Arini sengaja bangun pagi-pagi hendak menyiapkan sarapan untuk Dilan sekalian dirinya juga. Sadar akan posisinya yang hanya menumpang saja di rumah Dilan jadi dia hari ini akan membuat sarapan dan membantu membersihkan rumah Dilan. Kini dia sudah berada di dapur . Dilihatnya dengan pelan-pelan tiap sudut dapur berharap ada sesuatu yang bisa dia masak.
"Kayaknya tidak ada stok sayur sama ikan deh."Arini membuka kulkas. Siapa tahu ada sayur yang bisa dia masak untuk sarapan pagi ternyata tidak ada.
Arini kemudian membuka almari kecil di dapur. Saat dibuka ternyata ada beberapa bungkus mie instan saja. Sebenarya dia tidak suka sarapan dengan mie instan. Tapi berhubung di dapur tidak ada apa-apa selain mie instan dengan terpaksa dia kini harus sarapan dengan mie instan.
"Sudah siap."Arini telah memasakkan mie instan dua bungkus. Yang satu untuk dirinya sedangkan yang satunya untuk Dilan.
Arini kini tinggal menunggu Dilan saja yang masih terlelap tidur. Dia sempat berpikiran untuk membangunkan Dilan tapi akhirnya dia takut sendiri. Jadi kini dia hanya bisa menunggu di meja makan dan belum sarapan sampai Dilan sarapan bersamanya.
"Apa ini. Baunya enak banget."Dilan merasakan ada sesuatu yang tercium oleh hidungnya. Tidurnya mulai terganggu dan terpaksa dia membukakan kedua matanya.
"Siapa ini yang udah masak pagi-pagi begini?"tanya Dilan dalam hati. Dia lupa kalau di rumahnya sudah ada Arini. Teman barunya yang baru dikenalnya ketika di bus.
Dilan terkejut ketika membuka pintu terlihat ada seorang perempuan dengan rambut diikat satu dan sedang berpangku tangan di meja makan. Arini tidak sengaja mendengar bunyi pintu terbuka. Kemudian menoleh kearah kamar Dilan.
"Hai….sudah bangun."sapa Arini dengan semangat kearah Dilan. Dilan mengucek-ucek kedua matanya agar semakin fokus dan bisa mengenali Arini yang tidak dikenalnya itu.
"Oh Arini. Aku lupa."setelah beberapa kali mengucek sambil berjalan kearah Arini kini dia baru sadar kalau itu adalah Arini. Teman barunya dari Jakarta yang diizinkannya untuk tinggal di rumahnya sementara.
"Kamu lupa. Ih kamu itu ya."Arini merengek kesal.
"Ya maaf maaf. Aku lupa. Kamu udah masak mie sepagi ini."Dilan melihat ada dua mangkuk mie instant. Padahal ini baru pukul setengah 6 pagi.
"Ya. Aku sudah terbiasa memasak jam segini ketika bekerja di rumah majikanku di Jakarta."Arini bercerita tentang pekerjaannya dulu dihadapan Dilan.
"Oh kamu dulunya asisten rumah tangga ya?"Dilan mulai duduk di sebelah kursi Arini sambil mendengarkan cerita Arini.
"Iya."jawab Arini dengan menunduk. Sebenarnya dia tidak mau mengungkit masalah pekerjaannya dulu. Kalau mengingatnya itu sama saja dia akan ingat dengan Panji dan Nyonya Diana. Dimana Panji adalah ayah dari anak yang dikandungnya dan Nyonya Diana sendiri adalah nenek dari anaknya nanti. Dan kini terpaksa Arini harus memisahkan anaknya dari keluarganya sendiri.
"Kenapa kamu tiba-tiba menunduk seperti itu?"Dilan menatap heran ketika Arini tiba-tiba sedih ketika membahas pekerjaannya dulu.
Arini merasa butuh seseorang untuk dijadikan tempat curhat akan masalahnya. Sekarang dia tidak punya siapa-siapa selain Dilan. Dalam hatinya berharap Dilan bisa menjadi temannya dan mau diajaknya berbagi cerita. Tapi dia ragu kalau Dilan bisa menerima keadaannya setelah tahu apa yang terjadi pada dirinya.
"Kamu ada masalah?"tanya Dilan yang melihat Arini masih menunduk sambil menahan rasa sedihnya.
"Aku nggak papa kok."Arini mendongakkan kepalanya menatap Dilan. Nampak senyum Arini terlihat. Tapi Dilan melihatnya itu bukanlah senyuman yang tulus dari hati melainkan senyum karena paksaan. Dilan merasa ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi Arini dari dirinya.
"Aku tahu kamu sekarang sendirian disini. Begitupula dengan aku. Kita itu sama. Jadi aku mau kita bisa saling terbuka. Walaupun aku tahu kita baru saja bertemu dan kenal. Tapi kita kan sudah jadi teman. Jadi kita harus terbuka. Siapa tahu dari salah satu kita bisa membantu menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi."Dilan berusaha meyakinkan kalau dirinya mampu menjadi teman curhat dan bersedia membantu menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi Arini. Meskipun Arini terlihat menutup-nutupinya tapi Dilan mampu merasakannya.
Dilan sendiri masih bisa dibilang muda. Dia baru berusia 25 tahun. Diumur segitu Dilan sudah memiliki beberapa usaha yang telah dirintisnya dari nol. Dilan sendiri mempunyai karakter baik hati dan penyang kepada semua orang termasuk Arini.
"Benar aku nggak ada masalah tenang saja."Arini meyakinkan Dilan. Dilan tetap saja masih tidak percaya.
"Ya sudah ayo dimakan. Keburu dingin nanti mie nya."Arini berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka .
"Ayo."ucap Dilan.
"Uwekkk….uwekkkk."baru memasukkan dua sendok makan tiba-tiba Arini mual. Dilan seketika berhenti makan dan melihat Arini. Ini sudah dua kalinya Dilan melihat Arini mual-mual begitu.
"Kamu kenapa Arini?"wajah Dilan terlihat cemas dan khawatir.
"Uwek…"Arini langsung melambaikan tangan kearah Dilan. Maksudnya untuk izin ke kamar mandi dulu.
"Ada apa sih dia?"Dilan masih duduk di kursi meja makan. Tatapannya terus melihat ke kamar mandi. Pikirannya terus memikirkan yang tidak-tidak.
Setelah beberapa menit mual-mual di kamar mandi, kini Arini sudah lega dan keluar. Dia sadar kalau di luar pasti Dilan sudah menunggunya sambil berpikiran yang tidak-tidak terhadapnya. Kalau begini terus lama kelamaan rahasianya akan diketahui Dilan. Padahal dia sudah bersusah payah untuk menutupinya dari orang lain termasuk Dilan.
"Udah selesai?"tanya Dilan dengan tatapan serius. Arini tahu kalau dipikiran Dilan pasti sudah menyimpan beberapa pertanyaan untuknya.
Arini berjalan kearah meja makan dan duduk di sebelah kursi Dilan. Hatinya merasa deg degan. Pasti Dilan akan mencecarnya dengan beberpa pertanyaan kepadanya. Arini hanya bisa menunduk saat berjalan kearah meja makan.
"Arin aku mau tanya sama kamu. Dan aku mohon kamu jawab jujur. Bisa kan?"Dilan mulai terlihat serius saat menatap Arini. Kedua mata Arini membulat kearah Dilan dengan takut.Benar dugaannya tadi.
"Kamu sedang sakit apa? Soalnya udah dua kali ini aku lihat kamu mual-mual begitu."Dilan berbicara dengan pelan agar tidak terasa menakutkan saat mengintrogasi Arini. Dan Arini bisa menjawab dengan santai.
"A…aku nggak papa kok."Arini menjawab dengan santai. Wajahnya berusaha untuk menyembunyikan rahasianya dibalik senyum manisnya itu.
"Aku mohon. Kita kan udah berteman. Kalau misal kamu punya masalah ceritalah sama aku. Siapa tahu aku bisa membantumu. Kamu kan sendirian disini. Jadi tolonglah ceritakan apa masalah yang tengah kamu hadapi sekarang. Aku sudah tahu dari ekspresimu kalau kamu tengah menyimpan sesuatu dari aku. Makanya kamu pergi ke kota ini padahal kamu tidak memiliki saudara disni. Iya kan?"Dilan berkata lirih dan tenang.
Tiba-tiba Arini meneteskan air mata setelah mendengarkan perkataan Dilan. Memang sekarang dia sudah tidak kuat harus menahan semuanya sendiri. Dia tidak akan bisa dan tidak mungkin menghadapi semuanya sendiri. Dirinya hanyalah wanita lemah dan butuh seseorang untuk membantunya dalam menghadapi masalahnya.
Dilan melihat Arini yang tiba-tiba menangis merasa tambah yakin kalau Arini benar-benar menyimpan rahasia besar. Entah kenapa Dilan ketika melihat Arini menangis membuatnya menjadi sedih pula. Tangisan Arini berbeda dari tangisan orang-orang seumurannya. Raut muka Arini saat menangis memperlihatkan perasaan sedih termat mendalam dan kebingungan yang sangat besar.
"Percayalah aku tidak akan membocorkannya pada orang lain. Aku janji. Aku hanya ingin mendengarkan apa masalahmu dan ingin membantu memberikan solusi kepadamu. Siapa tahu aku bisa membantumu."tangan Dilan menggenggam tangan Arini berusaha memberikan keyakinan pada Arini kalau dirinya benar-benar ingin membantu.
"Hiks…..Hiksss."Arini semakin menjadi-jadi menangisnya. Dia bingung sekaligus takut antara ingin menceritakannya atau tidak.
"Ya sudah menangislah sampai kamu merasa lega dulu."Dilan dengan sabarnya menunggu Arini sampai berhenti menangis. Dia tahu hanya dengan menangislah perasaan sedih akan hilang.
"Apa aku harus cerita sama dia. Aku masih ragu. Tapi aku sekarang tidak punya siapa-siapa dan yang aku punya hanyalah dia. Dia jga terlihat baik sama aku."batin Arini masih menangis tersedu-sedu sambil menatap kearah Dilan. Mereka berdua saling beradu pandang.
Arini kini menuruti apa perkataan Dilan tadi. Dia terus menangis hingga perasaannya merasa lega. Dan memang benar setelah menangis sekarang perasaannya menjadi lega dan hidupnya terasa ringan.
"Kalau aku cerita pasti dia akan kaget."Arini mengusap matanya dengan tangan sambil menatap Dilan yang masih menunggunya.
"Kamu sudah enakan sekarang?"tanya Dilan. Arini langsung mengangguk.
"Kamu kenapa?"tanya Dilan.
"A…aku….aku takut."tiba-tiba Arini berhenti berbicara.
"Aku janji tidak akan membocorkan ke orang lain. Kamu udah aku anggap seperti adikku sendiri."Dilan mengeluarkan jari kelingkingnya kearah Arini untuk mengajak Arini sepakat tidak akan membocorkannya.
"Benar ya jangan ceritakan ke orang lain."Arini terlihat menantang Dilan. Seketika Dilan mengangguk
"Aku hamil kak."perkataan Arini seketika membuat jantung Dilan terasa berhenti berdetak. Dia menganggap kalau Arini belum menikah ternyata sudah menikah.
"Suamimu kemana? "tanya Dilan dengan penuh tanya-tanya dipikirannya.
Seketika Arini menunduk karena bingung harus menjelaskannya atau tidak.
"Arin…?"Dilan mengangkat dagu Arini karena terlihat menunduk saat ditanya suaminya.
"Aku belum menikah."mendengarnya langsung membuat tangan Dilan reflek menutup mulutnya karena tidak percaya. Dilan tidak percaya kalau Arini sekarang hamil diluar nikah. Padahal kalau dilihat-lihat Arini itu anaknya masih polos dan tidak neko-neko, kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi padanya.
"Tapi kakak nggak boleh cerita sama orang lain ya."Arini menarik tangan Dilan dan langsung menggenggamnya erat. Dilan masih tidak percaya dengan pengakuan Arini barusan.
"Kamu hamil dengan siapa?"setelah terdiam cukup lama karena terkejut kini Dilan ingin tahu siapa laki-laki yang dengan teganya menghancurkan masa depan Arini dengan menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab. Wajah Dilan nampak kesal dan dipenuhi dengan emosi.
"Aku tidak bisa memberitahukannya. Aku tidak mau mengingatnya kak."Arini terlihat pasrah dan sedih ketika harus ingat Panji, laki-laki yang seharusnya bertanggung jawab kepadanya dan anaknya.
"Kenapa kamu nggak memberitahukannya. Apa dia tidak mau bertanggung jawab kepadamu. Dasar bajingan laki-laki itu."emosi Dilan semakin menjadi-jadi. Padahal Arini belum menjelaskannya secara detail.
"Bukan gitu kak. Aku memang sengaja tidak memberitahukannya dan tidak meminta pertanggungjawabnnya."ucap Arini dengan lirih dan pasrah. Mata Dilan langsung melotot kearah Arini karena saking tidak percayanya ketika tahu Arinilah yang membuat masalahnya semakin rumit.
"Kenapa kamu nggak ngsih tahu dan meminta pertanggung jwaabannya Dia seharusnya tahu akan hal ini."Dilan menatap kearah perut Arini.
"Aku sadar dia siapa dan aku siapa kak."Arini nampak sendu. Dilan langsung bingung dengan maksud Arini.
"Maksutnya? "Dilan mengangkat alisnya karena masih bingung .
"Dia tidak sengaja saat melakukannya kak."Arini meneteskan air mata karena harus mengingat kejadian memilukan itu bersama Panji.
"Maksud kamu gimana?"Dilan menggelengkan kepala karena masih bingung dengan perkataan Arini yang masih tidak jelas dan membingungkannya.
"Saat itu dia mabuk berat hiks….hikss… karena habis putus dengan kekasihnya kak. Tidak disangkanya malah dia melakukannya itu kepadaku saat pikirannya masih dibawah pengaruh alcohol. Hiks…"Arini kembali menangis saat mengingatnya. Perasaannya kembali merasa hancur ketika ingat Panji menodainya.
"Dia orang kaya sedangkan aku hanyalah….lagian dia juga udah punya pacar baru sekarang dan kayaknya akan menikah. "Dilan mulai sedikit paham dengan permasalah Arini. Pasti Arini takut meminta pertanggungjawaban laki-laki itu karena perbedaan status.
"Lha terus kalau kau tidak memberitahukannya kayak gini…kamu terus gimana kedepannya sama anak kamu?'Dilan tidak ingin fokus memikirkan laki-laki yang telah menghamili Arini itu. LEbih baik membantu dan memikirkan solusi untuk Arini terutama dalam menjalani kehidupannya sekarang.
"Aku akan membesarkan anak ini sendirian. Dan aku tidak mau mengganggu kehidupan keluarga ayahnya."kata Arini sambil mengusap perutnya dengan halus. Dilan ikut merasakan kesedihan yang dialami Arini. Memang benar kalau Arini masih polos dan tidak tahu apa-apa itu terbukti dengan dia tidak mau meminta pertanggung jawaban laki-laki yang telah menghamilinya karena tidak mau mengganggu keluarga laki-laki itu.
"Kamu yakin dengan keputusanmu itu?"Dilan tidak percaya. Kemudian Arini mengangguk dengan cepat.
"Yakin. Dan aku sudah bulat sama keputusanku ini untuk membesarkan anak ini sendirian di kota ini."ucap Arini sambil menangis. Dari dalam hatinya berbicara tidak ingin menjalani hidup begitu. Tapi mau gimana lagi ini sudah jalan hidupnya. Arini tidak mau anaknya nanti menderita karena tidak diakui oleh Panji dan keluarganya karena perbedaan status dari keduanya. Makanya dia lebih memilih untuk membesarkan anaknya sendiri.
"Tapi mereka juga berhak tahu atas hal ini."Dilan memberikan masukan kepada Arini.
"Aku juga begitu. Tapi aku yakin kalau mereka tahu pasti tidak akan mengakui anak ini. Secara aku juga hanyalah pembantu dan ayahnya juga tidak sengaja melakukannya."Arini berbicara sambil merasakan hatinya yang seperti disayat-sayat.
"Kamu belum mencoba tapi kamu sudah berpendapat seperti itu."kata Dilan dengan kesal.
"Semoga ini keputusan yang terbaik untukku dan anak ini."Arini menunduk dan mengelus perutnya lagi. Dilan tidak bisa berkutik lagi karena Arini sudah seratus persen mantap dengan keputusannya itu.