Télécharger l’application
5.45% Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride) / Chapter 3: 003 : Aku Adalah Hak Raja

Chapitre 3: 003 : Aku Adalah Hak Raja

Richard berjalan ke arah kamarnya dengan langkah tergesa, kepalanya mundur kebelakang dengan agak berlebihan. Karena sibuk meghindari aksi anarkis Redd digendongannya. Wanita itu tidak menggerakkan kepalanya, namun ia terus memukulkan kepalan tangannya ke punggung Richard dan masih sibuk melanjutkan omelannya. Jujur, Richard keheranan. Mungkinkah wanita ini lupa lagi kalau dia itu seorang Raja?

Dua bodyguard di depan kamarnya membukakan pintu begitu ia tiba di depan kamar, wajah mereka keheranan namun mereka tetap diam tidak bertannya.

"Tolong jangan biarkan siapapun masuk ke dalam, oke? Kecuali itu para pelayan yang akan mengantar air nanti," titah Richard sebelum pintu kamarnya tertutup.

Ia kemudian berjalan ke arah ranjang, dan mendudukkan wanita itu di sana. Տementara ia bangkit berdiri di tepi ranjang, punggung raja itu membungkuk ke arah Redd. Berusaha untuk tidak menarik telinganya.

Redd sendiri memalingkan muka, ia marah karena rajanya menggendongnya tanpa izin dan lebih parah lagi ia benar-benar merasa malu karena ia sudah bertindak kurang ajar kepada seorang Raja. Ia tidak bisa lupa karena ia berada dalam posisi yang tidak layak dengan orang nomor satu Chevailler.

Richard sendiri lebih memilih menghadap depan, menatap wajah wanita di depannya lekat. Ia tak mengalihkan perhatian sama sekali, bahkan walau kemudian pintu terbuka dan beberapa pelayan masuk.

"Yang Mulia, dimana kami harus menaruh ini?" tanya seorang pelayan wanita.

"Taruh di nakas," jawab Richard cepat.

Pelayan itu mengangguk patuh, ia kemudia menaruh baskom di atas nakas. Diikuti dua pelayan lain yang menaruh sebuah baki kayu kotak yang berisisi kompres, salep dan kapas. Pelayan itu pergi setelah membungkuk rendah dan keheningan yang panjang muncul kemudian.

"Apa kau baik-baik saja?" Richard bertannya memecah sunyi.

Redd melirik sesaat, "Ya, ya. Aku baik."

Richard menaikkan sebelah alis, "Aku?" ia tertawa kecil. "Kau panggil aku pencuri tadi, dan kau masih memakai kata; aku?"

"Aku tidak akan minta maaf" bisik Redd.

Richard tersenyum, tapi tidak berkata apapun. Dengan tangannya yang panjang, ia meraih baskom di nakas. Disusul bakinya, dan menaruhnya di sisinya. "Ini akan sakit," ucap Richard sembari tangannya sibuk memasukkan kompres dalam air panas. "Aku akan pelan."

Redd hanya diam, matanya melirik penasaran pada kegiatan sang raja. Namun ia segera melihat samping ketika Richard mendongakkan kepalanya. Richard terkekeh, setelah itu tangannya mulai meraba telinga Redd pelan. Redd sendiri sibuk menahan detak jantungnya, demi seluruh hal yang ada di semesta. Dia sedang berada di poisisi bahaya dengan rajanya, lebih lagi ia bisa merasakan tangan hangat dan lebar rajanya tengah menyentuh telinganya lembut.

Demi Tuhan. Tolong bantu dia bernafas.

Jari-jari Richard mulai mencoba menarik serat kainnya pelan, sesekali matanya melirik Redd untuk mengecek apakah ia kesakitan atau tidak. "Apakah ini sakit?" tanya Richard pelan.

"Tidak."

Raja itu kembali melanjutkan kegiatannya, dengan telaten ia mencoba untuk membuka kaitan anting Redd dan mengeluarkan kainnya yang tersangkut. Redd tidak tahu berapa lama mereka ada diposisi itu, yang jelas ia tersentak kaget saat merasaka benda yang dingin dan lengket menyapa telinganya. Ia mendongak, melihat Raja muda itu tengah membungkuk untuk memberi telinganya salep. Pundaknya pun sudah menjauh, berarti mereka sudah lepas.

"Kau sepertinya bahkan tidak sadarnya ya, jika ini sudah lepas?" tanya Richard dengan tangan yang masih sibuk mengolesi salep.

"Aku sadar kok," jawab Redd cepat. "Aku hanya tidak mau tahu."

"Begitu ya?" guman Richard. " Jadi siapa namamu?"

Redd melirik, "Aku?"

"Ya. Kau."

"Redd Mansen."

"Mansen?" ucap Richard. "Rasanya tidak asing, apa kau berasal dari keluarga militer atau penjabat?"

"Aku berasal dari panti asuhan, aku tidak tahu siapa orang tuaku dan keluargaku kecuali adik perempuanku."

Tangan Richard berhenti bergerak mendengar hal itu, ia kemudia berdiri tegak. Mengamati Redd yang masih sibuk mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Maafkan aku kalau begitu."

"Tidak," ucap Redd acuh. "Itu bukan masalah, mengingat mereka tidak akan membawa duka apapun. Karena aku tidak punya kenangan mereka."

"Jadi kenapa kau bisa ada di kastil ini nona Mansen, dan kenapa kau mengendap seperti maling?" tanya Richard sambil menyingkirkan baskom dan kompres setelah gadis itu menggeleng saat ia akan mengompres telinga gadis itu.

"Pertama Tuan Yang Mulia Raja," Redd mengacungkan satu jari. "Aku adalah pelayan di sini." lantas kemudian ia menarik nafas, "Dua ... Aku bukan pencuri!"

Richard mengerutkan kening, "Lalu apa yang kau lakukan dengan bertingkah mencurigakan," ia melirik jam. "pukul dua dini hari?"

"Itu karena aku akan mengamati bintang bersama Edmund!"

"Edmund?" Richard berekspresi seakan ia mengingat sesuatu. "Ah, pria berambut pirang tadi ya?"

"Ya. Benar Yang Mulia," jawab Redd dengan nada angkuh yang mengejutkan Richard.

"Waah," ia berdecak. "Kau memberiku banyak kejutan dengan keberanianmu itu."

"Untuk apa aku takut? Aku tidak takut. Aku menghormati anda, tapi aku marah dengan tingkah tidak sopan anda."

Richard melepas tawa sarkas, "Tidak sopan? Dimana letak tidak sopanku nona muda?" kali ini tubuh Richard condong ke depan, sengaja mengadu mata dalam satu garis lurus; dan pandangan tajam itu hanya membuat Redd semakin mundur ke belakang karena merasa terancam. "Katakan Nona Mansen, dibagian mana aku bertindak tidak sopan padamu?" Richard menyeringai, dia tertawa sinis saat melihat Redd yang mulai mengkeret takut.

"Ya-yang ... Yang Mulia." Redd gelagapan. "Apa yang mau anda lakukan?"

Raja muda itu semakin merendahkan badannya, membuat Redd yang terus mundur akhirnya terbaring di ranjang. Richard menatap Redd tajam seperti predator, menahan wanita itu dalam kukungan tangannya.

"An ... anda cabul!" omel Redd, "Menyingkir!!"

"Bukannya kau yang bilang kalau tadi aku bertindak tidak sopan?" Richard menaikkan alis, "Jadi mari kita ulangi apa yang kita lakukan tadi untuk melihat dimana letak ketidak sopananku."

Redd membolakan matanya kaget, ia mulai panik. Jadi dengan sekuat tenaga ia mendorong bahu Rajanya untuk menjauh, walau itu tak berguna. Karena Richard tidak bergeser sedikitpun. "Menjauh dasar Raja Cabul," desis Redd. "Aku bilang menjauhhhh!!"

Richard hanya menatap dingin, berkebalikan dengan perintah Redd. Raja muda itu malah merendahkan badannya, membuat Redd memekik dan memalingkan wajah ke samping. Karena wajah Rajanya berada terlalu dekat dengannya, Redd bahkan bisa merasakan hembusan nafas panas di wajahnya. Apalagi beberapa kali hidung mancung Rajanya menyentuh pipinya.

"Astaga Nona Mansen," Richard terkekeh. "Kenapa wajahmu memerah? Kenapa kau berkeringat? Ayo katakan kapan aku bertindak tidak sopan padamu?"

"Apa kau buta?" pekik Redd dengan wajah merah menghadap samping. "Kau sekarang sedang bertindak sangat tidak sopan!!"

"Kalau begitu tatap aku," Richard berucap pelan. "Tatap aku dan katakan apa perbuatan tidak sopanku."

"Tidak!"

"Tatap. Aku. Nona. Mansen," desis Richard.

Redd mendesis kesal, dengan seluruh keberanian yang dia punya ia menatap wajah Richard. Telak. Mata menatap mata. Hidung dibalas hidung, dan bibir menyentuh bibir.

Hening sejenak.

"Ah, sial. Dasar cabullll!!!"

"Aduh!"

Richard mengaduh dengan keras dan terhuyung kebelakang, ia kemudian menatap tajam pada Redd yang menatapnya tak kalah tajam. Tangan Redd terkepal erat, ia meringis karena jari-jarinya terasa ngilu. Sebab ia baru saja menghantamkan kepalan tangannya itu pada rahang sang Raja, yang mana ternyata sangat kokoh sekali.

"Berani sekali kau nona muda?" desis Richard sambil mengelus rahangnya yang berdenyut nyeri.

"Tentu saja aku berani," balas Redd keras.

Wanita itu kemudian menarik nafas dalam, sebelum matanya melirik Richard mengejek. "TOLONGGGGG!! TOLONG AKUUU!! PRIA CABULLL INI MENCOBA UNTUK ME-umppphhhh!"

Teriakan Redd terpotong oleh bekapan panik tangan Richard. Raja muda itu menatap Redd dengan mengancam, yang dibalas Redd dengan tatapan mengejek.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Richard marah.

"Meyelamatkan diri."

Richard mendengus, "Lalu kau pikir itu akan berhasil? Ingat bahwa perintahku sudah sangat jelas. Tidak akan ada orang yang akan masuk ke kamar ini."

"Kalau begitu aku akan berteriak lebih keras," Redd berucap acuh. "Jadi mereka kemudian akan masuk karena khawatir kau berbuat aneh-aneh."

Richard menatap datar pada Redd yang mulai menarik nafas panjang lagi. Tanpa suara, dengan cepat kali ini pria itu menindih Redd di atas ranjang. Menahan kedua tangan wanita itu di atas kepala. "Berteriaklah," bisik Richard rendah; megancam. "Kau akan menyesal."

Jika ada pepatah mengatakan bahwa, 'saat kau memandang mata orang yang kau cintai, maka dunia akan ikut diam menikmatinya'. Maka mari kita ucapkan itu dengan lantang pada sepasang anak manusia ini. Richard diam, masih dengan tatapan tajam menghujam ke manik coklat tua Redd. Jangan tanya kenapa ia jadi aneh begini, karena ia sendiri juga merasa bingung. Richard benci dengan keberadaan wanita, itu adalah hal yang sudah ia diktekan pada dirinya sendiri saat ia tahu penghianatan yang dilakukan ibunya. Ia tidak suka satu ruangan dengan wanita, ia tidak suka berdekatan dengan wanita dan tidak suka menatap wajah wanita yang menurutnya penuh topeng kepalsuan. Namun, ia baru menyadari bahwa ia telah melanggar seluruh hal yang harusnya tidak ia lakukan. Hanya karena wanita yang ia temui dua jam lalu dalam keadaan aneh dan tidak tepat.

Sementara lain halnya dengan Redd, wanita bersurai hitam itu meneguk ludahnya kasar. Sekali lagi, ia terpesona pada obsidian hitam kelam Richard; yang kemudian ia sadari, bahwa sejenak seperti bersinar keabuan kala ia menggerjab.

"Apa barusan itu matamu berubah warna?" tanya Redd tanpa sadar.

Richard terdiam, "Kenapa?"

"Aku pikir warnanya hitam," jawab Redd. "Tapi saat mengerjab, itu seperti abu-abu"

"Indah?"

"Indah sekali," bisik Redd.

"Apa kau sekarang sedang mengagumiku?"

"Tidak," Redd menggeleng. "Tidak akan pernah."

Richard tertawa kecil, menyusupkan lengannya pada pinggang wanita di bawahnya dan menariknya mendekat. Sirine di kepala Redd berbunyi nyaring atas gerakan itu. Ini terlalu intim ... terlalu dekat, namun anehnya, membuat keduanya merasa nyaman.Benak mereka bertanya heran, otak mereka berteriak mengingatkan, namun tubuh mereka menolak untuk mejauhkan.

"Apa kau tidak berniat mengataiku cabul sekarang?" tanya Richard.

"Kau bilang nanti aku akan menyesal."

Richard tersenyum, dan itu membuat sesuatu dalam diri Redd menggeliat riuh. Ia bisa merasaka bahwa wajah Richard menunduk semakin rendah. "Jangan coba-coba lagi Raja cabul, kau sudah mengambil ciuman pertamaku tadi."

Richard tersenyum miring, "Kau memanggilku cabul lagi? Kau benar-benar ingin dihukum ya?"

Redd menutup matanya rapat saat Richard merunduk. Hanya menyentuh pipinya namun ia merasakan rasa panas menyengat wajanhya, disusul kupu-kupu di perutnya dan desir rasa geli yang membuatnya merinding dan membuatnya tidak bisa menahan senyum diwajahnya.

"Yang tadi itu bukan ciuman. Biar aku tunjukkan kepadamu apa itu ciuman," bisik Richard sambil menarik Redd makin dekat.

Nafas keduanya sudah beradu saat gebrakan pintu mengalihkan dunia mereka. Richard bangkit dengan cepat, sementara Redd berguling ke samping. Richard kemudian beralih pada Charles dan beberapa pelayan yang berdiri memunggungi mereka.

"Maaf karena masuk Yang Mulia, tapi ini sudah pukul lima dini hari dan anda punya agenda untuk berkuda, anda bilang padaku kemarin anda harus melakukannya. Apapun yang terjadi."

"Lima?" guman Richard lalu melirik pada jendela yang menampilkan langit gelap yang mulai berbaur dalam garis oranye. Richard berdeham, terkejut karena ia menghabiskan waktu yang ternyata lama hanya untuk menggoda dan sebut saja bahwa ia lebih banyak berkelahi; dengan Redd.

"Ya," jawab Richard setenang mungkin. "Tunggu aku diluar, aku akan bersiap-siap."

Para pelayan itu menunduk, lalu berjalan keluar. Begitu pintu tertutup ia beralih pada sosok wanita yang menelungkup di rajangnya. Tenggelam dalam bantal, dan sesekali terdengar omelan samar dari sana. Entah apa ...

Richard berdeham, "Kau mau keluar? Kupikir pelayan harusnya bekerja dipagi hari."

Redd mengangkat wajahnya sedikit, "Baik. Aku keluar." bisiknya sebelum berlari cepat ke pintu dan pergi dengan pintu tertutup keras di belakangnya.

Richard berdiri mematung, lantas berjalan ke arah kamar mandi dengan tampang aneh. Sebelum kemudian berdiri diam di depan wastafel mewahnya, menatap cermin yang menampilkan bayangannya lurus-lurus. "Apa yang terjadi padamu?"

...

Redd berlari secepat yang ia bisa begitu ia keluar dari kamar Richard. Nafasnya tersengal namun ia tidak berhenti hingga akhirnya ia tiba di taman belakang istana, ia menyandar pada pahatan marmer patung Eros di tengah taman. Kepalanya mengadah dan bahunya naik turun; selaras dengan wajah yang memerah pekat. Menghela nafas panjang, wanita itu merosot dan terduduk. Mencoba memijat kakinya yang melemas tanpa tenaga.

"Astaga Redd Mansen," desisnya. "Apa itu tadi?" Otak Redd dengan kurang ajar mengulang kejadian tadi berulang-ulang. Membuat wanita itu menggerang kesal dan menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Sadar Redd Mansen, sadar."

Matanya kemudian menyipit ke arah langit yang mulai terang; dengan suara burung dan angin dingin pagi hari. Dari kejauhan ia bisa melihat jendela-jendela kastil mulai dibuka dan bau masakan tercium samar dari dapur kastil. Redd menghela nafas, yah ... kehidupan sudah dimulai.

Dengan enggan ia bangkit berdiri dan mulai melangkah menjauhi taman. Ia berpapasan dengan beberapa pengawal dan pelayan istana. Ia hanya melirik mereka tanpa berniat menyapa. Semantara mereka sendiri menatapnya ingin tahu, beberapa bahkan terang-terangan membicarakannya. Sejenak, membuat Redd kesal dan lekas berjalan cepat ke ruangan dapur. Mencoba mencari Edmund untuk dia ajak keluar saja hari ini sekaligus memperbaiki suasana hatinya.

Pintu raksasa dapur terbuka lebar saat ia sampai disana, asap masakan mengepul pekat dan beberapa pelayan hilir mudik membawa baki-baki; bergerak begitu sinkron sembari berbicara dengan cepat satu sama lain. Redd menolehkan kepalanya, begitu ribut mencari dan butuh waktu lama sampai ia kemudian menemukannya. Edmund, yang tengah duduk di depan Tuan Guffy-kepala koki di Kastil Bevait sembari berbincang.

Dengan senyum terkembang, Redd melangkah ke arah Edmund dan memeluk lelaki itu erat. Edmund menoleh sebentar, sebelum bangkit dengan cepat dan menjauh dari Redd panik. Redd mencebik dengan reaksi Edmund, ia berusaha meraih Edmund lagi tapi pria itu menjauh darinya.

"Kenapa? Kenapa kau menjauh Ed? Apa kau marah karena aku tidak datang ke istal semalam?" Redd merengek nyaris menangis; membuat pria itu gelagapan.

"Bu, bukan begitu Redd. Saya, kau tahu. Saya, hanya harusnya, kita tidak bersikap seperti itu."

"Kenapa? Kenapa? Kita sudah biasa kan melakukannya?" Redd merajuk. "Kau marah kan? Iyakan? Kau bahkan memanggil dirimu saya"

"Tidak. Sungguh tidak," Edmud mencoba membuat alasan, sembari melirik ke arah Tuan Guffy meminta tolong.

Tuan Guffy tersenyum hangat, sebelum melambaikan tangan mengajak Redd duduk di depannya. "Apa anda mau kue jahe hangat?"

Redd melirik, sejenak keheranan. "Kenapa anda memanggil saya dengan sopan Tuan Guffy?"

"Tidak apa-apa."

Redd kemudian duduk di depan Tuan Guffy, tangannya meraih sepotong kue jahe tapi ragu untuk melahapnya. "Kenapa nona?" tanya Tuan Guffy sementara Edmund memutuskan untuk duduk di sisinya dengan hati-hati.

"Aku belum mandi dan sikat gigi Tuan Guffy," bisik Redd malu.

Tuan Guffy tertawa, "Tidak apa-apa. Makanlah."

Redd meringis, lalu menggigit kue itu besar. Ia mendesah lega, saat rasa hangat samar menjalar di tenggorokan dan perutnya. "Ini enak Tuan Guffy, anda memang yang terbaik."

Tuan Guffy tersenyum, lalu memanggil seorang pelayan untuk menuangkan teh bagi Redd. Yang mana membuat wanita itu langsung panik.

"Tidak perlu," Redd menggeleng. "Lagipula aku tidak akan lama di sini. Aku akan segera mencari Bibi May untuk mencari pekerjaan yang bisa aku lakukan."

"Nona Redd!" panggilan itu membawa Redd untuk menoleh.

Redd tersenyum saat melihat Bibi May menghampirinya, syukur-syukur tidak perlu usaha keliling kastil pagi ini pikirnya. "Bibi!"

"Nona, apa anda baik-baik saja? Apa anda terluka? Apa yang dilakukan Raja pada anda?" Bibi May memberondong pertanyaan pada wanita itu begitu mereka berhadapan.

Redd hanya mematung; kebingungan luar biasa, kala Bibi May menyentuh wajah, bahu dan memutar tubuhnya untuk mengecek keadaanya. Astaga. Ini berlebihan sekali.

"Aku baik bibi," ucap Redd sambil berusaha menyingkirkan tangan Bibi May dari tubuhnya. "Astaga, ada apa dengan bibi?"

"Aku hanya khawatir nona, apa terjadi sesuatu saat nona di dalam kamar?"

"Tidak tentu saja," tapi bayangan kejadian beberapa jam lalu lewat begitu saja. Membuat wajah Redd langsung memerah, "Tidak terjadi apapun."

Bibi May memandang tidak percaya pada wajah Redd. Tapi ia memutuskan untuk tidak bertannya lagi.

"Bibi," ucap Redd tiba-tiba. "Apa ada pekerjaan untukku? Aku mencari bibi dari tadi. Apa aku ada tugas? Katakan, dan akan aku kerjakan setelah aku mandi."

Bibi May kelihatan kebingungan sebentar, "Tidak ada nona."

"Tidak ada apanya? Pasti ada!"

"Nona," bibi May bersabar. "Tidak ada sungguh."

"Ada apa dengan semua orang pagi ini?" tanya Redd kesal. "Kalian semua bersikap aneh. Kalian bersikap sopan padaku dan terus memanggilku nona, padahal kalian biasa memanggilku Redd."

"Nona," Bibi May menghela nafas. "Maaf jika ini membuat anda tidak nyaman. Anda adalah hak raja sekarang."

"Hak!?" Redd memekik, "Apa?"

"Hak Raja," jawab Bibi May sopan.

"Apa itu?" tanya Redd lagi kesal. "Apa-apaan itu?"

"Itu artinya anda sudah tidak layak lagi untuk bekerja di sini, dan anda mungkin akan keluar dari sini segera."

Redd terdiam sejenak mendengar kalimat Bibi May, mencoba bernafas dengan benar sementara ribuan pikiran negatif melanda otaknya. "Apa itu berarti aku dibuang?" bisik Redd.

Nyaris seluruh orang, terutama Bibi May terkesiap kaget mendengar kalimat Redd.

"Bukan begitu nona in-"

"Lalu apa?!" teriak Redd kesal, wajahnya memerah menahan air mata. "Itu artinya aku dibuang lagi kan? Kastil Bevait adalah rumahku! Jika aku keluar berarti aku dibuang!"

"Nona ini ti-"

"Ini ulah si Raja cabul itu," Redd menggeram.

"Akan aku beri dia pelajaran."

"Nona-"

"Dimana dia berada?" desis Redd.

"Nona, Yang Mulia ti-"

"Ahh," Redd memotong kalimat Bibi May cepat. "Dia di istal kuda kan? Baik, akan aku pukul rahangnya lagi."

Semua orang bergidik mendengar kalimat Redd, namun tak seorangpun berani menegurnya. Maka dengan langkah lebar, wanita itu menuju ke istal kuda. Pikiran Redd bercabang, ia merencanakan puluhan ide untuk Richard. Termakan emosi dan sejenak bahkan merasa ingin saya membunuh sosok itu. Begitu ia tiba di istal kuda, Redd menoleh ke kanan dan kiri. Mencari cukup lama dan nyaris menyerah saat akhirnya sosok yang dicarinya muncul dari arah pertanian.

Raja itu menaiki seekor kuda coklat yang gagah. Ia memakai celana hitam dengan kemeja putih yang basah oleh keringat, rambutnya tertiup oleh angin dan sinar matahari menyinarinya dengan hangat. Wajahnya tampak tenang, sementara matanya memandang lurus; untuk sesaat Redd bersumpah, demi seluruh jagad raya. Itu dia Patung Dewa Yunani yang bisa hidup. Selama beberapa waktu Redd tidak repot mencoba menyembunyikan keterpesonaanya, sebelum dengan lekas ia menyadarkan dirinya atas tujuan yang membuatnya datang kemari.

Richard sendiri berhenti dihadapan Redd secara sengaja dan itu membuat Redd menyadari jika ada Charles dan dua pengawal lain di belakang Sang Raja.

"Wah Nona Mansen," Raja itu berakting seolah ia terkejut." Apa yang kau lakukan di sini pagi begini? Apa kau menungguku?"

Redd mendengus, "Kita harus bicara."

"Bicara apa?"

"Banyak, jadi tolong turun dari kudamu sekarang," ucap Redd yang lelah karena harus mendongak pada Richard di atas kuda.

"Kenapa aku harus melakukannya? Aku sibuk. Aku harus segera pergi, jadi katakan saja keperluanmu di sini," ucap Richard acuh.

Redd mendengus kesal, mengambil nafas masa bodoh lantas kemudian berkacak pinggang dan menatap Richard penuh murka. "Apa maksudmu dengan menjadikan aku sebagai hakmu?"

Richard mengerutkan kening, kebingungan dengan kalimat yang diucapkan Redd, "Apa maksudmu?"

"Jangan bertele-tele," ucap Redd jengkel. "Hari ini semua orang bersikap aneh, mereka melarang aku bekerja. Mau tahu kenapa? Itu karena kau! Mereka bilang aku sekarang adalah hak raja!"

Raja Muda itu diam sesaat, menggerjab dengan kening berkerut sebelum menoleh pada Charles di sampingnya.

"Sesuai dengan yang sudah saya katakan pada anda tadi Yang Mulia," ucap pria itu sambil menunduk.

Richard menghela nafas dan beralih menatap Redd datar. Menatap wanita itu dengan pemahaman penuh di kepala.

"Jadi bisa kau jelaskan Yang Mulia?" kesal Redd. "Apa kau sengaja melakukannya karena masalah semalam? Iya?"

"Tidak," Richard menjawab datar. "Lagipula apa salahnya dengan menjadi hak raja?"

"Apa salahnya?" pekik Redd. "Banyak, sangat banyak. Karena aku hak raja aku tidak bisa bekerja, karena aku hak raja orang-orang bersikap aneh, dan karena aku hak raja. Aku harus keluar dari Kastil Bevait."

"Keluar dari kastil?" guman Richard bingung.

"Ya. Bibi May bilang sebentar lagi aku mungkin akan keluar dari Kastil ini, dari rumahku; dan apa kau tahu artinya, artinya aku dibuang lagi. Bevait adalah satu-satunya rumahku sialan."

Richard menunduk mendengar kalimat wanita itu, sejenak ia menatap mata Redd yang mulai berair dan menghela nafas.

"Jawab aku raja cabul! Apa yang kau katakan pada semua orang? Bebaskan aku dari hak Raja. Aku tidak suka, aku uwaaa-"

Redd memekik kaget saat tiba-tiba badannya terangkat dan ia terduduk dia atas kuda. Bersama Richard, di dalam lengan Richard. Membawa mereka untuk kembali ke posisi yang sama.

"Apa yang kau lakukan sekarang?" pekik Redd.

"Lepaskan aku!!!!"

Richard menggeram, ia merengkuh Redd lebih erat. "Diam Nona Mansen atau aku akan menciummu untuk yang kedua kalinya di sini."

Redd mematung mendengar kalimat itu, ia menggerutu dongkol merasa terancam; tapi tetap menurut untuk diam.

Selanjutnya hanya nafas keduanya yang terdengar, punggung Redd yang menempel ke dada Sang Raja bisa merasakan debaran keras yang menghantam rusuk orang nomor satu di Chevailer itu; dan untuk alasan yang tidak ia tahu, wajah Redd memerah padam karenanya.

"Aku mau tahu," tanya Richard setelah hening yang sangat lama. "Apa pendapatmu soal menikah?"

"Kenapa kau bertannya begitu?" tanya Redd, tanpa sadar menyadarkan diri pada sang raja, yang mana diterima sang raja dengan begitu tenang.

"Hanya penasaran."

"Pernikahan itu," Redd diam. "Bukan hal sembarangan. Menikah berarti menyatukan dua karakter menjadi satu. Menikah itu berarti percaya dan menghormati. Menikah itu ..."

"Apa?"

"Entahlah, aku bingung. Aku belum pernah menikah dan tidak pernah melihat kehidupan sebuah pernikahan. Lagipula bukankah kita akan memahami apa itu pernikahan setelah kita sendiri menjalaninya?"

Richard diam, menatap wanita di pelukannya penuh pertimbangan. Ia lalu merendahkan kepalanya agar sejajar dengan telinga Redd dan berbisik.

"Kalau begitu, bagaimana jika kau menjalani pernikahan denganku dan belajar tentang arti pernikahan?"

...

©Galaxypuss2020


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Rank -- Classement Power Stone
    Stone -- Power stone

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C3
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank NO.-- Classement de puissance
    Stone -- Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous