Kasus bullying di Indonesia semakin hari semakin menjadi, tapi tak jarang orang menutup mata atas apa yang terjadi karena pelaku biasanya manusia dengan posisi. Serius. Meski banyak yang menggembar-gemborkan kalau pendidikan selalu menjunjung keadilan dan berjuang 'mendidik' anak bangsa, pah, sejatinya mereka tetap juga tunduk dengan uang.
Sean sedang mendengarkan kawan-kawannya membicarakan topik ini sambil makan bakso. Dia bolos ceritanya, nggak sih, ketiduran tadi di lab bahasa dan berakhir belum selesai makan pas bel tanda masuk berbunyi. Akhirnya ya … begini.
"Gils dibully gini, padahal manis lho ya ..." teman Sean menunjuk wajah berhijab di video pembullyan yang menjadi topik mereka. Awalnya dia tak tertarik, tapi melihat betapa teganya ada laki-laki tak berotak yang menginjak-injak perempuan, dia mendekatkan diri. Manik biru melirik ke bawah, ke arah adegan tak terpuji di ponsel 6.5" di sana.
"Njir. Tega nian," komentar Sean, cepat dia rebut tuh ponsel dan mendekatkan benda itu ke mukanya. Matanya melotot seperti enggan meluputkan detail yang terjadi di sana. "Gilak. Bajing bener ye ..." Sean bergidik ngeri, dia lempar ponsel itu pada sang empunya, makhluk bernama Keynan yang sedang menguyah empal sambil membenarkan jepit di rambut kirinya. Keynan kelabakan, dia melotot kesal ke arah Sean begitu mendapatkan ponselnya. "Gua nyicil nih hp belum lunas, lu jangan asal lempar, sultan!" protes makhluk bermata tajam itu kesal.
Sayangnya, Sean tak mendengarkan. Dia menoleh ke temannya yang lain, yang asyik menyeruput mie goreng. "Kenapa dia bro?" Sean bertanya, mukanya serius sekali. Lagaknya dia seperti superhero yang ingin mengadili ketidakadilan.
Pemuda berahang kokoh dengan hidung mancung dan berkacamata di sana menunjuk mulutnya. Sean paham apa yang dia maksudkan, 'aku sedang makan, nggak bisa bicara. Belum dikunyah 32 kali.' Yang mana itu membuat si pemilik rambut coklat kembali memandang Keynan.
"Lu tadi habis manis sepah dibuang-in gua Sen. Sekarang lu balik lagi tanya ke gua?" Keynan mendelik, matanya tunjukkan kekesalan yang hakiki. Namun Sean cuma mengibaskan tangan dan berkata enteng, "kek lu gua baru kenal aje. Gua juga bukan buang lu, cuma lempar hp lu sambil tes ketangkasan."
"Hp itu belum lunas, bambang!"
"Ye tapi yang penting kan nggak jatuh sih?"
"Poinnya nggak di situ!"
Blablablablabla. Keynan dan Sean auto cekcok sambil gebrak-gebrak meja. Si kacamata, Nanda, yang merasa masih waras dan tak ingin diganggu makannya sampai pindah tempat. Namun sudah, gitu doang, dia tidak berusaha melerai mereka sama sekali.
Baru ketika dia sudah selesai makan, sambil mengelap bibirnya dengan tisue, Nanda berkata santai, "jadi ceritanya anak perempuan itu tak mengerjakan tugas yang diperintahkan padanya. Doi bilangnya sih 'tugas dari guru loh numpuk, aku nggak kuat kalau harus mengerjakan punya kalian berempat juga'"-Nanda menirukan suara gadis itu lengkap dengan sesegukannya-"nah tapi cunguk itu nggak mau tau, mereka begini, 'halah banyak alasan! Bacot tok! Mati aja kamu!' sambil emosi."
Sean dan Keynan yang masih saling renggut kerah bagian depan dan acungkan kepalan tangan mengerjap. Mereka tak membayangkan Nanda menjelaskan dengan cara role playing menjadi perempuan berhijab itu dan sang penganiaya dengan casting dirinya sendiri, berperan ganda.
Namun ternyata Nanda belum selesai. Dia berdiri ke arah kedua temannya sambil mengacungkan jari seperti guru TK mengajari murid-muridnya, "lalu apa yang terjadi?" jeda sejenak terjadi, Nanda menelisik ekspresi cengo Sean dan Keynan. "Karena kesalahan itu bullying dimulai. Setiap hari. Setiap waktu. Mereka akan"-Nanda mendekat ke arah kursi kosong-"begini," lanjutnya sambil menendangi kursi itu. Dia memperagakan seolah-olah dirinya para cunguk biadab yang lagi melakukan bullying.
Sean dan Keynan sampai lupa mereka sedang berantem. Dua manusia itu kini duduk bersisian dan membuat ekspresi 'woooo' 'woooa' 'kakkooooiii' dan bertepuk tangan sesekali melihat drama yang dipentaskan oleh Nanda dengan sutradara dan casting dirinya sendiri.
Ibu-ibu penjual di dapur hanya bisa melengos melihat kelakuan mereka bertiga. Heh. Banyak yang bertanya mengapa Nanda yang kalem bisa berteman dengan Keynan si suka berantem dan Sean yang jago ngomporin orang buat adu tinju. Ya, begitulah, di situ—apa yang sedang terjadi kini—merupakan alasan mengapa.
Orang absurd memang kumpulannya dengan orang absurd juga.
"Tapi nih ya, kenapa nggak lapor guru saja?"
Pertanyaan Sean yang itu dibalas oleh Nanda. Masih dengan cara berdrama, intinya dia menjelaskan jika orang tua anak itu tidak ada di rumah, lalu guru wali kelas juga bodo amat. Beliau menganggap kasus ini semacam 'kenakalan remaja' biasa. Sempat dia melapor, hasilnya? Dia digencet sampai babak belur.
Sean geleng-geleng mendengar penjelasan kawannya ini. Dia sadar bahwa pembullyan bisa terjadi dimana saja, kapan pun itu. Motifnya mungkin tak masuk diakal dan kerap dikesampingkan orang dewasa, tapi yang terjadi di lapangan loh ... bullying. Sekali bully ya bully, tak bisa dikategorikan 'kenakalan remaja'.
Beberapa menit berikutnya, Nanda meneruskan kisah yang ia bawakan. Dia menceritakan pula bahwa yang mengupload dan menjadikan bullying itu konten tektok adalah seseorang yang tak mau disebutkan namanya dan sudah tak tahan dengan ketidakadilan yang terjadi. Dia tak kuat para Guru yang berusaha menganggap hal itu bukan perkara besar. Namun disatu sisi, dia sadar jika dirinya tak memiliki power. Oleh karena itulah, saat ada kesempatan, dia merekam apa yang terjadi lalu mengupload menggunakan ponsel salah satu pembully, jadi mereka tak menyadari hal ini. Sampai yah … viral. Lalu kepsek turun tangan untuk menindaklanjuti kasus yang bahkan sudah tersebar sampai pelosok negeri ini.
"Woa … jadi begitu," Sean bertepuk tangan lagi. Keynan mengikuti apa yang dilakukannya sambil melirik tajam. Sean mengerutkan kening melihat hal ini, dia tak paham sebelum akhirnya mengerti jika tepukan Keynan lebih kencang. Akhirnya, karena tak mau kalah, mereka lomba tepuk tangan.
PLAK PLOK PLAK PLOK PROK PROK PROK—berisik sekali.
Nanda sampai menghadeh dan menepuk jidatnya sendiri dengan kelakuan dua manusia itu. Dia melipir ke kasir, membayar makanannya dan beranjak pergi, tapi tiba-tiba dua manusia melingkarkan tangannya di leher Nanda. Satu dari sisi kiri. Satu lagi dari kanan.
"Kita kan belum kelar Ndo, masa lu udah cabut aje?" Sean bertanya, nadanya tampak sedih. Jelas, kesedihannya dibuat-buat. Sedang Keynan, dia bertugas menyeret Nanda kembali ke posisi mereka semula dan menungguin dua temannya yang dari tadi cekcok sampai makan nggak kelar-kelar. Bro, mereka sudah telat 20 menit dan sepertinya dua orang ini santuy melentuy.
"Jadi gengs, kalau gua nyari orang nih ya, nggak ketemu-ketemu … pakai konten yang dikemas apik dan divirallin pasti bisa sampe ke orang itu, kan ya?" Sean memandangi dua rekannya dengan tatapan penuh kepercayaan diri. Keynan yang langsung menjawab, "pede amat konten orang ilang lu bakal viral," yang entah kenapa rasanya seperti belati menusuk hati Sean. "Masih untung ada yang baca. Lu mah apa yang dijual, Sen?" JLEB. Tusukan kedua menancap di relung jiwa. Duh Tuhan, kalau mutilasi nggak dosa, Sean udah mutilasi Keynan sekarang juga.
"Lu itu ya … gua seri—nyam, Nan. Lu kok suapin gua?" Sean yang sudah mau emosi, berhenti marah-marah dan melihat ke arah si kacamata yang tiba-tiba memasukkan bakso ke mulutnya. Ternyata, ketika dia menoleh, kini Nanda menyendok nasi campur dan giliran Keynan yang disuapin.
"Yak, adek-adek. Jangan banyak cingcong. Sekarang makan atau gua urap nih makanan di rambut kalian!" menggeram, pemuda bermata biru cerah itu mengancam dua temannya. Dia mengoarkan aura berbahaya yang menjanjikan kematian kalau sampai Sen dan Ken menolak atau memperlama waktu makan mereka.
Akhirnya, dalam keheningan, mereka berdiam. Saling suap-suapan.
[]
Sean, Keynan dan Nanda bukan teman satu kelas dan juga bukan teman satu jurusan. Sean masuk ke dalam Teknik Mesin, Key menjadi penghuni Teknik Otomotif, sedang Nanda dia adalah makhluk dari Teknik Teknologi dan Rekayasa. Jadi, begitu keluar dari kantin, mereka pergi ke ruangan mereka sendiri-sendiri.
Si pemilik rambut coklat lurus ini, dia memilih untuk berkelok ke kanan dan menyusuri celah antara bangunan kantin dan bengkel struktur bangunan. Sengaja, Sean memilih jalan tikus agar tak ketahuan dia bolos kelas. Lurus pintu utama masuk kantin tadi adalah Ruang Guru BK, biasanya, mereka stand by mencyducc siapa saja yang mampir ke kantin tidak pada jamnya.
Ruang kelas Sean bukan ke arah dia berjalan kini, tapi dia memang ingin mampir ke laboratorium CNC sejenak. Sebelum ke kantin dia menjalankan program di mesin 5 axis itu, dia ingin melihat progress komponen yang ia buat sudah sejauh apa. Hanya saja, sedang asyik-asyiknya menyeruput jus alpukat, Sean mendengar suara benturan keras DUAK!
Seketika dia terdiam. Alisnya bertaut dan mata biru gelap itu menajam. Dia menoleh ke belakang, mengamati apakah ada orang di sana. Tak ada. Dia adalah satu-satunya yang berada di sini, di jalanan kecil seperti lorong yang tembus ke area pengolahan sampah dan gardu utama listrik sekolah. Sudah menjadi rahasia umum kalau area ini jarang dikunjungi orang karena selain bau juga tak ada apa-apanya.
Tapi tadi?
Menghirup napas dalam-dalam, Sean menepiskan segala pemikiran konyol. Dengan seksama, ia mendengarkan darimana sumber suara ini berasal.
DAK DUK DAK DUAK BRAK, lagi, Sean mendengarnya. Dia menegang. Memang STM apalagi yang berkecimpung dalam teknik memiliki banyak tempat yang berikan suara bising, hantaman atau barang-barang keras bertumbuk. Namun entah bagaimana, otak Sean memikirkan hal beda.
Suara ini terlalu kasar untuk kegiatan di dalam bengkel.
Karena sayup-sayup … Sean mendengar suara tangisan.
Jantung pemuda itu berdebar kencang. Satu dua, dia mencoba mengambil langkah pelan. Dengan penuh kehati-hatian, ia menggerakkan kakinya, indra pendengar menajam beberapa kali lipat.
"~~~un."
Rasanya listrik 1000 volt menyetrum sekujur tubuh Sean begitu dia mendengar suara itu. Rintihan! Seseorang benar-benar merintih, atau menangis, sama saja! Pokoknya ada orang kesakitan!
Tapi kenapa dari tempat yang tidak ada orang?
Menahan napas, Sean mempercepat langkahnya. Dia berlari dalam keheningan, menyusur lorong sempit. Saat dia berada di ujung, cepat-cepat Sean merapatkan diri di dinding kantin. Pelan dia melirik ke balik sana, ke arah utara. Di belakang tempat pembakaran sampah ada gudang tak terurus, biasanya dipakai menjejalkan barang-barang yang siap kirim ke pasar loak. Nah di sana, Sean bisa melihat seseorang sedang melindungi kepalanya dan tiga manusia lain menendangi makhluk malang itu.
"He-hentikan …" pinta memelas terlempar dari bibir lelaki berambut keriting dan berkulit tan di sana. Dia memeluk kertas sobek-sobek dan buku setengah hancur sambil menunduk, berusaha mengurangi dampak mengerikan tendangan amatiran yang tengah menghabisinya. "Ampun, saya mohon … tolong hentikan," sosok itu meminta lagi, dari suaranya dia seperti menangis.
"Woi, dia nangis woi! Nangis!" tawa menggelegar mengikuti seruan itu. Kemudian DAK DUK DUAK! terdengar. "Lu cewek apa cowok atau cewok sih? Geli gua geliii. Duh mampus saja lu daaah. PUS MAMPUUUS! HAHAHAHA!" si plontos itu berkata lagi sambil terus melayangkan pukul, menghantam kepala si rambut keriting di sana, mengimbangi dua temannya yang sibuk menendang perut dan menginjak-injak kaki.
"JANGAN NANGIS SAT! TAR LU NULARIN VIRUS GEI!! HAHAHA!" kali ini yang berseru adalah sosok gondrong yang rambutnya dikuncir mungil menyerupai ekor tikus. Dia sambil menghina terus menggerakkan kakinya di kaki-pantat-kaki-pantat orang itu.
Sean yang melihat hal ini hanya bisa menghirup napas panjang-panjang, tangannya terkepal kuat, bergetar. Bolak-balik dia harus memantrai dirinya sendiri untuk tidak menerjang ke sana tanpa persiapan. Dari suara, dia tahu cunguk keparat itu bukan anak kelas XII dan bukan jurusan mesin. Dia harus ekstra hati-hati memperlakukan seseorang yang keluar dari batasnya.
Menggeretakkan gigi, Sean melotot ke arah tiga biadab itu. Dia jelas-jelas sudah memberikan peringatan pada seluruh siswa di STM Nusantara jika mereka tak boleh saling serang teman sendiri. Kenapa? Biar solidaritas mereka tetap kuat. But what the fucking shit is happening right now?!
Sean berpikir keras, jusnya sudah lama dia lupakan. Di saat itulah dia mendengar satu dari mereka berkelakar dan menghina profesi orang tua. Yang dari tadi menyerang perut itu yang memulai, dia memojokkan pekerjaan orang tua sosok yang ia bully lalu mengatakan sesuatu seperti, 'kalau orang tuanya saja pak sampah ya kagak heran anaknya jadi sampah masyarakat.'
Di sini, Sean tak bisa tinggal diam. Dia paling tak suka kalau ada orang bawa-bawa orang tua di permasalahan mereka di sekolah. Di mata Sean, bersembunyi di ketek keluarga sangat tak lakik sekali; cemen kuadrat.
Sean membulatkan tekad. Dia ambil ponsel, diam-diam merekam tindak kekerasan di sana. Berkali dia melakukan zoom in zoom out sebelum stop dan memasukkan ponsel itu kembali dalam saku celana. Namun tentu untuk jaga-jaga, mode rekam: on.
Siswa kelas XII itu kemudian meregangkan badan sebentar. Tangan ditarik, kepala kemudian kaki. Tuk wa, tuk—
Sebelum tiba-tiba kakinya bertolak.
Dia menghilang.
Dalam sekejap mata, Sean yang sedang meregangkan kaki berpindah ke belakang manusia sombong di sana. Jarak yang memisahkan tak jadi soal, bahkan dalam hitungan detik, dia memutar badan, melayangkan tendangan samping ke arah perut. Membuat si penerima melayang hingga dia membentur jaring area pengolahan sampah.
Berikutnya, bahkan sebelum dua temannya bereaksi, Sean menggerakkan tangannya ke arah pemilik rambut ekor tikus. Kepalan tangannya melesak di pipi orang itu dan membuatnya terhuyung ke belakang.
"Keparaaaat!" spontan yang tersisa dari pembully itu melancarkan serangan. Tinjuan lebar mengarah ke dada kiri Sean, tapi mudah ia hindari. Yang si penyerang ketahui adalah tiba-tiba tangannya terkunci, lalu dia dilempar kuat-kuat. Detik berikutnya dia menghantam kaki-kaki kuat gardu listrik sekolah.
Melihat cecunguk-cecunguk itu merintih dan berusaha berdiri, Sean menganga, "Njir. Lemah ternyata? Gua kira seterong," komentarnya dengan muka penuh kekecewaan.
"Bangsat!"
"Bajingan!"
Umpatan bisa Sean dengar terlontar bebarengan, yang melakukan adalah orang pertama dan kedua yang dia hajar. Mereka sudah mengepalkan tangan dan berniat maju menyerang sebelum tiba-tiba dipaksa berhenti dengan seruan, "STOOOP!" manusia plontos yang Sean hajar terakhirlah yang berteriak. Pintar.
"Hah? Kenap—"
"BERISIK!" sebelum teman gondrongnya berbicara lebih banyak, si plontos itu memenggal.
"SENDRO! Ada ap—"
"DIEM BIM!"
Sean tertawa melihat perseteruan ini, dia tepuk tangan heboh sekali. Wajahnya puas. Dua orang yang tak paham situasi langsung mendelik, tapi Sean tak peduli.
"M-maafkan kami karena mengganggu aktifitas kakak!" sosok yang sepertinya adalah ketua dari tindakan bullying ini menekuk punggungnya 90 derajat, menghormat ke arah Sean. Dia sedikit bergetar ketika melakukan ini.
Yah. Sudah ia duga, leader dari kekonyolan ini setidaknya masih punya otak.
Pinter.
[]
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK