PASANGAN serasi." Seli memajukan bibir, menahan tawa.Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awas
saja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini.
"Bercanda, Ra." Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan, separuh masih menahan tawa. "Miss Keriting memang sok galak,
menyebalkan, banyak ngasih PR, tapi itu yang aku suka darinya. Dia selalu telak menyindir orang. Pasangan paling serasi pagi ini. Hehehe. Eh, lagian kenapa pula kalian harus berteriak-teriak di lorong, membuat semua teman sekelas menoleh ingin tahu," Seli membela diri, berusaha berlindung dari lemparan sedotan.
Bel istirahat pertama sudah bernyanyi lima menit lalu. Hujan deras sudah reda, menyisakan rintik kecil yang bisa dilewati tanpa terlalu membuat basah. Udara dingin dan lembap. Seli mengajakku ke kantin,
menghabiskan semangkuk bakso dan segelas air jeruk hangat, pilihan yang baik dalam suasana seperti ini. Seli bilang dia yang traktir. Aku awalnya tidak tertarik. Setelah dua jam lebih saling ngotot menghabiskan waktu bersama Ali, yang membuat mood-ku hilang, aku sebenarnya lebih tertarik menghabiskan waktu sendirian di kelas, duduk di kursi, memikirkan siapa si tinggi kurus itu. Apakah itu hanya imajinasiku karena belasan tahun menyimpan rahasia? Tetapi melirik gelagat Ali yang juga akan ikut menghabiskan waktu di kelas, menyelidikiku, aku menerima tawaran Seli.
"Kalian sebenarnya membicarakan apa sih? Sampai bertengkar begitu?" Sayangnya Seli yang sambil ber-hah kepedasan menghabiskan semangkuk baksonya seperti kehabisan ide percakapan selain tentang
kejadian di lorong kelas.
"Tidak membicarakan apa pun." Aku malas menanggapi.
"Masa iya?" Seli menyelidik. "Sampai bertengkar begitu."
"Siapa yang bertengkar? Dia saja yang selalu menyebalkan. Mencari masalah," aku mengarang jawaban.
"Eh, kalian tidak sedang membicarakan PR matematika, kan? Mengerjakan PR di lorong tadi?" Seli tertawa dengan kalimatnya sendiri.
Aku melotot, mengancam Seli dengan bola bakso.
"Bercanda, Ra. Kamu sensitif sekali pagi ini. Aku saja yang dia tabrak tadi di anak tangga nggak ilfil. Biasa saja." Seli nyengir tanpa dosa.
Semangkuk bakso kantin ini lumayan lezat, apalagi saat udara dingin, tapi topik pembicaraan ini memengaruhi lidahku. Apalagi menatap wajah jail Seli.
"Kamu tahu, Ra," Seli tiba-tiba berbisik, menurunkan volume suara, di tengah ingar-bingar kantin yang dipenuhi teman-teman sekolah, yang cepat merasa keroncongan saat udara dingin begini.
"Tahu apanya?" Aku tidak semangat menatap wajah penuh rahasia Seli.
"Ali pernah ikut seleksi Olimpiade Fisika," Seli masih berbisik.
"Terus apa pentingnya?" Aku mengangkat bahu tidak peduli.
"Dia peserta seleksi olimpiade paling muda sepanjang sejarah, Ra. Waktu itu dia masih kelas delapan. Dia nyaris masuk dalam tim yang dikirim ke entah apa nama negaranya, Uzbekistan kalau tidak salah. Dia termasuk enam siswa paling pintar, genius malah. Itu penting sekali, bukan?" Seli ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. "Tapi si biang kerok itu batal dikirim. Pada minggu terakhir seleksi, dia meledakkan laboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi. Iseng melakukan percobaan entah apa. Betul-betul meledak, Ra."
"Dari mana kamu tahu itu?" aku basa-basi menanggapi.
"Perusahaan tempat papaku bekerja jadi sponsor utama tim olimpiade itu, Ra. Kejadian itu dirahasiakan, wartawan hanya tahu tim
olimpiade pulang membawa beberapa emas dua minggu kemudian. Kata papaku, profesor pembimbing tim olimpiade tetap ngotot membawa Ali, bilang bahwa anak itu yang paling pintar. Dan menurut sang profesor,
rasa ingin tahu kadang membuat seseorang nekat melakukan sesuatu, dan itu bisa dimaklumi, tapi panitia lokal menolaknya. Ali batal jadi peserta Olimpiade Fisika termuda sedunia."
Melihat wajah Seli yang semangat bercerita, aku setengah tidak percaya, setengah hendak tertawa. Lihatlah, Seli berbisik seperti sedang menceritakan kisah berkategori top secret—Seli sepertinya terlalu banyak menonton serial Korea.
"Nah, Ali juga sudah empat kali pindah-pindah sekolah selama SMP." Seli mengambil sambal setengah sendok, tadi dia kebanyakan
menumpahkan kecap, membuat baksonya jadi terasa manis. "Empat kali, Ra. Itu rekor."
"Kamu tahu dari mana?"
"Kalau yang ini sih sudah rahasia umum." Seli ber-hah kepedasan lagi, volume suaranya kembali normal. "Semua anak di sekolah ini juga
tahu. Kamu saja yang tidak memperhatikan, lebih suka menyendiri di
dalam kelas saat bel istirahat. Ali dikeluarkan dari sekolah, katanya sih karena sering berkelahi."
Aku tidak tertarik dengan cerita Seli. Aku sedang menatap kasihan temanku itu. Lihatlah, dia sekarang menumpahkan kecap lagi. Sudah empat kali Seli bolak-balik menambahkan sambal dan kecap di mangkuk baksonya, membuat bening kuah bakso berubah hitam.
"Nah, saat penerimaan sekolah baru kemarin, banyak SMA yang menolak menerimanya. Katanya sih bukan semata-mata karena dia sering berkelahi. Tapi seram saja." Seli menyeka keringat di dahi.
"Seram apanya?"
"Seram kan kalau kamu harus menerima murid sepintar dia? Guru-guru kita saja sering grogi di kelas kalau dia mulai bertanya yang aneh-
aneh. Kalau kamu dalam posisi harus mengajari anak sepintar dia, pasti
kamu salah tingkah. Horor dalam arti berbeda. Hanya Miss Keriting yang
tidak peduli, bahkan tega menghukumnya." Seli nyengir lebar.
Aku ber-oh pelan. Aku lebih tertarik menghabiskan baksoku.
"Sebenarnya sih... eh, tapi kamu jangan marah ya?" Seli tiba-tiba terlihat seperti menahan tawa.
Apa lagi ini? Tanganku yang menyendok bakso terhenti.
"Tapi kamu jangan marah ya, Ra...," Seli mengulangi.
Aku menggeleng. "Kenapa aku harus marah? Aku tidak peduli kamu cerita tentang si biang kerok itu."
"Ali tuh sebenarnya termasuk gwi yeo wun..." Seli kini sungguhan tertawa.
"Gwi yeo wun?" Dahiku terlipat.
"Cute, Ra. Kalau saja dia lebih rapi, sikapnya lebih manis, rambutnya diurus, pasti mirip bintang serial Korea yang aku tonton.
Serasi sekali dengan Ra yang manis dan berambut panjang."
Kali ini aku sungguhan menimpuk Seli dengan bola bakso. Seli
tertawa dan cekatan menghindar. Tapi gawat! Baksoku mengenai kepala
anak kelas dua belas! Kami terpaksa bergegas kabur dari kantin, sambil
berteriak ke tukang bakso bahwa bayarnya nanti-nanti.
"Kamu cari masalah, Ra. Cewek itu ketua geng cheerleader." Seli berlari-lari kecil menarikku, berbisik sebal. Aku patah-patah mengikuti
langkah kaki Seli, melewati keramaian kantin.
Tadi itu jelas-jelas bukan salahku. Sasaranku kepala Seli, dan salah siapa mereka duduk persis di belakang Seli?
"Semoga mereka tidak tahu kita yang melemparnya." Seli nyengir.
"Bakso yang kamu lempar telak mengenai kepalanya. Mereka pasti lagi marah-marah mencari tahu siapa yang melempar."
Kami bergegas kembali ke kelas. Ruangan kelas X-9 masih kosong, hanya ada Ali yang entah kenapa sedang berada di meja kami, seperti habis melakukan sesuatu. Seli melotot, mengusirnya.
Ali hanya mengangkat bahu, merasa tidak bersalah. "Sejak kapan orang dilarang duduk di kursi mana saja saat istirahat?" dalihnya. Dia bersiap mengajak bertengkar.
Aku menyikut Seli, menyuruhnya tidak menanggapi Ali.
Setidaknya, hingga bel sekolah berbunyi, tidak ada kejadian yang membuatku tambah jengkel. Pelajaran bahasa, aku suka. Aku memasang wajah semringah selama pelajaran berlangsung. Sepertinya hampir
seluruh teman sekelas menyukai guru bahasa kami. Dia persis seperti tutor acara berbahasa yang baik dan benar di siaran televisi nasional, pintar, tampan, dan pandai bergurau. Hanya Ali yang tampak kusut, dengan wajah tertekuk di pojokan kelas. Aku tertawa dalam hati, meliriknya, mengingat cerita Seli di kantin tadi yang entah betul atau tidak, mungkin Ali benci pelajaran ini karena tidak tahu bagian mana
yang bisa diledakkannya.
Bel pulang sekolah bernyanyi kencang, dengung gaduh memenuhi seluruh bangunan sekolah. Aku pulang naik angkutan umum bersama Seli.
Sayangnya, tiba di rumah aku menemukan masalah baru. Masalah dengan dua kucingku. Dan itu lebih serius dibanding kejadian tadi pagi di sekolah dengan sosok tinggi kurus yang mendadak muncul kemudian
hilang di depan mataku.
.
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!