Hari itu matahari muncul dari balik dinding, seperti hari lainnya. Cahayanya mengintip dari jendela kaca di dapur. Membantu Eren, yang sedang mendapat giliran menyiapkan sarapan di dapur, melihat sekelilingnya lebih jelas. Kali ini banyak orang yang membantu di dapur. Meski di dapur terdapat banyak orang yang sibuk menyiapkan makanan untuk lebih dari 50 prajurit, ruangan itu tidak terasa penuh. Untuk beberapa alasan, Eren merasa seorang diri di dalam ruangan dengan banyak orang tersebut. Tidak ada yang benar-benar menatapnya atau sekedar basa-basi padanya seolah dia tidak disana. Ia merasa kecewa namun tidak juga bisa menyalahkan siapapun. Setidaknya ia tidak mendengar seseorang membisikan namanya di belakangnya. Sebaliknya, ia mendengar namanya di sebut, dengan nada ramah, dari belakangnya dengan jelas. Ia menoleh dan menemukan Petra tersenyum padanya seperti biasa.
"Pagi Eren. kau mendapat giliran hari ini?" sapanya seolah itu adalah hal yang wajar. Seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Petra menempatkan dirinya di samping Eren dan membantunya memotong sayuran meski hari ini bukanlah bagiannya menyiapkan sarapan.
"U-uh. Pagi." Balas Eren canggung namun tidak bersikap dingin padanya dan membiarkannya melakukan apa yang dia mau.
"Hm? Dari bahan yang kau pakai, kelihatannya kita mendapat sup bawang lagi." Gumamnya. "Apa matamu tidak perih sejak tadi memotong banyak bawang?"
"Sedikit. Tapi aku baik-baik saja."
"Taruh ini di mulutmu." Petra menaruh sepotong roti di mulut Eren. Eren bahkan tidak mendapat kesempatan untuk bicara ketika ia melakukannya dengan cepat. Lalu Petra menyalakan lilin di dekat mereka. "Ini akan membantumu mengurangi perih di mata saat memotong bawang." Balasnya tersenyum. "Oh, jangan memakannya."
"Hmmph hmphf?" Eren berusaha bicara dengan potongan roti di mulutnya.
"Percaya padaku. Aku selalu melakukannya." Jawabnya seolah yang membuat mereka mengobrol adalah telepati.
Tiba-tiba keheningan menyelimuti mereka. Petra berhenti bicara dan hanya berfokus pada bawang dan pisau di tangannya. Meski matanya ada di bawang itu, pikirannya melayang. Eren dapat melihatnya di matanya. Karna itu tanpa sadar tangannya berhenti bekerja karna terlalu lama memandang Petra hingga Petra menyadarinya.
"Ada apa Eren?"
Eren hanya menggeleng, mengingat ia tidak bisa bicara dengan benar dengan sepotong roti di mulutnya. Namun matanya cukup untuk Petra mengerti bahwa ia mengkhawatirkannya.
Petra terkekeh. "Kau bisa melepasnya jika kau ingin bicara, kau tahu?"
Merasa bodoh dengan dirinya karna tidak memikirkan itu, Eren segera melepaskan roti itu dari mulutnya. "Pet.."
"Maaf soal kemarin, Eren." Petra memotong sebelum Eren berhasil memanggilnya. Matanya tertuju ke bawah, mengumpulkan keberanian untuk bicara. "Kami meragukanmu. Kami bahkan mengacungkan pedang kami padamu. Kau pasti kecewa."
Eren terdiam. Ia berbohong jika ia mengatakan bahwa ia tidak kecewa, namun ia senang karna mereka cukup mempercayainya untuk meminta maaf padanya. Bekas gigitan di tangan Petra masih terlihat jelas. Menunjukan bahwa Petra menggigit tangannya dengan sungguh-sungguh kemarin malam.
Kemarin malam, setelah mendapat kesimpulan dari Hanji bahwa apa yang terjadi kemarin sore adalah murni kecelakaan yang tidak di sengaja, Squad Levi sengaja mencoba menggigit tangan mereka masing-masing seperti yang Eren lakukan. Namun tak satupun dari mereka berhasil melukai mereka sendiri. mereka berhenti sebelum tangan mereka benar-benar terluka. Dan sejak itu mereka sadar bahwa pengorbanan Eren bukanlah hal yang bisa di ragukan. Mereka segera meminta maaf karna telah meragukannya, dan Eren pun memaafkannya. Namun kelihatannya Petra masih terbebani. Yang ia tahu, Petra memang sensitif tentang hubungan antar manusia. Ia bukan seseorang yang pandai menyembunyikan apa yang ia rasakan dan pikirkan. Ketika ia senang, orang akan mengetahuinya. Ketika ia merasa gelisah, seolah itu tertulis di wajahnya. Ia akan mengatakan terimakasih jika ia menghargai seseorang dan meminta maaf jika ia merasa bersalah. Ia menyukai sisi Petra yang seperti itu. Ia dapat mengerti kenapa Levi, orang yang terlihat tidak ingin di dekati siapapun, dapat luluh di samping Petra.
Eren terkekeh. Membuat Petra mengalihkan perhatian padanya. Menatapnya bingung karna ia merasa tidak mengatakan hal yang dapat di tertawakan.
"Maaf." Eren berhenti tertawa dan membenarkan posturnya. "Terimakasih sudah mempercayaiku. Tidak mudah untuk mempercayai seseorang sepenuhnya, tapi aku akan berusaha."
Petra membalasnya dengan senyuman. Ia menganggap senyuman Eren adalah tanda bahwa hubungan mereka kembali membaik. Karna Petra berharap lebih dari apapun, agar Squad ini dapat menjadi rumah bagi anggotanya. Meski Eren mengatakan bahwa ia belum bisa mempercayai mereka sepenuhnya, ia percaya suatu saat Eren akan menemukan jalan dimana ia dapat mempercayai mereka sebagai tim dan keluarganya.
***
Hanji berencana melanjutkan percobaannya siang ini, jadi mereka punya waktu beberapa jam setelah sarapan untuk bersantai dan beristirahat. Levi berjalan menyusuri koridor dengan mata yang lebih tajam dari biasanya. Jelas terlihat bahwa ia tidak sedang dalam mood yang baik. Tidak seperti ia tersenyum di saat moodnya baik, namun orang-orang bisa menebak akan berbahaya jika mereka sedikit saja menyentuh Levi yang sekarang. Orang-orang secara instan bergerak melipir ke tembok, memberi jarak yang aman antara diri mereka dengan Sang Kapten kerdil yang sedang bad mood.
Ia masuk kedalam ruang rapat (ruang makan) mereka untuk menemukan Petra yang sedang membersihkan ruangan atas perintahnya. Petra tersentak Kaget saat pintu terbuka dengan tiba-tiba dan menunjukan wajah menyeramkan Kaptennya. meski ia tidak tahu apa yang salah atau mungkin ia melakukan sesuatu tanpa sadar, ia memberanikan diri untuk bertanya. Namun Levi menangkisnya secepat ia datang tanpa Petra bahkan sempat membuka mulutnya.
"Jika si kacamata sialan itu mencariku, katakan aku akan kembali sebelum siang." Ucapnya seolah tanpa spasi. Tanpa memastikan apa Petra mendengarnya atau tidak, ia pergi meninggalkan Petra yang masih berdiri mematung dalam posisi yang sama saat Levi datang.
Levi berjalan keluar Base. Mengambil kudanya, sedikit mengusap tengkuk kudanya hingga ia memastikan kudanya dalam keadaan baik, sebelum menungganginya. Ia tidak memiliki pekerjaan, dan tidak dalam mood untuk berbicara dengan siapapun. Yang ia butuhkan adalah suasana tenang untuk tidur.
Sudah 2 hari berturut-turut ia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk sekedar memejamkan mata. Tidak seperti ia membutuhkan tidur lama dan nyenyak di kasur empuk. Ia hanya membutuhkan satu atau dua jam tidur kecil di tempat yang sepi dan sejuk. Ia selalu kesulitan mendapat tidur nyenyak, jadi ia tidak berharap banyak dapat tidur di saat matahari sudah terbit dalam kamar yang mulai panas dan pengap. Terlebih suara orang-orang yang beraktifitas membuatnya tidak tenang.
Levi mencari tempat terbaik baginya untuk sekedar memejamkan mata dan ia menemukan aliran sungai selalu membuatnya merasa lebih tenang. Jadi ia pergi ke sungai terdekat, di mana tidak ada satupun pemukiman di dekatnya agar ketenangannya tidak tergangggu. Tidak sulit mencari pohon rindang di sisi sungai. Ia dapat memilihnya acak untuk mengikat kudanya dan bersandar di badannya.
Setelah ia menemukan tempat sempurna, ia bersandar pada pohon itu. Sedikit cahaya matahari membias dari sela-sela dedaunan di atasnya, namun tidak cukup untuk membuatnya kepanasan atau merasa silau. Sebaliknya, itu membuat suasananya semakin sempurna. Oa memandang sungai jernih di hadapannya, dan suara kuda yang dengan riang memakan rumput segar di banding rumput kering yang di simpan di kandang berhari-hari.
Ia mulai merasa jatuh kedalam kenyamanan dan ketenangan. Matanya memberat namun ia tidak membiarkan dirinya segera jatuh tertidur. Ia hanya memejamkan mata, mendengar lebih baik suara sungai dan dedaunan yang beradu karna ditiup angin.
Entah sudah berapa lama ia tidak menemukan ketenangan seperti ini. Suara lembut dari kudanya, suara dedaunan dan sedikit kepakan sayap dari burung yang terbang jauh dari tempatnya. Ia ingat akan sesuatu. Saat pertama kali ia menginjakan kakinya keluar dinding. Saat itu ia berpikir bahwa ada surga di sana. Perasaan takjubnya pada pemandangan tanpa batas yang terhampar di hadapannya. Seolah ia baru saja menemukan mimpi baru. Berkuda dengan bebas di luar dinding dengan orang yang berharga untuknya.
Namun itu berubah dalam hitungan jam. Apa yang ia anggap surga ternyata adalah neraka. Ia kehilangan mimpi, tujuan, harapan dan orang yang berharga. Wajah sekarat kedua orang itu selalu menghantuinya. Meskipun ia mengatakan pada dirinya sendiri jutaan kali bahwa itu adalah hal terakhir yang akan ia sesali, mungkin ia hanya membohongi diri sendiri. Kenyataannya ia masih takut untuk mengambil keputusan. Berdalih bahwa ia tidak akan menyesali keputusannya, jauh di lubuk hatinya ia tahu bahwa ia hanya mencoba lari dari rasa bersalah. Namun, tidak perduli seberapa jauh ia berlari, luka itu selalu disana dan menghantuinya. Wajah mereka datang setiap ia memjamkan mata. Tidak perduli seberapa keras ia berusaha menggapai mereka, berusaha berlari menghampiri mereka yang sekarat, ia tidak akan pernah bisa menggapai mereka tepat waktu. Meski ia memaksa kudanya berlari sekuat tenaga, hatinya berteriak sekeras mungkin agar mereka lari, ia tidak bisa. Dan kejadian berdarah itu selalu terulang lagi dan lagi hingga membuatnya gila.
Hingga saat ketika mereka hampir dimakan oleh titan, sebuah suara lembut mengalihkan pandangannya menjadi gelap. Begitu ia membuka Mata, sesosok wanita cantik berambut gelap terpampang di hadapannya dengan senyum hangatnya.
"Maaf levi, aku membuatmu menungguku pulang lagi."
Wanita itu beranjak dari tubuh Levi yang mengecil. Terlihat dari tangannya yg sangat kurus dan pakaian usangnya.
Ia mengikuti pergerakan wanita itu selagi ia menyiapkan sesuatu di dapur.
"...mom?" Panggil Levi ragu.
"Hm?" Dengungan dari mulutnya sangat lembut. "Kau pasti lapar. Aku sudah menyiapkan sesuatu untuk mu sebagai maafku karna pulang terlambat." Lanjutnya selagi membawa beberapa potong roti yang terlihat sudah mengeras namun ia mencoba menghangatkannya lagi.
Kuchel, ibu Levi, menaruh Satu piring berisi potongan roti kecil di hadapan Levi yang sudah siap di meja makan kecil mereka. Itu tidak terlihat seperti porsi untuk 2 orang. Atau ia bisa mengatakan terlalu sedikit untuk Satu porsi ukuran orang dewasa.
Kuchel mengerti apa yg di pikirkan Levi, namun ia hanya tersenyum pahit. "Maaf, hanya itu yg bisa aku dapatkan."
Levi menggelengkan kepalanya. "Bagaimana denganmu, mom?"
"Seorang pelanggan sudah mentraktirku tadi. Kau tidak perlu khawatir." Balas kuchel tersenyum senang.
Tentu saja itu bohong. Levi tahu itu namun ia terlalu kecil untuk dapat melakukan sesuatu. Melakukan Hal yang ceroboh hanya akan membuat ibunya mendapat masalah. Jadi ia hanya makan dengan tenang selagi ia dapat merasakan tatapan sedih dari kuchel.
YyhItu hanya beberapa potong roti namun terasa hangat hingga membuatnya makan dengan lahap. Tidak dapat di katakan enak namun ini adalah hasil perjuangan ibunya.
Beberapa remah menempel di bibir Levi dan kuchel menyapunya dengan lembut.
Ia tidak tahu apa saat itu hari sudah siang atau masih gelap, namun ia merasa mengantuk setelah memakan roti hangat. Kuchel menawarkan pangkuannya pada Levi dan Levi tidak menemukan perlawanan dalam darinya sama sekali. Sebaliknya, ia menyukainya. Rasanya hangat. Mendengar suara kuchel selagi ia memejamkan mata membuatnya nyaman. Belaian tangan kuchel di rambutnya mendorongnya menjauh dari kenyataan menuju dunia mimpi.
Tapi tunggu. Kuchel hanya Ada di dalam mimpi yang berarti ini adalah mimpi. Namun kehangatannya masih terasa.
"Maaf membuatmu terlahir didunia seperti ini, Levi" Suara terakhir yang ia dengar sebelum akhirnya ia membuka mata dan menemukan orang lain di hadapannya.
Ia menutup dan membuka matanya kembali matanya karna tusukan cahaya yang tiba-tiba. Ia dapat menemukan wajah Petra tepat di depan wajahnya. Wajah Petra terlihat khawatir, dan saat itu Levi segera tahu apa yang terjadi.
Levi memperbaiki posturnya. Mengembalikan kedua tangan Petra di bahunya ke sisi tubuh Petra.
"Aku baik-baik saja." Ucapnya bahkan sebelum Petra sempat menanyakan sesuatu.
Levi berjalan kearah sungai meninggalkan Petra di belakangnya. Mimpi tentang Isabel dan farlan sudah menjadi makanannya setiap hari. Namun ini pertama kalinya setelah beberapa tahun ia memimpikan Kuchel. Sosok yg sangat ia rindukan namun hampir tenggelam karna penderitaan.
Ia dapat merasakan pandangan Petra mengikutinya. Levi menatap bayangan dirinya yang kacau dan segera membasuh wajahnya dengan air sungai. Berharap itu membuat nyawanya kembali sepenuhnya. Wajah dan sedikit rambutnya basah, namun ia membiarkan air menetes begitu saja darinya selagi dirinya menenangkan diri. Dengan desahan panjang, akhirnya ia dapat mengembalikan dirinya semula.
"Sudah berapa lama aku tertidur?" Tanya Levi tanpa membalikan tubuhnya menghadap Petra.
Ia dapat merasakan sedikit jeda sebelum Petra menjawab dengan nadanya yang biasa, tanpa rasa khawatir. "Kau sudah meninggalkan Base sejak 3 jam yang lalu."
Sedikit lebih lama dari yang Levi perkirakan. Mungkin ini adalah tidur terlama yg ia miliki setelah Petra membantunya tidur terakhir Kali. Ia tidak berharap mendapat tidur panjang. Ia sudah menyerah tentang itu sejak lama.
Sejak kejadian berdarah itu, mimpi tentang Isabel Dan farlan selalu berhasil membuatnya terbangun dan takut untuk kembali tidur.
Namun saat itu, saat Petra membantunya tidur, ia mendapat tidur paling tenang yg ia dambakan. Dan saat ini Pula, ia mendapat mimpi tentang Kuchel saat Petra Ada di sampingnya.
Tanpa sadar Levi sudah memandang Petra untuk waktu yang lama. Terlihat dari tingkah canggung dan bingung Petra yang memandang Levi kembali.
Cara Petra memperlakukan Levi, ia tidak pernah membencinya. Ia menyukainya. Seolah ada lubang yg terisi di hatinya setiap Petra di dekatnya. Sejujurnya, Petra mengingatkannya dengan kuchel dan ia baru menyadari nya. Tentu saja. Sudah berpuluh-puluh tahun ia kehilangan sosok kuchel dan kini ia menemukannya pada orang lain.
"Um.. Kapten?" Akhirnya petra memecahkan kesunyian karna tidak tahan dengan suasana canggung ini.
"Lalu apa yang kau lakukan disini?" balas Levi seolah tidak ada yang salah disini.
"Eh?"
"Masih ada beberapa jam sebelum kacamata sialan itu memulai urusannya." Dari nadanya sebelumnya, Petra tidak menduga dengan pertanyaan ini.
Sadar Levi masih memperhatikannya dengan mata yang sama, Petra membuang pandangannya ke arah lain. Mencoba tetap pada postur awalnya, namun ia gagal. "Aku sedang mencari kayu bakar."
"Lalu?"
"Aku melihat Kapten kelihatan kesakitan, jadi tanpa sadar aku berlari kesini." Ucap Petra sebaik mungkin untuk tidak terlihat mencurigakan. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia menghampirinya karna ingin melihat wajah tidur kaptennya sebelum ia menyadari bahwa Levi sedang mendapat mimpi buruk.
"Aku mencoba membangunkanmu, tapi wajahmu tiba-tiba kembali normal. Jadi.." Petra menundukan kepalanya karna Levi tahu apa yg selanjutnya terjadi.
Meski alasan Petra masuk akal, Levi tidak bisa untuk tidak curiga bahwa ada yang ia sembunyikan. Namun jika itu Petra, itu mungkin bukan sesuatu yang penting, jadi ia membiarkannya.
Levi berdiri dari posisinya, melepas kudanya dan berjalan menjauh.
"Kau lanjutkan tugasmu. Aku akan kembali ke Base."
"Siap, Kapten." Dan dengan itu Petra terdiam, memandang punggung kecil namun bidang Levi semakin menjauh. Jelas ada sesuatu yang tidak ingin Levi ceritakan. Petra tidak tahu itu apa, namun jika Levi tidak ingin membicarakannya, ia tidak akan menekannya.
Tiba-tiba langkah Levi terhenti. Ia terdiam sejenak ketika Petra hanya memperhatikannya dari belakang. Berpikir ada yg salah. Namun Levi menoleh kearahnya.
"Petra."
"Y-yes?!" Jawab Petra gugup.
"Thanks."
"Eh?" Untuk apa? Mengintipmu tidur?! Pikirnya khawatir.
"..." Levi terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Untuk membangun Kan aku."
"Huh? Oh, tentu" Balasnya sedikit lega namun bingung. Petra merasa bukan itu yang ingin ia katakan, namun ia terlalu takut untuk bertanya. Jadi ia membiarkan punggung kecil kaptennya hilang di kejauhan.
TBC------>