Satu-satunya ingatan yang Redd miliki tentang orang tuanya adalah bahwa mereka sering menghabiskan waktu di kebun yang ada di depan rumah mereka; itu satu-satunya hal yang bisa ia miliki, karena semua ingatan itu tersisa seperti kepingan dan memudar seiring pertumbuhannya. Memorinya hanya sebuah tong kosong saat ia membuka mata untuk pertama kalinya di atas ranjang para biarawati di gereja. Yang ia tahu adalah bahwa orang tuanya membuangnya di depan pintu gereja bersama adiknya dan para biarawati berbaik hati merawatnya setelahnya.
Tahun-tahun kemudian lebih terasa seperti air, ia tahu siapa namanya dan adiknya setelah bertanya pada para biarawati; mereka bilang orang tuanya meninggalkan surat yang berisi namanya; tapi hingga ia pergi dari tanah Vatikan tak pernah sekalipun ia memintanya. Ia tidak tahu kapan ia lahir, dari mana ia berasal atau bagaimana ia berakhir dibuang di sana. Namun tak sedikitpun terbesit sebuah rasa penasaran, kadang saat ia memandang cermin ia mencoba mencari kemiripan antara dirinya dengan kedua orangtuanya; berpikir siapa yang memiliki mata yang sama dengannya atau hidungnya; siapa yang mewarisi rambut gelap itu atau jutaan hal lain yang ada dalam dirinya. Redd tumbuh dengan pikiran bahwa ia tidak diharapkan, maka ia tidak pernah sekalipun mencari atau menoleh kebelakang—membuka dalam ingatan siapa ayah dan ibunya; sedikitpun tidak pernah.
Maka kini ia merasakan sebuah rasa sakit dan kekosongan saat ingatan yang hilang itu membanjirinya, matanya melihat kembali, kulitnya merasakan lagi; kenangan kejam tentang masa lalunya sebelum ia melupakan segalanya dan hal-hal sebelum itu. Ayahnya, ibunya, rumahnya—ia menginggat semuanya.
Justin masih berada dalam posisinya, duduk di kursi dengan wajah tenang. Tangannya terlipat di dada dan Redd enggan menatapnya. Walau air matanya mengalir lebih banyak setelah kisah pria itu diutarakan, Ratu itu masih enggan menoleh.
"Apa Anda tidak ingin memandang saya?" suaranya terkendali. "Tahukah Anda? Wajah ayah Anda begitu mirip dengan Anda, saat pertama melihatnya saya begitu terkejut."
Redd masih diam.
Justin tersenyum kecil, mengubah duduknya menjadi lebih santai, "Apa Anda ingin saya menceritakan hal lain? Saya yakin Anda penasaran dengan hal lain kan? Saya dengan senang hati akan menceritakannya jika itu bisa menghibur Anda."
Ajudan Raja itu terkekeh pelan saat melihat Redd masih memalingkan wajah.
"Anda benar-benar tidak ingin menatap saya ya? Padahal saya berpikir untuk menceritakan pada Anda tentang pria yang melukai leher anda tempo lalu."
Ratu itu mendongak dengan cepat, "Apa maksudmu?"
Wajah Justin berkerut dengan keheranan yang lugu, "Hm?"
"Kau, bagaimana kau tahu tentang itu?"
"Penyerangan Anda maksudnya?" tanya Justin lagi. Lantas pemuda itu tertawa kecil saat melihat wajah Redd. "Kerajaan sangat buruk dalam menangkap penjahat. Bukankah sudah jelas?"
"Apa?!"
Ajudan Raja itu tertawa kembali, menumpu lengan di atas paha dan mencondongkan badan, "Kenapa Anda tidak melihat saya lebih dekat Yang Mulia?"
Redd diam sesaat, untuk pertama kalinya sejak Justin masuk ia memandang wajah pemuda itu lekat. Meniti bibirnya, ke hidung dan matanya. Melihat lekat-lekat dan terkesiap kemudian, "Ti-tidak mungkin," nada Redd adalah penolakan. "Itu tidak mungkin, pria itu bermata hijau. Tidak mungkin."
Justin mencebik sesaat, melepas desahan mengejek sebelum bersandar di kursinya, "Saya tidak percaya Anda begitu naif," pemuda itu mendesaukan tawa; mengelap tangan ke kain celana sebelum membuka kelopak matanya lebar, mengarahkan jari telunjuknya ke mata dan melepas sebuah kontak lens warna biru.
"Harusnya Anda mengenal saya lebih dekat Yang Mulia," Justin tertawa dingin; menatap Redd dengan mata hijau berkilat yang membuat Ratu itu gemetar ketakutan. "Karena sejak awal saya selalu ada di sekitar Anda."
..
"Kami menemukan mereka."
Richard yang sedari tadi menunduk di meja mendongak dengan cepat, memandang pada salah seorang anggota kelompok tujuh yang menghampirinya.
"Dimana?"
"Sebuah pelabuhan di utara Pebios."
"Kita kesana," nada Richard tegas tanpa keraguan. "Bawa pasukan."
"Saya rasa akan lebih baik membawa beberapa orang dari kelompok tujuh," Charles yang sedari tadi diam membuka suara. "Atau membawa kelompok intelijen. Kita tidak tahu dengan kemungkinan siapa saja yang ada di sana, saya rasa bukan hal bagus jika ada warga sipil yang melihat Yang Mulia."
Richard diam sesaat, merenungkan pemikiran yang mendecap logis itu, "Baiklah. Tapi aku tidak mau kegagalan, jika memang Redd ada di sana aku ingin dia dibawa padaku. Bagaimanapun caranya."
Anggota kelompok tujuh itu mengiyakan dan mundur, sementara pintu tertutup di belakang mereka baik ia maupun Charles sama-sama terdiam. Menyelami pemikiran yang sama dengan pandangan berbeda.
"Kenapa bisa Andrew?" tanya Richard setelah keheningan panjang yang berat.
"Sudah begitu sejak lama Yang Mulia," ajudan itu diam," Saya tidak memiliki keberanian untuk memberitahu Anda. Ayah Anda berusaha menjauhkan Anda darinya saat muda, tapi sebagaimana yang kita tahu. Pemaksaan darinya hanya akan membuat Anda mendekat."
"Karena aku membenci pria itu dengan segenap hatiku," Raja itu memejam. "Dia lemah. Ayahku terlalu lemah."
Senyum tipis terbit di wajah tua itu, "Beliau tidak selemah itu di dalam. Anda harus mengetahui itu. Beliau hanya suka bergerak dalam latar belakang."
"Itu sebabnya dia mendekatkan aku pada Louis," Raja itu menangkap maksud kalimat Charles. "Membuat Louis menghabiskan separuh masa remajanya dengaku, begitu?"
"Ya."
Hening lagi.
"Aku merasa begitu marah padamu Charles," Richard memulai. "Pada kelompok tujuh, pada kebongan ini dan Louis," yang akhirnya membuka diri tentang siapa dirinya. "Tapi ...."
"Tapi Yang Mulia?"
Helaan nafas. "Kau adalah ayahku juga. Sejauh yang aku tahu dan akan selalu begitu. Karenanya aku meminta padamu untuk membuka semuanya, kebohongan ini; maukah kau melakukannya, Charles?"
Pria yang telah melayani kedua Raja Chevailer itu mengangguk, memandang Richard mantap dengan keyakinan tak tergoyah. "Itu adalah hutang saya. Saya berjanji akan memberikan apapun yang ingin Anda tahu setelah semua ini."
Richard tersenyum, hendak mengucap terimakasih sebelum pintu terbuka dan kepala menjulur kedalam-Howie-jika Raja itu benar akan namanya.
"Helikopternya sudah siap," pria itu memulai. "Anda siap berangkat."
"Bagaimana denganmu?" Charles bertannya tenang.
"Saya harus berada di sini untuk Kylie dan Leo," Howie berdiri tegap. "Tapi Sir Louis sudah ada di sana, begitupun dengan Jerome dan Gwen." istri Louis yang mengejutkannya dengan pengakuan bahwa ia juga anggota kelompok tujuh.
Raja Muda itu mengangguk, bangkit dan berjalan keluar tanpa suara. Di atap rumah sakit helikopter sudah siap terbang; angin keras baling-balingnya memutar angin malam menjadi hembusan membekukan. Richard mendekat dengan cepat, masuk dan menutup pintu. Ia memaksa Charles tinggal;tidak mau menyeret pria yang usianya melebihi lima dekade itu untuk ikut. Pria itu mungkin membohonginya, tapi ia ingin melihat kejujuran seorang diri.
Karena sejujurnya dadanya masih terbakar oleh amarah dan penghianatan; maka sebelum ia menatap Redd dengan netranya sendiri, ia tidak mau memaafkan siapapun.
Tidak siapapun.
...
Chevailer, Alexandra Bridge
Justin mengumpat saat sepeda yang dikendarainya nyaris selip dijalan; mobil agen kerajaan mengejarnya dibelakang dengan sirine bergaung keras. Membantig setir ke kiri ajudan Raja itu meloncat dari sepedanya, membuat kendaraan itu jatuh begitu saja di jalan dan berlari menerabos lalu lintas, mengabaikan umpatan dan suara klakson mobil yang memprotes tingkah ugal-ugalannya. Nafasnya berderai berat, namun Justin tidak berhenti. Ia membenarkan maskernya yang nyaris melorot dan menikung di antara dua mobil yang ikut dalam kemacetan parah Alexandra Bridge,yang diblokade paksa karena mengejarnya.
"Berhenti disanan!"
Pemuda itu mengumpat lagi, mendesah nyaris frustasi saat melihat beberapa orang polisi dan keamanan mencegatnya di ujung jalan. Ditambah lagi beberapa kepala yang melongok dari mobil sepertinya menyadari bahwa ia adalah sosok yang dikejar, dan beberapa dari mereka ikut keluar mobil untuk menangkapnya. Terdesak oleh situsasi, Justin melihat ke kanan dan kirinya. Meloncati pagar yang membatasi jalan raya jembatan dan trotoar kecil di sisinya, lantas ajudan itu menaiki pembatas. Melempar seringai pada agen Kerajaan yang panik dan melemparkan dirinya—untuk jatuh tanpa beban menuju aliran sungai Alexandra.
Suara deburan air dan buih mengisi pandangan dan pendengaran Justin begitu tubuhnya menyentuh dinginnya aliran air gelap sungai terbesar di Chevailer itu, menjejak air kuat Justin kemudian berenang menuju ke bawah penyangga jembatan yang gelap dan menepi ke tanah berumput. Ia mengatur respirasi sesaat, melongok pada polisi yang berdiri di tepi jembatan dan menyorotkan senter ke sungai untuk mencarinya lantas berlari menuju ilalang yang rimbun di tepian sungai. Seraya tetap memastikan bahwa ia tersembunyi di antara rimbun tumbuhan, Justin mengeluarkan ponsel dari sakunya-yang untungnya masih hidup-dan menyekanya dengan tangan. Mengetik nomer yang ia hapal dan menyerobot panggilan itu bahkan sebelum sosok di seberang menjawab.
"Jemput aku di lokasi yang aku kirim," Justin menggertakan gigi. "Dan beli mayat di markas para underground itu, aku butuh melihat diriku mati di sungai."
...