Putri hanya bisa menatap Andi yang berlalu meninggalkannya, ada rasa tidak nyaman yang ia rasakan saat melihat wajah Andi yang kecewa. Putri pun belum berani untuk mengatakan sejujurnya, entah apa yang akan dipikirkan oleh Andi jika ia mengetahui malam ini dirinya akan bertemu dengan Irfan.
***
Hari yang ditunggu pun tiba,
Leyna dan Renata terlihat sangat bingung dan sibuk, mereka beberapa kali terlihat mengatur dan menata ruangan. Bunga-bunga terhias di ruangan keluarga, bahkan kali ini Putri bisa melihat sofa yang berada diruang keluarga menghilang. Digantikan dengan kursi-kursi yang amat banyak berbaris dengan rapi.
Putri berpikir dekorasi yang kakak iparnya lakukan terlalu berlebihan, hanya sebuah makan malam antar keluarga. Tapi nampak seperti acara yang terlalu resmi, bahkan para assisten rumah tangga juga terlihat sangat sibuk.
Semua saudara laki-laki sudah berkumpul di sore hari. Raja dan Rafa terlihat membawa beberapa lukisan dan vas dengan ukuran besar, terbalut dengan kertas putih dan pita merah. Mereka berniat untuk memberikannya sebagai hadiah kepada keluarga Wijaya.
Rian dan Wira, juga sibuk dengan membantu ayah mereka memilihkan setelan jas yang akan dikenakan nanti. Surya dan Roy masih sibuk memperbincangkan pekerjaan di ruang kerja.
Sepertinya hanya Putri yang tidak bersemangat dengan acara ini, ia pun memutuskan sore itu untuk masuk ke dalam kamarnya. Merebahkan dirinya di kasurnya yang empuk, dan masih menatap layar handphonenya yang retak.
Kali ini Putri berusaha menggoncangkan handphonenya, layarnya sudah mulai redup. Ia harus dengan segera menggantinya dengan yang baru. Tapi semua terlihat sangat sibuk, Putri meletakkan handphonenya di sebelahnya.
Ia mencoba memejamkan matanya, berharap untuk bisa istirahat sejenak. Tapi suara ketukan pintu terdengar, Putri sangat malas untuk beranjak dari tidurnya. "Siapa?" Tanya Putri yang masih berbaring dengan mata terpejam.
"Put, ini aku Leyna." Ucap Leyna dengan lembut. "Masuk kak, tidak dikunci kok." Ucap Putri cukup nyaring. Leyna yang melihat Putri berbaring, tersenyum dengan bingung. "Kamu gak apa-apa? Lagi sakit?" Tanya Leyna yang kini berjalan mendekati Putri.
"Gak apa-apa kok kak, cuman pengen tiduran aja." Ucap Putri yang kini membuka kedua matanya, tapi masih belum beranjak dari tidurnya. "Ini kakak bawain kamu sesuatu." Kali ini Leyna duduk disamping Putri.
Putri langsung menegakkan tubuhnya dan duduk bersampingan dengan Leyna, Putri melihat Leyna membawa sebuah kotak yang cukup besar berwarna hitam dengan pita merah yang mengelilingi kotak tersebut.
"Apa itu kak?" Tanya Putri masih menatap kotak yang dibawa Leyna, "Buat kamu, coba buka. Aku dan Renata yang mencari dan memilihnya." Ucap Leyna memberikan kotak tersebut ke tangan Putri yang langsung menerimanya.
Putri masih menatap Leyna dengan bingung, dengan pelan-pelan melepaskan ikatan pita merahnya dan membuka kotaknya dengan hati-hati. Sebuah gaun berwarna cokelat emas, terlipat rapi di dalam kotak tersebut.
Putri mengambil dan mengangkat gaun tersebut dengan amat tinggi, Gaun tersebut tidak terlalu pendek, mungkin pendeknya hanya sedengkul Putri. Tidak terlalu banyak asesoris di gaun tersebut, sebuah mutiara di sematkan di antara leher gaun.
"Bagus kan." Ucap Leyna menatap gaun Putri, "Bagus kak, tapi ini untuk apa?" Putri menurunkan gaunnya dan menatap Leyna, "Ini untuk kamu, dan supaya kamu bisa pakai malam ini." Leyna menjelaskan. Putri langsung menunjukkan reaksi yang terkejut dan bingung.
"Untuk aku pakai kak? Tapi Putri punya banyak gaun yang masih bisa Putri pakai." Putri berusaha menolak dan melipat kembali gaun tersebut ke dalam kotak. "Iya kakak tau kok, awalnya aku dan Rena juga tidak ada niat untuk membeli. Tapi melihat gaun ini, kami langsung kepikiran sama kamu." Leyna masih menatap Putri dan mencoba meyakinkannya.
"Hanya untuk malam ini saja Put, ayolah kamu tidak ingin mengecewakan aku dan Rena kan." Leyna menatap Putri dengan memohon, membuat Putri tidak enak untuk tidak menerimanya.
Putri pun menghela nafasnya dengan pendek, "Ok, Putri akan pakai gaun ini." Ucap Putri terpaksa, dan Leyna langsung menunjukkan kesenanggannya. "Ka, bagaimana kalau Putri menolaknya?" Pertanyaan Putri, langsung merubah kesenangan Leyna.
Leyna kembali tersenyum menatap Putri, dan mengusap kepalanya kemudian dagu Putri. "Kalaupun kamu menolaknya, kami tetap keluarga kamu Put. Dan kami selalu mendukung apapun pilihan kamu." Jawab leyna kali ini menggenggam tangan Putri.
Sore itu rasanya berlalu dengan sangat cepat, usai membersihan diri Putri masih menatap dirinya dalam cermin. Kembali menatap gaun yang berada di tempat tidur, pikirannya mulai berkecamuk lagi dan memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"OK, Put ini cuman makan malam. Ketemu sama cowo itu, trus lo tinggal putusin lanjut apa gak. Simple bukan?" Ucap Putri pada cermin yang berada di depanya. "Arrgggh...." Erang Putri dengan cukup pelan.
Malam itu semua anggota sudah berkumpul, semua tampak terlihat sangat rapi. Sepertinya hanya Putri yang tampak tegang. Putri lebih memilih untuk pergi ke arah belakang rumah, duduk dikursi taman. Rumah mereka memiliki taman kecil.
Taman ini memiliki beberapa jenis tanaman, mengingatkannya kembali akan kenangan ibunya. Putri masih sangat mengingat bagaimana ibunya sering menghabiskan waktu di belakang rumah, hanya untuk menggunting daun-daun atau ranting yang kering.
Putri menatap jamnya, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Tapi tampaknya keluarga Wijaya belum tiba, Putri berpikir apakah mereka tidak jadi untuk hadir. Bagus pikir Putri sesaat.
Wira tiba-tiba saja muncul, membuyarkan lamunan Putri. "Put, kamu gak apa-apa?" Tanya Wira, "Menurut kakak?" Putri balik bertanya. "Senyum dong, kamu kelihatan gak cantik kalau manyun terus." Ledek Wira.
Putri menatap Wira dengan kesal, "Ka Wira, memang tau apa yang Putri rasain sekarang?" Ucap Putri dengan kesal. "Tau kok." Jawab Wira langsung.
"Teruss?" Putri balik bertanya, "Yah apapun keputusan kamu, kita semua sangat menghargai kok. Jadi harusnya kamu gak perlu khawatir." Ucap Wira dengan santai. Jawaban Wira hampir sama dengan Leyna, Putri semakin merasa tidak nyaman untuk berpikir.
"Dan walaupun Putri menolak perjodohan ini, apa kalian semua masih.." Wira langsung merangkul Putri dan menjitak pelan kepala Putri dengan pelan. "Mikir apa sih lo? Kita ini keluarga, dalam keadaan sulit atau senang kita masih keluarga." Wira melepaskan rangkulannya, dan menatap adiknya.
"Gue tau, sepertinya ini beban buat kamu. Karena setidaknya dengan bantuan dari Keluarga Wijaya, perusahaan keluarga kita akan sangat terbantu. Tapi kan kenyataannya papa juga tidak memaksakan kehendak, dan semuanya tinggal kamu yang buat pilihan." Ucap Wira sembari menunjuk adiknya.
"Kalian lagi apa? Cepat masuk, mereka semua sudah datang." Ucap Rian yang muncul dan mengejutkan Putri yang mendengarnya. Putri pun dengan langkah berat meninggalkan taman dan menuju ke arah dalam rumah.
Putri bisa mendengar suara orang-orang yang berkumpul dan berbincang-bincang, Putri berkali-kali menarik nafasnya, berusaha untuk tenang. Kali ini ia sudah berada di ruang tamu.
Putri melihat Rita yang tampil cantik dengan rambutnya yang diikat rapi, ia juga mengenakan gaun berwarna merah muda. Disampingnya, Putri sangat yakin kalau pria itu adalah suami dari Rita. Tidak sulit untuk menebaknya, dengan wajah bule dan rambut pirangnya.
Putri juga yakin ada pasangan suami istri dengan usia yang sepantaran dengan ayahnya, itu pasti orang tua dari Rita dan Irfan. Putri juga melihat sosok pria yang tidak asing, dingin dan angkuh.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Irfan mengenakan setelah jas hitam yang rapi, Putri tidak mengungkiri bahwa Irfan terlihat sangat maskulin dan tampan. Walaupun tidak ada senyuman yang ia tampilkan.
Kembali mengingat sifatnya yang menyebalkan, membuat Putri memalingkan wajahnya untuk tidak melihatnya. "Putri, sayang kemari." Ucap Bambang dengan riang menatap Putri yang baru saja tiba.
Surya yang berdiri di samping ayahnya, melihat Putri yang tiba langsung berdiri dan memberikan ruang untuk Putri agar duduk disebelah ayahnya. Putri menatap tersenyum ke arah keluaga Wijaya.
"Putri kenalkan ini Pak Brama dan istrinya Ibu Santi." Ucap Bambang mengenalkan Putri kepada suami dan istri keluarga Wijaya. Putri memberikan hormat, dan tersenyum kepada pasangan suami istri tersebut.
"Dan ini kamu pasti sudah kenal dengan Tante Rita dan ini suaminya Harry." Ucap Bambang menunjuk ke arah Rita dan Suaminya. Rita memamerkan senyumnya dengan lebar, sedangkan Harry menatap Putri dengan sedikit senyuman.
"Halo tante, apa kabarnya." Ucap Putri membalas senyuman Rita, "Dan ini Irfan, adik dari tante Rita." Bambang melanjutkan perkenalannya, Irfan dan Putri saling bertatapan.
Bukan karena mereka saling menyukai, tetapi karena pertemuan terakhir mereka berakhir dengan kondisi yang rumit. Irfan memberikan senyuman yang terlalu dipaksa, sedangkan Putri membalasnya dengan tidak tersenyum dan memilih untuk menunjukkan keangkuhannya di depan Irfan.
"Wah.. wah.. kalian sudah saling mengenal satu sama lain ya?" Ucap Harry yang terlihat fasih dengan bahasa Indonesia, Putri menatapnya dengan terkejut. "Jangan bingung Put, suami tante ini bahasa Indonesianya jago." Ucap Rita yang menyadari kebingungngan Putri.
"Jadi kalian sudah kalian kenal?" Tanya Santi dengan amat senang, "Ya Bu Santi, kami sudah pernah bertemu sebelumnya." Ucap Putri dengan Ragu. "Aduh jangan panggil Ibu, gimana panggil bunda." Ucap Santi tersenyum memandang Putri dengan senang.
"Santi, kamu jangan terlalu terburu-buru seperti itu. Putri baru saja berkenalan dengan kita." Ucap Brama melihat Putri yang canggung. Irfan masih menatap Putri tanpa berkedip, Putri yang menyadarinya mencoba memalingkan wajahnya dan lebih memilih menatap meja yang berada di depannya.
Diruang tamu, Putri lebih banyak menjadi pendengar. Mendengar perbincangan yang dia sendiri kurang memahaminya, sampai akhirnya Renata tiba di ruang tamu dan mengatakan hidangan makan malam sudah siap.
Kali ini mereka bergeser ke ruang makan, entah disengaja atau tidak Putri yang berusaha menjauhi Irfan. Justru kali ini ia berhadapan persis dengan Irfan, Putri tetap mempertahankan ketidaksukaannya terhadap Irfan.
"Putri, bunda dengar sekarang kamu udah di tahun terakhir SMA ya?" Tanya Santi yang kali ini sudah terlihat kenyang dengan jamuan makan malam. "Iya bunda Santi." Jawab Putri dengan singkat.
"Wah pas dong ya, sebelum kamu lulus kita buat rencana pertunangan. Dan setelah kamu lulus baru kita persiapkan acara pernikahan." Ucap Santi dengan santai, tapi Irfan dan Putri yang mendengarnya langsung tersedak.
Putri bahkan mengambil air minum Rian yang duduk di sebelahnya, sedangkan Irfan langsung minum dengan satu kali tenggak. "Tunangan bunda?" Tanya Putri cukup nyaring tapi tetap sopan.
"Menikah? Sama dia? Anak kecil?" Ucap Irfan dengan kasar melihat ke arah Putri. Raja dan Rafa yang melihat reaksi Irfan, mencoba untuk menahan gelinya. Harry tampak terkejut dengan reaksi adik iparnya, sedangkan Rita sepertinya sudah bisa menebak reaksi adiknya.
"Sorry, gue bukan anak kecil. Gue udah punya KTP." Balas Putri menatap kesal terhadap Irfan. "Putri.." Ucap Bambang, mencoba memberhentikan ketidaksopanan anaknya. "Maaf Pah." Ucap Putri yang kembali menunduk malu.
"Santai Bambang, Putri masih remaja. Wajar saja jiwanya masih bergejolak." Ucap Brama yang tidak tersinggung dengan tingkah laku Putri. "Irfan, jaga bahasamu. Kamu sudah dua puluh lima tahun, seharusnya bisa bersikap lebih dewasa." Ucap Brama menatap Putranya yang langsung menutup mulutnya yang tadi ingin membalas ucapan Putri.
"Sudah, sudah, makan malam yang enak ini jangan sampai dirusak." Ucap Santi mencoba menenangkan suaminya. Irfan berdeham keras sebelum mulai berbicara lagi, dan Putri kali ini menatapnya bersiap-siap jika ia akan bertarung mulut kembali.
"Bunda, ayah. Maaf kalau Irfan menyela. Ada baiknya jika saya dan Putri saling mengenal terlebih dahulu, apalagi kami baru saja mengenal dan usia kami yang terpaut tujuh tahun. Pasti banyak perbedaan pemahaman diantara kami." Irfan kali ini tersenyum licik memandang Putri.
"Ya Putri juga setuju, ada baiknya kami saling mengenal dulu. Lagi pula dengan perbedaan usia tujuh tahun, pasti pemahaman anak muda dan orang yang sudah tua berbeda bukan." Ucap Putri menatap Irfan dan membalasnya dengan senyuman.
Wira terbatuk mendengar ucapan Putri, terlihat sekali menahan tawanya. Si kembar bersamaan berdeham. Rian menatap adiknya dengan takjub, tidak percaya Putri berani memojokkan Irfan.
Rita tiba-tiba tertawa nyarinh, semua orang memandangnya. "Kalian berdua kenapa sih?" ucapnya masih dengan tawanya, "Aku rasa kalian akan jadi lebih cepat dekat, dari yang kami bayangkan." Rita menatap Irfan yang melihat dirinya.
"Putri, kamu tau gak? Kamu itu ingetin tante sama Ka Ana. Waktu pertama kali Ka Ana ketemu sama Ka Bam, sikapnya sama seperti kamu. Usia Ka Ana dan Ka Bam juga berbeda delapan tahun. Iya kan kak?" Rita menatap Bam. Bam membalasnya dengan tersipu malu.
"Jangan terlalu kenyang dulu ya semua, aku dan Leyna membuat hidangan penutup yang lezat." Ucap Renata mencoba mengalihkan pembicaraan. Putri tidak menghabiskan makan malamnya, menyisakan sebagian makanannya. Dan masih melihat Irfan yang masih diam tanpa bersuara.
Usai makan malam para anggota keluarga, berkumpul di ruang keluarga. Banyak perbincangan yang dilakukan, Putri mendengar bagaimana ayahnya bercerita tentang masa lalunya. Putri yang sedikit bosan, perlahan mulai menjauhi ruang keluarga.
Duduk di ruang tamu sendiri, masih bingung apa yang akan ia lakukan. Mereka tampaknya tidak sadar dengan kepergian Putri. Putri meremas gaunnya, ingin acara pertemuan keluarga ini cepat selesai.
"Gaunmu akan rusak, jika kau memegangnya seperti itu." Putri berbalik dan menatap Irfan yang sudah berada di ruang tamu. Dengan cepat Putri memalingkan wajahnya "Ngapain dia disini?" Tanya Putri dengan pelan pada dirinya sendiri.
"Boleh aku duduk di sebelah kamu?" Tanyanya dengan sopan, bahkan terlalu sopan membuat Putri mengiyakan permintaannya. "Kenapa, kamu mau bertengkar mulut lagi?"Tanya Putri dengan ketus.
"Hey anak kecil, tenang. Jangan terlalu curiga seperti itu." Ucap Irfan yang kali ini tersenyum. Putri tidak memperhatikan bahwa Irfan sudah membawa sebuah kotak kecil berwarna putih dari tadi di tangannya.
"Nih, buat kamu anak kecil." Ledeknya, menyodorkan kotak itu ke arah Putri. Putri menatap dengan baik-baik kotak tersebut. Dari bungkusnya, ia mengetahui kalau kotak tersebut adalah kotak dari sebuah handphone.
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK