Cherry tertegun sesaat karena dia merasa ini adalah hal yang sama sekali tak terduga. Berry mengajaknya makan bersama adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lelaki dingin itu seperti tidak pernah terjangkau. Dia seolah tak peduli dengan orang lain dan sibuk dengan urusannya sendiri. Cherry bisa merasakan itu, dan dia tidak pernah mengharapkan hal lebih meskipun Berry terlihat manis ketika mereka pergi bersenang-senang waktu itu.
"Cherry!" panggilan dari arah depannya itu membuat si pemilik nama itu akhirnya terbangun dari lamunannya. Dia berdehem dan mengeluarkan senyum tipisnya sebelum dia berbicara.
"Sorry. Aku ngelamun tadi," Cherry menegakkan tubuhnya dan merasa tak enak hati karena sudah membuat Berry menunggu, "Boleh. Mau makan di mana?" tanyanya.
"Di kafe depan sekolah aja. Mau?" dan dia paling tidak menawarkan. Bukan mengambil keputusan sendiri.
"Boleh." Cherry mengangguk. Barulah setelah itu gadis itu membereskan barang bawaannya dan berdiri. Mereka berdua kemudian berlalu dari sana. Berjalan beriringan sampai di depan kampus.
Ini adalah kali pertama Cherry makan berdua dengan seorang lelaki yang bukan keluarganya. Dia bukannya membatasi pertemanannya, hanya saja dia memang tidak pernah jalan berdua dengan lelaki. Apa Cherry juga belum pernah memiliki kekasih sebelumnya? Jawabannya sudah pasti belum.
Ada banyak laki-laki yang mendekati dirinya, tapi dia tak pernah memikirkan sampai dia memiliki salah satu dari mereka untuk dijadikan sebagai seorang kekasih. Dia terlalu cuek sejak dulu. Jomblo bukan sesuatu yang menyedihkan baginya. Toh dia bahagia dengan keadaanku yang seperti itu. Lalu bagaimana dengan orang tuanya, atau kakaknya? Apa mereka juga membatasi Cherry dalam masalah asmara?
Jawabannya tentu saja tidak. Mereka tidak pernah melarang Cherry untuk memiliki pacar. Seperti orang tua yang lainnya, yang terpenting putri mereka bisa menjaga dirinya, maka hal-hal semacam itu tidak menjadi masalah.
"Kamu nggak ada kelas?" mereka sudah sampai di kafe. Duduk berhadapan dan Cherry yang memulai obrolan.
"Aku telat. Jadi aku harus menutup pintu dari luar." Ada banyak sekali dosen yang memiliki kedisiplinan yang tinggi. Ada juga yang masih bisa diajak negosiasi. Dan sepertinya, Berry sekarang ini sedang mengalami kesialan.
"Tapi bisa mengganti di kelas beliau yang lain kan?"
"Aku nggak yakin. Aku akan menemuinya nanti." Berry sebenarnya juga tak ingin melewatkan satu kelas pun selama dia kuliah. Tapi apalah daya, peraturan tetaplah harus dijalankan. Dia telat, dan dia tak diizinkan masuk. Itu adalah peraturan yang sudah disepakati oleh seisi kelas, pun dia juga sudah menyepakatinya.
Makanan datang. Mereka memesan makanan yang sama yaitu chicken teriyaki. Dengan jus avocado untuk Berry, dan jus mangga untuk Cherry. Suasana di sekitar mereka juga sudah ramai. Bahkan ada beberapa kenalan Berry yang ada di sana dan menatap lelaki itu berkali-kali. Kemudian sepertinya mereka membicarakan lelaki itu. Tentu saja ini adalah pemandangan yang berbeda yang pernah mereka lihat. Karena apa? mereka tahu bagaimana Berry ketika di kampus. Dia terlalu cuek dan tak peduli dengan sekitarnya. Ada banyak perempuan yang biasanya ingin mengambil kesempatan untuk mendekati lelaki itu, tapi Berry selalu bisa menghindar.
Hanya dengan satu tatapan tajam yang mematikan, Berry bisa membuat mereka kabur karena ketakutan. Tapi sekarang, lelaki itu justru duduk berhadapan dengan gadis cantik dan makan berdua. Meskipun interaksi mereka terlihat masih kaku, bukankah ini sesuatu hal yang langka?
"Pasti ini pertama kalinya kamu nggak diizinin masuk sama dosen?" di sela-sela makannya, Cherry bersuara.
"Benar." Berry mengangguk, "aku selalu berusaha masuk tepat waktu tapi hari ini memang keadaannya berbeda." Secara tidak langsung, sebenarnya Berry sudah menyerempet pembahasannya ke arah kehidupan pribadinya.
"Kenapa?" Cherry sebenarnya mempertimbangkan untuk mengeluarkan pertanyaan itu. Dia takut jika akhirnya terlihat ingin tahu urusan orang lain, karenanya dia buru-buru mengoreksi, "Sorry, aku nggak bermaksud ingin ikut campur."
Dan bukannya menjawab, Berry justru menatap Cherry dengan lekat. Mulutnya masih mengunyah, kedua tangannya masih memegang sendok dan garpu, membuat Berry terlihat, entahlah, menawan sekali. Padahal hanya seperti itu saja kan.
"Ibuku masuk rumah sakit." Cherry terkejut mendengarnya, "dan aku menunggui beliau sejak semalam."
"Aku harap itu bukan sakit parah."
"Lambung." Cherry pernah mendengar dari beberapa orang, jika penyakit lambung itu sangat mengerikan. Sakit sekali.
"Aku harap beliau cepat sembuh." Tak ada yang bisa Cherry katakan lagi selain hanya doa. Dia bukan orang yang akan sok panik dan mengatakan untuk menjenguknya atau kata-kata lain yang terlihat pencitraan. Hubungan dirinya dengan Berry juga tak sejauh itu sampai dia harus melakukan hal semacam itu.
"Terima kasih." Jawaban Berry kemudian.
---
Seperti yang sudah dia janjikan sebelumnya kepada sang bunda, Berry kembali setelah menyelesaikan kegiatannya seharian ini. Membawakan sebuket bunga untuk beliau yang memang sangat menyukai bunga. Dan hal kecil seperti itu sudah membuat ibu Berry tersenyum lebar dengan rasa bahagia. Terlihat dari ekspresi wajahnya.
"Udah lebih baik, Ma?" tanyanya sambil duduk di kursi di dekat ranjang.
"Ya. Mama sudah lebih baik sekarang. Perut Mama udah nggak terlalu sakit lagi." wanita itu tersenyum dan membuat putranya sangat lega. Berry tak mendapati ayahnya di kamar tersebut dan dia tak tahu di mana keberadaan sang ayah. Tak ada niatan Berry untuk bertanya.
"Jadi, kamu bekerja setelah kuliah?" ibunya mengawali obrolan. Beliau harus bertanya banyak hal kepada putranya itu atau dia tak akan tahu apapun tentang Berry selama ini.
"Iya, Ma."
"Kamu nggak lelah berjuang sendiri?" itu adalah salah satu cara bujukan dari seorang ibu. Dan beliau tak akan pernah menyerah dengan semua ini. Putranya harus kembali ke rumah dan tidak boleh terlalu jauh dari dirinya. Ini adalah kesempatan emas untuk beliau membujuk Berry.
"Aku udah biasa, Ma." Tanggapan Berry justru sangat santai, "Dua tahun menjalani sendiri dan aku udah terbiasa." Berry mengatakan dengan tegas dan tak ada keraguan sedikitpun.
"Bagaimana kalau Mama minta kamu pulang? Tinggal lagi dan berkumpul bersama Mama dan Ayah. Mau kan?" Berry menatap ibunya tanpa mengatakan apapun kepada beliau. Lelaki itu hanya sanggup diam tanpa memberikan jawaban.
Berry tahu apa yang akan terjadi jika dia kembali ke rumah. Dia bisa saja akan bertengkar dengan ayahnya jika ada kesempatan. Ayahnya pasti akan selalu membahas tentang dirinya yang harus menjadi pengusaha yang hebat, pemimpin yang luar biasa, dan harus mengambil kuliah bisnis. Itu dulu sering dikatakan oleh ayahnya, dan pilihan itu bukanlah yang diinginkan oleh Berry. Dia sudah melangkah sejauh ini, kalau dia berakhir dengan kungkungan ayahnya, itu akan membuat perjuangannya sia-sia.
"Mama nggak perlu lagi membahas ini sekarang. Fokus saja pada kesembuhan Mama." Berry tak bisa untuk mengelak. Karena itu adalah senjata yang dimiliki untuk sebuah penolakan.
*.*