Télécharger l’application
36.84% Hanya Hujan / Chapter 7: Makan malam

Chapitre 7: Makan malam

Usai mandi.. aku keluar dari bak pemandian itu dan langsung membalut tubuh ku dengan sebuah handuk biru muda yang sudah ku siapkan sebelumnya, aku menggeser pintu coklat itu dan melangkahkan kaki kanan ku keluar terlebih dahulu, aku melipatkan kedua tangan ku di atas dada seraya memperkuat lipatan pada handuk ini, secara perlahan tubuh ku mulai menggigil dengan sendirinya, ketika berada di luar.. rasa hangat yang ku rasakan dari pemandian itu mulai menghilang dan berubah kembali menjadi dingin.

Aku berjalan melewati sofa sofa empuk itu dan sesekali aku berhenti ketika melihat sebuah lukisan tulisan jepang yang berada tepat di tengah ruang tamu, sebenarnya.. aku masih penasaran dengan makna dan arti yang tertera pada tulisan jepang ini, bahkan.. aku sama sekali tidak mengerti cara membacanya.

Setiap kali aku menanyakan arti yang ada di balik tulisan jepang ini, Bibi selalu mengelak dengan segala upayanya untuk menghindar dari pertanyaan itu, seperti.. tidak mau memberitahu ku tentang makna yang sebenarnya dari balik lukisan ini, bahkan.. ketika aku menanyakan dari mana Bibi mendapatkannya. Ia lebih memilih untuk diam dan pergi begitu saja tanpa memperdulikan ku. Aku jadi penasaran dengan semua itu, apakah ada kaitannya dengan orang tua ku yang sudah tiada.

Orang tua ku meninggal ketika aku masih berumur lima tahun, dan saat itu aku sama sekali tidak mengingat wajah mereka. Karena tidak ada satu pun kenang kenangan dari orang tua ku yang bisa ku simpan, aku juga tidak pernah tahu tentang kepribadian mereka selama hidupnya, bersama dengan pekerjaan yang mereka abdi sewaktu mereka masih hidup. Di tambah.. semua rumah yang pernah kami tinggali telah habis terbakar tanpa menyisakan apapun. Seperti.. sebuah kasus yang hilang tanpa jejak sedikit pun.

Entah lah.. apakah semua musibah itu terjadi karena sebuah kelalaian orang tua ku waktu dulu atau.. sebuah kejadian yang sudah di rencanakan oleh orang lain. Tapi.. yang jelas tidak ada satu pun kronologi dari kejadian yang menimpah keluarga ku yang bisa di anggap valid. Di tambah.. tidak ada sedikit pun informasi yang bisa ku dapat dari penyebab terjadinya kebakaran di rumah kami, aku hanya bisa berdoa dan menangis saat merindukan mereka. Ku harap.. mereka tenang di sana.

Aku lanjut berjalan sambil memegangi atas sofa itu, menaruh telapak tangan kanan ku dan menyeretnya di atas sofa empuk berwana magenta itu, aku berjalan dengan pandangan ke depan yang di sana ada sebuah dapur kecil, tempat di mana kedai kopi milik Bibi ku berada, hanya saja.. saat ini kami menutup bagian depannya hingga tidak terlihat seperti sebuah kedai.

Aku melihat Bibi yang sedang sibuk mempersiapkan makan malam, membuat ku penasaran dengan masakan apa yang sedang Bibi buat. Apakah malam ini akan makan mie ramen lagi bersama segelas teh tawar, atau mungkin.. makan kripik singkong yang di temani dengan kue kukus yang di buat dari sisa sisa pejualan yang sudah dua hari disimpan. pikir ku seketika mengingat kondisi keuangan ku yang sedang menipis.

Ketika aku mulai melangkahkan kaki ku pada anak tangga pertama, aku terhenti ketika mencium sebuah aroma yang muncul dari dapur. " Sniff.. sniff.. " Aku memejamkan mata ku sambil mengendus ngendus ketika melewati dapur itu, sebuah aroma sayur yang begitu nikmat tercium dari kejauhan, hidung ku mulai tergoda dengan aromanya yang seketika membuat perut ku menjadi keroncongan, ku rasa.. Bibi hari ini sedang memasak sayur sop. Pikir ku seraya tersenyum karena sudah seminggu lebih aku tidak menikmati sayur buatannya.

