Wataru melangkahkan kaki memasuki kamar ruang rawat Misaki. Penampilannya terlihat sederhana dengan kaos hitam polos berlengan pendek dan celana jeans sobek, yang tak biasa dari hal itu adalah ia membawa sebuah buket besar mawar ungu yang dibungkus kertas abu-abu polos dengan sebuah pita kain metalik menjadi pengikatnya. Buket bunga ini sangat mewah dan elegan.
Udara di dalam ruangan itu terasa agak dingin, tidak seperti biasanya. Aneh, pikir Wataru
Semakin dalam ia memasuki ruangan, kini terjawablah sudah hal itu. Pintu ganda balkon terbuka penuh, memperlihatkan tirai putih tipis yang melambai-lambai pelan terkena terpaan angin pagi.
"Reiko?!" serunya dengan nada ragu.
Hening.
Suara pelan decit pintu yang terdorong-dorong angin tiba-tiba mengubah suasana di sana seperti sebuah adegan film horor.
"Kenapa membuka semua pintunya? Ruangan jadi dingin, kan!" nada suaranya naik satu oktaf.
Ia mendecak kesal karena diabaikan oleh orang di luar sana—sebenarnya ia tak yakin apakah itu Reiko atau bukan, karena cahaya matahari membuat pemandangan jadi silau dan dengan adanya tirai putih tipis itu, matanya nyaris tak bisa menangkap jelas si pemilik siluet.
Buket bunga ditaruhnya di atas meja di depan sofa putih, matanya melirik pelan ke arah ranjang pasien. Betapa terkejutnya ia, perempuan itu tak ada di sana!
"Misaki?" kepalanya menoleh cepat ke arah balkon, nada suaranya penuh harap, "apa kau sudah sadar?"
Tak ada jawaban.
"Oi! Apa itu kau, Misaki?"
Lagi-lagi tak ada jawaban. Sosok itu hanya berdiri di sana memunggunginya.
Merasa yakin bahwa itu Misaki, dengan perasaan gusar ia melangkah menuju balkon.
Belum sempat kakinya mencapai batas sofa malas yang tak jauh dari pintu, tirai putih itu berkibar keras hingga memperlihatkan Misaki yang mengenakan pakaian pasien mulai memanjat pagar tembok, kemudian tanpa peringatan menjatuhkan diri secara vertikal ke bawah.
Wataru membeku, kedua bola matanya membesar, tenggorokannya tercekat seolah tersumbat sesuatu, isi pikirannya berhamburan dan bergegas berlari ke luar balkon seraya memekik ngeri, "MISAKI!", akan tetapi bukannya lantai balkon yang kakinya pijaki, melainkan sebuah lubang hitam tak berdasar menghisapnya begitu kencang jatuh ke bawah.
Sang dewa bisnis terbangun dengan kaget. Rupanya itu hanya mimpi!
Syukurlah, batinnya.
Wajah lelaki itu pucat pasi disertai banjir keringat dingin.
Ia ketiduran di tepian ranjang pasien tanpa sempat memakai pakaian ganti, dan kaget melihat tangan kirinya menggenggam erat tangan Misaki. Semula ia berniat segera melepasnya, namun entah kenapa seakan Misaki bisa merasakan genggaman tangannya dan tak ingin melepasnya.
"Misaki..." bisiknya parau.
Selama beberapa menit, ia hanya bisa seperti itu sampai Shiori datang untuk pemeriksaan pagi. Dokter itu sedikit terkejut melihat adiknya duduk dengan setengah telanjang.
Sora, sang perawat tertunduk malu-malu ketika lelaki itu berjalan melewatinya menuju kamar mandi.
Seksi dan tampan sekali! Batin Sora tanpa sadar.
"Kau tidur tanpa memakai pakaian?" tanya Shiori heran, ujung sepatu hak tingginya menendang baju basah sang adik yang tergeletak tak jauh dari kaki ranjang pasien.
"Cepat periksa dia! Dan beritahukan padaku kondisinya hari ini!" Wataru menghindari pertanyaan itu, suara air di wastafel begitu keras terdengar seperti sengaja dibuat begitu agar ia dikira sibuk di toilet.
"Ngapain dia semalaman?" Shiori bertanya-tanya pada diri sendiri, setelah mengedikkan bahu dengan perasaan cuek, ia memeriksa Misaki secara saksama, mencatat hasil pengamatannya ke papan periksa, lalu menghela napas panjang.
"Bagaimana? Kenapa ia belum bangun juga?" ia muncul dengan rambut basah dan dada tertutupi handuk putih.
"Baik. Semua normal." Jawabnya singkat.
"Lalu?"
"Lalu?" ulang Shiori tak mengerti.
"Kau tuli? Aku tanya, kenapa dia belum bangun juga? Dia, kan, hanya kurang nutrisi dan kelelahan? Harusnya sudah bangun, kan, sekarang? Ini sudah hari ke berapa?" suaranya terdengar berupa
desakan alih-alih sebuah pertanyaan, tampak kesal dan tak sabaran.
"Wataru," kata Shiori dengan nada rendah, "aku hanya seorang dokter, bukan tuhan! Kesembuhan dan pulihnya pasien itu juga tergantung dari keinginan sang pasien sendiri. Jadi, kumohon, tenangkan dirimu!"
Lelaki itu tampak risau, tak tahu harus berkata apa. Ia duduk bertopang dagu di sofa malas, pikirannya kembali berputar mengenai mimpinya hari ini. Ini sudah dua kali ia mendapat mimpi jelek mengenai perempuan itu. Pertanda? Omong kosong! Ia tak percaya hal tak logis semacam itu!
Sementara Wataru perang batin dengan dirinya sendiri, Shiori melirik isi tempat sampah, ia berjalan dengan rasa penasaran ke arah sana, lalu memungut bunga yang dibuang Wataru semalam.
"Loh? Kenapa ini ada di tempat sampah? Cantik begini, kok, dibuang?" Shiori meraih buket keranjang itu, dan sebuah kartu ucapan dari sela-sela bunga terjatuh ke lantai, tepat di hadapan Wataru.
Perhatian lelaki itu buyar.
"Aku sudah membuang bunga itu! Kenapa kau ambil lagi?" lengking Wataru galak.
Kedua pundak Shiori naik, kaget mendengar suara sang adik yang memekakkan telinganya saat hendak memungut kartu ucapan itu.
"Kenapa kau membuangnya? Sayang, kan?! Ini dari toko bunga paling terkenal di Tokyo, loh! Harga bunga paling murah di sana itu 27000 yen*?" Shiori memperlihatkan bagian belakang kartu ucapan itu, ada nama toko bunganya di bagian bawah.
"Bunga itu tak dibutuhkan di ruangan ini. Ambil saja kalau kau mau!"
"Mana bisa begitu. Ini khusus untuk Misaki. Bunga ini sepertinya dipesan secara khusus, pacarku sering memberiku bunga dari toko bunga ini, dan ia tak pernah memberiku bunga yang sama dua kali," ia meletakkannya dengan hati-hati di atas lemari laci pakaian, membaca isi kartu ucapan itu, dan seketika pipinya merona.
Melihat ini, Wataru mengerutkan muka.
"Ada apa lagi?"
"Si pengirim ini sungguh blak-blakan sekali!" pujinya tulus.
"Memang isinya apa? Pernyataan cinta?" tanyanya iseng, kemudian mendengus jijik.
"Wuah! Tepat sekali!" jawabnya dengan nada riang menyebalkan di telinga Wataru, matanya tersenyum.
Mendadak, Wataru bangkit dan merampas kartu itu dari tangan sang kakak.
[Semoga lekas sembuh, Misaki.
Dari pria yang mencintaimu selalu dan selamanya, Uesugi Ishikawa.]
Kalimat di kartu itu sangat sederhana dan pendek, namun itu seakan menjadi bahan bakar di hati sang playboy, wajahnya berubah merah padam dalam sekejap, campuran antara amarah dan kekesalan meledak-ledak. Ia meraih buket bunga itu dan membantingnya keras-keras ke lantai.
"APA ISTIMEWANYA BUNGA MAHAL INI? SEENAKNYA SAJA DIA MEMANGGIL NAMA PEMBERIANNYA*! DIA PIKIR DIA ITU SIAPA?" raungnya murka.
Catatan kaki:
1. 27000 yen, kira-kira 3,5 juta rupiah.
2. Penyebutan nama seseorang di Jepang, bisa menandakan tingkat keakraban. Misal, jika sudah setuju menyebut nama pemberiannya saja, artinya sudah akrab. Apalagi jika tanpa gelar kehormatan.
Sedangkan menyebut langsung namanya (bukan marga), lalu tidak akrab dan tanpa persetujuannya, bisa dianggap tidak sopan dan kasar.
Sebagai pengingat, nama di Jepang itu terbalik:
"Nama keluarga/marga, nama pemberian".
Contoh: Miyamoto Wataru.
Miyamoto adalah nama keluarga/marga.
Watau adalah nama pemberian.
Shiori dan Sora yang melihat reaksi spontan ini hanya bisa melongo seperti orang bego. Menonton aksi Wataru yang mulai menginjak-nginjak bunga itu seperti anak kecil manja, menggerundel dengan ucapan-ucapan yang sama sekali tak dimengerti oleh kedua wanita itu.
"Hey! Hey! Wataru! Hentikan! Kau ini kenapa, sih?!" tegur sang kakak, tapi tak ditanggapi olehnya, yang ada malah buket itu ditendang menjauh ke arah pintu balkon, alhasil benturan buket itu membuat pintu ganda bergetar cukup keras. Untung saja kacanya tak pecah.
"SEMUA INI GARA-GARA, REIKO!" kartu ucapan di tangannya diremas kuat-kuat hingga nyaris sobek.
"Apa salah Reiko dalam hal ini? Kau ini kenapa, sih?" sang dokter memandang penuh tanda tanya padanya, ia hendak mendekat tapi takut lelaki itu melakukan tindakan tak terduga, memukulnya tanpa sengaja, misalnya.
"Si bodoh itu—" ia menahan kata-katanya sesaat, mata dipejamkan kuat-kuat, rahangnya mengeras, tampak berusaha menahan diri, kemudian samar-samar melanjutkan dengan nada setengah lesu, "dia sudah terlalu jauh mencampuri urusanku kali ini."
"Apa yang dilakukan Reiko?" suaranya terdengar menuntut.
Wataru tak menjawabnya, matanya hanya melirik ke arah Misaki.
Sang dokter memahaminya dalam sekejap tanpa perlu penjelasan lebih lanjut.
"Wataru.... Aku tak tahu dengan pasti apa yang terjadi antara kalian bertiga, oh, salah, maksudku berempat," matanya menatap ngeri kartu ucapan di tangan sang adik, "tapi, jika perempuan itu berarti bagimu, maka jangan pernah mempermainkannya seperti yang lain. Kudengar lelaki itu adalah pasangan dansanya di acara reunimu. Mengirim hal seperti ini pastinya bukan hal main-main baginya, dia tahu nama asli perempuan itu sampai-sampai langsung menyebut nama depannya, terang-terangan pula mengatakan isi hatinya. Apa kau ingin membiarkan ini berlanjut? Aku juga dengar kau tak bersikap ramah pada Fujihara dan mempertahankannya sebagai budak. Ini seperti bukan dirimu, Wataru!"
"BERISIK!" ia meninju keras meja kaca di samping sofa malas hingga retak jatuh berhamburan, luka di buku-buku jarinya yang mulai sembuh kini kembali terluka dan bertambah luas.
"WATARU!" pekik Shiori, ia buru-buru meraih tangan sang adik, meraih sapu tangan di kantongnya dan membalutnya.
"Lepaskan..." katanya pelan, terdengar agak merajuk.
"Ini harus diobati! Ada apa denganmu, sih?" matanya melotot pada sang adik yang kini tertunduk diam. "Sora! Periksa laci meja tulis, harusnya ada peralatan P3K di sana! Cepat! "
Sora yang masih terkejut, buru-buru berlari ke meja yang berada di samping ranjang pasien, meraih kotak kecil, dan menyerahkannya dengan gugup pada sang dokter.
"Ambilkan aku air hangat secukupnya," ia mengedikkan kepala ke arah dapur, lalu menatap tajam sang adik, "dan kau! Duduk!"
Tanpa banyak protes, Wataru hanya menurut. Ia duduk dengan kepala tertunduk lesu di sofa malas. Wataru benar-benar kacau luar-dalam! Untungnya, ia bersama Shiori saat ini, bukan Reiko. Kakak keduanya itu adalah orang yang tak mudah dibantahnya seperti Reiko, sang playboy terlalu hormat padanya, sekaligus memiliki hutang budi yang mungkin tak sanggup dibalasnya seumur hidup.
Dengan telaten, sang kakak membersihkan lukanya, sesekali sang adik meringis kesakitan dan setiap kali itu pula Shiori mendampratnya dengan omelan pedas. Siapa suruh melakukan tindakan bodoh begitu, sih? Sang playboy hanya bisa cemberut dan menahan emosinya sampai sang dokter selesai mengerjakan tugasnya.
Shiori menghela napas panjang. "Kau sudah meninju apa sebelumnya? Jangan memulai kebiasaan burukmu lagi. Tanganmu itu bukan besi. Kau juga sudah berumur, kemampuan penyembuhan tubuh manusia berkurang seiring usia bertambah. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Tubuhmu itu berharga, dan bukan hanya milikmu. Paham?"
"Aku bukan properti...." gumamnya pelan dengan nada protes.
"Meski kau berkata seperti itu, kau tahu bahwa kita tak bisa melawan ayah, bukan? Dia tak akan memaafkan siapapun yang merusak rencananya menjadikanmu sebagai pewaris satu-satunya
Miyamoto Group."
Wataru terdiam, tahu betul dan benci dengan kenyataan memuakkan itu.
"Mungkin sebaiknya kau menjernihkan pikiranmu dan mengevaluasi tindakanmu akhir-akhir ini. Sejauh ini, ayah masih bisa tahan dengan pemberontakan kecil-kecilanmu yang nyeleneh, entah apa yang akan dia lakukan jika sudah tak tahan. Dewasalah sedikit!"
"Jangan bertingkah seperti Reiko! Aku tidak suka..."
"Dan masalah Reiko," ia kembali menghela napas panjang, "ia tak akan mengganggumu seandainya kau mulai bersikap layaknya seorang Miyamoto."
"Seorang Miyamoto? Bukankah aku sudah menjadi seorang Miyamoto? Seorang playboy yang persis seperti si penguasa itu, bukan?" ujarnya dengan nada jijik.
"WATARU!" semburnya galak.
"Anak dan ayah sama saja. Bukankah itu sebuah kebanggaan?" senyumnya menyeringai licik, namun samar-samar ada rasa lelah terpancar dari kedua bola matanya.
"Meskipun kau bersikap seperti ini, ayah hanya memikirkan perusahaannya semata. Kau pikir, kenapa dia begitu menganak-emaskan dirimu? Lebih baik kau mulai memperbaiki hidupmu dan menyayangi orang-orang berharga di sekitarmu, khususnya dia," ia mengedik ke arah Misaki.
"Dia tak ada artinya buatku...." ia memalingkan wajah, menghindari tatapan Shiori.
"Bohong. Dengan reaksi seperti tadi kau masih mau menyangkalnya? Sampai kapan kau mau bersikap begini? Kehilangan Aiko di masa lalu apa begitu traumatik buatmu? Dia itu wanita murahan! Tak pantas untukmu!"
"JANGAN MENYEBUTNYA WANITA MURAHAN!" tanpa sadar, lelaki itu berdiri dengan tangan mengepal.
"Lupakan dia! Fujihara bukanlah Aiko! Jangan menghukum orang lain dengan dosa yang tak seharusnya ia tanggung, Wataru!" desis Shiori tajam, ia menampakkan aura menantang.
"SEMUA PEREMPUAN SAMA SAJA! DAN MISAKI BENAR-BENAR PEREMPUAN PENUH TIPU DAYA! PEREMPUAN ITU LAYAK UNTUK DIHUKUM!" ingatannya kembali pada temuannya tentang kota asal Misaki, dan ini merembet pada hal-hal buruk saja mengenai perempuan itu, otomatis berakhir dengan kesimpulan bahwa Misaki adalah seorang wanita penggoda.
"Astaga.... Wataru..." Shiori memijit-mijit keningnya, bergumam pelan pada dirinya sendiri, "tidak heran Reiko kewalahan menghadapimu."
"Mawar ungu? Apa-apaan itu? Ia menggoda pria brengs*k itu seperti apa sampai dikirimi bunga semacam itu?"
Shiori menyipitkan mata, memandang tak percaya pada adiknya yang kini mencengkeram bagian bawah ranjang pasien seraya menatap penuh kebencian pada Misaki.
"Adik bodoh...." komentarnya pelan.
"Eng... Anu..." Sora, sang perawat yang sedari tadi diam saja jadi penonton akhirnya buka suara, dan Shiori berbalik menatapnya dengan reaksi sedikit terkejut, "mawar ungu melambangkan cinta pada pandangan pertama dalam hal percintaan."
Hening.
Sang perawat, tampaknya tak menyadari telah berbuat sebuah kesalahan fatal. Niatnya, sih, hanya ingin menjelaskan makna bunga itu agar menjernihkan kesalahpahaman sang playboy, namun hal itu sepertinya jauh dari harapannya, karena kini ia dihadiahi tatapan tajam menusuk penuh aura membunuh, dan cengkeraman lelaki itu semakin kuat pada ranjang Misaki.
"Sora.... kau keluar duluan. Kumohon..." Shiori menunduk lesu, tangan kanannya bergerak-gerak di udara ke arah pintu, "aku ingin bicara empat mata dengan adikku."
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK