Biung tampak tersenyum, sementara aku hanya bisa tersenyum getir. Benar, memang jika aku bangga terlahir dari buah cinta antara Romo Adrian, dan Biung. Aku pun ndhak peduli jika aku terlahir dan menyandang sebagai anak haram bahkan sampai maut menjemputku nanti. Hanya saja, tatkala ucapan itu keluar dari mulut Rianti, itu benar-benar mengangguku. Laksana ribuan jarum yang menyerang ulu hatiku dalam satu waktu. Namun, aku pun ndhak ingin membuat Biung tahu akan itu. Aku ndhak mau Biung bersedih, sebab yang kuinginkan dari apa pun adalah, Biung bisa tenang. Tenang dalam mengabiskan masa tuanya, bersama dengan anak-anaknya. Meski sekarang, sejatinya tugasku sebagai anak pertama laki-laki lebih berat, dari pada sebelumnya.