Aku hafal sekali dengan sayur sop yang Bibi buatkan untuk ku, sebuah sayur yang berisikan potongan potongan sayur kol yang di padukan bersama sayur brokoli yang terlihat begitu hijau alami, di tambah dengan taburan wortel yang sudah di iris kecil kecil mengapung di atasnya, serta daging ayam yang begitu empuk dan lezat terendam di dalam kuahnya yang menggoda, membuat ku ingin langsung melibasnya sesaat sayur sop itu berada tepat di hadapan ku.

" Couughh.. coughh.. " Ahh.. bau apa ini.. cekal ku pada aroma yang begitu menyengat dan menusuk hingga membuat tenggorokkan ku gatel tak tertahankan, aku terbatuk batuk hingga menutupi mulut ku ketika tersedak dengan aromanya yang begitu pedas, aroma yang tercium dari dapur ketika mendengar Bibi ku sedang mengoseng ngoseng masakannya di atas panci, aku jadi penasaran.. makanan apa yang sedang Bibi masak hingga membuatku sekarat seperti ini.

Seketika.. aku mulai membayangkan jika Bibi ku itu adalah seorang koki yang handal, dengan pakaiannya yang serba putih.. di tambah topi besar nan panjang yang meruncing ke atas hingga dua meter, yang saat ini sedang bermain main dan beratraksi melempar masakannya ke atas, aku terus membayanginya dengan semburan api yang membesar dan meluap tinggi sampai ke atas dinding yang membuatnya terlihat sangat professional. Ku jamin.. setelah Bibi selesai memasak nanti, pasti ruangan di sekelilingnya akan berubah menjadi gosong.

Aku tertawa sendiri dengan bayangan konyol ku yang tiba tiba muncul dari benak ini, akhir akhir ini.. pikiran ku memang sering di penuhi dengan khayalan khayalan yang tak bermutu, karna kebiasaan ku pada saat bermain dengan Shizuka di taman, ketika aku bersamanya.. maka cerita ku dengannya hanya di penuhi oleh candaan yang tak pernah berjalan lurus dengan topik yang sedang kami bicarakan, pastinya.. akan jauh melenceng jauh dari tujuan kami bertemu. Bahkan.. saat kami belajar pun aku masih terpingkal pingkal saat mendengar cerita darinya.

Sesaat.. Bibi ku muncul dari balik dapur ketika hendak mengambil sebotol kecap pedas yang berada di ujung, aku sedikit canggung saat bertatapan dengan Bibi ku yang melihat ku dengan pandangannya yang heran. Karena saat ini aku hanya mengenakan sebuah handuk yang menyelimuti tubuh mungil ini dengan pose yang aneh, di tambah.. aku masih tertawa sendiri sambil memegangi bulatan yang lonjong pada ujung pembatas tangga, seketika aku menghentikan tawa ku sambil memegangi ujung rambut ku sebagai gantinya.

" Kamu mau makan Mugi? " tanyanya kepada ku yang sekarang membuat ku salah tingkah, sesaat.. raut wajah ku berubah drastis menjadi datar dengan perasaan yang sedikit malu karena tingkah konyol yang ku lakukan, " Iyahh.. " Ujar ku dengan lugas sambil berjalan menuju tangga dengan pandangan yang sedikit menunduk. Rasanya sedikit malu jika ketahuan dengan orang yang lebih tua dari ku. " yaudah sana ke atas dulu.. pakai baju " ucapnya sembari berpaling dari ku dan kembali memasak, Sementara.. aku langsung berjalan menaiki tangga dengan tergesa gesa.

Sebuah tangga yang memotong terpisah pada bagian tengahnya, yang terhitung ada enam buah anak tangga di bagian pertama dan empat buah anak tangga di bagian kedua yang di tengahnya ada sebuah lukisan yang indah, sebuah lukisan pemandangan yang bertemakan tentang keindahan pulau kecil.

Di tengahnya ada sepasang kekasih yang sedang berlayar mendekati pulau tersebut dengan sebuah perahu kayu kecil yang mereka naiki, mengapung di atas laut biru yang di sinari oleh matahari di waktu senja, dengan gunung gunung yang menjulang tinggi berwarna hitam ke abu abuan di belakangnya, yang di bawahnya tergambarkan sebuah pohon pohon yang amat rindang dan hijau. Bersama kawanan burung yang menghiasi merahnya langit.

Terpasang di dinding dengan bantuan alat khusus, entah lah.. setiap kali aku memandanginya pasti merasakan sebuah aura hangat yang terasa dari lukisan ini, walaupun di saat malam yang dingin di temani dengan derasnya hujan, tapi.. kehangatan yang ada di dalamnya tidak akan memudar. Terkadang.. membuat ku rindu dengan orang tua ku, ingin sekali bisa berlayar bersamanya.

Aku lanjut berjalan menaiki tangga bagian kedua dan setibanya di sana, aku melihat kamar ku yang tepat berada di depan tangga bagian pojok kiri. Melihat celah pada pintu coklat ku yang terbuka sedikit, membuat ku yakin.. kalau Bibi sudah lebih dulu memasuki kamar ku untuk menaruh tas ku dan plastik kecil itu. Aku memasuki kamar ku dan menutup pintu sambil menguncinya, aku berjalan menuju sebuah lemari coklat berbahan kayu jati yang terletak di samping meja belajar ku dan di depan meja makan ku, yang berada di bagian sisi kiri dari tempat ku berdiri.

Aku membuka pada bagian pintu pertama dan mencari baju tidur hangat ku yang biasa tergantung di bagian pojok kiri, Ahh.. ini dia. Ucap ku sambil melepaskan gantungannya dari sebuah penyangga kayu yang berdiameter kecil, sebuah baju tidur dengan garis garis besar yang memanjang dari atas ke bawah, berwarna putih dan biru yang membuatnya terlihat seperti adonan permen yang manis. Dengan sebuah saku di bagian dada kiri yang menyatu dengan warna baju ini, membuatnya semakin cantik. Di tambah dengan celana panjangnya yang berwarna putih dengan bahannya yang licin dan tipis.

Setelah usai memakai baju tidur ini, aku menutup kembali lemari itu dan berjalan menuju pintu coklat kamar ku seraya membukakan kuncinya, aku duduk di meja makan ku yang berada di depan pintu kamar, di samping meja makan ku terdapat sebuah laci kecil dengan lampu tidur yang berdiri di atasnya, sebuah laci yang memiliki tiga bar yang tersusun secara horizontal dengan penyangganya yang berbentuk seperti gagang gelas. Bersama dengan sebuah jam terkutuk yang tergeletak di atasnya. Sebuah jam yang selalu membangunkan ku dari mimpi indah yang terbilang sangat langka, dan selalu mengganggu hibernasi ku di hari minggu. Ingin sekali melemparnya ke luar saat jam itu berulah.

Aku menunggu Bibi ku yang masih memasak sambil memainkan ponsel ku, ngestalking semua akun miliknya di medsos, sepetinya.. ini saat nya untuk menggunakan akun palsu ku. Aku melihat lihat postingan terbarunya, Hhhmm.. sepertinya Fujito masih belum memiliki pacar, semua postingan miliknya hanya di penuhi dengan poto poto dirinya yang berpose bersama mobil mewahnya. Ia juga sering mengunggah sebuah video berisikan balapan dengan teman temannya.

Ntah lah.. rasanya sangat hebat menjadi dirinya, apa lah daya ku yang hanya bisa ngestalking akun miliknya dengan akun palsu. Sayangnya.. Ia tidak pernah membalas komenan dari ku, aku juga sudah mencoba memulai percakapan. Tapi.. Ia sama sekali tidak pernah merespon balasan ku. Semuanya gagal dan sia sia, ku rasa.. aku harus menghentikan semua ini. Keluh ku sembari beralih ke menu utama dan menggantinya dengan menyetel musik.

Ahhh.. aku menarik kedua lengan ku ke atas dan sesekali mematahkan leherku dengan memiringkannya ke kanan dan ke kiri, trekk.. trekk.. bunyi yang begitu keras terdengar dari tulang leher ku, entah lah.. ini kebiasaan buruk atau bukan, tapi yang jelas.. setiap kali aku mematahkannya, maka rasa beban yang menumpuk di kepala ku ini menjadi ringan dan sedikit lega bersama rasa pusing yang ku rasakan.

" Ehh.. apa ini " Ucap ku dalam hati ketika terkejut melihat sebuah lipatan kertas yang sedikit lecek dari dalam saku baju tidur ku, aku menaruh ponsel ku di atas meja dan mengambilnya dengan wajah yang terkesima saat memandangi sepucuk surat yang tertinggal di dalam saku ini, entah.. sudah berapa lama kah kertas ini di simpan. Aku membuka sehelai kertas itu dari lipatannya, hahh.. apa ini. Sebuah tulisan jepang lagi, Huhh.. kenapa semua yang ku dapati adalah tulisan tuisan yang tak bisa ku baca, kesal ku pada kertas ini ketika rasa ingin tahu ku semakin menjadi jadi.

Seketika.. aku mendengar suara langkah kaki yang sedang menaiki sebuah tangga, ku rasa.. itu pasti Bibi yang sedang membawa sejumlah makanan makanan lezat di atas nampannya. Sesaat.. suara ketukan pintu pun terdengar, " Mugi.. tolong bukakan pintunya " Pintanya Bibi ku dengan nada yang terdengar sedikit berat. Aku langsung melipat kembali kertas itu dan meletakkannya di saku baju ku, aku langsung bergegas membukakan pintu kamar ku. Dan.. Bibi pun muncul dengan membawakan sejumlah makanan yang sudah Ia buat. Aku sedikit menarik bagian tengah bibir ku ke atas sembari menurunkan ujung alis ku saat menerima senyuman darinya, aku berdiri di balik pintu sembari memperhatikan Bibi ku menaruh nampan besar berwarna hijau itu di atas meja.

Dan sekarang.. Bibi ku mulai merapihkan dan menata semua masakannya di atas meja makan ku, Ia meletakkan semangkuk sayur sop panas yang masih beruap uap, bersama dengan mangkuk hijau kecil berisikan nasi putih yang membukit, dan sepiring penuh udang yang di atasnya lumer dengan kuahnya yang memerah, terlihat begitu pedasnya dan lezat dengan aromanya yang menohok indra penciuman ku, serta satu gelas susu hangat yang terletak di bagian pojok kiri. Yang membuat ku semakin tidak sabar untuk menyantapnya. Aku menarik sedikit kursi ku dan duduk di atasnya setelah Bibi selesai merapihkan semuanya.

Tapi.. tumben sekali ada susu di tempat ku, pikir ku dengan sedikit heran karena tidak seperti biasanya. ya.. mungkin saja Bibi sudah menyetok sebelumnya, " Habiskan semuanya ya.. terutama susu yang sudah kamu beli " aku menghentikan langkah ku untuk mengambil satu mangkuk nasi putih dan melirik ke arah Bibi dengan tanda tanya yang terpasang di wajah ku. " Susu.. ini bukan punya Bibi? " Tanya ku dengan nada yang sedikit tersendat sendat saat mengetahui jika susu ini bukan milik Bibi ku.

" Loh.. bukannya kamu yang tadi bawa bersama plastik itu " Bibi membalasnya dengan ekspresinya yang datar sambil menunjuk nunjuk ke arah plastik kecil itu, sesaat.. pertanyaan ku pun terjawab ketika mengingat Maki yang mampir terlebih dahulu ke alfamart sebelum kami pulang. Oh.. iya aku ingat, ku rasa susu ini dari Maki yang tadi Ia beli di alfamart saat kami berjalan menuju rumah, hhhmm.. kenapa dia sudi ya, untuk menukar uangnya dengan susu ini. Pikir ku sambil tersenyum geli. Ku rasa.. ada sesuatu di balik semua ini.

" Ya sudah.. cepat habiskan dan taruh di dapur kembali setelah selesai makan nanti" Ucapnya Bibi sambil menarik kembali nampannya dari atas meja, Ia berbalik dan menutup pintu kamar ku secara perlahan. Aku mulai mengaduk ngaduk sayur sop ku seraya mendengarkan suara langkah kaki Bibi yang sedang menuruni tangga.

Baiklah.. sepertinya makanan ini harus langsung di habiskan ketika sudah di hidangkan di atas meja, sebelum semuanya menjadi dingin yang pastinya akan mengurangi citra rasa yang ada di dalamnya, yang nantinya akan merubah sejuta kenikmatannya menjadi hambar begitu saja. Aku mulai berdoa sebelum memulai makan, kemudian mulai mengambil satu pasang sumpit kayu yang terletak di antara mangkuk hijau yang berisikan nasi putih dan satu piring besar berisikan udang pedas, aku mengambilnya dan menghimpitnya dengan kedua telapak tangan ku. " Treecckkk.. treeckkk.. " Sesaat suara gesekan antara kedua sumpit itu terdengar cukup keras ketika aku mulai menggosok gosoknya dengan kedua tangan ku. Ini adalah tradisi di tempat ku untuk memulai makan, seperti hal nya.. sebuah penghormatan kepada tuan rumah.

Aku mulai mengambil mangkuk hijau kecil yang berisikan nasi putih dan menaburinya dengan kuah sop beserta sayur sayuran yang ada di dalamnya, mengambil dua potong daging udang dari wadahnya, aku mulai mengangkat mangkuk hijau itu dan menyantapnya dengan hikmat. Sungguh nikmatnya makanan malam ini membuat ku tak berhenti henti mengunyahnya, rasanya seperti sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, bisa menikmati hidangan seperti ini, membuat ku ingin menambah.. nambah.. dan lagi.

Di tambah.. saus udang yang sangat pedas menggugah selera makan ku menjadi tinggi, aku tidak peduli sudah berapa banyak makanan yang ku habiskan, karena aku bukan wanita yang suka memperhatikan berat badan ku. Ahhh.. akhirnya habis juga, sekarang hanya menyisakan wadahnya saja, sebuah mangkuk hijau yang sudah kosong tanpa sebutir nasi pun yang menempel di dalamnya,

Sebuah tanda jika aku adalah seorang wanita pekerja keras yang rajin dan rapih. Dan sekarang.. mangkuk sop itu hanya menyisakan sedikit kuahnya saja serta sebuah piring besar yang tinggal sambal pedasnya yang memerah tanpa menyisakan seekor udang pun yang masih berendam di atasnya.

Aku mengambil segelas susu itu dan meminumnya dengan cepat, rasa manis bercampurkan dengan pedas yang ku rasakan sesaat membuat bibir ku menjadi panas, Hahh.. pedass.. pedass.. ucap ku sembari meneguknya kembali, aku menumpukan kedua tangan ku yang mengepal dengan kuat di atas meja, ketika menahan rasa pedas yang masih ku rasakan. Aku menundukan kepalaku dan meniup niupkan ke arah meja itu sembari mengusap keringat pada kening ku dengan lengan baju, Huhh.. ku rasa sekarang rasa pedas itu sudah hilang.

Ooww.. akhirnya.. perut ku kenyang juga, dan sekarang aku melemaskan badan ku di atas bangku dan merebahkannya sembari menaruh kedua lengan ku di belakang kursi, aku menyenderkan kepala ku di penyangganya dengan tatapan ke atas. Rasa kenyang ini membuat ku tidak bisa bergerak.

Ahhh.. memakan semua ini membuat ku ingin langsung berbaring di atas kasur sambil mendengarkan musik dengan headset milik ku yang terpasang pada kedua telinga. Dan bermalas malasan di atasnya tanpa memikirkan apa pun.


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C7
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous