Télécharger l’application
92.3% Duda? Hot Daddy / Chapter 24: Part 24

Chapitre 24: Part 24

Almiera Shofia Prameswari

Beruntungnya hari ini pekerjaanku lebih cepat selesai. Aku bergegas untuk pulang. Semakin hari rasanya perasaanku semakin tak terbendung lagi, rasa sayang yang semakin menjadi serta keinginanku untuk segera berumah tangga membuatku semakin tak sabar untuk segera ke hari lusa.

"Semoga semua berjalan seperti apa yang ku inginkan."

Dalam perjalanan pulang ponselku berdering nyaring memaksa untuk mendapat perhatian dariku. Dari layarnya terpampang nomor tanpa nama, yang artinya aku tak kenal dengan nomor siapa yang menghubungi. Sebagai orang yang bekerja di bidang yang berhubungan dengan kegiatan sosial yang tentunya masih berkaitan dengan kesehatan, aku menjawab panggilan tersebut, karena mungkin saja si penelefon ada keperluan penting denganku.

"Halo."

Aku menjawab panggilan tersebut sambil tetap konsentrasi mengemudi, walau hari ini kondisi jalan tak terlalu banyak lalu lalang kendaraan, tapi tetap saja aku harus berhati-hati karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

"Ini aku, Andrew."

Aku tersentak, ia menghubungi dengan nomor baru, tapi setelah aku ingat-ingat, aku memang telah memblokir nomor penselnya pada data kontak ponsel setelah kejadian itu. Aku berharap tak mengingat kejadian itu lagi, walaupun kejadian itu membawa hikmah yang membawa Angga pada pelukkanku. Aku jadi tahu apa yang Angga rasakan, ditambah lagi, malam itu untuk pertama kalinya aku... Ah, mengingat kejadian malam itu rasanya pipiku menjadi merah hingga tanpa sadar aku mulai tersenyum sendiri. Ia memang telah berpengalaman, sedangkan aku baru pertama kali mengalaminya walaupun sebelumnya aku pernah menjalin kasih tapi untuk bercumbu, aku hanya melakukan itu dengannya. Aku tak bisa menolak ketika malam itu wajah kami mulai sama-sama mendekat hingga akhirnya... Mungkin saja kalau dia memperkosaku malam itu, aku takkan menolaknya. Entah kenapa aku merasa benar-benar telah sanggup menyerahkan semuanya pada Angga, aku tak sanggup menahan perasaan cinta yang semakin hari semakin menggila hingga menghilangkan sebagian akal sehatku.

"Halo."

Tanpa sadar, aku mendiamkan panggilan dari Andrew yang masih berlangsung.

"Iya."

Aku hanya menjawab sesingkat-singkatnya. Aku benar-benar tak ingin berbicara dengannya, untuk saat ini aku ingin fokus dengan apa yang akan aku dapatkan setelah Papa memutuskan semuanya.

"Apa kita bisa ketemu? Aku pengin ngobrol sama kamu."

"Aku gak bisa. Maaf aku lagi nyetir."

Tanpa memberinya kesempatan bicara, aku langsung memutuskan sambungan. Tak sopan rasanya, namun aku tak punya pilihan.

Mood ku langsung saja rusak oleh ingatan tentang kejadian itu, beruntung perjalanan pulang hanya tinggal beberapa saat lagi. Mobil mulai memasuki gerbang, aku membunyikan klakson pada security yang sedang berjaga di posnya seperti biasa, berusaha ramah dengan tetap memberi senyum walau entah ia melihatnya atau tidak. Ku alihkan pandangan dari sana sambil tetap berhati-hati memarkirkan mobil di depan rumah. Terlihat Angga dan Syafina yang sepertinya mereka akan bersiap untuk pergi. Aku menyapanya, niat untuk memarkirkan mobil ku tunda lebih dulu.

Benar saja, mereka akan pergi tanpa mengajakku, namun aku mengerti dengan alasan yang Angga berikan. Sebenarnya aku memang lelah, tapi pergi bersama mereka sepertinya akan menyenangkan seperti waktu itu, tapi kali ini aku yakin rasanya akan lebih dari yang dulu.

Setelah memarkirkan mobil ke dalam garasi, tanpa berganti pakaian serta mandi dan hanya mengambil beberapa pakaian untuk ganti, aku langsung bergegas, tak mau menunggu untuk bersenang-senang bersama mereka.

Perjalanan yang tak begitu jauh membuat kami cepat sampai di sana, pantai yang indah dengan ombak kecil menghiasi bibirnya. Aku dan Syafina langsung berlari menuju air laut yang sejak kami datang, ia selalu berusaha menggoda untuk segera menikmatinya. Beban ku terasa hilang, aku tertawa lepas bersama Syafina, sedangkan Angga hanya terdiam begitu saja. Bahkan setelah beberapa waktu berlalu, ia masih tetap seperti itu. Duduk termenung, menatap kosong langit yang perlahan ditinggalkan cahayanya.

Aku memberi isyarat pada Syafina untuk menggodanya, awalnya ia tak mengerti, namun ketika aku mulai menyiramkan air ombak pada Angga, ia mengikutinya, namun ternyata ia masih tetap seperti itu. Entah apa yang ada dibenaknya saat ini, sepertinya ada sesuatu yang sedang ia pikirkan dan mungkin saja itu mengenai jawaban dari orang tuaku tentang masa depan hubungan kami.

Selesai menikmati semuanya, Angga mengajakku untuk pulang. Angin malam yang semakin dingin membuat tubuhku menggigil. Angga memakaikan jaket pada Syafina karena ia memang telah mempersiapkan semuanya. Untuk sesaat Angga melihatku sebelum ia naik ke motornya, lalu ia membatalkan niatnya menunggangi kuda besinya itu.

"Kamu pakai, ya. Biar gak dingin."

Ia memberikan sweater yang ia kenakan, sementara ia hanya megenakan kaos saja.

"Tapi... "

Aku tak melanjutkan kata-kata setelah ia memegang tangan lalu memberi isyarat padaku bahwa ia akan baik-baik saja. Aku merasa sangat bodoh, beberapa kali pergi bersamanya tapi tak pernah ingat untuk membawa jaket atau pakaian yang bisa melindungi diri dari dinginnya embusan angin, mungkin karena aku sendiri lebih terbiasa bepergian menggunakan mobil.

Dalam perjalanan, sebisa mungkin aku memeluknya walau pelukanku terhalang oleh Syafina.

Saat sampai di rumah, aku bergegas menggendong Syafina yang tertidur dalam perjalanan untuk di baringkan di kamar. Setelah itu, aku pergi ke dapur membuatkan minuman hangat untuknya, aku rasa dia pasti sangat kedinginan berkendara malam hari tanpa menggunakan jaket.

Aku membawa minuman hangat pada Angga yang baru saja duduk di ruang tamu setelah sebelumnya ia memarkirkan motornya terlebih dulu di garasi rumah.

"Gulanya gak ada, jadi aku bikinin ini, gak apa-apa ya?" ucapku seraya menaruh teh susu hangat di atas meja.

Angga mengangguk, dengan wajah sedikit pucat. Aku merasa ia tak seperti biasanya, sempat ku berpikir bahwa menunggu restu serta jawaban dari papa membuatnya cukup tertekan.

"Kamu kok pucat, Mas? Kamu sakit?"

Aku memeriksa dahinya, bermaksud untuk mengecek suhu tubuhnya, namun ternyata aku salah memperkirakan. Tubuh Angga begitu dingin, sepertinya akibat dari angin malam yang menerpanya dalam perjalanan pulang tadi.

"Badan kamu dingin, Aku ambilin selimut dulu ya."

Aku beranjak bermaksud untuk mengambil selimut atau sesuatu untuk menghangatkannya, tapi langkahku seketika terhenti oleh genggaman tangan yang kemudian ia sedikit menarikku hingga akhirnya aku berada dalam pelukannya. Aku sempat tak menyangka ia melakukan itu, aku merasa benar-benar ada yang berbeda darinya.

"Aku takut kehilangan kamu."

Tiba-tiba saja ia berkata seperti itu. Kini aku sedikit memahami apa yang ia pikirkan. Aku senang mendengar ia mengatakan itu, sekaligus takut dengan apa yang terjadi nanti seandainya hubungan kami tak direstui.

Perlahan tanganku mulai melingkar, dan aku membenamkan wajah pada dada bidangnya.

Bulir bening mulai mengalir, seiring rasa sayang yang semakin menjadi, sayangnya rasa itu harus sebanding dengan besarnya rasa takut kehilangan seandainya semua berjalan tak sesuai harapan.

Cukup lama dalam diam kami menikmati momen ini, sampai kami sanggup kembali untuk tersenyum.

"Kalau seadainya Papa gak ngerestuin hubungan kita, apa yang akan kamu lakuin?"

Mendapati pertanyaan seperti itu, Angga tak langsung berreaksi, namun sesaat kemudian ia mulai memberi jawaban dengan sebuah pertanyaan.

"Apa kamu siap kalau nanti Papamu bakal ngasih pilihan, antara aku atau keluargamu?"

"Maksud kamu?"

Aku menatapnya lekat, ingin memastikan bahwa pertanyaan itu tak seharusnya ia tanyakan, mungkin aku bisa menemukan jawaban lewat tatapan matanya, namun sayang, kali ini ia begitu serius.

"Seandainya itu terjadi, lebih baik kita pisah. Mungkin istilah mantan pacar akan lebih lumrah dibandingin mantan orang tua."

Seketika jantungku mulai berdetak dengan cepat, aku tak mau semua itu terjadi. Refleks aku kembali memeluknya. Kami kembali terdiam, entah menikmati atau justru merisaukan sesuatu yang belum terjadi.

"Tapi, aku bakal tetep perjuangin kamu."

Sejenak aku terperanjat, namun senang mendengar ucapannya barusan. Aku kembali menatapnya. Ekspresinya kali ini berbeda, ia tersenyum, tak seperti sebelumnya. Di genggamnya kedua tanganku, lalu ia menciumnya. Sungguh, aku baru merasakan perasaan yang ia sampaikan padaku.

"Apa yang bikin kamu jadi yakin?"

Untuk memastikan apa yang telah ia lakukan saat ini, aku ingin sekali tahu yang sebenarnya.

"Aku terlanjur sayang sama kamu, aku gak bisa balik lagi setelah aku memilih jalan ini, aku akan berusaha biar kita tetep bisa jalan bersama."

Haru, itulah yang ku rasa setelah ia benar-benar berani untuk mengungkapkan semuanya.

"Ko kamu gak kayak biasanya sih, Mas?"

"Biasa kayak gimana?"

"Sekarang kamu gombal, apa jangan-jangan kamu emang suka gombalin cewek lagi?"

Angga hanya tersenyum tak menimpali. Bunyi panggilan ponsel harus mengakhiri drama kami malam ini.

Angga pergi ke luar untuk menerima panggian. Selama ia di sana, aku beranjak untuk melihat keadaan Syafina. Gadis kecil itu tertidur sangat lelap. Ku hampiri, lalu perlahan ku cium pipi lalu ke kening. Aku merasa damai melihatnya tumbuh dan bahagia. Aku tak menyadari Angga telah berdiri di ambang pintu dan menatapku.

"Udah? Telefon dari siapa?"

Kami kembali mengobrol di ruang tamu. Benar-benar seperti pasangan suami istri, namun hubungan kami tak pernah lebih dari ini, hal terjauh yang pernah kami lakukan hanya sebatas bercumbu, itu pun tak pernah lama, karena kami masih sanggup mengendalikan diri.

"Dari penerbit, bulan depan katanya bakal ada acara sama penulis lainnya."

"Oh, aku boleh ikut gak?"

"Boleh, tapi acaranya ngebosenin, loh, gak apa-apa?"

Aku memaksa untuk ikut. Angga tak keberatan selama aku mau mengerti tentang kondisi yang seperti telah ia ceritakan padaku.

Malam ini, untuk pertama kalinya, aku menginap di rumahnya, aku meminta untuk mencoba tidur bersama Syafina dengan alasan agar aku terbiasa menjadi seorang ibu, padahal aku pernah melakukan itu sewaktu Syafina menginap di rumahku, tapi sepertinya Angga sama sekali tak mempermasalahkan.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C24
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous