Télécharger l’application
60% Wiro sableng 212 " Banjir Darah Di Tambun tulang " / Chapter 9: Banjir Darah di Tambun Tulang 09

Chapitre 9: Banjir Darah di Tambun Tulang 09

Begitu Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera

menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima

kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu

kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam.

"Orang muda," kata Pagar Alam, "Pertolonganmu

sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami meng-

ucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari

mana kau datang?"

"Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."

"Ah... ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan

silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu

silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat

itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di

sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau

Jawa."

Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya

secara singkat.

Pagar Alam angguk-anggukkan kepala.

"Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi

anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si

orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan

diri, dicaripun sukar!"

Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang

terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan

mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir

pil dan diberikannya pada laki-laki itu.

"Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu."

Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar

lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit

kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama

sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak

ada perubahan apa-apa.

"Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara

Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas

kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan

duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang

iganya yang patah dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa

keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa

bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu

sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan

pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati

penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.

'Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah

membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas

ini?" tanya Pagar Alam.

"Hanya sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak

mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian

dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk

setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh

Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah

Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang.

Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti

kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!"

Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama

terkejut.

"Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro...?"

"Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari

mungkin berada di situ..." tanpa disadari oleh Wiro walau

tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi

kini diungkapkannya sendiri.

"Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya Pagar

Alam.

"Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah

membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!"

"Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk

sekitar sini," kata Malin.

Dan Pagar Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun

yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun

Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk

Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis!

Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan

membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia

yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan

di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun

kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang

terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"

"Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro.

"Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan

pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia Datuk

Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu ber-

kepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah

yang kerja mereka bukan lain daripada merampok dan

memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan

desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak

gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara

pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada

segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan

pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini

mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.

Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun

Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu,

secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya?

Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan

sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan

Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi

ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya

sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi

siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anak-

anak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?!

Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa

ketakutan setiap hari!"

Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di

atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh

utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau

mungkin pernah tapi tidak membawa hasil?

Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata:

"Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk

Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan.

Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak

meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.

"Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang."

Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini.

"Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau

sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa

bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu

dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang."

Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan

ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa

laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka

pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka

diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke

atas bendi. Karena Maljn masih sakit, terpaksa Wiro

yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur

hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir

bendi!

Ketika hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada

Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan per-

jalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda

ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia

meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang

dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati

jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk

mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan

niatnya itu.

Pendekar 212 pun meneruskan perjalanan. Belum

lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar

Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya

yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang

mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir

orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak

membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar

tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak usah

sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"

Suara Pendekar 212 bergema di seanfero rimba be-

lantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi

penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si

penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati

yang besarnya tiga pemeluk tangan.

"Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali"

Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak

mau keluar.

Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantam-

kan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombana

angin besar menderu laksana topan"

"Kraak!"

Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia

itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara

dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok

tubuh melompat sebat!

"Ah... kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa

adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena celaka»"

Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis

Pagar Alam.

"Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro.

Paras sang dara memerah jengah.

"Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang.

"Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta

"Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!"

Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua.

"Kau memang seorang gadis berhati jantan!

Kupuji keberanianmu!

Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu

masih sakit begitu rupa...?"

"Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya

tidak berat..." , '

"Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu

yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau ba-

gaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan

Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama

saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi se:

minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan

Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya...!"

"Tapi... tapi...."

Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu

"Kembalilah pulang...."

"Tapi apakah... apakah kau tidak akan kembali lagi...

maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?"

Wiro kembali tertawa.

"Tentu aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum

akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan

seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar

212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan

menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat

pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan

Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui

gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa

melupakan Permani!

"Aku berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan

Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya.

Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri ber-

hadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya

bahu Mayang seraya berkata: "Pulanglah. Di lain hari

aku akan mampir menyambangimu." Habis berkala be-

gitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang.

Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini ber-

ubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C9
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous