Kalau sudah adu mulut dari awal, semuanya tidak akan berjalan lancar. Apalagi kalau tak ada yang mau mengalah di antara mereka yang adu mulut.
Mereka di sambut dengan cukup meriah, kepala desa nampak ramah menuntun kelima orang itu untuk datang ke rumahnya. Menyiapkan kamar, perlengkapan mandi, bahkan makanan yang sudah tertata di atas lantai berlapis tikar dari anyaman daun pandan. Gia yang tadi tersentak, langsung terbangun dan menyadari bahwa dirinya masih berada di dalam mobil sementara yang lain terlihat sibuk mengeluarkan perlengkapan dari dalam bagasi.
"Sudah bangun?" Adalah sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut Alan tatkala pria itu melangkah mendekati Gia yang berdiri di dekat mobil.
Perempuan itu merotasikan bola matanya, merasa jengah dengan pertanyaan basa-basi yang lebih terdengar seperti kalimat retorik itu. Kepalanya masih terasa pening, maka alih-alih berkata jengkel, Gia lebih memilih untuk mengangguk. Lantas sebuah senyum terukir di wajahnya tatkala melihat istri dari kepala desa nampak mendekatinya, membawakan segelas teh yang asapnya masih terlihat mengepul.
"Mabuk perjalanan, ya?" Gia balas dengan gelengan pelan, lalu menyambut segelas teh dari tangan sang wanita. "Teh itu cocok untuk meredakan sakit kepala," sambungnya, setelah itu pergi menjauh lagi.
Menyandarkan tubuhnya pada mobil, Gia lalu menyerahkan gelas tadi pada Alan. "Masih tak suka teh, ya?" Tanyanya.
Gia mengangguk, kemudian menjawab. "Kafein tidak baik untuk kesehatan,"
"Tidak baik kalau berlebihan," balas Alan, lalu menyerahkan lagi gelas tadi pada Gia. "Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, apapun itu."
"Termasuk mencintai seseorang, 'kan?"
Alan nyaris tak mendengar kalimat yang diucapkan bersama suara dengan intonasi pelan dan lirih itu, membuatnya mengerutkan kening karena bingung. "Kau bilang sesuatu?"
Gia menggeleng bersama sebuah senyum yang terukir di wajahnya, lalu mengambil gelas tadi dan meminum isinya dengan pelan. "Setelah ini kita akan istirahat, 'kan? Kepalaku benar-benar sakit,"
"Kau sakit, ya?" Tapi Gia malah membalas dengan gelengan, "kalau sakit lebih baik kau minum obat dulu, lalu istirahat."
"Tidur sebentar juga cukup," balasnya, lantas kembali menyerahkan gelas tadi Alan. "Terima kasih banyak, aku ke sana dulu."
Gia hanya tak mau melanjutkan konversasi dengan lelaki itu, bertemu setiap saat begini saja sudah membuat kepalanya hampir meledak. Alan serupa mimpi buruk yang selalu datang, membuat dada jadi sesak dan sesuatu yang berada di pelupuk mata mendesak keluar. Sepuluh tahun, nyatanya bukanlah waktu yang cukup untuknya melupakan semua hal itu.
Mendekat ke arah balai desa di mana Galang, Vin, dan juga Bisma tengah duduk menikmati teh serta biskuit yang sudah disiapkan. Setelahnya, Gia berjongkok lantas membuka satu-persatu tas untuk memeriksa kelengkapan. Bisma sejak tadi menatapnya jengkel, sesekali mendengus sebal dan menghadirkan decakan sebal dari Galang. Pemuda itu lantas bangkit, menghampiri Gia dan mengulas sebuah senyum.
"Butuh bantuan... hm, aku tidak tahu harus memanggilmu apa. Berapa umurmu?"
Gia menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum hangat sembari menggelengkan kepalanya. "Bulan depan 30 tahun," jawabnya.
Galang nampak terkejut, matanya sontak membola, pemuda itu lantas menggaruk tengkuknya sebab merasa sedikit tak nyaman. Gia kemudian kembali memeriksa isi tas, terlihat begitu fokus dan membuat Galang ikut berjongkok.
"Kau seumuran dengan Kak Alan, ya?"
Mengangguk, Gia lantas bertanya. "Kenapa memangnya?"
Galang sebenarnya ingin menanyakan sesuatu yang berkeliaran memenuhi isi kepalanya berupa; kenapa belum menikah? Di usia sematang ini, belum juga menikah? Atau, tentang jenjang karirnya. Sebab biasanya, di usia itu orang-orang setidaknya sudah menjadi atasan. Senior. Tapi, Gia memiliki jabatan yang sama dengannya yang masih berusia dua puluh enam tahun ini. Galang berdeham pelan, lalu kembali berbicara.
"Tidak apa-apa,"
Gia tahu isi kepala Galang, sebab dia sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja akan mendatangkan banyak sekali perdebatan kalau dia menjawab dengan jujur, sebab kenyataannya setiap orang punya isi kepala yang berbeda. Mempermasalahkan isi kepala, tidak akan pernah berakhir baik, bukan? Ujung-ujungnya tidak akan menemukan solusi, bahkan bisa saja mendatangkan masalah baru.
"Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing, 'kan?" Tanya perempuan itu kemudian, menghentikan kegiatannya sebentar guna mempertemukan manik senada karamel miliknya dengan milik Galang. "Mau dia menikah, atau dia memilih melajang seumur hidupnya. Mempertanyakan tentang alasan seseorang memilih sesuatu yang berbeda dari yang kita pilih itu tidak salah, yang salah adalah memaksa agar punya pemikiran yang sama."
"Kau pasti sudah sering mendapatkan reaksi seperti ini, ya?"
Gia terkekeh, lalu kembali memeriksa isi tas itu. "Selama manusia masih suka membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan pernah lepas dari mereka. Katanya cuma sekedar basa-basi, tapi nanti berujung jadi bahan adu gengsi. Seperti inilah, seperti itulah. Seolah menjadi manusia paling sempurna dengan standar yang mereka buat,"
"Standar-standar itu sering kali melekat di dalam diri seseorang, menjadi tolok ukur untuk hidup seseorang. Lebih parahnya lagi, orang-orang merasa tak puas dengan ribuan kebaikan yang orang lain lakukan. Tapi, satu kesalahan sudah cukup bagi mereka untuk menghancurkan orang itu. Dunia ini menyeramkan sekali, ya, Kak?"
Gia tersenyum hangat, merasa beruntung setidaknya dari beberapa orang gila yang akan menemaninya ekspedisi ada satu yang bisa diajak berbicara dengan topik yang dia sukai. Mendengar panggilan itu tersemat di akhir kalimat yang Galang katakan, membuat Gia merasa sedikit lebih akrab. Seolah sudah punya koneksi. Perempuan itu membuka satu tas terakhir yang lebih dia periksa, sementara Galang masih asyik menerawang jauh ke dalam pikirannya sendiri.
"Dunia memang tempat di mana ambisi hidup berdampingan dengan realita, Galang. Dunia juga mirip seperti area pertempuran," ujar Gia kemudian, "yang kuat, dialah yang bertahan hidup."
Galang menganggukkan kepalanya, merasa apa yang tadi Gia ucapkan benar. Pemuda itu nyaris mengatakan isi kepalanya lagi--sebuah kejujuran yang sudah lama ingin dia katakan pada seseorang--kalau saja Gia tak memekik, lantas berdiri dengan mata yang terlihat membola. Vin, dan Bisma yang sedang menikmati waktu mereka dibuat kaget. Alan yang tadinya sedang berbincang dengan kepala desa juga ikut kaget, kemudian menghampiri perempuan itu.
"Siapa yang mempersiapkan peralatan tadi?" Tanyanya.
Galang lalu mengangkat tangannya, kemudian berdiri. "Bisma yang mengeluarkannya dari gudang dan aku yang menyusunnya, Kak. Memangnya kenapa?"
"Kenapa tidak ada kompas dan peta?" Tanyanya, mata perempuan itu terlihat menyalak.
Sebuah tatapan dengan jiwa perfeksionis, bahkan membuat Galang bergidik ngeri.
"Bisma..., Bisma bilang tidak usah," jawab Galang ragu, menoleh pada Bisma yang kini sudah berdiri.
"Peta dan kompas itu tidak usah dibawa, lagipula kita punya juru kunci. Nanti dia yang akan membawa kita ke tempat tujuan," sambung Bisma, sembari melangkah mendekati perempuan itu.
"Tapi, kompas dan peta itu dua hal yang cukup penting di keadaan genting asal kau tahu. Kenapa kau ceroboh begini?"
"Jangan berpikir buruk begitu, dong. Doakan saja tidak ada hal buruk yang terjadi,"
Gia nyaris menyemburkan tawanya, perempuan itu lantas berdecih dan membuat Alan buru-buru menarik gadis itu untuk menjauh. "Sudah, Gia. Istirahat dulu, ya? Kau terlihat kelelahan,"
"Apa-apaan kau ini?"
Menatap dengan sorot tak percaya pada Sosok Alan yang mencoba menariknya menjauh, Gia menepis tangan pria itu yang menggengam pergelangan tangannya. Bisma masih di sana, menatap tajam pada sosok Gia. Aura keduanya terlihat memancarkan ketidaknyamanan, Alan pikir kalau dibiarkan bisa terjadi perdebatan yang tak berujung.
"Kau ini ketua tim macam apa, sih? Jelas-jelas dia melakukan kesalahan dan kau malah mencoba untuk menghindar?"
"Bukan begitu, Gia. Aku hanya mencoba menenangkan kalian dulu, kalau berbicara dengan emosi begini tidak akan menyelesaikan masalah. Kau juga terlihat sensitif sekali sejak tadi,"
"Kau menyalahkanku?"
Pertanyaan yang keluar dari ceruk bibir perempuan itu sukses membuat Alan membeku, merasa hampir frustasi dengan apa yang terjadi saat ini. Gia masih menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa dibaca, lantas melangkah pergi dan membiarkan sekitarnya berakhir canggung. Alan berdecak, menyugar rambutnya kemudian menyusul perempuan itu. Kalau sudah begini, dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengalah pada Gia yang notabenenya keras kepala itu.
"Gia, tunggu!"
To Be Continued