Télécharger l’application
75% Gairah Biseks / Chapter 3: 3. Cipokan

Chapitre 3: 3. Cipokan

Suatu hari, Yoga berkenalan dengan seorang laki-laki lewat aplikasi kitab kuning (Grindr). Namanya Ardi Sanjaya. Awalnya mereka saling sapa. Kemudian saling mengulik tentang diri mereka. Saling mengenal lebih dalam. Bertukar informasi personal. Lalu bertukar foto. Bertukar nomor telepon. Hingga mereka saling tertarik. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk meet up. Bertemu di dunia nyata. Berbicara empat mata.

Selepas pulang kerja, sekitar pukul 5 sore. Mereka janjian di sebuah pusat perbelanjaan. Mall Blok M Square, Jakarta Selatan. Mereka bertemu di lantai 5, tepatnya di area food court mall tersebut. Yoga dan Ardi saling berjabatan tangan pada saat mereka baru berjumpa. Saling menyebutkan nama. Saling melemparkan senyuman. Dan saling memandang dengan saksama. Selanjutnya mereka duduk saling berhadapan.

''Akhirnya, kita bisa berjumpa, Kawan ...'' ujar Yoga memulai percakapan.

''Iya ...'' sahut Ardi singkat dengan senyuman simpul.

''Tak kusangka, wajahmu lebih tampan aslinya daripada yang di foto.''

''Ah, Abang bisa aja,'' timpal Ardi malu-malu dengan wajah merona.

''Serius, kamu tuh manis kinyis-kinyis bagai gulajawir ...'' puji Yoga tanpa keraguan, ''kamu umur berapa sih, Ar?'' imbuhnya bertanya. Mata falcon-nya tak henti menatap wajah Ardi yang kian memerah.

''Dua puluh tahun,'' jawab Ardi masih dengan malu-malu kucing.

''Waw, masih berondong jagung, ya?''

''Hahaha ...'' Ardi jadi terkekeh. Yoga tersenyum lebar.

''Udah punya pacar belum?'' tanya Yoga lagi tanpa basa-basi.

''Belum ...'' Ardi menggeleng-gelengkan kepala. Senyumannya masih tampak kaku. Walaupun terlihat manis madu.

''Ah, yang benar masa' seeh, cowok secakep kamu belum punya pacar.''

''Benaran, Bang ... aku masih jomblo.''

''Berarti sama dong ... aku juga jomblo, lho ... hehehe ...''

''Hehehe ...'' Ardi meringis menampakan giginya yang terpagar besi. Manis dan imut-imut. Menggemaskan.

Mata Yoga beradu pandang dengan mata Ardi. Mulut mereka tak berkata, tetapi bola mata mereka yang bercerita. Mereka saling memuji. Saling mengagumi. Saling menyukai. Tanpa ucapan pun mereka sudah saling memahami. Apa yang meraka inginkan terpendam di hati mereka masing-masing. Namun yang jelas, mereka sama-sama saling tertarik. Sinyal kehomoan mereka begitu kuat. Mereka sama-sama menyadari ada yang berontak di dalam sempak.

''Ardi ... kamu ngekost atau tinggal bareng orang tua?'' ujar Yoga memecah kebisuan di antara mereka setelah beberapa saat lamanya mereka terdiam dan larut dalam benak mereka masing-masing.

''E ... aku tinggal di kost, Bang ...'' jawab Ardi masih terdengar ragu-ragu. Agak gugup.

''O, ya ... kost sama siapa, Ar?'' tanya Yoga lagi.

''Sendiri ...'' jawab Ardi sambil menunduk tak berani menatap mata Yoga yang selalu berbinar-binar. Seolah ada medan magnet yang terus menarik dirinya.

Jawaban Ardi bagi Yoga seperti udara pagi yang sangat menyegarkan. Membuatnya semakin bersemangat. Membuat pikiran kotornya semakin menguat. Membuat kontolnya semakin tegang tak karuan. Ada peluang besar untuk bisa mengajaknya bersenang-senang. dan Yoga tidak ingin melepaskan kesempatan itu.

''Kalau gituh, boleh dong aku main ke kosan kamu, Ar ...''

''Hehehe ... boleh aja, Bang ... silakan!''

''O, ya ... kapan aku boleh main?''

''Kapan aja ... boleh kok, Bang ...''

''Beneran, nih?''

''Bener, Bang ...''

''Kalau sekarang, boleh, nggak?''

''Hah?'' Ardi ternganga. Terkejut. Merasa terlalu cepat, bila Yoga ingin bertamu.

''Hahaha ... gak boleh, ya?''

''Boleh sih, hehehe ...''

''Oke, kalau gitu setelah makan aku akan mampir ke kosan kamu, bagaimana?''

''Iya, gak apa-apa, Bang ...''

Well, kesepakatan sudah terjadi. Yoga akan mampir ke tempat kosan Ardi setelah mereka makan di food court tersebut.

Dengan khusuk mereka makan pesanan makanan mereka yang berupa nasi sop buntut. Segar, nikmat, dan yang pasti mengeyangkan. Mereka tampak lahap. Mereka tampak berselera. Rasa pedasnya membuat mereka gobyos bermandikan keringat.

Usai makan mereka langsung cabut dari mall tersebut. Kemudian tanpa ragu mereka berjingkat ke kawasan Melawai. Menuju kamar kosan Ardi. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka pun tiba di sebuah bangunan bertingkat dua. Dan salah satu kamar pada bangunan tersebut merupakan kamar Ardi.

Langsung saja mereka memasuki kamar Ardi yang berada di lantai dua. Mereka rebahan di atas kasur untuk mengusir lelah. Saling terdiam. Masih pada jaim-jaiman. Mereka menunjukan sikap yang canggung.  Sibuk dengan gadget mereka sendiri-sendiri.

''O, ya, Bang ... Abang mau minum apa?'' celetuk Ardi akhirnya setelah lama mereka berdiam diri.

''Gak usah, Ar ... gak usah repot-repot ... Abang cuma mau kamu aja,'' timpal Yoga sambil menarik tangan Ardi. Kemudian mendekatkan tubuh lelaki berparas rupawan itu ke tubuhnya.

''Hehehe ...'' Ardi jadi meringis.

Mereka saling berdekatan. Saling menatap. Meskipun masih pada malu-malu. Padahal mereka sudah tahu apa yang mereka inginkan. Mereka sudah sekian lama menahan konak. Menahan kontol yang bergerak-gerak. Di balik kain sempak. Mereka sudah tak tahan ingin meluapkan rasa yang terpendam. Ingin tenggelam di lautan yang dalam. Lautan cinta. Lautan asmara yang membara.

''Ardi ... jujur, aku suka sama kamu ...'' desah Yoga pelan. Tangannya mengusap lembut kedua pipi Ardi yang kian memerah. Seperti buah delima yang ranum. Menggoda iman. Ingin segera mencium.

Ardi terdiam. Bibirnya gemetar. Sekujur tubuhnya juga. Ada rasa degdegan yang sangat kuat di denyutan jantungnya.

''Mau gak kamu jadi BF-ku ...'' ucap Yoga dengan nada yang mengalir begitu saja. Nada cinta yang sangat indah menggema. Membuat bulu kuduk Ardi bergidik. Seolah dia mendengar suara mistik yang menggelitik.

Ardi tak tahu harus menjawab apa. Dalam jiwanya masih bergejolak, namun ia tak dapat menolak. Bahwa Yoga merupakan sosok yang mampu membuatnya tergerak. Dalam rasa yang kian menggelegak. Ardi bimbang. Tercabik ilusi yang mangkrak dan sulit terdobrak. Dia ingin berteriak. Alamak!

Yoga mendekatkan wajahnya ke wajah Ardi. Sangat dekat. Hanya beberapa centi saja. Lalu tanpa banyak pertimbangan. Tanpa menunggu jawaban. Tanpa menanti persetujuan. Yoga memonyongkan bibirnya. Kemudian dengan cepat ia mendaratkan bibir itu di permukaan bibir Ardi. Yoga mengecup Ardi. Menciumnya. Melumatnya. Mengulumnya. Mengenyotnya. Pelan. Lembut. Nikmat. Dan diam-diam Ardi pun turut terpedaya dengan ciuman dadakan Yoga. Dia menikmatinya. Merasakannya. Hingga dia pasrah. Dan tenggelam bersama kenikmatan yang terpancar dari cipokan kemesraan itu.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C3
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous