Haoran dan Emma mendapatkan satu-satunya kamar yang tersisa di Hotel Interlaken. Karena Emma sudah lelah dan mengantuk, ia meminta agar mereka berbagi kamar saja dan tidak mencari penginapan lain. Lagipula, besok pagi mereka akan berangkat ke Lucerne, mengembalikan mobil rental, dan terbang ke Shanghai untuk mengunjungi ibu Haoran.
Haoran yang tidak pernah menginap di kamar biasa merasa keheranan karena ternyata ukuran kamar hotel mereka sangat kecil. Ukurannya hanya 15 m2 dan memiliki satu tempat tidur berukuran double dengan perabotan cantik tetapi membuat kamar itu terasa sempit untuk standarnya.
'Ini lumayan, kok,' kata Emma dengan telepati kepada Haoran yang tampak tercengang dan berdiri terpaku di depan pintu kamar saat melihat betapa kecil ukuran kamar mereka. 'Kau membuat petugas hotel kebingungan.'
Haoran menoleh dan tersenyum lalu mengangguk-angguk. Ia lalu mendorong kopernya dan koper Emma ke dalam lalu mengucap terima kasih kepada petugas hotel.
"Ini bagus. terima kasih," katanya.
"Sama-sama. Besok sarapan tersedia mulai jam 7 pagi. Kalau Anda berdua mau makan malam, dapur hotel masih menerima pesanan hingga jam 10 malam."
Petugas itu lalu pamit dan kembali ke lobi. Tinggallah Haoran dan Emma berdua di kamar. Haoran menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal saat ia melihat ke sekeliling mereka.
"Kamar ini kecil sekali, ya.. Maaf, seharusnya tadi aku berhenti dulu dan memesan kamar yang lebih bagus, bukannya langsung datang seperti ini. Aku tidak menduga kamar-kamar suite yang bagus sudah terpesan," kata pemuda itu dengan nada meminta maaf.
"Ish.. tidak apa-apa," balas Emma sambil tertawa kecil. "Kau dengar sendiri tadi mereka bilang bahwa di sini sedang ada festival, jadi besar kemungkinan hotel-hotel lain juga penuh. Sudahlah.. cuma semalam kok. Aku sudah biasa tidur di kamar yang sempit. Sepertinya yang tidak biasa itu kau."
Haoran tertawa malu mendengar kata-kata Emma. Ia mengakui, sebagai anak dari keluarga sangat kaya, ia tidak pernah menginap di tempat biasa. Bahkan waktu ia dan teman-temannya ikut karyawisata ke Paris dulu, ia juga mendapatkan suite luas yang mewah untuk dirinya sendiri.
"Baiklah. Kau mau tidur di sebelah dalam atau luar?" tanya Haoran. Ia sudah menaruh kopernya di dalam lemari.
Emma hanya mengangkat bahu. "Aku tidak masalah dengan posisi mana pun."
"Ah.. kalau begitu kau di dalam saja, supaya aku bisa menghalangi biar tidak jatuh dari tempat tidur kalau kau tidurnya lasak," kata Haoran sambil mengedip jahil.
"Tidurku tidak lasak," protes Emma. Namun ia segera melihat bahwa Haoran hanya bercanda. Ia pun memukul bahu pemuda itu. "Aku mau mandi duluan dan bersiap tidur."
"Silakan. Aku akan mandi sesudah kau," kata Haoran.
Emma mengeluarkan pakaian ganti dan jubah tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Ia keluar lima belas menit kemudian dengan rambut panjangnya yang indah digerai ke bahunya, dan tubuh dibalut jubah tidur. Ia menguap beberapa kali sambil berjalan menuju tempat tidur dan membaringkan tubuhnya di sana.
Haoran mengikuti Emma dan mandi dengan cepat. Sepuluh menit kemudian ia juga sudah keluar dengan tubuh segar, dan hanya mengenakan celana pendek dan kaos untuk tidur.
Malam musim semi di Swiss terasa sangat dingin dan mereka sudah menaikkan suhu hingga 18 derajat agar mereka dapat tidur dengan nyaman.
