Télécharger l’application

Chapitre 44: Rumah Kelompok 7

Redd tengah duduk di dapur menonton pertunjukan masak Kylie saat suara bel terdengar dari pintu depan, kedua wanita yang asik bergosip sambil tertawa itu seketika diam; saling berpandangan.

"Siapa?" tanya Redd.

"Saya tidak tahu Yang Mulia," Kylie menaikkan bahu. Mengecilkan kompor dan melepas apron.

"Haruskah kita buka?" Ratu itu memastikan.

"Saya rasa jangan, Howie tidak ada di rumah," nada Kylie ragu. "Saya akan memanggil Leo untuk membukanya."

Redd mengangguk, memandang saat wanita yang lebih muda darinya itu berderap ke lantai dua. Lantas beralih lagi saat suara bel terdengar makin keras;jelas tamu itu sangat tidak sabaran.

Teriakan jengkel Leo kemudian terdengar saat ia terpaksa keluar dari kamarnya dan diseret Kylie untuk membuka pintu, headphone masih tergantung di leher pemuda itu dan sungutan di wajahnya tampak ketara.

"Aku harus menyelesaikan levelnya," Leo menggerutu. "Aku bisa kalah."

Kylie melotot. "Buka. Sebelum aku hancurkan gamemu."

Pemuda setengah Asia itu memberengut, dengan jengkel berjalan ke pintu dan membuka pintu keras-keras. Wajahnya kusut dan siap untuk bersikap ketus pada siapapun tamu yang datang ini sebelum dirinya terpaku; menunduk dengan mata melebar kala merasakan sengatan rasa sakit di perutnya yang kini ditusuk oleh pisau.

Pria di depannya berpakaian serba hitam, dengan rambut pirang dan mata hijau. Leo bergerak cepat dengan mencoba mencabut pisaunya; tapi ia kalah telak. Pria itu memutar mata tajam besi di perutnya dan menendangnya hingga tersungkur. Pemuda Asia itu berdeguk gelisah, bibirnya membuka mencoba menyuakan sesuatu namun gagal. Yang tersisa hanya tangannya yang mencoba menahan langkah si pria dan teriakan Kylie saat melihatnya.

...

Tidak ada kata berpikir dua kali saat Richard mengambil mobil milik pengawalnya dan mengendarainya ke lapangan udara pribadi istana. Ia hanya memberikan perintah untuk mengelurkan helikopter dan dengan mengajak satu asisten pilot ia membawa helikopter itu terbang melintasi laut sempit diantara Pebios dan Desmarais.

Dalam pikirannya isi pesan singkat itu terus terngiang jelas; seperti sebuah debum gema yang meyambangi sepanjang malam. Ia tahu itu jelas bodoh; banyangkan bagaimana jika pesan itu adalah tipuan dan ia hanya akan menemukan sekumpulan pemberontak yang menodongkan pistol padanya? Tapi Richard akui ia hanya naif, nama Redd seolah menyetel sebuah tombol tumpul di kepalanya dan membuatnya menjadi gegabah.

Melupakan Charles dan bahkan pengawalnya, mengendarai transportasi udara ini sendirian.

"Kita mendarat di sana," ia memberi kode pada asisten pilotnya untuk mendaratkan helikopter di atas sebuah lapangan yang gelap di malam hari. Tanpa bicara asisten pilotnya mengiyakan dan setelah beberapa menit helikopter itu berdiam dengan mulus di atas rumput pendek lapangan.Richard menoleh, melepas earphonenya. "Bawa ini kembali ke Desmarais."

Asisten pilot itu tampak terkejut. "Lalu Anda?"

"Ada yang harus aku lakukan. Kembalilah dan jangan memberitahu siapapun soal ini. Mengerti?"

"Ya, saya mengerti," pria bersurai merah itu memilih mengangguk menuruti perintahnya.

Maka Raja itu meloncat turun, berlari melintasi lapangan dan berjalan menuju jalan raya yang lenggang di seberangnya. Ia menoleh sedikit, lantas menyadari jika lapangan ini mungkin adalah bagian dari bangunan sekolah yang ia lihat berdiri di kejauhan.

Tapi masa bodoh, ia akan memikirkan itu nanti.

Melirik jam tangannya sekilas, Richard mencoba mencari kendaraan-taksi, bus atau apapun-untuk membawanya ke tujuan. Rumah lama kelompok tujuh.

Ia tahu tentu saja, dokumen-dokumen yang berada di tangannya memberi sebuah informasi yang kini melekat di otaknya. Maka bukan hal sulit, karena setelah melewati sebuah belokan dan jalan panjang pusat kota nyatanya cukup dekat; walau rupanya tentu tidak sebesar Desmarais. Raja itu menemukan beberapa taksi yang lewat, menyetop salah satunya dan naik dengan bantingan pintu.

"Kemana?" tanya si supir yang memakai topi baseball. Richard menyebutkan alamat yang langsung membuat si supir mengerutkan kening. "Itu jauh sekali bung."

Richard mendesah, merogoh saku mencari uang dan hanya menemukan beberapa lembar dollar—yang sungguh ajaib bisa ia miliki—ia kemudian melepas jam tangannya, melemparnya ke depan bersama dengan uangnya. "Aku akan memberimu lagi saat kita sampai."

Si supir diam sesaat, mengamati wajahnya lamat-lamat, "Wajahmu tidak asing?"

"Siapapun itu, hanya kebetulan," sahut Richard cepat. "Aku terburu-buru tolong. Aku butuh tiba disana secepat mungkin."

Si supir seperti menimbang-nimbang, diam sesaat sebelum menghela nafas acuh dan menjalankan mobil. "Aku menunggu bayaran akhirnya."

Richard mengangguk, menyandarkan diri di kursinya dan memandang keluar jendela. Menuju ke tempat dimana harapan yang ia gantungkan mungkin dapat terwujud. Walau ia tidak tahu apakah itu kebenaran atau kebohongan.

Bayangan kota dan lampu silih berganti menerpa wajahnya, dalam kediaman lamunan Richard tersentak saat mendengar debur ombak yang menghantam dan menyadari bahwa kini ia telah melaju di jalanan tepi pantai Pebios. Dikejauhan ia bisa melihat deretan rumah-rumah pinggiran laut yang bersinar temaram; memejamkan mata dengan angan penuh dan bertannya apakah disalah satu tempat itu ada sosok yang begitu ia rindukan.

"Yang mana rumahnya bung?" si supir taksi bertannya saat mereka memasuki jajaran hunian pantai itu.

Mata Richard memicing, memperhatikan nomor rumah satu-satu, "Aku rasa masih diatas."

Si supir melirik dari spion dengan jengkel, tapi tetap menurut untuk melaju menaiki tanjakan. "Tidak ada rumah lagi." ujarnya saat jalanan berpasir itu terputus di ujung dermaga.

"Harusnya ada aku yakin—"

"TOLONG!"

Suara teriakan dan tembakan yang terdengar begitu keras menghancurkan lanjutan kalimat Richard dan membuat supir taksi itu berhenti mendadak. Selepas bunyi decit ban keduanya terjebak dalam keheningan, saling memandang sebelum dengan cepat Raja itu keluar mobil dan berdiri memandang kegelapan.

Lantas suara tembakan terdengar lagi, kali ini Richard mengenali sumber suaranya dan dengan segera menaiki jalan tanjakan di sisi dermaga yang ternyata terhubung dengan tangga kayu sebuah rumah. Richard melarikan kakinya secepat yang ia bisa, tersengal begitu mencapai puncak dan bergegas menuju pelataran rumah yang menyala kekuningan.

Rumah kayu itu bertingkat dua, dengan cat biru dan halaman luas. Pintu rumahnya terbuka lebar dan Richard nyaris panik saat menemukan tubuh seorang pemuda tergeletak bersimbah darah di ambangnya.

"Bangun!" ia membungkuk di tanah untuk meraih pemuda itu dan memandang wajahnya yang sepucat sprei. "Kau bisa mendengarku? Bangun!"

"To-tolong," ia menatap Richard denngan pupil melebar sebelum mencengkeram tangannya dan berdeguk dengan suara habis. "Tolong, ak-aku mohon, di dalam."

"Kau terluka," nada Raja itu berusaha tenang seraya menekan perutnya yang masih mengalirkan darah. "Kau harus diatasi."

"Ti-tidak ada waktu," pemuda itu nyaris menangis. "Di-di dalam. Yang Mulia Ratu."

Richard membeku. Matanya dengan cepat beralih pada wajah Asia itu. "Ap-apa?"

Sebelum si pemuda menjawab, suara terkesiap keras disusul jatuhnya seseorang membuat Richard menoleh. Ia menatap si supir taksi—yang sepertinya menyusulnya—dan bergerak cepat. "Kau disini," Richard berujar. "Hentikan pendarahannya."

"Ap-apa?" si supir taksi menggeleng masih dalam posisinya yang terduduk kaget. "Aku tidak bisa."

"Hanya hentikan," Raja itu berujar lagi. "Tekan lukanya dan hubungi bantuan. Cepat!"

Si supir taksi gelagapan, tapi mendekat lantas bersimpuh. Menekan luka si pemuda, sementara Richard berderap ke belakang dan menyusuri lorong rumah yang berantakan menuju dapur. Sayangnya, keadaan di sana juga tidak lebih baik; ruangan itu hancur total. Dengan piring-piring yang pecah, meja yang terbalik dan seorang wanita yang berbaring dengan posisi janggal.

Richard mengangkat wanita itu ke pangkuan dan menyingkirkan anak rambutnya. "Hei, kau dengar aku?" Raja itu menepuk pipinya. "Kau bisa mendengarku?" Mata wanita itu lebam di satu sisi, sementara nafasnya semai nyaris berhenti. "Sadarlah!"

Richard mengumpat frustasi, seraya memastikan bahwa wanita itu tidak berdarah, Raja itu mengambil ponselnya di saku. "Charles," ia menyela cepat sebelum si pengangkat panggilan berujar.

"Ya, Yang Mulia?"

"Aku mau kau pergi ke rumah lama kelompok tujuh."

Hening sesaat. "Maaf?"

"Aku tahu kau mengerti Charles, rumah lama kelompok tujuh. Cepat! Bawa tim medis dan apapun. Cepat!"

....


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C44
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous