Tidak seperti yang biasa terlihat di bulan Agustus, aku melihat langit siang itu bukan berwarna biru.
Corak hitam, gelap seperti malam menyelimuti seluruh bumi. Padahal tidak ada awan mendung yang menandakan akan turun hujan.
Saat ini kerusakan atmosfer memang sudah sangat parah!
Dengan lapisan tipis atmosfer, uap air naik ke langit yang tinggi tiada batas... aku merasakan hawa panas lembab yang terasa di sekitar kawasan laut.
Seketika Aku diterbangkan ke kawasan gunung, suhu di sana sangat dingin. Setidaknya sudah mencapai minus 8 derajat celcius.
Persepsi ku menyimpulkan bahwa kondisi atmosfer kembali ke masa purba.
Troposfer mulai miskin akan nitrogen dan oksigen, mengerucut tertekan lapisan lain. Radiasi sinar matahari dengan leluasa memapar sebagian bumi.
Aku memandang ke arah langit. Kegelapan langit ketika itu sering diwarnai percikan api. Langit nampak berwarna merah terbakar.
Bahkan dengan mata telanjang aku sesekali melihat asteroid yang terpapar sinar matahari sedang bergerak dengan kecepatan tinggi. Tabrakan antar meteor menyebabkan bebatuan yang lebih kecil berserakan di udara. Tidak banyak halangan bagi benda langit menyentuh permukaan bumi.
Aku terbang mengitari bumi. Kondisi di bumi sudah serba panik!
Pertarungan dan perang terjadi di mana-mana. Oksigen menipis. Makhluk hidup mengalami dehidrasi, otak mereka terasa mendidih, satu per satu korban berjatuhan.
Ledakan demi ledakan terjadi. Bahkan beberapa ledakan berhasil menenggelamkan pulau-pulau.
Kebakaran, banjir, gempa bumi, ledakan es, hingga badai topan terjadi bersamaan.
Lahar panas bergelombang keluar dari perut bumi. Baik dari retakan tanah maupun letusan gunung merapi.
Samudra memuntahkan tsunami, menghempas daratan berulang kali, surut kemudian pasang tinggi. Surut-pasang terjadi silih berganti.
Seperti susunan puzzle, lempeng tektonik bergeser ke luar menggesek lempengan lain. Gedung pencakar langit runtuh dengan konstan.
Terbang lebih tinggi, aku menyaksikan es abadi di utara dan selatan meledak ke udara, menghujankan serpihan salju ke belahan bumi terdekat.
Suhu panas dan dingin yang ekstrem membangunkan kekuatan angin topan. Berotasi dari ukuran kecil ke ukuran terbesar.
Tangis manusia yang tidak berdaya sudah tanpa suara. Tidak ada tempat lagi bagi mereka untuk bersembunyi.
Makhluk lemah yang terkonsentrasi di berbagai titik hanya bisa berserah diri. Memohon ampunan kepada penguasa, yang mereka anggap... Tuhan.
Kala doa tak kunjung terkabul, mereka baru mulai menyadari bahwa pintu taubat telah tertutup. Pasrah ketika ajal menjemput. Ikhlas menjadi remah-remah dalam percaturan dunia.
Aku kembali turun ke bumi. Di sisi pertempuran, tawa lebih banyak terdengar.
Kelompok manusia bagian ini menunjukkan sisi hitam dan putih kehidupan. Sisi hitam membawa nafas iblis memperlihatkan jiwa membunuh yang tidak terbatas. Maniak membunuh. Sedangkan sisi putih mempertahankan keselarasan. Membawa nafas kebenaran untuk meredam kejahatan.
Di antara pasukan manusia, terdapat pasukan dari makhluk lain yang mewakili berbagai spesies. Masing-masing menunjukkan kekuatannya. Bahkan tidak sedikit yang bergabung dengan bangsa jin untuk mendapatkan kekuatan lebih. Serangan jarak dekat dan jarak jauh saling berkombinasi. Setiap petarung terus mencoba mendominasi lawan-lawannya.
Aku belum pernah melihat perang maha dahsyat seperti ini.
Ratusan Ras elf yang tersisa melepaskan sisa-sisa anak panah yang mereka miliki. Satu anak panah melesat sejauh lima kilo meter menembus mata Warewolf. Seorang Demigod menghunuskan tombak ke arah perut Warewolf, lalu meninju kepala Warewolf lain yang ingin mendekat. Perang ini seolah tiada akhir.
"Matiiiiii....kauu...munafiik!!!"
Sambil terbang menuju kerumunan, lengan seorang pendekar iblis terbuka, mengantarkan ratusan pisau es. Seketika darah berceceran di tubuh lima orang pahlawan yang satu di antaranya adalah peri hutan. Perutnya yang mungil terbelah dua, sesaat kemudian terjatuh ke tanah. Tanpa disadari terinjak-injak pasukan lain.
Pahlawan terdekat mencengkram kepala pendekar iblis.
Boom!!!
Tubuh pendekar iblis terjatuh di tanah tanpa kepala. Lehernya mengalirkan darah segar...
Sejurus kemudian sang pahlawan marah meraung... berubah menjadi makhluk api, terbang menembus tubuh pendekar iblis lain dengan membabi buta.
Dalam kondisi pertempuran, membunuh sudah menjadi hukum yang dibolehkan. Atas nama keadilan para pahlawan manusia dan spesies sisi putih membunuh setiap makhluk dan pendekar di sisi hitam. Membunuh jika tidak ingin dibunuh. Sulit membedakan antara kedua sisi. Hitam maupun putih sama-sama saling membunuh.
Pahlawan bertubuh api menepuk dada, "Akulah pahlawan sejati!!! Siapa lagi yang menjadi lawanku, heh?!!"
Sejurus kemudian ia mulai kembali membunuh. Membunuh tanpa ampun. Tanpa basa-basi. Atas nama keadilan.
Aku teringat dengan kata-kata Ahli Hikmah yang dalam bukunya menulis: Mereka yang merasa dirinya baik.. sungguh mereka itu sejahat-jahatnya makluk..
Merasa diri baik adalah benih keangkuhan. Membuat makhluk lupa diri. Lupa awal mula siapa dirinya sendiri yang tak lain makhluk lemah dalam buaian, yaitu bayi.
Tanpa ku sadari aku mulai merenung.
Memang pada dasarnya manusia itu makhluk yang dilahirkan suci. Pengalamanlah yang akhirnya membentuk diri manusia sejak kecil. Menentukan yang terbaik untuk dirinya.
Menjadi orang yang baik merupakan sebuah pilihan. Terlepas dari motiv yang melatar-belakangi. Begitu pula orang jahat. Itu juga sebuah pilihan. Terlepas dari lingkungan yang mempengaruhi. Anak burung menjadi burung, anak anjing menjadi anjing.
Namun perlu diingat. Dalam sistem sosial ada sistem nilai yang dipengaruhi oleh kepercayaan dan budaya. Membuat setiap makhluk sosial tidak bebas nilai. Ada standar yang telah lama hidup untuk menilai perbuatan baik dan buruk makhluk.
Bagi para pahlawan, nilai-nilai luhur harus ditegakkan. Walau nyawa menjadi pertaruhan.
Bagi para penjahat, yang penting tujuan tercapai. Hilangkan semua rintangan.
Aku dengan jelas mengetahui penyebab perang ini terjadi.
Seorang pencuri jiwa dari golongan manusia jalan iblis tertangkap. Saat diadili, bukti pencurian sudah sangat sahih. Si pencuri dengan jujur juga mengakui. Hakim memutuskan hukuman: mencuri jiwa si pencuri!
Budi baik dibalas baik. Budi jahat dibalas jahat. Nyawa dibayar nyawa.
Sejak awal tertangkap hingga saat persidangan usai, si pencuri terlihat sedih tanda menyesal. Melihat itu hati Hakim sangat teriris.
Sesaat seusai persidangan, menghampiri terdakwa Hakim bertanya, "kenapa kau tega mengambil nyawa orang lain? Tidakkah kau bisa sedikit bersimpati kepada mereka?"
Mendapat pertanyaan dari hakim ujung bibir pencuri naik. Senyum licik tersimpul di wajahnya.
"Hehehe... simpati anak h*ram!! Aku hanya menunjukkan makna KEADILAN kepada kalian..." si pencuri tertawa sambil dipandu meninggalkan ruangan.
Pada hari itu juga Hakim bertolak ke istana penguasa. Mengajukan permohonan mengundurkan diri. Hati kecilnya berkata: "penguasalah yang semestinya bertanggungjawab atas semua masalah ini..."
Si Pencuri adalah tokoh terkemuka jalur iblis. Melakukan provokasi, hingga memicu pertempuran di mana-mana.
Pertempuran yang telah terjadi selama dua tahun ini belum menunjukkan pemenangnya. Aku hanya menonton kala ratusan juta nyawa telah berkorban pada ratusan titik pertempuran.
Ratusan millyar makhluk terenggut nyawanya. Mereka ini hanyalah bidak catur para budak kekuasaan dan ketenaran. Apa yang mereka cari? Pengakuan? Ya, tapi tidak sebatas itu.
Zztttt... boom! Booom...!!!
Dunia terbelah dua!! Seperti semangka yang diiris dengan cepat, tanpa mengeluarkan sari. Teriris rapi tanpa cela.
Gesekan antara belahan yang terpisah menyebabkan bumi kehilangan gravitasi. Makhluk hidup yang ada di atasnya melayang di udara bertabrakan dengan apapun yang ada di dekatnya.
Gunung merapi mengeluarkan larva. Lautan melayang di udara.
Aku terbang ke angkasa nan tinggi.
"Akhirnya kau memutuskan untuk memulai. Kau sudah tidak sabar? Hahaha"
Aku tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak ku rencakan sebelumnya. Kata-kata ini ditujukan kepada seorang pria yang sedang melayang di angkasa.
Menghadapi pria berambut pendek putih ini tidak membuatku takut. Pria itu berperawakan tegap dengan kulit gelap. Kontras dengan pakaiannya yang putih bersih. Matanya tegas dengan wajah yang rupawan. Aku merasa mengenalnya.
Sambil memandang sekeliling aku duduk di atas entitas batu berlumut tapi memiliki mata. Batu inilah yang membawaku terbang menyaksikan adegan demi adegan di bumi.
Uniknya, penampilan rambutku hijau seperti tokoh Roronoa Zoro dalam manga one piece, namun panjang terikat seperti Kenshi Himura dalam serial Anime Samurai X. Padahal aku dilahirkan dengan rambut hitam.
Sayangnya warna rambut dan kulitku yang berwarna sawo matang benar-benar tidak selaras.
Aku masih melayang tinggi hingga melihat bumi hanya sebesar stadion sepakbola.
"Itu yang kamu anggap sebagai solusi? Lelucon apa yang anda ajarkan kepadanya?!" Lagi-lagi aku mengatakan sesuatu begitu saja. Kali ini sambil memandang ke arah makhluk agung berjubah emas.
Kepala makhluk itu tertutup jubah, menunduk hingga kegelapan saja yang nampak di wajahnya. Di telapak tangan makhluk ini melayang planet yang ditinggali manusia bersama spesies lain.
Itu adalah bumi!!!
Makhluk hyper raksasa itu memandang ke arahku. Wajahnya masih tidak terlihat, hanya kilauan mata kanan yang bercahaya, bulat seperti lampu sorot, tapi tidak begitu menyilaukan.
Sesaat kemudian benda-benda langit di tata surya menyusut, menembakkan seberkas cahaya ke arah ku.
Seberkas cahaya yang menyilaukan menyentuh tubuh ku. Tenggelam dalam terang benderang cahaya.
Segalanya serba gelap sekarang.
"Akhirnya aku menemui ajal.. "
"panas..coy"
"terik.. "
"hangat..."
"hmm... kenapa tiba-tiba terasa mulai sejuk...?"
....
"Uswaturrahman...." dalam cahaya terang benderang ada suara yang memanggil nama seseorang.
Aku sedikit kebingungan.
Tidak... sepertinya aku masih bermimpi.
Namaku Asnawarman Hamran dan aku baru mulai sadar kalau aku sedang bermimpi.
Setiap aku sadar sedang bermimpi, mimpi itu akan berubah setting. Pada kasus lain aku akan terbangun dari tidur.
Setelah beberapa saat berada dalam cahaya hingga tidak ada yang bisa aku lihat, tiba-tiba aku sekarang sudah berada di dalam kamarku.
Sayup-sayup terdengar suara meminta tolong.
Begitu aku keluar dari rumah, aku berada di reruntuhan gedung kota modern.
"Aswa...tolong aku."
"Tolong aku dulu, Wa..."
"Aswaaa... aku di sini... tolong aku"
Di tiap runtuhan gedung orang-orang memanggil namaku untuk meminta tolong. Kali ini Aku lagi-lagi tidak menyadari bahwa aku masih berada dalam lingkaran mimpi.
Aku lalu menyelamatkan seseorang di gedung terdekat, seorang wanita cantik dengan luka di tubuhnya. Pakaiannya penuh sobekan.
Aku sempat tertegun dengan kemolekan wanita itu. Tapi aku harus menyelamatkan yang lain.
Segera aku bergegas pergi, menoleh sedikit ke arah wanita itu, berpaling, aku telah memastikan akan meninggalkan wanita yang telah aku selamatkan.
"Jangan pergi dulu..." Entah bagaimana wanita ini tiba-tiba memelukku dari belakang.
"Kau tidak mau bersenang-senang?" Kata-kata dari wanita ini tiba-tiba menusuk hasrat biologisku.
Sensasi pelukan wanita dewasa sungguh sayang untuk dilewatkan. Aku merasakan gelenyut tubuh surgawi tepat berada di belakangku. Menempel dengan lekat, hanya kain yang membatasi.
"Tidak... aku harus menyelamatkan yang lain..."
kata-kata ini keluar begitu saja dari mulutku tanpa aku inginkan. Antara hati dan perbuatan tidak kongruen. Aku tau itu munafik namanya. Itu munafik namanya.
Aku mencoba mengklarifikasi. "Bukannya aku tak mau. Tempatnya benar-benar tidak memungkinkan. Bagaimana kalau kau tetap di sini dan aku selamatkan yang lain dulu?" Kalimat terakhir ini memang benar dariku. Aku ingin kembali lagi ke sini.
Wanita ini tidak menolak, tidak pula menerimanya. Hanya saja wajahnya cemberut.
Aku pergi ke luar gedung.
Anehnya saat ini terlihat banyak orang yang sedang melakukan transaksi jual-beli. "Ini pasar!" Di sekelilingnya tidak terlihat lagi gedung yang porak-poranda.
"Apa aku sedang bermimpi? Ya, jelas aku bermimpi. Mana wanita tadi? mana gedung tadi?" Setelah sadar, kegelapan menyelimutiku.
Seketika itu sedikit cahaya tiba-tiba memasuki mataku. Aku telah terbangun. Sekarang aku jelas berada di dunia nyata, di kamarku sendiri.
***