Setelah pertemuan itu, Anya dan Pasha saling berjanji akan bertemu lagi Jakarta. Kemudian Anya dan Artha kembali Lhokseumawe, karena rencananya esok harinya mereka akan lanjut ke Kualanamu Medan. Penerbangan mereka ke Jakarta rencananya dimulai dari sana.
Di dalam mobil yang membawa mereka berdua menuju Lhokseumawe, Anya sedang intens ber-chat ria dengan Pasha, sementara Artha memilih melamun memandangi jalanan yang kala itu gerimis. Rasanya begitu berat meninggalkan Takengon. Artha bakal merindukan tempat ini. Terutama rindu sosok perempuan berkuda hitam. Di Jakarta mana ada? Yang ada Anya dengan tunggangan mobilnya.
Artha sedikit heran sekaligus kagum dengan Anya. Di Aceh keluarganya termasuk keluarga terpandang dan kaya raya. Namun di Jakarta Anya malah banting tulang dan memiliki mobil hasil jerih payah sendiri. Tinggal pun di rumah kontrakan yang tidak terlalu besar. Meski pun punya kebiasaan suka hura-hura dan clubbing.
Tiba di sebuah rumah besar di Lhokseumawe, Artha sampai mencolek Anya yang tidak sadar juga karena terlalu larut berbalas chat dengan si Pasha bukan 'ungu' itu.
"Udah sampe woi." Artha menyenggol siku Anya yang masih asyik cekikikan menatap layar ponselnya seperti orang gila. "Di rumah lo kayaknya."
Anya mengalihkan perhatiannya dari layar ponselnya.
"Oh iya. Selamat datang di rumah gue." Anya turun dari mobil diikuti Artha.
Sementara sopir ayahnya menurunkan koper mereka.
"Gue lahir dan tumbuh di rumah ini." Anya menginformasikan. Artha celingukan mengamati segalanya. Rumah keluarga Anya cukup besar dengan cat serba putih. Ada taman dengan hamparan luas rumput gajah mini yang tumbuh lebat dan hijau bagai permadani tebal. Tapi tidak terlalu banyak tanaman. Pohon yang ditanam pun pun hanya ada dua, pohon mangga dan pohon flamboyan yang tumbuh besar dan rindang.
"Assalamualaikum!" Anya mengetuk pintu sambil menguluk salam dengan lantang mirip gaya penagih hutang.
"Waalaikumsalaaam!" terdengar sahutan suara seorang wanita dari dalam rumah.
Tidak lama kemudian seorang wanita gendut berdaster panjang bunga-bunga dengan jilbab kuning muncul membuka pintu.
"Ya Allah Cuuut!" Wanita itu langsung terkejut lalu merangkul Anya dengan wajah luar biasa gembira. "Pu habaaaa...kangen kali ama Cut!"
"Cut juga kangen cut dek." Anya menyebut wanita itu cut dek yang berarti tante, sebutan untuk adik perempuan ayah.
"Cut nggak datang sendiri ya? Jih soe?" Tantenya Anya melirik ke Artha sambil tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar dan bertanya 'siapa dia' yang berdiri di belakang keponakannya.
"Kawan aku dari Jakarta lah."
"Jeeeh...bukannya pacar Cut? Si Sultan bilang kamu datang sama pacar..."
"Bukan." Anya ngotot.
"Ayo masuk." Tantenya menarik Anya masuk. Diikuti Artha.
"Tha, ini tante gue tante Hamidah namanya. Adiknya bokap." Anya beralih pada Artha yang lagi bengong sambil mengamati rencong yang digantung di dinding ruang tamu. Membuat Artha ingin membeli rencong untuk cinderamata.
"Hallo tante, saya Artha." Artha mencium punggung tangan tantenya Anya.
"Ganteng kali kok. Kenapa nggak kau jadikan calon suami?" celetuk tantenya spontan. Membuat Anya memutar bola matanya.
Sementara itu Artha cengengesan karena dipuji ganteng.
"Jeeh...jangan asal deh," timpal Anya sambil mencolek pipi gembil tantenya. "Ayah dah jodohkan Cut sama orang lain," tambahnya dengan wajah riang.
"Yang benar?!"
Anya mengangguk.
"Teros kau mau?"
Cut meringis lebar.
"Tumben kali kau mau dijodohkan. Biasanya banyak kali alasan menghindar. Pane uerang? Ganteng? Kiban keluarganya? Apa pekerjaannya?" tantenya menanyakan lelaki pilihan ayah Anya dengan begitu mendetail.
Sementara itu, Artha memilih menyusuri ruangan demi ruangan. Bukannya mendengar obrolan keponakan dan tantenya tentang Pasha. Rumah besar keluarga Anya tampak sepi. Kemana yang lainnya?
Artha lalu menemukan deretan foto keluarga Anya yang tergantung di salah sudut ruang keluarga. Ada foto formasi baru keluarga yang minus Anya di dalamnya, foto pernikahan bang Sultan dan sebuah foto keluarga formasi lawas dengan seorang wanita berwajah kebule-bulean yang sedang duduk memangku bocah perempuan sekitar lima tahunan yang Artha duga itu pasti Anya waktu kecil. Wanita berwajah bule itu pasti almarhumah ibunya Anya, yang konon katanya blasteran Tegal Belanda. Wanita yang mewariskan wajah cantik dan bola mata indah berwarna coklat pada Anya. Di sebelah kiri ibunya tampak ayah Anya yang juga duduk memangku bocah laki-laki tampan yang usianya berkisar delapan hingga sepuluh tahun. Pasti bang Sultan, tebak Artha dalam hati. Dalam bingkai foto itu pak Abdullah Saleh tampak jauh lebih muda dengan sorot mata tajam dan brewok tebalnya yang tetap tidak berubah hingga kini.
"Ini almarhumah nyokap lo?" Artha menunjuk wanita di foto itu saat Anya menghampirinya.
"Iya. Cantik kan kaya itu gue?"
Artha melirik dengan lirikan nyinyir sambil berkata, "cantikan almarhumah nyokap lo kalee!"
"Rese lo." Anya cemberut sambil menuju ke ruangan lain. Di mana cut dek Hamidah sedang menyiapkan minuman dan makanan kecil untuk mereka.
"Rumah lo kok sepi? Pada kemana?" Artha ngintil di belakang.
"Amnesia ya? Bokap sama keluarga kecilnya kan belum balik ke sini. Makanya sepi." Anya tampak nyinyir saat menyebut 'keluarga kecil' ayahnya. Artha kembali manggut-manggut.
Anya benci istri baru ayahnya, Artha bisa melihatnya dengan jelas. Alasannya saja yang Artha belum tahu, tapi tidak ingin mencari tahu kecuali Anya menceritakannya.
Artha jadi ingat saat di Takengon, saat ia sengaja ditinggalkan saat pamit ke kamar kecil. Anya sengaja meninggalkannya untuk pergi meninjau perkebunan bersama ayahnya dan Pasha. Saat itu Artha sempat sebal karena Anya tega tidak mengajaknya ikut serta. Pasti karena Anya takut Artha kan merecoki kesenangannya, maka ia sengaja ditinggal.
Lalu Rahma, istri ayah Anya yang berwajah lembut dan cantik tiba-tiba menghampirinya, mengajaknya mengobrol. Menurut penilaian Artha yang biasa bergaul dengan banyak wanita, Rahma itu wanita baik. Artha bisa membaca karakter wanita itu setelah mengobrol cukup lama. Sorot matanya teduh dan kelihatan sekali kalau Rahma tipekal wanita penyayang sekaligus penyabar. Tetap sabar dan tidak menunjukan emosi sedikit pun meski Anya selalu bertingkah menyebalkan dengannya.
"Cut deek...jangan masak apa-apa ya." Anya bergelayut manja di punggung gemuk tantenya dengan manja.
"Kenapa?"
"Kita berdua mau makan di luar aja nanti malam," Anya menjelaskan. "Aku kangen mie Aceh kepitingnya bang Din."
"Sekalian beli oleh-oleh juga ya?" Artha mengingatkan.
"Tentu."
Lepas solat mahgrib, Anya yang kembali memakai jilbab instan untuk menutupi rambutnya, bersama Artha dan sopir pergi ke pusat kota Lhokseumawe. Menuju ke sebuah kedai Mie Aceh langganan Anya sejak kecil. Kedai bang Din.
Mereka lalu memilih sebuah tempat paling pojok dekat kipas angin dindingnya. Malam itu terasa gerah. Belum makan saja peluh sudah membasahi wajah Artha dan Anya.
"Lo mau yang goreng apa rebus?" Anya bertanya.
"Enak mana?"
"Sama aja enaknya."
"Rebus aja," sahut Artha dengan mata masih memindai segala sudut kedai. Sebelumnya ia sudah pernah makan mie aceh di sebuah kedai mie Aceh di Jakarta tapi akan jauh berbeda rasanya jika makan langsung di daerah aslinya.
"Pedas apa nggak?" Anya bertanya lagi.
"Pedas," jawab Artha mantap sambil mengamati salah satu gambar sepiring mie aceh berukuran cukup besar di dinding kedai. Anya malah tersenyum miring mencurigakan.
"Pake udang, daging atau kepiting?"
"Yang recomended apa?" Artha menatap bingung pada Anya.
"Pake kepiting."
"Ok, pake itu aja."
"Kalau pak Umar pesan apa?" Anya beralih ke sopirnya.
"Mi guréng, udeuëng. Bèk keu'euëng beh," jawab sopir Anya dengan dialek Aceh, memesan mie goreng udang jangan pedas.
"Beh." Anya mengangguk.
Anya lalu memanggil pelayan. "Bang!" Anya melambaikan tangannya.
Anya lalu memesan dua mie goreng, satu pakai udang satu pakai kepiting, lalu mie rebus pedas kepiting dengan bahasa Aceh pada pelayan. Artha cuma manggut-manggut tidak mengerti sama sekali tapi pura-pura mengerti.
Lima belas menit kemudian, pesanan mereka bertiga datang. Artha melotot girang melihat kepiting di atas mie rebusnya. Kelihatannya lezat. Artha sampai beberapa kali mengambil foto-foto mie aceh rebus kepiting pesanannya dan langsung ia posting saat itu juga di instagramnya.
"Sebelum makan tuh baca doa, bukan foto-foto," Anya menyindir nyinyir sambil mulai menikmati hidangannya.
"Biasalah. Buat reportase ke para penggemar gue," Artha menimpali dengan seringai nakal.
What ever! Anya tidak peduli.
Satu suapan, dua suapan, tiga suapan, Artha mulai mengelap wajah merahnya yang penuh peluh karena kepedasan. Berkali-kali juga dia minum. Anya menahan diri untuk tidak tertawa. Anya sebenarnya diam-diam sengaja memesan mie pesanan Artha yang level pedasnya mantap.
"Enak Tha?" tanya Anya sambil menahan tawa.
"Sengaja lo ya, kok pedes banget gini! Rasanya lidah sama perut gue kayak terbakar gini!" Artha protes dengan gusar.
Anya tertawa geli. Sudah tidak tahan lagi.
"Lo sendiri kan yang minta pedas?"
"Yaaa...tapi pedasnya nggak gini amat kale!"
"Gue pesenin susu ya." Anya yang akhirnya kasihan, memanggil pelayan kedai untuk memesan segelas susu untuk penawar rasa pedas.
"Bang, susu hangat satu."
Setelah makan mie Aceh yang pedasnya terkutuk menurut Artha, mereka bertiga lanjut menuju ke pusat oleh-oleh kota Lhokseumawe.
Mereka singgah di salah satu toko oleh-oleh terlengkap yang bernama 'Putroe Atjeh'. Di sana Artha sampai kalap belanja. Beli sepuluh buah souvenir rencong ukuran mini bersama beberapa pack dendeng sapi. Padahal niat awalnya hanya ingin membeli kopi. Namun Anya melarang Artha membeli kopi. Katanya bang Sultan sudah menyiapkan sepuluh pack kopi Gayo untuk mereka bawa pulang. Sebelumnya di Takengon Artha dan Anya juga sempat beli oleh-oleh beberapa helai kain khas Gayo yang disebut kain Kerawang untuk Amor, sang Mamah dan Arini tentunya.
Setelah belanja oleh-oleh, pukul sepuluh malam mereka mampir ke kedai kopi bang Sultan. Nongkrong sambil minum kopi hingga larut malam. Bahkan Artha jadi susah tidur hingga subuh gara-gara ia minum secangkir kopi Gayo dan dua cangkir kopi Robusta ulee kareng.
Pagi-pagi sekali sebelum meninggalkan Lhokseumawe, mereka menyempatkan berziarah sebentar ke makam almarhumah Mamaknya Anya. Memanjatkan doa untuk almarhumah dan membiarkan Anya mengobrol sebentar dengan batu nisan Mamaknya. Pemandangan yang sempat bikin hati Artha trenyuh. Jadi teringat dengan Mamahnya di Bandung yang masih sehat wal afiat bersama Papahnya.
Setelahnya, dengan diantar bang Sultan, mereka lanjut ke Kualanamu, Medan. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih tujuh jam dengan kendaraan pribadi untuk mengejar penerbangan ke Jakarta.
Kenapa mereka tidak ke bandara Malikussaleh saja yang terdekat? Seperti saat kedatangan mereka? Itu karena di hari kepulangan yang telah mereka tentukan jauh-jauh hari memang tidak ada penerbangan langsung dari Lhokseumawe ke Jakarta untuk hari kepulangan mereka. Jadi mereka harus ke Medan terlebih dahulu. Tapi Artha malah senang bisa singgah di Medan, ia jadi bisa beli bolu Meranti yang tersohor itu untuk oleh-oleh.
Pukul tujuh malam pesawat mereka pun lepas landas.
"Sampai jumpa lagi, Aceh," gumam Artha sebelum memejamkan kedua matanya. Mulai mengantuk. Sementara Anya sudah terlelap mendahuluinya.