LINGGARJATI sudah agak sepi ketika dia sampai ke sana karena hari sudah menjelang larut malam dan udara dingin mencucuki kulit tubuh sampai ke tulang-tulang. Di sebuah kedai dia berhenti untuk membasahi tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya dengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia telah menanyakan di mana letak tempat kediaman Adipati Seta Boga.
Tak sukar mencari tempat kediaman Adipati Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah gedung yang paling bagus dan paling besar di Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada dalam suasana tenang tenteram. Dua orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang tamu kelihatan beberapa orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima beberapa orang tamu.
Laki-laki itu melangkah seenaknya di depan kedua pengawal Kadipaten. "Di sini rumahnya Adipati Seta Boga ?" tanyanya pada salah seorang pengawal.
"Betul. Ada apa…?" balik menanya si pengawal.
"Ah tidak apa-apa. Aku cuma tanya…," jawab si pemuda. Digaruknya rambutnya yang gondrong.
"Adipatinya ada …. ?"
"Ada sedang merierima tamu. Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?"
"Cuma tanya," jawab si pemuda. Digaruknya lagi rambutnya lalu tanpa bilang apaapa dia melanjutkan langkahnya.
"Sialan . . . ," maki pengawal itu.
Yang dimaki jalan terus.
Pengawal yang satu berkata "orang gendeng…" Keduanya memandang sampai pemuda tadi lenyap di tikungan jalan yang gelap.
Setengah jam kemudian, ketika pemuda itu kembali maka tamu-tamu di Kadipaten sudah tak kelihatan lagi. Lampu besar di ruang depan sudah diganti dengan lampu kecil. Melihat kedatangan si pemuda dan yang seperti tadi berhenti di depan mereka maka membentaklah salah seorang dari pengawal.
"Orang sinting! Ada apa kau datang lagi ke sini?!"
"Pergi sebelum kepalamu kupentung dengan gagang tombak ini!," menghardik yang seorang lagi.
Si pemuda menyeringai.
"Dengar sobat-sobatku," katanya. Kedua tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari telunjuk dan jari jari tengah diluruskan. "Kalian lihat jari-jari tanganku ini …. ?," tanyanya.
"Kunyuk gendeng! Berlalulah atau kuremukkan kepalamu!" bentak pengawal sambil acungkan tombaknya.
"Ah… jangan buru-buru marah tak karuan. Bicaraku masih belum habis!," menyahuti si pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal. Jari jari tangannya masih diluruskan. "Coba kalian hitung jari-jari tangan yang kuacungkan ini," katanya.
Tentu saja kedua pengawal jadi tambah mengkal melihat tingkah dan mendengar ucapan si pemuda. Maka dua gagang tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda itu. Namun lebih cepat lagi dari luncuran kedua tombak itu, maka kedua tangan si pemuda tahutahu sudah menotok urat di pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan keduanya menjadi gagu dan kaku menegang.
Si pemuda tertawa. Kedua pengawal itu sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan kemudian dimasukinya halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal yang dipanggul kemudian dilemparkannya ke kandang kuda di belakang rumah. Lewat pintu belakang dia masuk ke dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum dikunci. Seorang perempuan separuh umur, yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan yang saat itu tengah mencuci piring terkejut melihat munculnya seorang pemuda berambut gondrong yang tak dikenalnya. Dan pemuda itu tersenyum kepadanya.
"Kau… kau siapa…?" tanyanya.
Si pemuda masih senyum. Tangan kirinya dilambaikan. Selarik angin tajam menyambar ke leher si perempuan. Perempuan ini hendak berteriak. Namun saat itu mulutnya sudah gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya tak bisa lagi digerakkan akibat totokan jarak jauh yang lihay sekali. Si pemuda kemudian memasukkan perempuan itu ke dalam sebuah bilik kosong di bagian belakang gedung.
Saat itu Adipatit Seta Boga tengah membuang hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia masuk kembali ke dalam gedung maka terkejutlah Adipati Linggarjati ini. Betapa tidak!
Di atas kursi goyang, di mana dia sering dudak bila melepaskan lelah, kini dilihatnya duduk enak-enakan sambil memejam-mejamkan mata seorang pemuda berbadan kekar dan berambut gondrong yang sama sekali tidak dikenalnya!
"Setan atau manusia dari mana yang kesasar ke gedungku ini…?" ujar Adipati Seta Boga di dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus juga menggoyang-goyangkan badannya dan kedua matanya masih dipejamkan.
"Siapa kau?!" bentak Adipati itu dengan suara menggeledek dan menggema di empat dinding ruangan.
Kursi goyang itu bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di atasnya masih terus duduk enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya. Dengan langkah besarbesar dia maju mendekat kursi goyang dan orang yang mendudukinya. Telapak tangan kanan terkembang dan detik itu juga maka melayanglah tamparannya!
Beberapa saat lagi tangan kanan itu akan mendarat di pipi si pemuda tiba-tiba si pemuda bukakan kedua matanya. Dan seperti alas kursi itu mempunyai per yang melesatkan si pemuda ke atas demikianlah tubuh pemuda itu melayang enteng sampai dua tombak dari kursi yang didudukinya! Dan sebagai akibatnya maka tangan kanan Adipati Seta Boga kini menghantam sandaran kursi goyang. Sandaran kursi itu pecah. Kayunya berkeping-keping berantakan. Dapat dibayangkan bagaimana jika seandainya tamparan itu mendarat di pipi si pemuda karena tamparan itu tidak boleh tidak tentu mengandung tenaga dalam yang luar biasa!
"Ah…. kau rupanya Seta Boga…," kata si pemuda sambil mengusap matanya. "Aku sedang enak-enakan tidur, kau mengganggu saja…!"
"Anjing kurap kenapa kau bisa kesasar ke mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!," radang Adipati Seta Boga. Geram sekali dia. Selama menjadi Adipati baru hari ini ada seseorang yang memanggilnya dengan "Seta Boga," saja !
Sipemuda tertawa dan seperti tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas kursi goyang, kembali bergoyang-goyang dan memejamkan matanya.
"Setan alas betul!," damprat Seta Boga. Sekali kaki kanannya bergerak maka mental dan hancurlah kursi goyang itu. Tapi si pemuda sekejapan sebelum itu sudah melompat dan berdiri di sudut ruangan dekat sebuah meja kecil.
"Kursi bagus ditendang sampai hancur. Kau sudah sinting rupanya Seta Boga?," tanya si pemuda sambil menyengir.
Sementara itu karena suara ribut-ribut di ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan disamping heran dia juga terkejut melihat apa yang terjadi.
"Kakang ada apakah? Siapa manusia ini?!" tanya perempuan itu.
"Pergi, panggil pengswal!," teriak Seta Boga pada istrinya. Perempuan itu berteriak memanggil pengawal. Namun tiada pengawal yang datang. Dua pengawal Kadipaten sebelumnya sudah dibikin "mendengkur" oleh si pemuda di kandang kuda!
Kegeraman Seta Boga tak terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong itu mengambil sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak di atas meja kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya sekaligus!
Rahang-rahang Seta Boga bertonjolan. Jari-jari tangan kanannya diremas-remaskannya satu sama lain. Sesaat kemudian kelihatanlah jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna merah terus menjalar sampai sebatas siku.
"Anjing kurap yang kesasar, hari ini terima nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi geniku!" Tangan kanan yang merah itu dipukulkan ke muka. Selarik angin yang tidak terkirakan panasnya menggebubu ke arah si pemuda.
Tubuh si pemuda berkelebat.
"Wuss!"
"Brak!"
Istri Seta Boga menjerit.
Dinding di muka mana pemuda itu tadi berdiri hancur berlubang dan menjadi hitam hangus! Orang yang diserang kelihatan disudut ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan menyedot serutu!
Dada Seta Boga menjadi sesak oleh amarah yang meluap. "Siapa kau sebenarnya ?!" bentak Adipati Linggarjati ini,
Si pemuda batuk-batuk lalu cabut serutunya dari sela bibir. "Namaku … ?," ujarnya. "Masakan kau tidak tahu ?!"
"Setan alas …. !"
Si pemuda tertawa menanggapi makian itu.
"Namaku Tapak Luwing," katanya. "Aku datang untuk menyerahkan sebagian dari uang pungutan pajak di desa Bojongnipah. Ini terimalah…!"
Si pemuda mengeruk saku bajunya. Sesuatu dalam genggamannya kemudian dilemparkannya ke arah Adipati Seta Boga. Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan tangan kanannya. Benda yang dilemparkan ternyata adalah kira-kira selusin kalajengking yang saat itu sudah mati dan bertebaran di lantai. Istri Seta Boga memekik lalu lari ke dalam kamar. Si pemuda tertawa bekakakan!
Adipati Seta Boga tak menunggu lebih lama menyambar sebuah tombak yang dipanjang di dinding. Dengan senjata ini dia kemudian menyerang si pemuda! Si pemuda tenang-tenang selipkan serutunya ke bibir, menghisapnya dengan cepat lalu menghembuskan asapnya ke arah Seta Boga. Adipati ini terpaksa melompat ke samping sekali lagi karena asap serutu itu mengandung tenaga dalam dan menyambar ke arah kedua matanya!
Dari samping kini Seta Boga melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian kemari. Tangan kiri melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali berturutturut! Inilah jurus "kitiran dan alu sabung menyabung" Jurus ini biasanya dilaksanakan dengan memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya tidak olah-olah.
Tapi betapa terkejutnya Seta Boga ketika si pemuda dengan tertawa-tawa berkata : "Ah, cuma jurus kitiran dan alu sabung menyabung, siapa takut? Sambuti serangan balasan ini, Seta Boga!"
Demikianlah, meskipun diserang tapi si pemuda bukannya mengelak malahan menyambut dengan serangan pula!
"Ini jurus membuka jendela memanah rembulan Seta Boga!," kata si pemuda. Lengan kirinya dipukulkari melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan meluncur ke atas dalam gerakan yang cepat sekali dan sukar dilihat oleh mata !
"Ngek"
"Buk !"
Tombak di tangan Seta Boga terlepas mental karena lengannya kena dibabat oleh lengan lawan. Suara ngek yang ke luar dari tenggorokannya adalah akibat urat besar di bawah dagunya telah kena ditotok oleh sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya tak bergerak lagi alias kaku tegang! Karena sebelum ditotok Seta Boga telah menyeringai kesakitan akibat benturan lengan lawan maka di saat tubuhnya menjadi kaku itu, mimik parasnya sungguh tak sedap untuk dipandang!
Si pemuda cabut serutu dari sela bibirnya don meniupkan asap serutu itu ke muka Seta Boga. "Sayang sekali," katanya. "Jurus kitiran dan alu sabung menyabungmu terpaksa bertekuk lutut di bawah jurus membuka jendela memanah rembulan-ku…".
Ditiupkannya lagi asap serutu ke muka Seta Boga. Totokan pada urat besar di bawah dagu Seta Boga tetah melumpuhkan tubuhnya, membuat mulutnya menjadi gagu dan, perasaannya menjadi tumpul. Cuma telinganya saja saat itu yang masih sanggup mendengar. Maka berkatalah si pemuda. "Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah Kundrawana dan penduduk Bojongnipah akan datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau akan mereka seret ke hadapan Raja di Kotaraja. Tapi kalau nasibmu buruk, mereka akan mengeremusmu beramairamai! Dan sebelum aku pergi, terima hadiah kenang-kenangan ini dariku….".
Si pemuda acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Dengan mempergunakan ujung jari itu diguratnya tiga buah angka di kening Seta Boga, 212 …!
Ketika pada keesokan harinya Ki Lurah Kundrawana dan dua lusin penduduk Bojongnipah bersenjata lengkap datang ke gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka heran menemui gedung itu dalam keadaan kosong. Tak satu manusiapun ada di dalamnya.
"Pasti Adipati keparat itu sudah melarikan diri!," Kata Kundrawana geram.
Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari belakang gedung. Ketika Kundrawana dan yang lain-lainnya pergi ke belakang gedung mereka hampir tak percaya dengan penglihatan mereka. Lima orang kelihatan berdiri tak bergerak-gerak di kandang kuda. Di sebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan istrinya. Di kiri kanan mereka pengawalpengawal Kadipaten dan di sebelah belakang perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga! Ketika diperiksa kelimanya masih dalam keadaan bernafas dan ditotok urat darah mereka.
Ki l:urah Kundrawana memandang pada angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta Boga. "Dua satu dua . . . . ," desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala lalu memerintah: "Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga kita seret ke Kotaraja!"
***
Pendekar kapak maut naga geni 212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi sungai. Di tempat yang agak kelindungan dia membuka pakaian dan mandi membersihkan diri Sambil mandi itu kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat kejadian malam tadi di Kadipaten Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah sampai di Linggajati, mungkin masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu kejahatan telah berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang, selama itu pula kejahatan tak pernah akan berakhir !
Selesai mandi badannya terasa segar. Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke luar dari sela bibirnya sedang pikirannya mengingat-ingat pertempurannya dengan Tapak Luwing dan laki-laki yang telah melarikan Tapak Luwing serta menantangnya itu.
Tantangan ini mengingatkannya pada pertempurannya di Gua Sanggreng dengan Bergola Wungu tempo hari. Kali ini untuk kedua kalinya dia ditantang. Siapa pula gerangan kali ini yang menantangnya ?
"Hidup ini memang penuh tantangan? Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri dan dari diri manusia-manusia lain… Sungguh gila kehidupan ini! Tapi kegilaan inilah yang mendatangkan kenikmatan…". Maka siulan pendekar 212 itu semakin meninggi dan melengking membawakan lagu tak menentu.
Tentang diri manusia yang telah melarikan Tapak Luwing itu hanya dua hal yang diketahui oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam dia melihat bahwa manusia itu buntung tangan kanannya. Kedua, ketika dia melancarkan pukulan kunyuk melempar buah dengan mempergunakan sepertiga bagian dari tenaga dalamnya, manusia bertangan buntung itu telah menyambuti pukulan tersebut dengan selarik sinar biru! Dan pukulan kunyuk melempar buah telah terbendung oleh selarik sinar biru itu! Ini membawa pertanda bahwa si tangan buntung itu siapapun adanya pastilah memiliki ilmu yang tinggi. Pendekar 212 menduga manusia ini mungkin sekali guru atau kakak seperguruan Tapak Luwing.
Dikenakannya pakaiannya kembali dan diteruskannya perjalanannya.
Rawasumpang satu daerah tandus penuh rawa-rawa maut yang menghisap setiap benda apa saja yang masuk ke dalamnya. Daerah ini terletak empat kilo di sebelah timur Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju.
Angin dari utara bertiup kencang membuat pakaian dan rambutnya yang gondrong berkibar-kibar. Dia memandang ke bawah. Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu sunyi sepi. Tak satu manusiapun yang dilihatnya. Wiro memandang ke langit. Matahari tengah bergerak dalam gerakan yang tidak kelihatan menuju ke titik tertingginya.
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara bergelak yang santar sekali! Pendekar kita berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana anak panah berlari kencang sekali di pedataran luas di sela-sela tebaran rawa-rawa. Begitu suara gelaknya hilang maka tubuhnya sudah berada di bawah bukit di mana pendekar 212 berada. Bukit itu tidak berapa tinggi dan dalam jarak sejauh itu Wiro Sableng segera dapat mengenali siapa adanya manusia yang bertangan buntung itu.
"Kalau dia yang menjadi penantangku malam tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu yang tinggi dan sangat diandalkan…," kata Wiro Sableng dalam hati. "Tapi…," ujarnya lagi, "bagaimana mungkin dalam tempo beberapa bulan saja kepandaiannya sudah seluar biasa ini…?".
"Manusia yang merasa bernama Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, turunlah! Atau aku yang musti naik ke atas bukit itu?!". Terdengar suara laki-laki di bawah bukit.
Pendekar kita keluarkan suara bersiul.
"Tikus buduk cacingan kalau sudah jadi kucing dapur memang berabe!," katanya. "Ada kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing dapur…?".
Paras Kalingundil kelam membesi. Dengan suara keras dia menyahuti: "Tadinya aku kira kau tak punya nyali untuk datang ke sini pendekar edan! Hitungan kita tempo hari masih belum selesai…"
"Oho, jadi untuk maksud itukah kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali Kalingundil. Memang urusan yang belum selesai harus diselesaikan. Benang kusut harus diurai baik-baik kembali!".
"Tepat sekali," jawab Kalingundil. "Cuma satu hal pendekar gila. Kalingundil yang dulu tidak sama dengan yang kau lihat hari ini!".
Wiro Sableng tertawa bergelak. "Tentu saja. Tadipun aku sudah bilang bahwa dari tikus buduk cacingan kau sudah berubah menjadi kucing dapur. Tapi kau tak banyak berbeda Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung sekarang masih tetap buntung! Seharusnya kau cari tukang kayu yang pandai untuk membuat tangan palsu…!".
Mendidih darah di kepala Kalingundil. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. Setiup angin biru deras menyambar ke arah Wiro Sableng. Pendekar itu lompat ke samping dengan sebat dan menyaksikan bagaimana tanah bukit tempatnya berdiri tadi terpupus berhamburan laksana longsor dihantam angin pukulan Kalingundil! Diam-diam Wiro Sableng menjadi kagum juga terhadap lawannya itu. Kepada siapakah Kalingundil telah menuntut ilmu selama beberapa bulan ini?
"Pendekar gila, jangan petatang peteteng juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa ini!," teriak Kalingundil. "Turun untuk terima kematianmu!".
"Setiap undangan baik dan buruk pantang kuelakkan, Kalingundil," sahut Wiro Sableng. Laksana seekor burung garuda dia melompat ke bawah.
Dalam keadaan tubuh melayang di udara itu, Kalingundil kirimkan tiga pukulan tangan kosong sekaligus, beruntun hebat sekali. Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan pukulan "benteng topan melanda samudera"!
Maka beradulah pukulan-pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam yang tinggi itu sehingga menimbulkan suara meletus hebat. Untuk sesaat pendekar 212 merasakan tubuhnya yang melayang di udara laksana tertahan oleh sebuah dinding yang tak kelihatan sedang di bawah sana Kalingundil melesak kedua kakinya sampai dua dim ke dalam tanah!
Sungguh pendekar 212 tidak menyangka kehebatan tenaga dalam Kalingundil berlipat ganda banyak sekali dari beberapa bulan yang lalu! Di lain pihak Kalingundil sendiri mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga pukulan beruntun tadi dia telah mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski dia telah memiliki ilmu silat, yang aneh dan tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu masih lebih tangguh!
Kalingundil kertakkan geraham.
"Pemuda gila, terima pukulan jotos siluman biru ini!," bentak Kalingundil. Tangan kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar 212 yang saat itu baru saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!
Pendekar kita lompat setinggi empat tombak dan dari atas ganti mengirimkan pukulan balasan yang tak kalah hebatnya.
Pukulan angin menimbulkan suara seperti ratusan seruling yang ditiup secara bersamaan. Debu berputar-putar ke udara, lumpur rawa-rawa seperti mendidih. Kalingundil kerahkan tenaga dalamnya ke kaki untuk mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar dilanda angin pukulan lawan namun sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan ditempatnya. Penasaran sekali, dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya dalam pukulan itu!
Kini Kalingundil tak dapat lagi bertahan dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu. Kedua kakinya laksana akar pohon berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari pertahanannya. Tubuhnya terhuyung keras ke belakang ke arah rawa-rawa maut. Dihantamkannya tangannya ke muka untuk membendung angjn pukulan lawan dan serentak dengan itu dia jungkir balik di udara melompati sebuah rawa kecil dan berdiri di bagian lain dari pedataran! Dengan demikian kedua manusia itu berhadapan satu sama lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa!
Laki-laki bertangan buntung itu tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik pakaian.. Sesaat kemudian di tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung yang berwarna biru. Meskipun buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari senjata itu Wiro Sableng maklum bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah pedang mustika.
"Kau lihat pedang ini, pemuda edan?!" bentak Kalingundil. "Nyawamu ada diujung senjata ini!". Pendekar 212 tertawa mengekeh.
"Orang dan. senjatanya sama saja! Sama-saama buntung!" mengejek murid Eyang Sinto Gendang itu,
Merah padam muka Kalingundil.
"Mengejek memang mudah. Tapi ketahuilah, membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih mudah lagi!," kata Kalingundil pula. "Buka matamu lebar-lebar orang gila dan lihat ini!".
Kalingundil menyapukan pedang buntungnya ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur rawa itu muncrat ke atas sampai tujuh tombak. Sebagian besar menyibak laksana terbelah sehingga dasar rawa yang hitam legam terlihat jelas beberapa detik lamanya !
"Senjata hebat," ujar Wiro Sableng dalam hati. "Dalam keadaan buntung demikian luar biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan. Sempurna. Bagaimana ini kucing dapur dapatkan senjata itu…?"
"Kau sudah lihat pendekar gila?!," terdengar bentakan Kalingundil.
"Senjatamu boleh juga, Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih baik ditempa untuk membikin sambungan tangan palsumu!".
Marahlah Kalingundil. Disapukannya senjata itu ke arah pendekar 212. Maka berkiblatlah sinar biru yang menyilaukan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dengan cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan. Dia melompat ke udara.
"Ciat!"
Didahului oleh bentakan yang menggeledek itu maka Wiro Sableng lepaskan pukulan dinding angin berhembus tindih menindih. Begitu pukulan ini melesat memapasi serangan lawan maka Wiro susul dengan pukulan kunyuk melempar buah yang perbawanya disertai aliran tenaga dalam sampai setengah bagian dari yang dimilikinya!
Pukukan yang pertama membuat serangan Kalingundil tertahan laksana menumbuk dinding karang yang atos. Pukulan yang kedua bukan saja membuat buyar sinar biru dari pukulan Kalingundil, tapi sekaligus melabrak pukulan tersebut sehingga kini Kalingundil yang berada dalam keadaan diserang! Ini memaksa Kalingundil menyingkir dua tombak ke samping. Kemudian tanpa membuang waktu lebih lama laki-laki ini menerjang ke muka. Pedangnya membabat deras, sinar biru yang menghamburkan hawa dingin serta tajam menyambar ke arah pendekar 212!
Wiro Sableng membentak nyaring! Suara bentakannya ini membuat gendang-gendang telinga Kalingundil tergetar. Pedangnya melabrak ke arah perut lawan tapi dalam kejapan itu pula lawannya berkelabat dan lenyap dari pemandangan! Penasaran sekali Kalingundil putar pedang buntungnya demikian rupa. Maka sinar birupun bergulung-gulung mengurung Wiro Sableng!.
Sebagaimana kebiasaan pendekar 212, dalam setiap pertempuran yang mulai menghebat maka disaat itu pula mulai terdengar suara siulannya melengking-lengking membawakan lagu tak menentu! Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini. Karena sukar untuk menentukan mana tubuh yang sebenarnya dan mana yang hanya baying-bayang, maka hampir keseluruhan serangan-serangan Kalingundil menghantam tempat kosong. Namun demikian memang permainan silat siluman yang didapat Kalingundil di Gua Siluman tempo hari meskipun cuma sepertiganya saja yang dikuasainya, benar-benar patut dikagumi.
Pendekar 212 tahu bahwa lawannya sampai dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di samping itu, pihaknya sendiri sukar pula melakukan serangan balasan karena setiap serangan yang dilancarkan Kalingundil merupakan jurus pertahanan! Demikianlah kehebatan ilmu silat siluman yang dimiliki oleh manusia bertangan buntung itu!
Tapi adalah percuma saja Wiro Sableng menjadi murid dan digembleng selama tujuh belas tahun oleh nenek-nenek sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak bisa menghadapi lawan begitu rupa satu lawan satu!
Maka Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya dengan jurus-jurus tak teratur yang gerabak gerubuk kian kemari. Kedua tangannya terkembang di kedua sisi laksana sayap burung garuda sedang dari mulutnya senantiasa terdengar suara siulan melengking yang menyamaki liang telinga Kalingundil!
Saat itu kedua orang ini sudah bertempur sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat! Tiga puluh jurus seperti tidak terasa! Dan kini kentara sekali bagaimana Kalingundil terdesak hebat.
Bagaimanapun Kalingundil mempercepat jurus-jurus permainan silatnya, bagaimanapun dia merobah gerakan-gerakannya dan mengamuk laksana banteng terluka, namun tetap saja dia berada dibawah angin, malahan kini terdesak ke arah rawa-rawa maut!
"Ha… ha…. rupanya jalan ke nerakamu harus melalui rawa-rawa maut ini, Kalingundil!".
"Budak hina dina jangan ngaco! Sambut bintang silumanku ini!".
Sambil melompat jauh, dengan masih memegang pedang buntung, Kalingundil gunakan tangan kirinya untuk mengirimkan selusin benda berbentuk bintang yang berwarna biru ke arah lawannya.
"Akh… mainan anak-anak ini kenapa musti dipertontonkan?!" ejek pendekar 212. Tangan kanannya diputar ke udara. Serangkum angin puyuh menggebubu dan bintangbintang siluman itupun berhamburanlah kian ke mari tiada mengenai sasarannya.
Pada detik Wiro Sableng gunakan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia lawan maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalingundil untuk melompat ke seberang rawa-rawa kecil.
"Kucing dapur! Kau mau lari ke mana….?!" teriak Wiro Sableng.
Sebagai jawaban Kalingundil lemparkan segulung benda putih ke arah pendekar 212. Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah senjata rahasia, tapi ketika diketahuinya hanya secarik kertas putih yang digulung maka segera ditangkapnya dan di saat itu pula Kalingundil pergunakan kesempatan sekali lagi untuk melompat jauh lalu dengan ilmu larinya yang lihay ditinggalkannya tempat itu.
Wiro tidak punya maksud untuk mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan penuh tanda tanya dibukanya gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar surat yang ditujukan oleh Kalingundil kepadanya.
Cacat di tubuhku tak akan terlupa seumur hidup. Kematian kawan-kawanku dan kematian Mahesa Birawa tak akan terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi biang sebab.
Hari pembalasan akan tiba! Berani berbuat berani tanggung jawab! Hari tiga belas bulan dua belas kutunggu kau di puncak Gunung Tangkuban Perahu. Kalau kau tak punya nyali untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang juga!
Pendekar 212 penasaran sekali. Diremasnya surat itu. "Sialan betul kucing dapur itu!," gerendang Wiro Sableng. Dia lari ke bukit. Namun bayangan Kalingundil sudah tak kelihatan lagi.
Tantangan yang dibuat Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat silumannya bisa menghadapi musuh besarnya itu. Nyatanya Wiro Sableng masih tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun dia tidak kecewa. Pada hari yang telah direncanakannya itu, kelak dendam kesumatnya akan kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu dia te!ah menyampaikan surat undangan kematian bagi musuh besamya itu. Dia yakin pendekar 212 akan datang ke puncak Gunung Tangkuban Perahu!
–== 0O0 == —