Axelia lupa tentang hari ini. Dia hampir melupakannya, bahwa Aiden akan pergi jauh dan kemungkinan mereka akan semakin sulit untuk bertemu. Tidak hanya Aiden yang terbayang di benaknya, sosok Vincent lebih mendominasi.
Ini bukan perpisahan yang adil. Kedua lelaki itu tidak memberi ucapan selamat tinggal bahkan Aiden. Axelia benar-benar tidak suka cara Aiden berpisah.
Tidak ada yang menjamin keselamatan lelaki itu setelah menjadi anggota tentara khusus tersebut. Bagaimana jika Aiden gugur lebih dulu?
Axelia tidak mau mendengar berita itu. Memangnya, keluarga mana yang sudi membiarkan saudaranya masuk ke kandang singa?
Ketika tiba di teras bangunan, Axelia berhenti berlari. Dia terbungkuk karena lelah, dengan napas sedikit terengah. Tampak di depannya bayangan jiwa berbaris memanjang. Tidak salah lagi.
Mereka adalah sisa rombongan Nightroad Zero yang bersiap berangkat. Ada cara efektif untuk mengetahui keberadaan seseorang meski tidak bisa melihat. "Aiden!" Yaitu dengan meneriakkan namanya. "Aiden!" Sekali lagi.
Axelia tidak tahu dan tak bisa membedakan jiwa milik Aiden di antara bayangan buram tak berwujud itu.
Axelia gemetar. Dia seperti kehilangan arah. Siapa pun yang melihatnya, akan merasa bersimpati. Sejenak dengung percakapan orang di depannya menyebut-nyebut tentang dirinya.
"Hoi, bukankah itu gadis yang bersama Aiden?" Bisik-bisik lainnya mengatakan dengan makna serupa. Mereka semua sudah duduk di punggung kuda, barisan paling belakang.
"Hey, Aiden, apa kau tidak mengucap selamat tinggal dengan benar pada Axelia?" tegur Hannah. Wanita itu duduk menunggu di punggung kuda di sampingnya. "Kalau aku tidak salah dengar, seseorang memanggilmu dari belakang," lanjut Hannah.
"Benarkah?" Aiden pikir Axelia masih tidur. Lantas dia menengok ke belakang bahunya. Terekam di iris hijaunya Axelia tampak kebingungan di teras sana. Membuat hati Aiden tercubit. Ketika itu Hannah melirik dan melihat tangan Aiden meremas tali kekang.
"Temui dia. Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari," saran Hannah. Seperti sebuah perintah, Aiden bergegas turun dari kudanya dan berlari menghampiri gadis itu.
Gelisah. Axelia menggigit bibir bawahnya. Dia tertunduk sedih. Hingga seperkian detik kemudian tubuhnya terhuyung tiba-tiba ke samping dan merasakan beban menubruknya.
Dari aroma yang tercium, bagai menarik kedua sudut bibir Axelia ke atas. "Aiden...." lirihnya di dalam pelukan badan kekar Aiden. Pada saat yang sama Isabel mengulas senyum senang melihat kedekatan mereka berdua. Isabel memilih menjadi penonton di belakang mereka.
"Maafkan aku. Aku harus meninggalkanmu di sini," kata Aiden seraya mengurai pelukan mereka.
"Ya. Aku mengerti. Aku tidak akan melarangmu dan aku tidak akan marah dengan pilihanmu kecuali kau pergi tanpa perpisahan denganku," jelas Axelia. Diutarakan tanpa ada yang disembunyikan. Karena hanya itu yang dia rasakan saat ini.
Aiden tersenyum lemah. "Ya. Jaga dirimu baik-baik selama aku pergi." Lalu Aiden melirik ke belakang Axelia. "Isabel, tolong bantu Axelia, ya." Dia berpesan. Isabel mengacungkan jempolnya dengan cengiran lebar.
"Selamat tinggal, Axelia," ucap Aiden setengah hati.
Sementara komandan Vincent masih terlihat berbincang sesaat bersama seorang pria gemuk berpangkat Mayor dari kepolisian militer. Sebagai tuan rumah, tentu dia mewakilkan kepolisian lain untuk mengantar tamu dan mengucapkan selamat tinggal dengan ramah.
"Kami akan selalu menyambut kalian di sini," kata Mayor itu. "Terima kasih atas kerjasamanya." Dia tersenyum, mengangkat kedua pipinya yang bulat dan membuat wajah kendor itu menjadi terlihat bundar.
"Tentu. Jaga kesehatanmu sampai kami kembali," pamit Vincent bermakna ganda. Gurat dingin dan kaku di wajah tanpa senyum itu menunjukkan pengalaman hidup yang telah dilalui.
Pria itu tidak menyadari jika dirinya mengintimidasi Mayor dengan tinggi yang menjulang dan wajah kaku khas tentara perang. Karena sang Mayor Friedman nampak berkeringat dihadapan pria muda itu. Wajah bulatnya yang berminyak, bertambah mengilap dengan keringat.
Senyum di wajahnya pun tidak terlihat alami: dia memaksakan senyuman agar tidak kelihatan gemetar tanpa sebab. Memalukan jika anak buahnya tahu seorang Mayor terlihat gugup di depan tentara muda itu.
Lalu Vincent berbalik dan menaiki kuda putihnya. Sedetik kemudian dia berderap maju diikuti kuda lain di belakang.
Axelia hanya bisa tersenyum kecut. Vincent tidak meninggalkan apa pun kepadanya walau itu ucapan selamat tinggal. Akhirnya dia berbalik masuk, dan kembali ke kamar bersama Isabel.
"Isabel, aku bisa menjaga diriku sendiri. Kau bisa pergi dengan tugasmu sebagai polisi," kata Axelia. Isabel berkedip kaget. "Bagaimana kau bisa tahu aku seorang polisi?" sahutnya keheranan.
"Aiden pernah mengatakan kalau dia punya adik sepupu yang bekerja di kepolisian. Dan ternyata tebakanku benar," jawab Axelia santai, diiringi senyum kalemnya.
"Ugh." Isabel mengedarkan pandangan ke sekitar kamar sempit ini. Kamar dengan dua ranjang terpisah, satu lemari dan sepasang jendela. "Apakah kotak di atas nakas itu milikmu?" lanjut Isabel.
"Kotak?" Axelia memiringkan kepalanya. Dia tak pernah ingat memiliki sebuah kotak atau seseorang memberikan benda kepadanya. Segera saja Axelia meraih kotak pandora itu dari nakas tempat tidurnya.
Dia memangku sebelum membuka kotak itu. Tangan putihnya meraba sesuatu di dalam kotak dengan pelan dan hati-hati, dan menemukan sebuah benda dingin. Axelia mengeluarkannya dari dalam kotak. Meraba seluruh permukaan benda dingin itu.
"Wow indah!" kagum Isabel.
"Benda apa ini Isabel?" Axelia sulit menerjemahkan indra perabanya mengenai benda yang dipegang ini. Bentuknya melingkar dengan ukiran seperti akar, lalu ada bagian depannya bergelombang.
"Axelia, sepertinya aku tahu benda ini cocok untuk apa," kata Isabel.
"Memangnya untuk apa?"
Isabel mengambil benda bermaterial besi ringan itu, dan kemudian dipakaikan ke kepala Axelia. "Selesai!" Isabel mundur agar dapat melihat keseluruhan penampilan Axelia. "Wah! Kau tampak cantik! Siapa yang membuat blind mask itu?" pukau Isabel dengan mata cokelat yang berbinar.
Axelia menyentuh benda ini. Benda yang merangkap kain penutup matanya. Terasa sangat pas. Tidak kebesaran maupun kekecilan. Seolah-olah dibuat khusus untuk bentuk kepalanya.
"Ada segulung perkamen di dalam kotaknya!" kata Isabel. "Coba dibuka Axelia." Dia antusias sekali.
Jika gulungan kertas ini berisi tulisan, Axelia berniat akan meminta Isabel membacakannya. Karena dia takkan bisa meraba bentuk huruf di dalam kertas itu. Isabel yang duduk di samping, mengintip ke gulungan kertas itu. "Apa kau bisa membaca, Isabel?" ujar Axelia.
"Aaah, untuk tulisan yang seperti itu, aku tidak bisa membacanya. Kau sudah mempelajari tulisan braille kan?"
Axelia tergemap. Tulisan braille. Lantas dia meletakkan jemarinya di atas kertas. Merasakan setiap bentuk huruf di kertas itu. Segaris senyum terbit di bibir pucat Axelia.
'Pakailah blind mask dariku. Ini bukan ucapan selamat tinggal. Aku akan kembali memjemputmu untuk memenuhi janjiku yang belum tuntas.'
Tidak ada nama pengirim. Entah siapa yang menulis. Rasa-rasanya Axelia hanya bisa mengira antara Aiden atau Vincent dari isi kalimat ini.
***
"Vincent, kenapa kau tidak turut membawa Axelia ke tembok Berlin?"
"Untuk sementara di sana lebih aman."
"Rumah mendiang ayahmu?" tebak Hannah.
"Ya."
Di tempat lain, seseorang mengetuk pintu kamar Axelia. Membuat percakapannya dengan Isabel terhenti. Isabel berdiri untuk membuka pintu. Kemudian wajah seorang pemuda terpampang di depan mata. "Kau siapa?" tanya Isabel. Matanya menilik dari atas ke bawah.
Pemuda itu berseragam militer biru tua lengkap dengan senjata pedang di pinggang. Jelas bukan seragam kepolisian militer seperti dirinya yang berwarna krem.
Sekilas dia melirik ke dalam ruangan. Axelia nampak duduk tenang di sana. Pemuda ini tersenyum ramah dengan mata sedikit melengkung bak bulan terbalik. "Seperti yang sudah diperkirakan. Kau Isabel kan? Aiden memintamu untuk menjaga Axelia bukan?" kata pemuda ini.
"Ya, benar. Siapa kau!" desak Isabel waspada. Namun, senyum pemuda itu tidak luntur. "Biarkan aku bicara sebentar dengan nona Axelia," katanya.
Isabel ragu. Sampai suara Axelia menginterupsinya. "Masuklah," ucap Axelia. Dengan tergamam, Isabel membuka jalan, dan pemuda itu melangkah masuk. Dia berdiri tegap dihadapannya. "Aku diperintahkan untuk menjadi pengawal nona Axelia dan membawa anda pindah ke rumah utama. Namaku, Willy."
***