Gollium membawa kedua pria itu masuk lebih dalam ke lembah. Kemudian Gollium berhenti diikuti mereka yang mengekor di belakang. Lengan kurus Gollium itu terangkat lurus, menunjuk arah depan. "Di sana. Mereka dan seorang gadis yang kalian cari," bisik Gollium. Bukan bahasa manusia yang dia ucapkan. Sehingga Aiden tidak dapat memahaminya. Namun, bahasa tubuh yang digunakan Gollium sudah cukup dipahami dengan baik. Membuat Aiden mengarahkan pandangan ke jari yang ditunjuk makhluk ini. Sedangkan Vincent tak mengalami kendala dalam mencerna ucapan Gollium. Dia sedikit mengerti bahasanya.
Belasan warga berkumpul di tengah lembah yang dihimpit dinding tebing. Sebuah kursi batu di tengah-tengah jalur segera diduduki tubuh Axelia oleh mereka. Gadis itu tidak sadarkan diri. Pengaruh dupa membuatnya tidur nyenyak. Seorang Walikota ada di barisan depan bersama tangan kanannya, Ello. Sangat mencurigakan. Aiden hampir saja menerjang keluar dari persembunyian jika Vincent tidak menahannya sejenak. Aiden menoleh ke belakang dengan menatap tajam. "Apalagi yang kita tunggu!" geram Aiden pada pria ini.
"Tunggu sebentar lagi, sepertinya sesuatu akan keluar," jawab Vincent. Aiden tidak percaya bila Vincent orang yang pengecut sehingga harus bersembunyi dibalik semak-semak begini dari manusia di sana.
"Ssst! Jangan berisik!" desis Gollium.
"Apa yang dia katakan?" tanya Aiden pada Vincent.
"Kau terlalu berisik," jawab Vincent dengan muka datarnya. Menarik kejengkelan di benak Aiden. Entah rasanya dia tidak percaya dengan terjemahan itu. Aiden mendengus. Lalu kembali menatap ke depan. Mengamati. "Apa yang sedang mereka lakukan?" curiga Aiden. Kalimat tanyanya segera terjawab ketika bayangan muncul dari arah lain dan melayang-layang diudara. Mata Aiden membeliak. "Makhluk apa itu?" herannya. Belum pernah dia melihat ada makhluk aneh dalam bentuk bayangan udara seperti itu.
"Hantu." Satu kata Vincent menjawab, detak jantung Aiden nyaris berhenti. Yang jelas bukan pertanda baik. "Apa... Maksudmu dengan Hantu?" Lelaki itu bertanya horror.
"Hantu juga bagian dari prajurit Raja Vampir. Seorang manusia hidup adalah pasokan energinya untuk tetap mempertahankan diri di dunia ini," jelas Vincent.
"Lalu, apa yang terjadi pada manusia yang hidup itu?" timpal Aiden.
"Akan mati."
Mendengar kata mati adalah suatu hal yang sensitif bagi Aiden. Kedua tangan di sisi tubuhnya terkepal erat. "Kau ingin mengatakan kalau Axelia akan mati setelah energinya diserap Hantu?" Akhirnya Aiden dapat menyusun puzzle di otaknya sekarang. Tentang kota, penduduknya dan semua kejanggalan di benak, telah tersambung satu per satu hingga menghasilkan sebuah kesimpulan pasti. Aiden simpan itu di lidahnya untuk dikatakan nanti.
Seperti angin yang berputar-putar, makhluk tak berwujud jelas itu melayang mengitari Axelia. Memperhatikan gadis itu lebih cermat. "Dia adalah persembahan dari kami, tuan Hantu," kata walikota dengan senyum manisnya. Sudah lebih dari dua menit Hantu itu memperhatikan Axelia yang masih tidak sadarkan diri. Diam-diam punggung walikota bercucuran keringat. Dia gugup. Karena tidak biasanya persembahan mereka tidak langsung dimakan, melainkan sang Hantu malah berputar-putar tidak jelas di sekitar persembahan. "Apa yang anda tunggu, tuan Hantu?" tegur halus walikota itu. Berusaha bicara hati-hati. Salah kata saja, mungkin nyawa akan terancam.
Pada detik itu sepasang kelopak mata Axelia terbuka perlahan. Kepalanya yang sedikit terkulai miring, diangkat tegak kembali sebelum kesadarannya memahami keadaan sekitar. Lengkingan keras meledak seketika. Hantu itu berteriak tiba-tiba. Teriakannya memekakkan telinga mereka. Angin bertiup kencang seolah badai akan datang. "Tuan Hantu!" seru walikota tidak mengerti melihat Hantu nampak marah akan sesuatu. Apa yang salah? Pria tua itu dapat merasakan deguban jantungnya menjadi lebih cepat.
"Kau!" Suaranya menggeram serak ketika merunduk cepat ke depan wajah walikota. Pria baya itu menahan napas. Menahan gematar kedua kakinya. "Kau menyajikan manusia cacat untuk kumakan?" Amarah meluap seperti air mendidih. Hantu memiliki perasaan dan dia dibuat berang lantaran merasa dilecehkan oleh manusia biadab itu.
Kemarahan Hantu jauh lebih menakutkan daripada Dewa. Lihat saja betapa ketakutannya mereka dihadapan Hantu yang terkutuk. Darah seolah lenyap dari wajah mereka yang berubah pucat. Walikota tahu sejak pertama melihat gadis itu kalau dia buta. Tapi, tidak dia sangka jika menyajikan gadis cacat akan membuat Hantu semarah itu. Walikota tidak tahu ada pantangan demikian.
"Beri aku alasannya!" kata Hantu.
"K-kami tidak memiliki pengembara wanita lain yang bisa dibawa oleh kami," jawab pria baya ini gemetar. Dia menilai tentang Hannah yang terlihat seperti Hyena betina, selalu waspada dan sulit dikelabui. Tidak bisa. Sedangkan gadis buta itu justru kebalikannya. Walikota melihat banyak sekali celah untuk menjadikan gadis itu santapan pengorbanan. Sangat mudah.
"Jadi kalian selalu mengorbankan setiap pengembara wanita yang datang ke kota ini?" Seruan bernada geram menengahi ketegangan mereka. Dapat mereka lihat keberadaan Aiden dan Vincent dari arah timur. Kemudian Aiden berjalan maju. Melenggang berani bak preman pasar meski makhluk Hantu bisa saja menyerang tiba-tiba. "Keparat seperti kalian seharusnya sudah mati!" jengkel Aiden saat berhenti di sejauh dua meter dari perkumpulan warga itu. Dibukanya pedang dari sarungnya. Tidak dua pria itu, tidak pula Hantu, sama-sama datang membawa ancaman. Bagai malaikat maut yang siap mencabut jiwa mereka dari raga.
"Mohon! Ampuni kami!" Sontak Walikota gemuk itu menjatuhkan lututnya ke tanah. Sungguh, setengah abad hidup, dia tidak pernah mencium tanah di hadapan siapa pun. Tapi malam ini berbeda. Tidak ada cara lain untuk selamat dari situasi ini selain bersujud atas nyawa. Sikap tersebut lantas diikuti warganya di belakang. Mereka bersama-sama bersujud dan Walikota sejenak menurunkan sedikit gengsi.
"Padahal kalian hanya manusia rendahan. Bahkan kerikil masih lebih berharga," cela Hantu. Menatap dingin pada punggung-punggung yang bersujud itu. Mengeluarkan aura dingin dan membuat suhu di sekitar bak musim dingin yang menderu. Langit malam sudah mendung setelah awannya menutupi separuh rembulan. Kabut bergerak turun. Menyelimuti udara.
Tanpa menunggu aba-aba lagi, bayangan Hantu melesat cepat menuju warga. Sejenak meninggalkan angin yang menerbangkan anak rambut kedua pria itu. Hanya dalam seperkian detik sebelum melukai warga, dan Hantu itu terpental seketika.
Sang Hantu terdiam kaget mengamati debu yang menggulung di depan warga. Samar-samar wujud seseorang segera terlihat dibalik selimut debu bercampur kabut. Kabut tipis bergerak menepi seakan disingkirkan dengan angkuh oleh sosok di sana. Sosok itu berdiri tegap dengan sebelah tangan memegang benda panjang.
Rahang tegas Aiden terbuka kaget, dengan mata membeliak. Sedangkan Vincent terpegun melihat sosok itu.
***