Benci.
Benci.
Dendam.
Aku ingin membalas dendam!
Sonya dan Ibu, Aku ingin membalaskan dendam mereka.
Aku ingin membunuh!
"Mari kita lihat takdir dunia ini."
Aura kegelapan mencengkam muncul di sekeliling Alviena. Kegelapan itu berpijar seperti sebuah pilar yang menerobos langit. Setelah pilar cahaya hitam itu menghilang, Alviena telah berdiri dengan mata berwarna merah terang, sebagian rambutnya dari bawah berubah warna menjadi merah, menyisahkan warna hitam dari poni sampai pucuk kepalanya saja.
Gadis itu sekarang terdiam berdiri di sana, dia seakan sedang menunggu sesuatu. Ya, dia sedang menunggu Arma keluar dari balik kegelapan.
Sampai kemudian sosok itu muncul dari balik kabut kegelapan.
***
Ketika berhasil keluar dari dimensi kegelapan itu, Arma terkejut mendapati seorang perempuan berdiri di hadapannya. Mata merah bernyala terang dengan tatapan setajam mata elang membuat bulu kuduk merinding karenanya.
Apalagi setelah Arma menyadari seluruh benua Azella lenyap, pepohonan, bangunan istana, dan rumah-rumah warga yang terbakar telah lenyap tak berbekas. Bahkan rerumputan tempat mereka berdua berdiri sekarang hanyalah pasir. Seluas apapun pandangan yang diedarkan hanyalah pasir yang dapat dilihat. Kegelapan yang melingkupi Arma tadi bukan hanya sekedar ruang dimensi tapi juga dimensi yang telah menelan seluruh kehidupan di benua Azella hingga membuat benua Azella menjadi padang gurun.
Arma tidak bisa bergerak, tubuhnya mulai bergetar, dan peluh menetes dari dagunya. Ketakutanlah yang saat ini dia rasakan. Sebagai seorang yang sudah lama tidak merasakan takut, ketakutan yang saat ini Arma rasakan seperti mengungkit kembali ketakutan yang dulu pernah dia rasakan, rasa takut yang amat mengerikan.
"Apa kau punya alasan untuk membunuh Ibuku dan semua orang di sini?"
Arma tersentak kaget, ketika gadis di depannya itu bicara. Dia tidak dapat membalas perkataan itu. Pita suaranya seperti telah diambil, pikirannya kosong, satu-satunya yang masih ada dalam pikirannya adalah bagaimana lolos dari situasi sekarang.
Dengan rasa takut juga gemetar, Arma ingin menyerang Alviena, namun terkejut saat sadar katana yang dia pegang ada di tangan gadis di hadapannya.
"Sejak kapan?" gumam Arma seraya berusaha bergerak saat melihat Alviena mengayunkan katana.
Sayang gerakkan Arma tidak cukup cepat. Serangan barusan telah berhasil memotong tangan kiri Arma. Lelaki itu dengan cepat mengambil langkah mundur walaupun harus terhuyung-huyung tapi Arma tetap bisa mempertahan posisi berdirinya.
"Jadi ini wujudmu yang sebenarnya?"
Arma malah terkekeh, seolah rasa sakit dan darah yang mengalir dari tangannya yang terpotong itu bukanlah masalah berarti. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong jubahnya. Di telapak tangan kanannya ada bola hitam yang didekatkanya ke mulut kemudian dia tiup membuat bola hitam itu terbang, bola hitam itu memecah menjadi ratusan di atas langit kemudian memencar, berjatuan disegala penjuran benua dunia Synetsa.
Arma masih sanggup untuk tersenyum sekalipun bibirnya mulai mengeluarkan darah. "Aku yang sekarang mungkin belum sanggup untuk melawanmu."
Makhluk besar berwarna hitam, monster itu adalah kakak Dark, Anger. Muncul di belakang Arma dengan mata merahnya bernyala terang. "Untuk sekarang aku akan mundur. Sampai waktu kita bertemu lagi, mari kita lihat siapa yang akan menjadi Penguasa Kegelapan."
Alviena dengan cepat berlari bagai angin, saat katana yang ia pegang ingin menusuk Arma, lelaki itu menghilang bersama Anger tanpa jejak.
Katana yang dipegang gadis itu jatuh bersama dengan dirinya yang kembali terduduk. Air mata kembali membasahi pipinya, Alviena menatap kedua telapak tangannya yang bergetar penuh darah. Dan dalam kegelapan yang terus melingkupi seisi dunia Synetsa, gadis itu tetap diam terduduk hingga.....
***
Arma terengah, dia muncul kembali di hutan yang telah memenjarakannya selama 15 tahun.
"Untuk sekarang aku akan kembali ke gua itu." Setiap melalui beberapa pohon, Arma akan berhenti untuk bersandar. Tubuhnya terasa sakit luar biasa, darah dari tangan yang terpotong terus mengalir. Dia membiarkan darah itu menetes di jalan setapak tengah hutan, menciptakan jejak-jejak berupa bercak kehitaman di tanah.
Ketika Arma sedang beristirahat untuk mengumpulkan tenaganya, sosok hitam bermata merah muncul, abdinya yang setia muncul dari balik pepohonan di dalam kegelapan.
"Yang Mulia. Anda terluka." sosok hitam itu bergerak sigap, ia mengeluarkan botol dari dalam mulutnya. Botol yang berisi ramuan dari daun Cancela. "Minumlah Yang Mulia." Dibukannya penutup botol itu dan diulurkanya ke arah Arma.
Arma meneleti botol kecil yang berisis cairan berwarna merah gelap, cairan itu adalah ramuan dari daun Cencela yang biasa dipakai untuk mengurangi rasa sakit dari dalam. Ada kesenduan dalam jiwanya ketika ingin meminum ramuan itu. Ramuan yang sangat mujarab tapi akan berbahaya ketika jiwa kegelapan yang meminumnya.
Cairan itu tidak pahit tapi akan membakar jiwa kegelapan siapapun. Ramuan yang tidak bagus untuk seorang Arma yang dikelilingi oleh kegelapan. Cairan yang dapat langsung menghilangkan rasa sakit apapun tapi juga dapat membunuh langsung jika tidak sanggup menahan rasa terbakarnya, yang akan merubah dirinya menjadi monster tengkorak hidup.
Tetapi tidak ada pilihan lain. Ia sudah sekarat kehabisan darah, dan cairan merah itu adalah satu-satunya obat yang bisa memulihkan dalam waktu singkat.
Arma memejamkan matanya, menahan rasa sakit terbakar yang luar biasa saat sedikit saja cairan itu masuk ke mulutnya, tetapi Arma terus meminum cairan itu hingga menghabiskannya.
Lama Arma menutup matanya dengan menahan rasa sakitnya, dan baru membuka kelopak matanya ketika dia sudah tidak merasakan sakit. Seluruh tubuhnya sudah membaik, tangan yang terpotong itu sudah berhenti mengeluarkan darah, dan tenaganya seakan telah kembali semua.
Arma tersenyum, senyum licik yang sudah dia tahan dari tadi.
Bola hitam yang dia lepaskan adalah benih-benih dendam dari semua prajurit yang mati di dalam hutan tempat Arma terkurung. Benih dendam yang begitu kuat tercampur dengan kekuatan kegelapannya telah mengubah hewan-hewan di seluruh dunia Synetsa menjadi monster.
"Era kegelapan akhirnya dimulai." suara Arma pelan dan bergetar karena menahan tawa yang hendak terus keluar dari bibirnya yang terseringai mengerikan.
***
Seluruh Dunia Synetsa telah tenggelam dalam kegelapan. Tidak ada lagi siang atau malam, karena cahaya matahari telah tertutupi oleh roh-roh kegelapan yang berbaur bersama awan.
Seluruh bangsa dari empat benua di dunia Synetsa mulai berkumpul, mereka bekerja sama untuk mengembalikan cahaya. Tapi dalam dunia yang di penuhi oleh monster, dan bangsa-bangsa yang berselisih paham, membuat dunia Synetsa berkecamuk dalam perang.
Maka dibuatlah perbatasan untuk ras yang mau bekerja sama mengembalikan cahaya dan ras yang memilih berperang.
***
Di timur benua Pearlice. Di mana seluruh benua itu selimuti oleh salju dan iklim udara yang ekstrem. Tidak banyak kehidupan yang dapat ditemukan di benua itu. Hanya ada satu kerajaan di sana, berdiri di perbukitan, dikawasan yang terselimut salju tebal dan udara yang sangat dingin.
Meskipun begitu, di dalam istana megah yang terbuat dari bongkahan es itu, ada kehidupan!
Istana itu berada di bawah kekuasaan ras Edavender. Ras yang juga dikenal sebagai penakluk dewa. Jumlah mereka memang sangat sedikit tapi kekuatan mereka dipercayai melebihi dewa.
Sang Raja menyipitkan matanya menatap seorang bawahannya yang sedang membungkuk hormat dengan kepala hampir menyentuh lantai.
"Bagaimana dengan hasilnya?" suara Raja itu pelan dan tanpa emosi, tetapi itu juga yang menjadi momok menakutkan bagi kalangan bawahnya.
"Saat kami tiba di benua Azella untuk melakukan ekspansi, tepatnya di kota Agalta. Semua kehidupan di sana telah mati bahkan daratannya berubah menjadi padang gurun." Bawahan itu menahan suaranya yang bergemetar, kepalanya kian dibuatnya menunduk dalam-dalam.
"Apa maksudmu?"
"Kami tidak tau pasti siapa yang melakukan semua itu, tapi..." Bawahan itu sedikit mengangkak kepalanya agar dapat melihat junjungannya.
Seorang pria tua yang membaluti seluruh dirinya dengan jubah emas dan sebuah pedang besar bertahtakan emas berteger di punggungnya. Mata coklatnya begitu cerah, dan kulit keriputnya tak menghilangkan ketegasan di wajahnya.
"Kau berani mengangkat kepalamu." Bahkan suaranya tertengar begitu tegas dan kuat. "Apa kau bosan hidup jenderal Hou."
"Ampun Yang Mulia, Arthur. Anda harus segera melihat keluar."
"Kau berani memperintahku Hou?"
"Ampun Yang Mulia." Tubuh Hou bergetar ketika mendengar suara yang mengancam itu. "Hampa sama sekali tidak berani untuk memperintah Anda tapi saat ini seluruh dunia Synetsa sudah hampir tenggelam dalam kegelapan."
Raja Arthur tergelak, ia segera berjalan ke balkon di luar jendela istana. Bola mata coklatnya membulat sempurna saat melihat roh-roh hitam terbang menutupi langit-langit di sekitar kerajaannya. Namun, tak lama setelah kegelapan melingkupi semua benua Pearlice, Arthur tersenyum.
"Jadi tahta perebutan Penguasa Kegelapan ada yang memulainya." Arthur menatap kelam di langit yang sudah dipenuhi oleh roh-roh kegelapan yang membaur seperti awan.
"Mungkin tak lama lagi aku juga dapat bertemu denganmu, Yogo."
***
Hanya sedikit yang mengetahui, mengapa ada ras yang memilih untuk bertarung dibanding mengembalikan cahaya di dunia Synetsa.
Namun ada juga orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai pahlawan. Pahlawan yang akan menghentikan perang dan juga mengembalikan cahaya di dunia Synetsa.
.... Hingga 300 tahun berlalu kegelapan di dunia Synetsa belum juga bisa dikembalikan.