Putri tiba dirumah pada sore hari, suasana rumah cukup sepi. Belum ada satu anggota keluarga pun yang terlihat. Bahkan ayahnya, Leyna dan Renata belum tiba di rumah. Putri memutuskan untuk membersihkan dirinya. Hari ini benar-benar melelahkan untuknya, setelah semua yang telah terjadi pertemuannya dengan tantenya dan Irfan benar-benar menguras tenaganya untuk meluapkan emosinya.
Usai mandi, Putri duduk di tempat tidurnya. Menatap dan mengusap layar handphonenya yang retak, Putri mencoba menyalakan handphonenya dan berhasil. Handhphone masih bisa berfungsi, walau retakkan layarnya sedikit membuatnya pusing untuk membaca tulisan yang ada di layar.
"Untunglah masih menyala, setidaknya nanti aku akan minta sama papa untuk belikan yang baru. Atau ini masih bisa untuk diperbaiki ya?" tanyanya pada diri sendiri, dan melepaskan handuk yang masih bertengger di kepalanya.
Makan malam pun tiba, Raja dan Rafa tidak ikut makan malam mereka masih sibuk dengan urusan di galeri. Dan Rian pun tidak terlihat, masih sibuk dengan kegiatan di kampusnya. Hanya ada Surya, Roy,Wira dan Putri.
Leyna dan Renata juga hadir pada makan malam, entah mengapa mereka berdua terlihat sangat senang. Putri yang menyadarinya, menatap kakak iparnya dengan curiga. "Tadi bagaimana pah, check upnya?" Tanya Surya menatap ayahnya yang terlihat semakin sehat.
"Kata dokter, kesehatan papa semakin baik." Ucap Renata mewakili, "Ya benar, bahkan dokter bilang papah bisa berlari lagi." Ucap Bam tersenyum menatap Reta. "Bagus kalau begitu pap, Roy senang dengarnya." Roy menimpali omongannya.
"Oh ya sabtu malam ini, papa harap kalian tidak kemana-mana ya." Ucap Bam menatap semua anggota keluarga. "Ada apa pah?" Tanya Wira penasaran. "Kita akan kedatangan tamu." Ucap Surya menjawab pertanyaan Wira.
"Siapa?" Tanya Putri penasaran, "Keluarga Wijaya, kalian mungkin udah kenal tante Rita. Tapi kali ini keluarga Wijaya akan hadir semua, termasuk anak kedua mereka. Irfan kalau tidak salah namanya." Ucap Bambang menjelaskan, dan Putri yang mendengarnya langsung tersedak oleh makanannya sendiri. Semua orang memperhatikannya, memandang dengan bingung.
"Kamu gak apa-apa, Put?" Tanya Wira khawatir, "Gak, gak apa-apa kok kak." Jawab Putri yang kemudian menenggak air putih, untuk menghilangkan rasa sedak di tenggorokkannya.
Putri masih tidak percaya akan bertemu dengan Irfan untuk kedua kalinya, Pria sombong, dingin, keras kepala dan angkuh. Masih teringat jelas di pikirannya bagaimana kejadian tadi siang.
"Pah, apa papah sudah..?" Surya bertanya kepada ayahnya, menatap ayahnya dengan bingung. "Kita bahas, selesai makan malam OK." Jawab Bambang dengan cepat, Surya pun tidak kembali melanjutkan pembicaraannya.
Putri menatap kakak dan ayahnya dengan curiga, dan kembali menatap kakak iparnya yang berbisik-bisik sambil tersenyum. "Kak Rena dan ka Leyna, ada apa ya? Dari tadi Putri ngeliat kayanya lagi senang sekali?" Putri yang bertanya membuat Renata dan Leyna menatapnya dengan senyuman.
"Apa kalian akan tetap diam, menutupi dari suami kalian." Ucap Bambang yang sepertinya sudah mengetahui. Surya dan Roy pun melirik ke arah istri mereka dengan curiga. Putri dan Wira pun ikut melihat kakak ipar mereka.
Rena memberikan aba-aba kepada leyna, agar memulai berbicara. "Ok, aku gak tau apa ini waktu yang pas." Ucap Leyna yang kemudian memegang erat tangan suaminya yang duduk di sebelahnya. Surya masih menatap istrinya dengan bingung.
"Tadi sewaktu antar papah ke rumah sakit, aku dan Renata juga ikut untuk check up." Ucap Leyna, "Kamu sakit Renata?" Tanya Roy memotong omongan Leyna. "Enggak kok, kami baik-baik saja." Jawab Renata tenang.
"Kami check up untuk memeriksa kandungan." Ucap Leyna kembali melanjutkan pembicaraannya. "Dan Hasilnya, aku dan Renata sedang mengandung. Aku sudah masuk lima minggu, dan Renata sudah masuk tiga minggu." Leyna menjelaskan dengan semangat.
Surya dan Roy yang mendengarnya, langsung terkejut bahagia. Surya memeluk istrinya, dan Roy bahkan mencium kening Renata. Bambang yang sudah mengetahui, terlihat haru dan bahagia bahwa akan memiliki dua orang cucu dalam waktu yang berbarengan.
Putri bahkan spontan menghampiri kakak iparnya dan memberikan pelukan serta ucapan selamat. Makan malam menjadi benar-benar sangat bersemangat, Surya dan Roy pun terus berbicara mengenai persiapan bayi. Putri dan Wira pun berandai-andai, bahwa leyna dan Renata memiliki anak kembar. Maka mereka akan memiliki empat keponakan yang lucu-lucu.
Makan malam itu penuh dengan tawa dan canda, suasana makan malam penuh dengan kehangatan. Putri masih terus menatap setiap senyuman di setiap anggota keluarga yang ada, teringat dan bberandai atas kehadiran ibunya.
Makan malam yang berlangsung lama pun usai, setiap anggota keluarga memutuskan untuk beristirahat. Putri yang sudah tampak lelah pun, sudah tidak sabar merebahkan dirinya di kasur yang empuk.
Putri sudah berada persis di depan pintu kamarnya, hingga ia mengingat mengenai handphonenya yang rusak. "Ahh, hampir saja lupa. Aku harus ngomong ke papa untuk membeli handphone baru." Ucapnya pada dirinya sendiri.
Putri berbalik dan mulai berjalan untuk bertemu dengan ayahnya, awalnya ia berpikir akan menemukan ayahnya di kamarnya. Tapi ketika dia melihat ruang kerja ayahnya yang menyala, dan terdengar beberapa percakapan. Dia yakin ayahnya berada disana.
Putri bisa mendengar suara ayahnya, Surya dan Roy yang sedang berbincang. Putri kembali berpikir, apakah saat yang tepat untuk meminta sesuatu kepada ayahnya. Putri berpikir, mungkin dia harus mendengar dahulu percakapan apa yang membuat mereka bertiga belum kembali beristirahat. Jika terlalu serius, Putri berpikir akan menunda permintaannya hingga esok pagi.
"Papa enggak yakin, apa ini bisa disebut jalan keluar untuk semua masalah di perusahaan." Terdengar suara Bambang yang tampak putus asa. "Padahal, papa sudah berjanji sama mama. Papak tidak akan melakukan hal yang sama kepada anak-anak papa." Ucapan Bambang kali ini lebih putus asa dibandingkan sebelumnya.
"Pah, Roy tidak pernah menyesali keputusan Roy. Jadi jangan bersedih atas apa yang sudah terjadi dengan Roy. Roy sudah menerima semuanya." Ucapan Roy yang terlihat tenang membuat ayahnya menatapnya dengan dalam.
"Aku tau ini sangat berat, disisi lain perusahaan masih dalam keadaan genting. Apa yang aku dan Roy lakukan hanya bisa memperlambat, tapi tidak bisa mencegah hal-hal yang seharusnya sudah terjadi." Ucap Surya yang mulai putus asa.
"Bagaimana pun, papa tidak ingin mengorbankan anak-anak papa lagi. Ini janji papa sama mama kalian." Ucap Bambang dengan lirih. Terdengar helaan nafas yang panjang, Roy mendekati ayahnya yang duduk di dekatnya.
"Pah, banyak yang akan dikorbankan pada akhirnya. Kalau kita tidak membuat pilihan." Roy menyentuh bahu ayahnya, seakan tau akan beban yang dipikirkan oleh ayahnya. "Setidaknya, kita harus memberitahunya dan biarkan ia memilih." Roy kembali melanjutkan.
"Ya, kupikir itu sangat adil untuk Putri, apapun keputusannya dan apapun yang terjadi dengan keluarga kita. Setidaknya kita mencoba untuk berakhir dengan bahagia." Surya menimpali ucapa Roy.
Putri yang mendengar namanya disebut, terkejut dan tanpa pikir panjang langsung masuk kedalam ruang kerja ayahnya. "Apa yang sedang kalian bicarakan, dan apa yang sedang kalian ingin sampaikan sama Putri?" Tanya Putri dengan cukup lantang, membuat mereka bertiga yang berada di dalam ruangan menatapnya dengan kaget.
"Pah? Apa kau akan memberitahu kepadaku? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Putri.
Bambang tersenyum mendengar pertanyaan putrinya, "Sepertinya kita tidak bisa menunda lagi, bukan. Baiklah, aku akan memberitahukan kepadamu, Putri."
"Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang untuk aku mulai bercerita," lanjut Bambang dengan pikiran yang menerawang, mengingat kembali pada malam yang membuat dia kehilangan wanita yang dicintai.
*Flashback
Mariana masuk kedalam mobil dengan sangat terpaksa dan kesal, mengikuti langkah suaminya yang memasang wajah marahnya. Bambang tidak ingin anak-anaknya melihat mereka bertikai seperti ini, tapi istrinya sudah melewati batas dan menguji kesabarannya.
"Apa kamu sudah puas dengan apa yang sudah kamu lakukan?" Ucap Bambang yang mulai menghidupkan mobil, dan mengarahkan mobil menuju keluar rumah.
"Apa kamu sadar, tingkahmu seperti anak - anak?" Bambang kembali bertanya dengan amarahnya. "Anak-anak? Harusnya kamu yang bercermin Bam, siapa yang lebih bertingkah seperti anak-anak?" Mariana menjawab dengan nada lebih menantang.
"Sekarang apa mau kamu? Kamu pergi meninggalkan rumah, tidak memberi kabar dan tiba-tiba kamu datang dan ingin bercerai dariku. Apa itu tidak kekanak-kanakan?" Bambang kembali meninggikan nada bicaranya, Mariana balik menatapnya. Hujan yang turun dengan tiba-tiba, menambah ketegangan di antara mereka berdua.
"Apa yang aku lakukan, hanya untuk melindungi anak-anakku Bam." Suara Mariana yang bergetar, tampaknya sudah lama menahan isak tangisnya. Bambang tidak mempedulikan perkataan istrinya, dan masih terus menatap jalan di depannya.
Bambang sendiri pun tidak yakin kemana dia membawa mobilnya melaju, dia hanya ingin anak-anaknya tidak melihat ayah dan ibu mereka yang dalam keadaan kacau dan hancur. Bambang terus melajukan mobilnya di malam yang sudah larut.
"Mau kemana kita?" Tanya Mariana dengan ketus setelah cukup lama mereka berdiam diri, Bambang memberhentikan mobilnya. Terlihat lampu merah yang berada di depannya, ia berpikir bahwa ini adalah kesempatan bagus untuk berbicara dengan istrinya.
"Aku hanya ingin kita bisa bicara dengan kepala dingin." Ucap Bambang yang kali ini menatap istrinya dengan tatapan sayang. "Maafkan aku Ana, aku telah berbuat kasar terhadapmu." Ucap Bambang yang kali ini menyentuh pipi istrinya yang mulai menitikkan air mata.
"Jauh sebelum kamu berkata maaf, aku sudah memaafkanmu Bam. Aku hanya tidak bisa terima dengan apa yang sudah kau perbuat dengan anak-anakku, anak-anakmu juga." Ucap Mariana dengan sedih, dan meletakkan kembali tangan Bambang yang menyentuh pipinya.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk mereka." Bambang berdalih, dan kini menggenggam kedua tangan istrinya dengan erat. "Bukan Bam, apa yang kamu lakukan adalah yang terbaik untukmu bukan untuk mereka." Ucap Mariana dengan sedih. Bambang yang mendengar ucapan istrinya tertunduk malu.
"Apa kamu tidak sadar atas apa yang sudah kamu lakukan, kamu tidak memberikan pilihan kepada anak-anak kita." Mariana menatap suaminya dengan penuh harapan. "Mereka berhak atas hidup mereka, mereka berhak menjalani apa yang menjadi pilihan mereka. Karena dengan seperti itu, anak-anak kita akan belajar untuk lebih dewasa dan mereka juga akan belajar bertanggung jawab." Kali ini Mariana kembali menggenggam tangan suaminya.
"Maafkan aku Ana, aku akan berjanji demi anak-anak kita, demi istri yang kucintai. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Kau tidak akan pergi menjauh kan dariku?" Bambang menatap mata istinya yang mulai berkaca.
"Kamu tau Bam, disisi lain aku sangat egois jika meninggalkanmu dalam kondisi saat ini. Aku terlalu mencintaimu, bahkan bodohnya aku akan menjilati ludahku sendiri. Untuk meminta kau menerimaku kembali." Ucap Mariana tersenyum. Bambang yang senang mendengar perkataan istrinya, memberikan sebuah pelukan dan ciuman di kening istrinya. "I love you Ana," ucap Bambang masih memberikan ciuman kening untuk istrinya. "I Love you too." Ucap Maria tersenyum memandang wajah suaminya.
Bambang pun menyentuh pipi istrinya, menyesali tangannya yang pernah dengan kasar menyentuh pipi mariana. Bambang yang melihat lampu hijau, kembali menjalankan mobilnya dengan perlahan.
Dia akan memutuskan untuk kembali ke rumah, dan bertemu dengan anak-anaknya. Mobil itu berjalan dengan pelan di malam yang larut. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyoroti jalan mereka.
Suasana malam yang dingin karena hujan yang turun dan sepi, berbanding terbalik dengan perasaan bahagia yang mereka rasakan. Bambang melirik ke arah kiri jendela mobilnya, sebuah truk besar berwarna kuning seakan sudah menunggu mereka dan diam-diam bersenyembunyi untuk menyambut kedatangan mereka.
Mariana yang melihat suaminya berteriak dan memandang sisi jendelanya, seketika mengetahui ketakutan yang dirasakan oleh suaminya. Suara dentuman terdengar keras , Bambang bisa menyaksikan istrinya yang membentur jendela disampingnya.
Bambang pun ikut berputar-putar di dalam mobil, terkantuk-kantuk dan hanya bisa berpasrah. Mobil itu terseret cukup jauh dan terhenti di tepi jalan dalam kondisi yang terbalik. Kejadiannya sangat cepat dan tidak dapat disangka, kali ini Bambang merasakan rasa yang amat sakit disekujur tubuhnya, Bambang melirik istrinya yang terpejam dan berlumuran darah.
Tangan Mariana terkulai lemah dengan banyak tetesan darah yang mengalir, Bambang bisa melihat beberapa pecahan kaca menggores kulit istrinya. Sungguh sulit bagi Bambang melihat dalam keadaan terbalik, ia mencoba meraih tangan istrinya tapi hanya bisa menyentuh ujung jari Mariana.
Bambang berusaha menggerakkan jari Mariana, berharap istrinya bisa merespon dirinya. "Ana.." Panggil Bambang dengan lirih, ia pun mencoba menggeser badannya walaupun usahanya sia-sia. Badannya terhimpit antara stir mobil, ia mulai kesulitan bernafas tapi masih mencoba berusaha memanggil nama istrinya.
Mariana masih terpejam, semakin banyak darah yang mengalir dari lengannya yang tergores kaca. Bambang sudah kesulitan untuk melihat, ada rasa pusing yang ia rasakan. Dan rasanya ia pun sudah tidak sanggup untuk membuka matanya. Perlahan Bambang pun mulai kehilangan kesadarannya.
***
Present
Ruangan kerja terlihat sangat sunyi, kali ini hanya ada Putri dan Bambang. Surya dan Roy mengikuti isntruksi ayah mereka, untuk meninggalkan Bambang agar bisa berbicara dengan Putri. Bambang masih terdiam di balik meja kerjanya, masih teringat olehnya kejadian yang merengut nyawa istrinya.
Kembali ia memandang Putri, dan bangkit dari kursinya dengan memegangi tongkat yang membantu menopang tubuhnya. Berbalik dan menatap pemandangan langit malam dari jendelanya. "Janji, janji papa sama mama kamu. Untuk menjaga kalian semua." Putri mendengar ayahnya yang mulai berbicara.
"Walaupun, malam itu kalian melihat kami bertengkar. Tapi pada akhirnya, kami memutuskan untuk bersama." Bambang kali ini membalikkan badannya dan menatap wajah Putri yang masih terlihat bingung dengan arah pembicaraannya.
"Mamamu seorang yang cantik, tegas, pintar dan sifatnya yang tidak mau mengalah. Sama seperti kamu Putri." Bambang tersenyum memandang wajahnya. "Pah, Putri mau menanyakan yang tadi," Ucapan Putri tampaknya tidak dihimbaukan oleh ayahnya yang kembali melanjutkan pembicaraan.
"Kamu benar-benar, mewariskan kecantikan mama kamu. Papah masih ingat bagaimana, dia ingin memiliki seorang anak perempuan." Bambang kali ini jalan mendekati Putri dan duduk disampingnya, masih menatap wajah Putri.
"Mamamu seorang yang pantang menyerah, dia selalu membantu papa dalam perkerjaan kantor." Ucap Bambang yang kali ini terdengar sedih. "Belakangan ini, ada beberapa masalah yang harus papa hadapi di pekerjaan. Sudah cukup lama, papa dan mama mencoba semaksimal mungkin untuk mengatasinya." Suara Bambang terdengar sangat putus asa.
"Sampai akhirnya Surya memutuskan menikah dengan leyna, papa sangat kecewa saat itu. Tapi papa tidak berhenti memaksakan keinginan papa, sampai akhirnya Roy menikah dengan Renata." Putri yang mulai mengerti perkataan ayahnya, memberanikan diri untuk menatap wajah ayahnya dari dekat.
Sudah banyak kerutan yang terlihat di wajah ayahnya, walaupun wajah tampan ayahnya masih bisa terpancar. Tapi Putri bisa dengan jelas melihat kelelahan di wajah ayahnya, seperti ada beban yang selama ini dibawa oleh ayahnya.
"Keluarga Renata, banyak membantu. Tapi kenyataannya, kami tetap membuat kesalahan yang sama." Bambang menggenggam kedua tangannya dengan erat, dan Putri bisa melihat keputusasaan ayahnya.
"Perusahaan dalam keadaan genting, dan tidak banyak yang bisa kami lakukan untuk mencegahnya. Papa tidak yakin berapa banyak pegawai yang akan kami mutasi ataupun diberhentikan." Ucap Bambang masih tertunduk menatap tangannya.
"Kau ingat saat Rita datang?" Tanya Bambang dan Putri hanya menatap ayahnya dan hanya bisa mengedipkan matanya, karena nyatanya ayahnya pun tidak menunggu jawaban Putri. "Mamamu sangat menyayangi Rita, walaupun mereka tidak memiliki hubungan darah. Entah bagaimana Rita mengetahui kondisi perusahaan. Kali ini dia menawarkan bantuan, bantuan yang papa pikir akan sangat benar-benar membantu memulihkan kondisi perusahaan." Bambang meletakkan tongkatnya di sisi kursi.
"Maksud papa?" Putri kembali bingung. "Papa tidak mau ini menjadi berat untukmu, papa tidak akan memaksakan atau pun menentukan jalan hidupmu. Tapi ijinkan papa, agar kamu bisa melihat dan menentukan pilihanmu sendiri." Ucap Bambang yang merangkul Putri dengan erat.
"Ini hanyalah sebuah perkenalan, ingat janji papa? Papa tidak akan memaksa Putri." Putri menggenggam tangan papanya tanpa berkata apapun. Putri sangat sudah paham dengan pembicaraan ayahnya.
Putri memutuskan untuk kembali ke kamarnya, bahkan ia lupa dengan tujuan awalnya. Putri melemparkan handpone-nya ke tempat tidurnya, berjalan menuju meja belajarnya dan mengambil laptopnya.
Duduk bersila dan mulai menyalakan laptopnya, Putri sangat paham dengan pembicaraan ayahnya. Ayahnya mengatakan sebuah perkenalan, tapi Putri lebih menyikapinya dengan perjodohan. Walaupun tetap Putri yang akan membuat keputusan.
Putri juga kesal pada dirinya sendiri, bagaimana ia cukup egois dan tidak melihat mengapa ayahnya bersikap keras sebelumnya. Bagaimana perusahaan mereka dalam kondisi yang memprihatinkan.
Putri mulai mengetikkan kata kunci keluarga Wijaya. Banyak artikel yang muncul, dan ia harus membacanya dengan perlahan. Putri membaca beberapa artikel mengenai keluarga Wijaya.
Info yang ia dapatkan, Keluarga Wijaya sangatlah luar biasa. Keluarga tersebut berperan penting di berbagai sektor industri, bahkan mereka juga memiliki stasiun TV mereka sendiri.
Bima Wijaya adalah anak pertama dari keluarga Wijaya, dan sudah meninggal dunia hampir empat tahun yang lalu. Saat ini Brama Wijaya yang menjadi penerus dari keluarga Wijaya, Brama Wijaya memiliki seorang istri dan dua anak.
Rita sebagai anak pertamanya, dan Irfan Wijaya sebagai anak kedua mereka. Putri bisa melihat beberapa artikel yang berisikan tentang Irfan, menginformasikan kesuksesannya di usia muda dalam membantu menjalankan perusahaan keluarga.
Putri meletakkan laptop disampingnya, menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur. Mencoba memahami dan menelaah kembali semua pembicaraan ayahnya. Sifat ayahnya yang tidak memaksanya, justru malah membuatnya semakin tidak nyaman. Semakin ingin melindungi ayahnya, tetapi Putri masih meragukan keberaniannya untuk berkorban.
Putri mengeluarkan sebuah foto dari buku kecilnya, foto yang ia ambil di malam ibunya meninggal. Putri mengusap foto tersebut dengan perasaan yang mendalam, terlihat wajah ibunya yang tersenyum manis memandang dirinya yang masih berusia tujuh tahun.
Perayaan ulang tahun tergambar dari foto tersebut, Putri semakin merindukan ibunya. Perasaannya yang saat ini berkecamuk, membuatnya ingin menghilang atau melupakan masalah yang sedang menunggunya.
Malam itu hujan pun turun dengan deras, Putri masih berpikir apa yang akan terjadi dengannya nanti. Akankah dia berjuang atau menyerah, Putri melangkahkan kakinya menuju jendela kamar. Menatap tetesan hujan yang turun dengan deras, air matanya pun mengalir.
Bukan karena ia terlalu sedih, tapi karena ia terlalu kecewa dengan dirinya. Kecewa akan dirinya yang belum sanggup untuk berjuang, kecewa akan dirinya karena hanya bisa berpasrahkan diri.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK