Putri tidak pandai untuk menutupi kekesalannya, Mega memperhatikan wajah temannya yang ditekuk selama perjanan pulang. Mega mengetahui bahwa Andi yang meminta sendiri untuk menjaga temannya di ruang UKS.
Putri masih menatap jalan raya dari balik jendela mobilnya, masih memikirkan perilaku Andi yang mebuatnya sangat kecewa. "Putri, kepala kamu udah gak kenapa-kenapa kan?" Tanya Mega khawatir. Putri membalas dengan senyuman.
"Enggak apa-apa kok, gak perlu khawatir Mega, Oh iya masih jauh sampainya?" Putri mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Sebentar lagi kok sampai, Pak bimo nanti di depan belok kanan ya. Nanti lurus saja, gak lama nanti di sebelah kiri ada toko bunga ya pak." Ucap Mega dengan detail memberi arahan ke Pak Bimo. "Siap non." Ucap Pak bimo dengan lugas.
Setelah memasuki beberapa jalan besar, tidak lama mereka pun tiba, Putri melihat sebuah toko yang berada di pinggir jalan. Toko bunga tersebut memiliki pekarangan depan yang cukup luas. Banyak tanaman yang berjejer dan mengelilingi toko tersebut.
Seorang wanita paruh baya, terlihat sibuk merapikan beberapa pot bunga. Bahkan Putri bisa melihat noda-noda hitam yang ada di celemek yang ia gunakan, untuk melindungi pakaiannya. Wanita itu tersenyum memandang Mega dan Putri yang baru tiba.
"Nenek, Mega sudah bilang kan biar Mega saja yang rapikan semuanya." Ucap Mega yang khawatir melihat neneknya, dan memberikan pelukan hangat. Putri pun hanya bisa memberikan senyuman melihatnya.
"Siang Nek," Ucap Putri dengan sopan, Nenek langsung memandang Putri dari atas hingga ke bawah. Putri mengupingkan rambutnya, dan bahkan merapikan rambutnya. Merasa ada yang salah terhadap dirinya.
"Nenek ini Putri, Putri kenalin ini Nenek Rina." Ucap Mega menjelaskan, Putri pun masih mempertahankan senyumannya. "Ahh iya, benar ini Putri ya. Kamu mirip sekali sama kakak kamu ya." Jawab Nenek dengan ramah.
"Kakak? Ohh Wira maksud nenek?" Putri mulai menebak. "Iya benar, tapi bedanya kamu cantik dan Wira itu tampan." Nenek menjawab sambil tertawa kecil. "Nenek bisa saja, Mega juga cantik. Kalau enggak, gak mungkin ka Wira sampai suka." Putri menatap Mega yang tersipu dengan pujiannya.
"Haha, iya kalian berdua sama-sama cantik." Nenek pun meraih tangan Putri, dan ia sedikit terkejut dengan Nenek Rina yang sangat ramah terhadapnya. "Ayo kita masuk kedalam, nenek akan siapkan makan siang yang enak untuk kalian." Ucap Nenek yang kini mengalungkan kedua tangannya antara tangan Mega dan Putri.
Bagian dalam toko lebih Indah lagi, lantainya yang terbuat dari kayu. Menimbulkan efek bunyi dan berderik ketika menginjaknya. Di bagian depan toko, terlihat beberapa bunga yang berwarna warni yang sudah dirangkai dan terpajang dengan rapi.
Rak kayu pun berjejer rapi di belakangnya, Putri bisa melihat tulisan kecil di setiap rak untuk menamakan setiap nama bibit yang berada di rak tersebut. Banyak jendela yang terpasang, membuat sinar matahari mudah untuk masuk. Dan ruangan yang terang, membuat tampilan dalam toko menjadi lebih bernuansa alam.
Putri berjalan lebih ke dalam lagi, setidaknya ada tiga meja kayu panjang yang diletakkan sejajar. Diantara meja tersebut, ada beberapa bunga yang tampaknya belum selesai dirangkai.
Nenek Rina mulai melepaskan tangan Putri dan Mega, "Kalian lebih baik ganti baju dulu." Ucapnya dengan suara yang lembut. Putri kali ini berjalan dan masih menatap area toko. Ada pintu belakang yang terbuka, dan membuatnya tertarik untuk melihatnya.
Putri berjalan pelan mendekati pintu belakang tersebut, dia menemukan halaman yang luasnya bisa empat kali lipat dari pekarangan depan. Lebih banyak lagi dengan tanaman-tanaman dan bunga-bunga. Putri mengambil handphone-nya, dan mengambil beberapa foto dirinya dengan bunga-bunga yang ia lihat. "Gak gratis loh, kalau ambil foto disini." Ledek Mega yang melihat Putri masih asik selfie. "Eh, jadi malu aku. Beneran ini bagus banget, lebih bagus dari pada harus liat foto selfie Linda yang sama artis." Ucap Putri sungguh-sungguh. Mega pun tertawa mendengar ucapan temannya.
"Mega, ini rumah kaca?" Tanya Putri dengan menunjuk rumah kaca buatan yang berukurang tiga kali tiga meter, "Iya, kecil sih. Kan gak semua tumbuhan bunga bisa bertahan hidup di luar. Apalagi kita negara tropis." Ucap Mega yang melihat Putri masih takjub.
"Ayo kita ganti baju dulu, kan tadi aku bilang gak gratis." Mega menyeringai ke arah Putri, dan Putri menatapnya dengan bingung. "Ganti baju?" Putri balik bertanya. "Iya, ganti baju. Emangnya lo mau baju lo kotor. Tenang gue udah siapin baju buat lo." Mega tersenyum dengan mulutnya yang rapat dan berkedip genit ke arah Putri.
Putri pun mengikuti instruksi Mega, menuju kamar Mega yang berada di lantai dua. Setelah berganti pakaian, Putri pun bergegas turun untuk menemui temannya. Mega terlihat sudah siap dengan mengenakan celemek dapur, rambutnya pun diikat dengan tinggi.
"Nih pakai." Ucap Mega yang memberikan celemek hitam. Putri memandang Mega dengan bingung. "Kita mau ngapain sih Mega?" Tanya Putri heran, tapi tetap memasangkan celemeknya.
"Kamu bantu aku, rangkai bunga ya. Ada beberapa pesanan yang harus segera dibuat." Ucap Mega santai, Putri menatap dengan tidak percaya. "Serius? Lo becanda kan? Gue gak bisa." Ucap Putri dengan yakin.
"Lo bisa." Jawab Mega cepat, "Gak bisa." Putri menjawab dengan cepat, "Bisaa.." Mega menatap Putri dengan melotot, "Mmm--- mmm" Ucap Putri sambil menggelengkan kepalanya.
"Gak perlu keahlian khusus kok, cuman untuk merangkai bunga." Ucap Mega kini menyilangkan kedua tangannya. "Hookeyyy.." Jawab Putri dengan pasrah. Mega pun tersenyum dengan licik.
Putri benar-benar tidak habis pikir, apa yang dipikirkan oleh Mega. Tiba-tiba mengajaknya ke rumahnya untuk bertemu dengan neneknya, dan tiba-tiba Putri juga harus merangkaikan bunga.
Mega bahkan memperkenalkan beberapa jenis bunga yang sering dipesan, seperti mawar, lily, daisy, anyelir dan banyak lagi. Mega tampak sangat terlatih pada saat merangkai bunga. Ia pun memberikan sedikit tips dan triks kepada Putri, agar rangkaian bunganya bisa dengan rapi dan indah. Putri berusaha keras, tapi rangkaian bunga yang ia buat terlihat lebih mirip seperti rangkaian bunga yang terkena angin topan.
Mega sedikit menertawakan hasil karya temannya, dan membantu Putri untuk menyusun ulang kembali rangkaian bunga. "Put, kamu tau gak. Nenek selalu bilang, kalau kita lagi sedih, marah, kecewa, apapun itu yang buat suasana hati kita gak nyaman. Kamu bisa lampiaskan dengan merangkai bunga." Mega meletakkan bunga mawar putih di rangkaian bunga Putri.
"Memang ada pengaruhnya ya?" Tanya Putri sungguh-sungguh. "Kalau aku lihat hasil karya kamu tadi. Keliatan banget, kalau perasaan kamu tuh lagi gak beratur alias galau... Ya kan... Ngaku aja deh?" Mega tersenyum menatap Putri.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Putri pun tidak membalas pertanyaan Mega, "Kamu rasain deh, pasti ada yang beda kalau kamu pakai hati kamu. Pas kamu sentuh bunganya, kamu rangkai. Mereka tuh kaya bisa dengar perasaan kamu, dan perasaan kamu bisa jadi lebih tenang lagi. Jadi lebih santai,dan enggak ada beban. Dan kita jadi bisa berpikir tenang." Mega melanjutkan pembicaraannya.
Putri pun memandang Mega, kali ini ia paham mengapa temannya mengajaknya ke tempat ini. Mega terlihat tulus dan ingin membantu Putri dalam mengatasi masalah-masalahnya.
"Ok, sini aku coba lagi." Ucap Putri tersenyum, "Kamu gak perlu terlalu fokus mikirin supaya hasilnya bagus. Biarin aja pikiran kamu ngalir, letakkin aja bunga-bunga yang menurut kamu bagus. Kamu bisa tambahin pita-pita juga biar lebih manis." Mega kembali menjelaskan, dan Putri menyimak baik perkataan temannya.
Satu jam pun berlalu, Putri berhasil membuat dua rangkaian bunga yang indah. Sedangkan Mega berhasil membuat lima rangkaian bunga. Putri mengangkat kedua tangannya, meregangkan otot-ototnya yang kaku.
Tersenyum dan memandang puas hasil rangkaiannya. "Gimana? Lega gak?" Tanya mega kini berpangku tangan sambil tersenyum manis. "Legaa bangett." Putri menjejerkan hasil rangkaiannya.
"Berapa nilaiku? One 'til ten?" Tanyanya, Mega menatap serius hasil rangkaian bunga Putri. "Tujuh Okelah." Mega memberikan penilaian,
"Yang benar saja, hasil rangkaian gue sama bagusnya dengan punya kamu." Putri yang merasa tersinggung, meletakkan rangkaian bunga milik Mega yang terlihat indah berdampingan dengan miliknya.
Mega menyeringai melihat Putri yang mulai menyadari kesalahannya. "Oke.. mungkin delapan lebih baik." Putri tersenyum lebar, dan disaat yang bersamaan suara perutnya pun berbunyi.
"Upsss, kayanya ada yang kelaparan nih." Ledek Mega, Putri pun tersenyum lebar dan malu. Disaat yang bersamaan, nenek Rina muncul dari balik pintu dapur.
"Pas ya kalau begitu. Makanannya sudah siap." Ucap Nenek Rita memandang mereka berdua yang kelaparan.
"Nenek buat ayam goreng, sambal dan sayur sop." Ucapnya dengan membawa nampan yang berisikan makanan. "Makanan sederhana, Nenek harap kalian suka ya." Ucapnya. Putri dan Mega pun berpindah meja, membantu Nenek Rita yang terlihat berat membawa makanan.
Siang itu Putri benar-benar menikmati makan siangnya, bukan hanya karena makanannya. Tapi rasa kekeluargaan yang tercipta, membuatnya tidak menyesal telah datang berkunjung. Mega tidak hanya temannya saat ini, tapi dia layaknya saudara perempuan yang Putri sendiri yang ia tidak pernah rasakan bagaimana memiliki saudara perempuan.
Putri benar-benar menyesal, mengapa dulu ia pernah jahat dan berperilaku buruk kepada Mega. Obrolan dan candaan ringan, mengisi waktu makan siang mereka.
Suara pintu toko yang terbuka, mengalihkan perhatian mereka. Ada seseorang yang masuk dan memanggil-manggil. Mereka pun berjalan ke arah depan, dan melihat sosok pria paruh baya dengan celana jeans dan jaket cokelat serta mengunakan topi dengan motif loreng.
Pria itu membawa karung yang cukup besar, dan diletakkannya di pinggiran dinding. Rambutnya yang berwarna putih, dan mukanya yang merah padam. Terlihat jelas, pria itu amat kelihatan lelah.
"Pak Danu." Ucap Mega cukup keras, pria tersebut memandang Mega dan tersenyum. "Mba Mega, sudah dirumah." Ucapnya dengan ramah. Nenek Rita kemudian menghampiri pria itu, dengan membawa segelas minuman dingin.
"Ini diminum dulu pak, di luar pasti panas kan." Nenek Rita menyodorkan minuman dingin dan pria itu langsung menerimanya dan menenggaknya dengan cepat.
"Pak Danu bawa pesanan aku kan." Mega mulai melirik ke arah karung yang dibawa oleh pria itu. "Tenang, bapak bawa kok. Itu sekarung bapak bawa. Ada 30 bungkus." Ucapnya sekarang duduk di bangku kecil yang ada didekatnya.
"Nenek siapkan uangnya dulu ya," Ucap Nenek Rina, yang berlalu meninggalkan mereka. Pak Danu yang terlihat lelah, memijat mijatkan pundaknya sendiri. Kemudian sadar dengan kehadiran Putri yang masih asing untuknya.
Putri memberikan senyumannya, dan pria itu membalas senyuman Putri. Mega mulai membongkar bawaan pria tersebut. "Apa itu Mega?" Tanya Putri yang melirik ke dalam karung. "Ini pupuk." Jawab Mega masih sibuk menghitung dan mengeluarkan satu persatu pupuk yang berada dalam karung tersebut.
"Oh ya Pak Danu, kenalin ini teman Mega. Putri namanya." Ucap Mega yang masih terlihat sibuk. "Salam kenal pak." Ucap Putri menatap wajah Pak Danu yang masih terlihat lelah.
"Bapak, seharusnya udah mulai istirahat aja di rumah. Gak perlu antar- antar barang begini." Ucap Mega yang mulai simpati. " Yahh,, neng Mega. Namanya juga usaha, cari rejeki." Ucap Pak Danu memamerkan senyumnya yang lemah.
"Memang gak ada yang bantuin pak?" Tanya Putri, Pak Danu tampak terkejut dengan pertanyaan Putri. Dan mulai menyeka wajahnya dengan handuk kecil yang ia bawa.
"Bapak ini hidup sendiri, anak-anak sudah besar dan sudah menikah semua. Bapak gak mau repotin anak, selama bapak masih bisa berusaha." Ucapnya masih memberikan senyuman.
"Iya, Mega tau bapak bisa kerjain sendiri. Tapi kalau bawa sebanyak ini, lain kali bapak gak boleh sendiri ya ngantarnya. Kan bisa pakai jasa kurir." Ucap Mega yang sudah selesai menghitung pupuk, dan ia mulai menyusun satu per satu di rak kayu yang berada di belakangnya. Putri pun tampak ikut membantu.
"Iya neng Mega, makasih ya sudah peduli sama kakek-kakek ini." Pak Danu tampak menghela nafas, "Kalau dulu bapak gak berhenti kerja, mungkin... yahh memang sudah jalannya." Ucap Pak danu terlihat pasrah.
"Bapak kerja dimana dulu?" Ucap Putri penasaran. "Yahh, dulu bapak kerja di pabrik bagian packing. Cuman, bapak mau dipindahin ke daerah, dan itu jauh sekali." Pak Danu menghembuskan nafasnya yang berat, dan menyeka kembali wajahnya.
"Yah, bapak gak bisa lah pindah sejauh itu. Banyak yang bilang perusahaan lagi gak sehat, banyak karyawan yang dimutasi dan kalau mereka tidak mau. Yahh terpaksa harus mengundurkan diri." Jelas pak Danu dengan rinci.
"Bapak sudah lama kerja di sana?" Putri memberanikan diri untuk bertanya. "Cukup lama mba, bapak bisa sekolahin anak-anak bapak dari kecil sampai mereka menikah." Pak Danu kembali memandang Putri dengan tersenyum.
"Teman-teman bapak banyak yang gak terima, malah buat demonstrasi. Padahal kalau dipikir-pikir, keluarga Soedarmo itu sebenarnya baik. Hal seperti ini juga tidak ada yang menginginkan. Hidup bapak sebagian besar disana, dari jaman kakek buyut sampai anaknya sekarang. Mereka selalu utamakan kesejahteraan karyawannya." Pak Danu mulai menerawang dan mengingat kembali masa-masanya dahulu.
Putri dan Mega saling bertatapan, saat Pak Danu mengucapkan nama keluarga Soedarmo. Bahkan Putri, menjatuhkan bungkusan pupuk tanpa sengaja.
Putri kembali menatap wajah pria paruh baya yang ada di depannya, Pak Danu adalah bukti nyata dari kondisi perusahaan keluarganya. Putri kembali memikirkan masalahnya, kembali memikirkan keegoisannya untuk mementingkan perasaannya.
Berpikir, masih banyak Pak Danu lainnya. Mereka yang tidak siap dengan perubahan perusahaan, mereka yang dengan terpaksa mengundurkan diri. Atau mereka yang berjuang untuk mendapatkan hak mereka atas loyalitas mereka selama ini.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK