum membuka album tersebut dengan sangat hati-hati.
Setelah terbuka, Hanum sedikit tersentak saat melihat isi album itu. Dalam album tersebut, berisi foto-foto Seno dan seorang wanita seksi berambut pirang. Mungkin wanita itu adalah kekasih Seno yang sering dia ceritakan. Entah kenapa hati Hanum terasa sakit saat melihat foto itu. Ia sadar jika dirinya tidak pernah diinginkan, tetapi sekarang Hanum adalah istri sah Seno.
"Dia cantik dan juga seksi, pantas saja mas Seno sangat mencintai dan mengaguminya." Hanum kembali membuka lembaran album tersebut.
"Mungkin setelah dia kembali, aku akan benar-benar tersingkir." Hanum menyeka air matanya yang sangat lancang sampai menetes.
Setelah itu, Hanum kembali menyimpan album foto tersebut. Ia tidak ingin memikirkan hal itu, sekarang tugas Hanum adalah menjadi seorang istri. Tidak peduli jika nanti akan tersingkir, ia yakin jika memang jodoh pasti akan bersatu kembali.
***
Saat ini Seno sudah berada di kantor, hari ini ia benar-benar sibuk. Baru saja sampai, Seno harus meeting dan setelah itu ia juga ada pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Pukul sebelas siang Seno baru saja kembali ke ruangannya. Di meja kerja tumpukan berkas sudah menanti untuk di tanda tangani. Sebelum memulai pekerjaannya, pria berkemeja putih itu melepas jasnya dan melipat lengan kemeja yang ia pakai.
"Huh, hari ini benar-benar hari yang sangat melelahkan." Seno meregang ototnya terlebih dahulu.
Baru saja Seno duduk, tiba-tiba ponselnya berdering, dengan segera ia mengeceknya. Satu pesan telah diterima, Seno langsung membukanya saat nama Regina tertera di layar ponsel. Tidak biasanya ibunya mengirim pesan, jika tidak ada sesuatu yang sangat penting. Lantas Seno baru ingat jika hari ini kedua orang tuanya akan terbang ke Australia untuk urusan bisnis.
@Regina
[ Seno, tolong kamu turun ke bawah ya sebelum mama sama papa pergi ke bandara]
@Seno
[ Iya, Ma sebentar lagi Seno turun ]
@Regina
[ Ya sudah, tadi mama sudah pamitan dengan Hanum ]
@Seno
[ Ok, Ma ]
Setelah itu Seno menutup ponselnya dan ia letakkan di atas meja. Pria berkemeja putih itu bergegas bangkit dan beranjak keluar dari ruangannya. Seno melangkahkan kakinya menuju lift agar mempercepat waktu untuk sampai di lantai dasar. Setibanya di bawah, terlihat jika kedua orang tuanya sudah menunggu di ruang tunggu. Dengan segera Seno menghampirinya.
"Kalian jadi pergi hari ini?" tanya Seno.
"Iya, nanti kamu sering-sering datang ke rumah ya. Tengokin adikmu, Mama khawatir kalau Rara sampai macam-macam." Regina menatap wajah putranya dengan raut wajah yang terlihat khawatir.
"Iya, Ma. Nanti Seno tengokin kok," ucap Seno, hal itu membuat Regina merasa lega. Meskipun mereka sering berdebat saat bersama, tetapi Seno sangat menyayangi adiknya itu.
"Tadinya kami mau Rara tinggal sama kamu selama kami pergi, tapi Rara menolak. Jadi ya sudahlah, yang penting kamu sering-sering tengokin dia," sanggah Akbar.
"Iya, Pa. Papa tidak perlu khawatir," jawab Seno.
"Ya sudah, kami berangkat sekarang ya. Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa jaga juga istri dan adikmu," ucap Regina. Setelah berpamitan ia dan suami beranjak dari kantor Seno.
Seno mengantar kedua orang tuanya sampai di pelataran kantor, Regina dan Akbar segera masuk ke dalam mobil. Perlahan mobil melaju meninggalkan pelataran kantor, setelah mobil melesat pergi Seno memutuskan untuk masuk ke dalam kantor dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Masih banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan hari ini.
***
Di lain sisi, setelah selesai dengan jam kuliahnya Rara memutuskan untuk datang ke rumah Seno, kakaknya. Dengan di antar oleh supir pribadinya kini gadis berambut pirang itu sudah tiba di depan rumah kakaknya. Tanpa menunggu lama Rara melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mewah itu. Sudah lama ia tidak berkunjung, dan baru sekarang Rara baru bisa datang setelah dua tahun berada di luar negeri.
"Mbak, Mbak Hanum. Rara datang, Mbak Hanum di mana." Rara berteriak memanggil Hanum, kakak iparnya.
Selang beberapa menit Hanum datang, ia melihat adik iparnya tengah duduk di sofa ruang tengah. Hanum berjalan menghampiri Rara, ia sedikit terkejut melihat kedatangan gadis itu. Karena setahu Hanum hari ini Rara ada jam kuliah, mungkinkah gadis itu bolos atau sudah selesai. Hanum menjatuhkan bibirnya tepat di samping adik iparnya itu.
"Ra, bukannya hari ini kamu ada jam kuliah. Jangan-jangan kamu .... "
"Jam kuliah Rara udah selesai, Mbak. Makanya Rara ke sini," potong Rara dengan cepat.
"Oh, kamu mau minum apa. Biar Mbak .... "
"Tidak perlu, Mbak. Kedatangan Rara ke sini mau ngajakin, Mbak Hanum pergi. Mbak Hanum pasti bosen kan di rumah terus, lebih baik sekarang ikut .... "
"Nggak usah deh , Ra. Mbak ada .... "
"No, Mbak Hanum tidak boleh nolak. Rara tahu pasti, Mbak Hanum jenuh berada di rumah terus. Mas Seno memang keterlaluan, Mbak. Masa baru nikah udah ditinggal kerja, dasar pria tidak berperasaan. Udah sekarang, Mbak ikut Rara aja." Setelah berbicara panjang kali lebar, Rara menarik tangan Hanum agar mau ikut dengannya.
"Tapi, Ra. Sebaiknya .... "
"Tidak ada tapi-tapian." Rara memotong ucapan Hanum dan langsung membawa kakak iparnya masuk ke dalam mobil.
"Kakak adik sama saja, tukang paksa," batin Hanum.
Pasrah, itu yang Hanum lakukan. Ternyata sifat Rara sama persis seperti sifat Seno, yaitu tukang paksa. Kini mobil yang mereka tumpangi melaju meninggalkan halaman rumah mewah tersebut. Rara terlihat begitu bahagia bisa pergi dengan Hanum. Raut wajahnya yang imut terlihat sangat ceria, tetapi tidak dengan Hanum. Wanita berambut panjang itu merasa khawatir, ia takut jika nanti Seno tahu.
"Ya Tuhan, kalau nanti mas Seno tahu. Ini bisa jadi masalah," batin Hanum, ia berdo'a semoga suaminya tidak tahu. Namun itu sangat mustahil.
Setelah hampir satu jam lebih berada dalam perjalanan, kini mereka sudah berada di pusat perbelanjaan milik keluarga Rara. Hanum takjub saat mereka sudah melangkah masuk ke dalam. Namun di lain sisi, ada rasa takut singgah di hatinya. Hanum takut jika nanti orang-orang dan pegawai yang bekerja di tempat itu tahu jika ia adalah istri dari Seno. Hanum sempat menghentikan langkahnya, tetapi dengan cepat Rara menariknya.
"Rara, kita .... "
"Ayo, Mbak. Mbak nggak usah takut, ini punya mama sama papa. Jadi, Mbak tidak perlu khawatir." Rara memotong ucapan Hanum dan membawa kakak iparnya itu masuk lebih dalam.
Hanum benar-benar pasrah, wanita berambut panjang itu mengikuti langkah adik iparnya. Entah kemana Rara akan membawanya, kepala Hanum terasa pening karena sampai sekarang ia terus mengikuti adik iparnya yang ke sana kemari tak jelas. Setelah hampir setengah jam, kini mereka sudah berada di lantai tiga, di mana tempat baju serta tas dan sepatu berada.
"Sekarang, Mbak Hanum tinggal pilih mau ambil yang mana," ucap Rara, setelah itu ia berlalu untuk segera memilih baju yang akan diambilnya.
Bukannya ikut memilih, Hanum justru memilih untuk duduk, ia memperhatikan Rara yang nampak asyik memilih baju. Sesekali Hanum melirik jam tangannya, ia takut jika sampai lupa waktu. Hati Hanum benar-benar tidak tenang, ia masih ingat bagaimana Seno berpesan agar dirinya tidak pergi tanpa meminta izin terlebih dahulu.
***
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Hanum memaksa untuk pulang naik taksi, ia takut jika Seno pulang lebih awal darinya. Hanum takut jika Seno marah, dan mereka bertengkar. Ia tidak ingin Rara tahu tentang pernikahannya itu yang sesungguhnya. Awalnya Rara menolak, tetapi lama-lama gadis itu mau menerima keputusan Hanum.
Setiba di rumah mewah milik suaminya, Hanum melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Ia mengedarkan pandangannya, rasa takut semakin mengusainya. Terlebih saat melihat mobil Seno sudah berada di halaman depan. Hanum memutuskan untuk masuk ke kamar, ia tidak peduli apa yang akan terjadi nanti jika Seno mengetahuinya. Hanum tiba di lantai atas, ia segera masuk ke dalam kamar.
"Dari mana saja kamu, kenapa pergi tidak meminta izinku terlebih dahulu. Apa kamu lupa dengan apa .... "
"Maaf, Mas. Maaf karena pergi tanpa meminta izin terlebih dahulu, ini salahku. Tolong maafkan aku, Mas." Hanum memotong ucapan Seno seraya menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap wajah suaminya yang tengah marah.
Seno menghela nafas. "Jawab pertanyaanku, kamu dari mana."
"Aku pergi sama Rara, tadi siang dia ke sini dan mengajakku pergi. Tapi tolong jangan marahi Rara, biarpun dia yang mengaku tetapi dia tidak bersalah." Hanum memohon agar Seno tidak memarahi adiknya itu.
"Kamu lihat ini." Seno menyerahkan ponselnya pada Hanum, dan memperlihatkan sebuah video yang ia dapatkan dari salah satu orang kepercayaannya.
Mata Hanum melotot saat melihat video tersebut, ia tidak menyangka jika ada yang merekamnya saat berada di pusat perbelanjaan. Hanum beralih menatap sang suami, sementara Seno memasang wajah yang benar-benar membuat nyali Hanum menciut. Seno mengambil ponselnya dan meletakkan benda pipih itu di ranjang. Mata elangnya menatap tajam ke arah wanita yang kini berdiri di hadapannya.
"Apa kamu lupa dengan apa yang aku katakan pagi tadi?" tanya Seno, ia masih mencoba untuk menahan emosinya.
"Maaf, Mas. Aku sudah bilang .... "
Brak, Seno membanting vas bunga yang berada di atas nakas. "Kamu pikir dengan maaf semuanya akan kembali seperti semula, iya."
"Maaf, Mas. Aku .... "
"Ikut aku." Seno menarik tangan Hanum dan membawanya ke dalam kamar mandi.
"Mas, tolong maafkan aku. Aku ... auh." Hanum mengaduh sakit saat Seno mendorong tubuhnya hingga membentur dinding.
"Maafmu sudah terlambat." Seno menarik tubuh Hanum dengan kasar, dan mengikat kedua tangan Hanum dengan dasi yang ia lepas dari lehernya.
Setelah itu, Seno mendudukkan Hanum di bawah shower. Selepasnya, Seno menyalakan shower tersebut, guyuran air dingin membasahi sekujur tubuh Hanum. Sementara Hanum hanya bisa menangis dan pasrah, dirinya sudah bersalah dan ia akan terima jika sang suami menghukumnya. Tanpa memperdulikan tangisan sang istri, Seno berlalu keluar.