Aku sedang berdiri menunggu Alex keluar di depan Gereja St. Martel. Ada rasa cemas dalam benakku karena, karena Alex selalu bicara apa adanya tanpa memikirkan akibat dari ucapannya. Bisa-bisa dia akan menyinggung uskup agung yang malah akan membuat masalah baru lagi. Aku benar-benar tidak bisa paham dengan pola pikir Alex yang 'abnormal' itu.
Setelah menunggu untuk beberapa waktu, akhirnya Alex keluar dari gereja. Dia terlihat baik-baik saja dan keluar dari gereja seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Meski begitu, itu tidak membuatku tenang sama sekali dan justru semakin membuatku penasaran.
"Apa kau baik-baik saja?" Tanyaku padanya. Meski aku bertanya seperti itu, Alex tetap terlihat tenang.
"Apa yang kau khawatirkan?" Alex bertanya balik kepadaku. Aku sedikit heran karena dia masih begitu santainya setelah bertemu uskup Johannes. Seakan-akan tidak terjadi masalah sama sekali.
"Apa uskup Johannes mengetahui sesuatu tentang masalah gadis kecil itu?" Ungkapku merujuk kepada seorang gadis kecil yang belum lama ini tinggal bersama Alex.
"Iya, Aku bahkan menceritakan hal itu padanya." Balas Alex dengan begitu tenangnya.
Untuk sesaat rasanya jantungku copot dan keluar dari tempatnya. Karena aku bergitu kaget sampai tubuhku sempat merasa kaku. Tapi hal yang tidak bisa kumerngerti adalah dia bisa dengan santainya mengahadap uskup sambil menceritakannya permasalahan itu.
"Tung-tunggu. Kau bercerita padanya? Bukankah kau malah memperburuk permasalahan ini!?" Ucapku dengan nada yang sedikit tinggi kepada Alex.
Alex baru saja menolong sorang gadis kecil, yang besar kemungkinan adalah seorang budak pelarian. Meski dalam ajarannya gereja parmos tidak menyetujui adanya perbudakan. Tapi disaat yang sama juga tidak menentangnya, terlebih sudah hal yang umum jika gereja parmos sendiri mengambil keuntungan juga dari perbudakan yang ada. Tentu akan ada masalah jika Alex diketahui membantu seorang budak pelarian seperti itu.
"Jangan khawatir tentang masalah itu. Uskup Johannes sendiri ingin membantuku. Dia punya wewenang dan koneksi jadi aku yakin dia bisa dengan mudah menangi masalah ini." Jawab Alex dengan santainya.
Aku terdiam karena ucapannya itu. Jika Alex sendiri sudah cukup tenang bagaimana mungkin aku harus merasa kerepotan karena masalah ini? Meski rasa khawatirku tidak menghilang, tapi aku hanya bisa percaya pada perkataan Alex. Dengan kepribadian uniknya ini, Alex tidak mungkin akan terkena masalah.
Kamipun melanjutkan perjalanan pulang. Namun ditengah jalan, Alex terhenti disaat melihat ada seorang bocah laki-laki yang terlihat sedang menyendiri di sudut taman. Tidak butuh waktu lama hingga dia pergi menghampiri seorang bocah laki-laki itu. Tanpa berkata padaku sedikitpun, dia pergi dengan begitu saja.
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi ini kali pertama aku melihat Alex peduli dengan orang lain. Selama ini dia selalu menutup diri, bahkan dengan keluargaku dia juga selalu menutup diri. Orang yang hidupnya bagai kura-kura itu sepertinya sudah mulai berubah dan belajar untuk terbang.
"Kenapa kau ada disni?" Tanya Alex pada bocah laki-laki itu.
"-"
"Kenapa kau hanya diam? Apa kau takut denganku?" Lanjut Alex berbicara dengan bocah itu.
Raut wajahnya berubah, tidak lagi datar namun bagiku hal itu masih membuatku sulit untuk membaca perubahan yang ada diwajahnya. Bibir pucatnya sedikit tersenyum dan matanya menatap dengan lembut. Ini baru pertama kalinya aku melihat Alex seperti ini secara langsung. Dia mulai berubah dan keluar dari penjara yang dibuatnya sendiri.
"APA MAU MU?!" Balas Bocah itu dengan berteriak.
Rasa kasihan dan iba yang sebelumnya sempat kurasakan saat melihat bocah itu mulai memudar saat dia berteriak seperti itu. Rasanya bocah itu tidak layak untuk mendapat rasa iba sama sekali. Setidaknya itu yang kupikirkan sekarang. Tapi, Alex tidak merubah ekspresinya sama sekali meski bocah itu berteriak tepat dihadapannya.
"Apa dengan berteriak, kau bisa menutupi semua itu?" Balas Alex dengan tatapan lembutnya. Biasanya dia selalu memberikan tatapan tajam dengan kesan sedikit mengancam. Tapi kali ini, tatapannya sangat jauh berbeda dari biasanya.
"Kau-"
"Aku tahu apa yang kau rasakan. Juga alasan kenapa kau memilih untuk lari dari kenyataan." Balas Alex dengan nada ucapan lembut yang dilanjutkan dengan usapan kepala.
Bocah itu terlihat menjadi lebih tenang saat Alex mengusap kepalanya. Aku sungguh terkejut dengan apa yang baru saja kulihat ini. Aku ingin sekali untuk mengucapkan sesuatu tapi disisi lain, aku tidak ingin menghancurkan suasana yang sudah dibuat Alex ini.
"Lari dari kenyataan yang ada, tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, aku akan membantumu." Balas Alex dengan senyum tipis menempel diwajahnya.
Sebuah senyuman yang sudah menjadi cirikhasnya selama ini. Senyum tipisnya itu bisa memiliki berbagai arti, tidak semua senyuman adalah tanda orang bahagia maupun senang. Alex pernah berkata demikian padaku belum lama ini.
"Ak-Aku..."
"Tenang pelan-pelan saja." Balasku berusaha untuk menenangkan bocah itu.
Setelah bocah itu sudah lebih tenang kami berdua memutuskan untuk membantu bocah ini. Tanpa perlu dilihat pun, bocah ini memiliki sesuatu yang tidak beres. Aku tidak mengenal bocah ini tapi dari pakaian yang dipakainya. Kemungkinan bocah ini merupakan anak dari seseorang kelas atas jika sekedar melihat dari penampilan luarnya saja.
"Aku gagal..." Balas bocah itu dengan raut wajah yang mulai berubah. Sorotan matanya yang tajam sekarang menjadi berubah seperti tidak berdaya sama sekali.
Sekilas aku mengingat perkataan Alex sebelumnya. Perkataan manusia tidak bisa dipegang sama sekali, karena orang bisa berkata apapun yang diingkannya untuk menyembunyikan kenyataan yang ada. Bocah ini berusah untuk kuat meski ternyata dia sebenarnya ada dalam kondisi yang rapuh.
"Semua orang pernah gagal dan akan gagal." Balas Alex dengan singkat.
Keheningan sempat tercipta sesaat Alex berkata demikian. Sebelum akhirnya dia melanjutkan perkataanya.
"Aku sendiri juga orang yang gagal." Lanjut Alex sambil menunjuk dirinya sendiri.
Suasana yang hening mulai berubah, dinginnya waktu yang mulai gelap tidak terasa. Aku maupun bocah itu sangat serius mendengar tiap perkataan Alex dengan seksama. Dia bukan orang yang mudah ditebak dan tidak seperti kebanyakan orang. Hal itulah yang membuat ucapannya menjadi berharga.
"Aku hanya ingin lebih membanggakan orang tuaku. Tapi aku gagal..." Balas bocah itu dengan raut wajah yang lesu.
Mendengar perkataan bocah itu, aku merasa seperti melihat diriku sendiri. Aku juga adalah orang gagal dan aku tahu rasanya menjadi seorang pecundang itu seperti apa. Orang selalu meremehkanku karena kegagalanku dan rasa penyesalan itu tidak mudah untuk hilang.
"Apa kau tahu, jika orang hebat adalah orang yang selalu gagal?" Ungkap Alex dengan senyum tipis diwajahnya, memberikan sedikit semangat.
"Apa maksudmu? Orang hebat itu adalah orang yang tidak pernah gagal!" Balas bocah itu dengan penuh keyakinan.
Alex yang mendengarnya menggelengkan kepalanya. Tangannya menggapai kepala bocah itu sambil berkata.
"Kegagalan akan membuatmu belajar. Semakin banyak kegagalan, semakin banyak pelajaran yang kau dapatkan supaya tidak gagal dilain waktu. Itu adalah kenyataan yang orang banyak sering lupakan." Jawab Alex dengan singkat dan padat.
Perkataan Alex sepertinya menusuk dan masuk kedalam bocah itu. Raut ekspresi lesunya berubah dan air mata mulai menetes dari kelopak matanya. Disisi lain, aku merasa Alex secara tidak langsung juga menunjukan perkataanya padaku. Bagaimanapun, aku tidak pernah bisa menebak apa maksud yang ada dibalik tiap ucapannya..
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu..." Ungkap bocah itu sambil berusaha menahan tetes air matanya.
"Kegagalan tidak akan menjadikanmu orang yang gagal. Karna orang yang gagal adalah orang yang menyerah dari apa yang dihadapinya. Selama kau tidak menyerah, maka kegagalan itu tidak akan menjadikan kau orang yang gagal." Jelas Alex dengan suara lembutnya itu.
Suasana yang ada menjadi berubah, bocah itu sepertinya menyadari sesuatu setelah mendengarkan perkataan Alex. Begitu juga dengan diriku, aku merasa mendapatkan sesuatu yang mungkin selalu terlewatkan begitu saja. Alex menyadarkanku kembali melalui perkataannya dan hal ini sering kali terjadi.
"Kembalilah, aku tahu orang tua mu pasti khawatir dengan kondisimu. Aku tahu kau adalah anak yang kuat dan pantang menyerah." Balas Alex dengan tatapan matanya menyorot tajam ke arah bocah itu.
"Bagimana kau tahu semua ini? Siapa kau sebenarnya?" Tanya bocah itu dengan menatap Alex dengan penuh rasa penasarannya.
Keduanya saling menatap satu sama lain. Mata mereka saling beradu dengan tatapan yang tajam dan menusuk. Walau bagiku tatapan mata Alex jauh lebih tajam dari bocah itu tapi aku tidak bisa meremehkan bocah ini juga. Lalu disaat yang sama aku merasa keberadaanku ditempat ini menjadi tidak berguna sama sekali.
"Aku hanyalah orang yang penuh dengan kegagalan dan penyesalan. Dan aku sekarang telah berdiri diatas semua itu." Balas Alex dengan jelas dan lantang.
"Aku tidak mengerti..." Balas bocah itu dengan ekspresi yang familiar bagiku.
Untuk seorang bocah yang kurang lebih berusia sepuluh tahun ini. Perkataan Alex ini pasti sulit untuk dipahami layaknya saat mereka membaca puisi sastra lama. Penuh dengan ungkapan rumit yang sulit diambil makna dasarnya. Karena aku sendiri juga merasa seperti itu setiap kali Alex mengucapkan sesuatu yang sulit dimengerti.
"Kau tidak perlu mengerti segala hal dan cukup untuk mengetahuinya saja, karena tidak semua hal itu ada untuk dimengerti. Sebagian dari semua itu ada untuk dijadikan sebuah misteri dan bukan tugas kita untuk memahami semua itu." Ungkap Alex dengan penjelasan panjang lebarnya.
Tatapan bocah itu mulai berubah dan seakan kehilangan ketajamannya. Begitu juga Alex yang sudah mengembalikan tatapan lembutnya dan suara halusnya itu. Aku yang sedang berdiri disamping Alex merasakan jika ada hawa yang berbeda dari biasanya terpancar dari Alex.
"Kau itu orang yang aneh." Balas bocah itu menanggapi perkataan Alex.
Alex membalas ucapan bocah itu dengan senyum yang ramah dan tidak sedikit tersinggung dengan ungkapan aneh yang diberikan kepadanya. Rasanya ada perubahan yang bersar telah terjadi pada Alex dan itu pasti yang menyebabkan dirinya menjadi lebih peduli dan peka dengan orang lain.
Setelah bercakap ringan sebentar akhirnya bocah itu pergi pulang kerumahnya. Walau pada akhirnya dia tidak menceritakan secara jelas apa yang menjadi masalahnya tapi dia terlihat terbantu dengan keberadaan Alex dan ucapannya. Aku merasa jika mungkin dengan hal yang seperti inilah, Alex akan membuat sesuatu yang besar pada nantinya. Entah itu membuat perubahan atau kejadian besar yang akan terjadi suatu saat nantinya.
Kami melanjutkan perjalanan kami yang sempat terhenti itu, hingga sampai didepan sebuah gedung tua yang kotor dan lusuh. Tempat ini tidak lain dan bukan adalah tempat tinggal Alex. Karena biaya tinggal ditempat ini lebih murah. Dia tidak punya pilihan lain selain tinggal ditempat kotor dan lusuh itu. Dan disini, dia menolong seorang gadis kecil yang bernama Relia yang merupakan seorang budak pelarian.
Alex tanpa berucap sedikitpun pergi kedepan pintu masuk dan memegang gagang pintu rumahnya. Dia berdiri untuk sesaat sebelum akhirnya dia mengucapkan sesuatu padaku.
"Jeff, bisa aku minta bantuanmu?" Tanya Alex sambil berbalik dan menatap kearahku.
Raut wajahnya kembali menjadi datar dan sudah kembali seperti biasanya.
"Apa yang kau perlukan?" Tanyaku kembali.
"Kurasa aku membutuhkan makanan lebih. Kuharap kau tidak keberatan." Jawab Alex sambil sedikit membukukan badannya kepadaku.
"Tidak perlu khawatir, aku pasti akan membantu." Balasku sambil memberikan melambaikan tanganku dan pulang menuju rumahku yang letaknya tidak jauh dari tempat Alex tinggal.
Meski dia tidak memintapun, pasti aku akan mengambilkannya sesampainya aku dirumah nanti. Tapi kali ini dia secara langsung meminta bantuan padaku. Rasanya memang Alex telah berubah dan kurasa itu adalah hal yang baik untuknya. Setidaknya untuk sekarang ini aku berpikir seperti itu.
Yey... selesai juga akhirnya...
Sepertinya untuk perilisan Act/Chapter nanti akan mulai semakin lama. Entah itu seminggu sekali atau dua minggu sekali. Tapi yang pasti kalau kalian suka cerita ini. Bisa bantu support penulis dengan komentar ataupun review kalian.
Di Act ini kita melihat sudut pandang Jefferson Cohen dan melihat bagaimana relasi unik antara Alex dan Jeff ini. Belum lagi semua akan semakin rumit di beberapa pembahasan cerita selanjutnya.
Jadi pastikan untuk tidak ketinggalan dan membaca ulang kembali karna siapa tahu ada detail yang kelewat. Sekian dari EYA, terimakasih telah membaca.
— Un nouveau chapitre arrive bientôt — Écrire un avis