Biasanya Haoran akan tidur di atas selimut sementara Emma berbaring di bawah selimut ketika mereka menginap bersama di kapal, tetapi kali ini, pemuda itu menyusup ke balik selimut. Hal ini membuat Emma agak keheranan, karena tidak biasanya Haoran seperti ini.
"Kau kenapa?" tanya Emma sambil menatap Haoran dengan sepasang mata membulat.
"Kau keberatan?" tanya Haoran dengan suara serak.
Emma tampak berpikir sejenak, kemudian menggeleng. "Tidak."
"Oh.. syukurlah," kata Haoran dengan nada lega. "Seharian ini aku banyak berpikir.. dan rasanya aku sangat takut kehilanganmu.."
Emma mengerutkan keningnya dan menatap Haoran. Ia tidak ingin membaca pikiran Haoran di saat seperti ini. Ia ingin Haoran menjelaskan apa yang ia rasakan.
"Kenapa kau takut kehilanganku?" tanya Emma pelan.
"Sudah berapa lama kita bersama?" Haoran balik bertanya sambil menatap Emma lekat-lekat.
"Hmm.. kita pertama kali bertemu bulan Maret tahun lalu.. jadi sudah tepat setahun," kata Emma. "Dan kita bersama sejak..."
"Sejak aku menciummu di Paris..." kata Haoran sambil tersenyum tipis.
Sebenarnya Emma yang duluan mencium Haoran, tetapi di saat seperti ini hal teknis seperti itu tidak penting.
Emma mengangguk. "Itu bulan Juni."
"Aku sudah menyukaimu sejak pertama bertemu denganmu dan aku melakukan segalanya untuk mendekatimu. Aku merasa sangat beruntung karena kau membalas perasaanku dan kita memiliki begitu banyak persamaan yang membuat kita bisa menjalin hubungan seperti sekarang ini... Aku punya begitu banyak rencana di masa depan untuk kita berdua. Setelah aku menyingkirkan ayahku, aku akan mengajakmu menikah dan membangun keluarga kita bersama. Kau dan aku bernasib sama... kita tidak punya keluarga." Suara Haoran terdengar menjadi emosional. "Aku sudah membayangkan hidup bersama denganmu di masa depan dan menjadi keluarga denganmu..."
"Haoran..." Emma perlahan duduk di tempat tidur dan menatap Haoran lekat-lekat. Ia tidak mengira Haoran akan mengajaknya bicara serius demikian tiba-tiba.
Haoran ikut duduk dan bersandar di sandaran tempat tidur. Ia menarik tangan kanan Emma dan menggenggamnya dengan erat. "Aku tidak mengira kau akan dapat menemukan jalan pulang ke Akkadia dengan begitu cepat. Setahun lagi... semuanya akan berubah. Ini di luar rencanaku..."
Haoran dan Emma memang berencana mencari jalan ke bulan dengan menginflitrasi SpaceLab pelan-pelan. Siapa nyana Emma beruntung bertemu Ren Hanenberg terlebih dulu dan bisa memanfaatkan aksesnya untuk menghubungi AWA.
Kini, Emma hanya tinggal menunggu dijemput oleh orang-orang Akkadia yang akan datang setahun lagi.
"Aku.. tidak mengerti apa maksud pembicaraanmu ini..." kata Emma dengan suara tergagap.
"Maksudku, Emma.. kalau mereka datang dan menjemputmu, mereka tidak akan mau membawaku, karena aku bukan orang Akkadia. Aku tidak mau membiarkanmu pergi sendiri. Bagaimana kalau mereka tidak memperlakukanmu dengan baik?"
"Lalu.. lalu bagaimana? Apakah kau tidak ingin aku pulang ke Akkadia dan bertemu orang tuaku?" tanya Emma bingung.
Haoran menggeleng. "Bukan itu. Aku mendukungmu untuk mencari orang tuamu. Tetapi kita harus realistis. Orang-orang Akkadia tidak akan membiarkanku ikut denganmu kecuali..."
"Kecuali apa?"
"Kecuali kalau kita menikah. Mereka tidak akan bisa menyingkirkanku kalau aku berstatus sebagai suamimu," kata Haoran tegas. "Aku ingin ikut denganmu ke Akkadia dan mendampingimu sebisaku. Aku ingin ada di sana saat kau bertemu orang tua dan adikmu."
"Oh.. Haoran..." Emma menekap bibirnya dengan ekspresi shock. Ia tidak sempat memikirkan tentang hal ini sebelumnya. Ia terlalu dikuasi perasaan rindu kepada orang tuanya.
Tentu saja Haoran yang selalu berpikir ke depan telah memikirkan kemungkinan ini. Haoran mengerti bahwa setahun lagi, saat orang-orang Akkadia datang menjemput Emma, mereka hanya datang untuk gadis itu. Haoran tidak punya tempat di Akkadia.
"Sebentar lagi kau berumur 18 tahun dan aku 20... kurasa kita sudah bisa menikah," kata Haoran. Ia menarik tangan Emma dalam genggamannya ke dadanya dan menatap gadis itu lekat-lekat. "Emma, sayang.. aku sangat mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamu, di bumi ataupun di Akkadia. Apakah.. kau mau menikah denganku?"
Haoran sama sekali tidak bisa bahasa Akkadia, dan ia juga tidak mengerti sistem kehidupan di sana... tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan Emma pergi sendiri.
Bagaimana ia dapat melindungi gadis itu kalau ia tidak bersama Emma?
Duh.. Haoran sweet banget ya... T_T
"Sebentar lagi kau berumur 18 tahun dan aku 20... kurasa kita sudah bisa menikah," kata Haoran. Ia menarik tangan Emma dalam genggamannya ke dadanya dan menatap gadis itu lekat-lekat. "Emma, sayang.. aku sangat mencintaimu. Aku ingin selalu bersamamu, di bumi ataupun di Akkadia. Apakah.. kau mau menikah denganku?"
Haoran sama sekali tidak bisa bahasa Akkadia, dan ia juga tidak mengerti sistem kehidupan di sana... tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan membiarkan Emma pergi sendiri.
Bagaimana ia dapat melindungi gadis itu kalau ia tidak bersama Emma?
Emma terpaku mendengar kata-kata Haoran. Ia dapat memahami maksud Haoran sekarang. Sungguh.. ia telah bersikap terburu-buru dengan mengirim pesawat pesan ke Akkadia.
Ia begitu tertekan saat mengetahui bahwa bukan saja ia terpisah dengan kedua orang tuanya, tetapi juga dengan adiknya yang masih ada di dalam kandungan ibunya. Kerinduannya kepada mereka yang telah dipendamnya selama belasan tahun seketika tumpah dan ia tidak lagi mempedulikan dirinya... Ia hanya ingin berkumpul kembali dengan keluarganya.
Tetapi bagaimana dengan Haoran? Apa yang akan terjadi kepada Haoran ketika Emma kembali ke Akkadia?
Haoran benar saat mengatakan bahwa akan sangat kecil kemungkinannya bagi Haoran untuk bisa ikut Emma ke sana karena, bukan saja ia tidak berasal dari sana, ia pun tidak mengerti bahasa Akkadia. Walaupun di bumi Haoran adalah anak keluarga yang sangat kaya dan berkuasa, tetapi di Akkadia ia bukan siapa-siapa.
Apakah Haoran benar-benar rela meninggalkan kehidupannya di bumi yang nyaman ini untuk pergi ke tempat asing bersama Emma?
"Haoran... mungkin Akkadia terlihat jauh dari sini... tetapi dengan teknologi yang mereka punya, jarak sejauh itu dapat ditempuh dalam waktu enam bulan. Aku akan kembali ke bumi setelah aku bertemu keluargaku," bisik Emma sambil menatap Haoran lekat-lekat. "Akan membutuhkan waktu satu tahun perjalanan pergi dan pulang. Kalau kau mau menungguku, aku akan kembali sebelum kau berhasil mewujudkan cita-citamu untuk menguasai Lee Industries."
Walaupun suara Emma terdengar tenang dan yakin, Haoran sangat mengenal gadis itu sekarang. Tidak ada kepastian sama sekali bahwa Emma akan dapat kembali ke bumi setelah ia dibawa ke Akkadia.
"Aku memang tidak mengerti bahasa Akkadia, Emma, tetapi kau bisa membicarakan segala sesuatunya denganku. Aku akan membantumu menganalisis situasi dan mengambil keputusan. Bukankah dua kepala lebih baik daripada satu? Selama ini kita adalah tim yang sangat baik. Lihat, kita sudah bersama sejauh ini... dan berhasil mencapai semua ini bersama," kata Haoran tegas. "Aku takut mereka akan menyakitimu dan aku tidak ada di sana untuk melindungimu."
Di antara mereka berdua, secara fisik Emma jauh lebih tangguh daripada Haoran karena ia memiliki kekuatan ajaib, tetapi selama mereka bersama, Emma tidak pernah merasa Haoran lebih lemah darinya. Pemuda itu sangat pandai dan penuh perhitungan. Haoran benar saat mengatakan mereka berdua adalah anggota tim yang baik.
"Kau... benar-benar mau ikut denganku?" tanya Emma dengan suara tercekat. "Aku tidak tahu seperti apa Akkadia itu... dan bagaimana mereka akan memperlakukanku."
"Karena itulah aku tidak akan membiarkanmu sendirian," kata Haoran tegas. Nada suaranya lagi-lagi mengingatkan Emma akan nada bicara ayahnya yang selalu terdengar lembut namun tegas. Haoran meremas tangan Emma pelan. "Aku akan selalu bersamamu dan menghadapi apa pun yang terjadi bersama-sama."
Kata-kata Haoran begitu menyentuh hati Emma. Ia beringsut mendekati Haoran dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Haoran, lalu dengan haru ia membingkai wajah Haoran dan mencium bibirnya.
Haoran memejamkan matanya dan menikmati pertemuan bibir mereka. Di momen-momen penting hubungan mereka, selalu Emma yang mengambil inisiatif untuk menciumnya, dan hal ini membuat Haoran sangat bahagia.
Ia lalu membalas ciuman Emma dengan sama harunya. Ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Emma dan memeluk gadis itu. Tangan kirinya lalu bergerak ke punggung atas Emma dan mengambil alih kendali dari Emma dalam ciuman mereka.
Emma memejamkan matanya dan menikmati perasaan bahagia saat Haoran melumat bibirnya dengan penuh cinta. Selama setahun mereka bersama, baru kali ini ia mendengar pernyataan cinta dari Haoran, diikuti dengan permintaan dari Haoran agar Emma mau menikah dengannya.
Emma tahu Haoran sangat terencana dan penuh perhitungan, tetapi bahkan ia tidak membayangkan bahwa Haoran sudah memikirkan untuk suatu hari nanti menikah dengan Emma dan membangun keluarga bersamanya.
Kini, Emma dapat sungguh-sungguh melihat masa depannya bersama Haoran. Haoran adalah keluarganya...
Pikiran itu membuat dadanya terasa hangat dan dipenuhi sukacita. Saat ciuman Haoran menjadi semakin intens, tanpa sadar Emma mengeluarkan desahan pelan. Seketika tubuh Haoran membeku dan ia terdiam di tempat.
Emma tertegun. Ia dapat merasakan tubuh Haoran yang menegang dan suhu tubuhnya naik beberapa derajat. Seketika pikirannya kembali para peristiwa tahun lalu saat mereka berciuman saat memandang bintang jatuh bersama-sama.
Ketika itu Haoran juga menghentikan ciumannya yang sudah terlalu intens karena pemuda itu merasakan napsu berahi mulai menjalari kepalanya. Ia bahkan membayangkan tubuh Emma telanjang dan bagaimana mereka bercinta dengan mesra.
Emma tidak berani membaca pikiran Haoran saat ini.. Ia dapat menduga pasti situasi sekarang sama seperti dulu. Haoran menghentikan ciumannya karena ia tidak ingin dikuasai nafsu dan melakukan hal yang tidak pantas kepada Emma.
Pelan-pelan pemuda itu membuka matanya dan melepaskan ciumannya dari bibir Emma. Keduanya lalu bertatapan.
"Jadi... bagaimana jawabanmu?" tanya Haoran dengan suara serak. Tampak jelas ia berusaha menahan diri agar tidak menyerang Emma dan mencumbunya habis-habisan. "Apakah... kau mau menikah denganku?"
Emma menatap Haoran yang berjarak hanya sejengkal darinya dengan sepasang mata yang dipenuhi keharuan.
"Haoran... apakah, kau benar-benar yakin mau ikut aku kemana pun?" tanya Emma dengan sungguh-sungguh. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada kita."
Haoran mengangguk tegas. "Aku yakin. Semua yang ada kuinginkan di dunia ini tidak ada artinya tanpamu. Kalau kau pergi meninggalkanku sendiri... aku akan merindukanmu seumur hidup. Aku akan menderita karena tidak tahu kau ada di mana dan apa yang terjadi kepadamu. Aku tidak menginginkan itu."
"Oh, Haoran..." Emma menggigit bibirnya. "Menurutmu... mereka tidak akan memisahkan kita kalau kita menikah?"
"Aku tidak tahu, tapi setidaknya kita mencoba." Pemuda itu tersenyum tipis. "Lagipula.. sekarang atau nanti tidak ada bedanya. Toh kita juga sudah berencana akan menikah beberapa tahun lagi. Kita hanya mempercepatnya demi mengantisipasi kedatangan orang-orang dari Akkadia."
Entah kenapa kata-kata Haoran berhasil membuat pipi Emma menjadi kemerahan karena tersipu.
"Baiklah..." Gadis itu akhirnya mengangguk.
"Jadi?" Haoran mengangkat sebelah alisnya dan bertanya lagi. "Emma Stardust, apakah ini artinya kau mau bersedia denganku?"
"Aku bersedia..." kata Emma sambil melengos malu.
"Oh.. aku lega sekali!" kata Haoran. Ia memeluk Emma dengan erat dan kembali mendaratkan ciuman di bibirnya. "Istriku... Emma Stardust."
Ia mencium Emma dengan mesra dan menerobos celah bibir gadis itu untuk menjelajah mulutnya. Kedua lidah mereka saling bertemu dan membelit dengan penuh cinta. Tangan Haoran yang memeluk punggung Emma lalu turun ke pinggangnya dan tanpa sadar menyelusup ke balik pakaian gadis itu.
Emma mendesah pelan saat tangan Haoran menyentuh kulit pinggangnya yang halus. Saat mendengar suara desahan Emma, tubuh Haoran kembali menegang. Ia menghentikan ciumannya dan buru-buru menarik tangannya dari pinggang Emma.
Emma membuka matanya dan menatap mata Haoran yang tampak tidak nyaman. Wajah pemuda itu tampak kemerahan oleh napsu dan rasa bersalah.
"Haoran..." Suara Emma terdengar lembut ketika ia memanggil nama Haoran. Tangannya perlahan menjangkau tangan Haoran yang tadi melepaskan diri dari pinggangnya dan menariknya agar kembali menyentuh pinggangnya.
Haoran terpaku menatap Emma dengan sepasang mata membulat. Ia tidak mengira Emma menarik tangannya agar kembali menyentuh pinggangnya.
"E.. Emma..." bisik Haoran dengan suara serak. "Aku... Aku menginginkanmu.."
Emma beringsut mendekati Haoran dan menyusupkan tangannya ke balik kaos Haoran. Untuk pertama kalinya ia menelusuri dada dan perut Haoran yang rata.
"Aku juga menginginkanmu..." bisik Emma.
Tahun lalu saat keduanya dilanda hasrat untuk bercinta, Haoran dan Emma menahan diri sekuat mungkin karena mereka sadar Emma masih terlalu muda.
Tetapi kini... Emma sudah hampir 18 tahun, dan mereka sudah sepakat untuk menikah.
Aw....
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK