Begitu Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera
menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima
kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu
kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam.
"Orang muda," kata Pagar Alam, "Pertolonganmu
sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami meng-
ucapkan terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari
mana kau datang?"
"Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."
"Ah... ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan
silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu
silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat
itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di
sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau
Jawa."
Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya
secara singkat.
Pagar Alam angguk-anggukkan kepala.
"Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi
anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si
orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan
diri, dicaripun sukar!"
Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang
terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan
mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir
pil dan diberikannya pada laki-laki itu.
"Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu."
Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar
lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit
kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama
sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak
ada perubahan apa-apa.
"Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara
Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas
kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan
duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang
iganya yang patah dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa
keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa
bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu
sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan
pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati
penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
'Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah
membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas
ini?" tanya Pagar Alam.
"Hanya sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak
mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian
dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk
setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh
Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah
Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang.
Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti
kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!"
Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama
terkejut.
"Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro...?"
"Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari
mungkin berada di situ..." tanpa disadari oleh Wiro walau
tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi
kini diungkapkannya sendiri.
"Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya Pagar
Alam.
"Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah
membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!"
"Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk
sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun
yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun
Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk
Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis!
Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan
membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia
yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan
di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun
kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang
terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"
"Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro.
"Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan
pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia Datuk
Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu ber-
kepandaian tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah
yang kerja mereka bukan lain daripada merampok dan
memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan
desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak
gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara
pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada
segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan
pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini
mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.
Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun
Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu,
secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya?
Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan
sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan
Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi
ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya
sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi
siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anak-
anak buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?!
Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa
ketakutan setiap hari!"
Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di
atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh
utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau
mungkin pernah tapi tidak membawa hasil?
Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata:
"Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk
Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan.
Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak
meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang."
Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini.
"Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau
sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa
bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu
dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang."
Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan
ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa
laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka
pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka
diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke
atas bendi. Karena Maljn masih sakit, terpaksa Wiro
yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur
hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir
bendi!
Ketika hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada
Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan per-
jalanan. Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda
ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia
meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang
dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati
jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk
mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan
niatnya itu.
Pendekar 212 pun meneruskan perjalanan. Belum
lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar
Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya
yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang
mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir
orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak
membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar
tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak usah
sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"
Suara Pendekar 212 bergema di seanfero rimba be-
lantara. Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi
penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si
penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati
yang besarnya tiga pemeluk tangan.
"Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali"
Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak
mau keluar.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantam-
kan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombana
angin besar menderu laksana topan"
"Kraak!"
Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia
itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara
dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok
tubuh melompat sebat!
"Ah... kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa
adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena celaka»"
Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis
Pagar Alam.
"Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro.
Paras sang dara memerah jengah.
"Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang.
"Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta
"Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!"
Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua.
"Kau memang seorang gadis berhati jantan!
Kupuji keberanianmu!
Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu
masih sakit begitu rupa...?"
"Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya
tidak berat..." , '
"Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu
yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau ba-
gaimanapun ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan
Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama
saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi se:
minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan
Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya...!"
"Tapi... tapi...."
Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu
"Kembalilah pulang...."
"Tapi apakah... apakah kau tidak akan kembali lagi...
maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?"
Wiro kembali tertawa.
"Tentu aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum
akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan
seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar
212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan
menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat
pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan
Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui
gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa
melupakan Permani!
"Aku berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan
Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya.
Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri ber-
hadap-hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya
bahu Mayang seraya berkata: "Pulanglah. Di lain hari
aku akan mampir menyambangimu." Habis berkala be-
gitu Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang.
Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini ber-
ubah menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan.