"Gak, gak mungkin. Semalam mereka masih baik-baik saja, aku tau mereka sedang bertengkar. Tapi gak mungkin kalau sampai kecelakaan." Ucap Putri yang masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kamu bohong kan Andi, bohong kan!" Putri kini bangkit dari tempat tidurnya, menarik dengan paksa jarum infus yang melekat di lengan kanannya. Rasa sakitnya tidak ia rasakan, karena tidak sebanding dengan berita buruk yang baru saja ia dengar.
"Put, kamu jangan lakuin ini. Kondisi kesehatan kamu juga belum pulih." Ucap Andi yang sekarang memegang lengan kanan Putri, dan memperhatikan ada tetesan darah yang mengalir karena jarum infusnya di tarik dengan paksa.
"Aku harus kerumah sakit sekarang." Teriak Putri yang tidak peduli dengan lengannya yang masih meneteskan darah. "Kamu jangan halangin aku, aku malu lihat kedua orangtuaku. Aku mau tau kondisi mereka bagaimana sekarang."Ucap Putri dengan sangat histeris. Andi mencoba menahannya, dan Putri tidak bisa melawan tenaga Andi yang lebih kuat. "Lepasin Andi.. Lepasin!" Teriak Putri semakin kencang.
Suara Putri yang cukup histeris, terdengar oleh perawat. Ia langsung masuk dan kaget melihat Putri yang sudah lepas dari jarum infus. Perawat mengambil beberapa kapas, dan mencoba menghentikan tetesan darah yang masih mengalir. Sedangkan Andi membuat Putri tidak bergerak, dengan merangkulnya dari belakang dengan sangat erat.
Tenaga Putri benar-benar sudah terkuras habis, akhirnya ia pun menyerah untuk melawan. Andi yang sadar, mulai dengan pelan melepaskan genggamannya yang erat. "Kamu sudah tenang?" Tanya Andi masih terlihat khawatir, Putri mengangguk dengan pelan dan menatap Andi dengan wajah pucatnya.
"Aku telepon ka Wira dulu ya di luar, kamu tenang dulu disini." Ucap Andi kemudian melirik ke arah perawat yang berada di samping Putri. "Ya Mas Andi, saya jaga non Putri disini." Ucap perawat itu tersenyum lebar.
Andi pun berlalu meninggalkan Putri, dan menghilang dari balik pintu kamarnya. Perawat itu kini mengambil alat pengukur suhu yang diletakkan di belakang telinga putri, hanya butuh beberapa detik kemudian dia mulai mencatat suhu badan Putri. "Mba Putri, sudah gak demam lagi." Perawat itu menjelaskan masih dengan senyuman.
Putri hanya membalas dengan tatapan datarnya, saat ini hatinya sungguh tidak bisa tenang memikirkan kondisi kedua orangtuanya. Terlebih lagi dengan kondisinya yang saat ini juga dalam keadaan tidak sehat, membuatnya semakin membenci dirinya sendiri.
Putri menatap balutan kain kasa yang berada di pergelangan tangannya, ia akhirnya mulai menyesali apa yang sudah pernah dia lakukan. Betapa bodoh keputusannya untuk mencoba mengakhiri hidupnya, mengapa ia tidak memikirkan kondisi keluarganya. Mengapa ia terlalu egois mementingkan diri sendiri, dan menganggap dirinya yang paling menderita.
Putri menggenggam bajunya dengan sangat erat, ia sangat kesal dengan dirinya sendiri. Tanpa ia sadari, ia kembali menangisi keadaannya.
Perawat itu terlihat simpati melihat Putri yang menangis, tapi tidak berani untuk menenangkannya. Hanya menatap Putri yang sedang meratapi nasibnya.
Pintu kamar tebuka dengan kencang, Andi muncul dari balik pintu. Wajahnya menunjukkan kepanikan, Putri melihat temannya menjadi bingung. "Put, kamu ganti baju kamu ya, kita siap-siap." Ucap Andi sedikit terengah-engah. "Pak Bimo akan antar kita kerumah sakit." Andi kembali melanjutkan.
Putri tidak kembali berargumen dengan Andi, dengan segera dan tenaga yang masih tersisa dan juga dibantu dengan perawat. Putri dengan cepat mengganti bajunya, Andi yang sudah menunggu di bawah, di ruang tamu duduk masih memandang layar handphonenya dengan cemas.
Melihat Putri yang sudah bersiap-siap, Andi pun tersenyum menatap temannya. Walaupun Putri sadar senyum yang ia rasakan terlihat hampa. "Aku udah enakkan kok Andi, kamu jangan khawatir. Ayo kita berangkat."Putri menjelaskan dan melihat Andi yang masih terlihat cemas. "OK, kita berangkat sekarang. Pak Bimo sudah siap." Ucap Andi.
Dengan diantar Pak Bimo, Andi dan Putri dengan segera menuju rumah sakit. Selama perjalanan Putri tidak bisa berkata-kata banyak dengan Andi, pikirannya hanya tertuju kepada kondisi ayah dan ibunya.
Putri terus berdoa di dalam hatinya, agar tidak terjadi sesuatu yang serius ataupun berbahaya. Pikirannya terus menerawang, perjalanan yang hanya membutuhkan tigapuluh menit. Membuat Putri merasa perjalanan ke rumah sakit membutuhkan waktu berjam-jam.
Mereka pun akhirnya tiba di rumah sakit, Andi yang sudah mengetahui dimana ruangan orangtua Putri berada, langsung mengarahkannya.
Putri memperhatikan situasi rumah sakit, terlihat beberapa dokter dan perawat yang sibuk dengan para pasien yang berdatangan.
Putri mengikuti langkah Andi yang cepat menuju lift, Andi menekan tombol tiga dan mereka masih terdiam tanpa berkata satu katapun. Putri sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan orangtuanya.
Pintu Liftt pun terbuka, mereka bergegas keluar. Setelah melewati beberapa koridor, akhirnya Putri bisa melihat kakak iparnya Leyna yang sedang duduk di depan ruangan bersama suaminya Surya. Surya terlihat tertunduk lesu dan Leyna terus menerus menggenggam kedua tangan suaminya.
Wira, Rian dan Roy berdiri didepannya. Wajah mereka semua terlihat lelah dan jelas sekali ada kesedihan yang terpancarkan. Bahkan terlihat Wira yang mencoba untuk menahan air matanya.
Sedangkan Rian yang berusaha menenangkan Wira pun terlihat berlinang air mata. Putri yang baru saja tiba dengan Andi, langsung menjadi sorotan mereka semua.
Putri tidak menyukai sorotan mata mereka, terlihat sangat tidak nyaman dan membuat hati Putri teriris. Wira melepaskan rangkulan Rian dan berjalan pelan ke arah Putri, kemudian memeluk Putri dengan erat sambil menahan airmatanya yang sudah berlinang. Putri tidak pernah melihat Wira seperti ini, tidak pernah merasakan Wira terlihat hancur.
"Ka Wira, ada apa?" Tanya Putri dengan hati yang ikut sedih. "Mama, papa mana kak." Tanya Putri kembali. "Put.. putri.." Ucap Wira dengan terbata dan isak tangisnya.
Surya tertunduk dalam duduknya dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menahan airmatanya yang terus berlinang. Sedangkan Roy yang terlihat kesal, memukul dinding yang berada didekatnya dengan sangat kesal.
Putri menyadari kalau dia berada persis didepan kamar pasien, Putri juga mendengar ada banyak tangisan di dalam ruangan tersebut. "Ka, siapa didalam?" Tanya Putri yang ragu, Wira tidak menjawab pertanyaan Putri, bahkan tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
Wira menegakkan wajahnya, menatap adiknya dengan lembut. Putri melepaskan pelukan kakaknya, dan berjalan dengan pelan melewati Roy, Rian, leyna dan Surya. Ia pun tiba di depan pintu yang sudah terbuka separuhnya.
Putri melihat sebuah tempat tidur pasien, Raja dan Rafa berada di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Seseorang terbaring di tempat tidur tersebut, Putri tidak dapat melihat wajah orang tersebut karena terhalangi oleh pintu yang belum terbuka sempurna.
Raja dan Rafa terlihat sangat histeris, bahkan sepertinya mereka tidak menyadari Putri yang dengan perlahan memasuki ruangan. Ruangan itu cukup luas dengan hanya satu tempat tidur berada di tengahnya. Putri kembali memandang ke arah tempat tidur, sepertinya belum siap menerima apa yang ia lihat di depan matanya.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Putri melihat Ibunya yang sedar terbaring di atas tempat tidur, matanya terpejam layaknya orang yang tertidur lelap. Bahkan ada banyak balutan kain putih yang menutupi sebagian kepalanya, Putri juga melihat jahitan panjang yang terdapat di pipi kanan ibunya.
Putri semakin berjalan mendekati ibunya, Ia bisa melihat banyak jahitan di sekujur tubuh ibunya. Putri menutup mulutnya, menahan nafasnya dan masih tidak percaya dengan penglihatannya. Wajah ibunya terlihat sangat pucat dan matanya masih terpejam, bahkan tangisan Raja dan Rafa yang keras tidak membangunkan dari tidurnya.
"Mama..?" Ucap Putri cukup keras, Raja yang berada di sampingnya melirik ke arah Putri dan bangkit dari duduknya, untuk kesekian kalinya Putri dirangkul oleh saudara laki-lakinya. Raja menyeka air matanya, dan semakin erat memegang bahu Putri.
Putri melepaskan pelukan Raja dan langsung meraih tangan ibunya, dan menyentuh pipi ibunya dengan pelan dan lembut. Putri merasakan rasa dingin saat menyentuh kulit ibunya, bahkan ia juga merasakan kulit ibunya menjadi kaku.
"Mama..?" Putri mencoba memanggil ibunya, tapi mata ibunya tidak terbuka masih terpejam seakan tidak mendengar suara Putri yang memanggilnya. Putri kembali berlinang air mata, masih tidak percaya dengan yang dilihatnya. Ia kembali memanggil ibunya berulang-ulang bahkan lebih keras dari sebelumnya.
Putri yang sudah mulai histeris, membuat orang yang berada di luar masuk kedalam ruangan tersebut. Putri tetap berusaha memanggil ibunya, dan kali ini dia sedikit menggoncangkan tubuh ibunya. Raja mendekati Putri, dan menarik Putri yang masih mencoba untuk tidak melepaskan genggaman dari tangan ibunya.
Raja kini kembali memeluk Putri dengan masih terisak nangis. Mereka yang berada di luar mulai masuk kedalam ruangan. Rafa, Rian, Wira pun mengelilingi Putri. Mereka tidak mengatakan satu katapun, tapi Putri sadar dengan situasi yang menyedihkan ini. Ia sadar bahwa ibunya tidak akan lagi membuka matanya.
Hari itu adalah hari yang berat untuk keluarga Soedarmo, Bambang Soedarmo masih terselamatkan setelah melalui operasi yang cukup berat. Hanya saja Bambang masih belum sadarkan diri dari operasinya. Bambang mengalami patah tulang yang cukup parah di area kakinya, tidak hanya itu benturan yang keras di kepalanya menyebabkan ada cedera di kepalanya.
Sungguh menyedihkan, bahkan Bambang yang belum sadar dari komanya belum menyadari kematian istri tercintanya. Dalam kesedihannya, Putri menyempatkan diri untuk melihat kondisi ayahnya yang masih berada di ruang ICU. Putri berkali-kali menyentuh tangan ayahnya, tangan itu masih hangat. Putri merasakan ayahnya masih ada dan ia merasakan takut berlebihan jika harus kehilangan ayahnya. Putri mengecup kening ayahnya, dalam hatinya ia terus berdoa untuk kesembuhan ayahnya.
Renata yang baru saja tiba, terlihat dari koper yang masih dibawanya, memberikan semangat kepada suaminya Roy. Memberikan pelukan kepada Roy, terlihat wajahnya yang simpati menatap suaminya.
Hari itu merupakan hari yang sangat berat, jenazah ibunya dengan segera dibawa pulang menuju kerumah mereka. Siang hari para kerabat, sahabat dan keluarga jauh berdatangan, banyak ucapan belasungkawa yang mereka terima. Bahkan Mega pun mendatangi Putri dan memeluknya yang sedang bersedih, Putri tidak memikirkan apapun. Ia saat itu tidak begitu peduli apakah Mega tulus ataupun tidak bersimpati kepadanya.
Tidak hanya itu, media pun menyoroti berita kematian Mariana yang cukup tragis. Surya dan Roy pun memberikan beberapa penjelasan kepada media, mengenai kondisi ayah dan mereka saat ini.
Pemakaman pun berlangsung tanpa ada kehadiran Bambang yang masih terbaring dirumah sakit. Suasana sore itu sangat memilukan, bahkan hingga langit pun ikut bersedih dan berlinang air mata atas kepergian Mariana.
Hingga malam, para kerabat dan keluarga tetap berdatangan mengucapkan ucapan belasungkawa. Malam yang sudah mulai larut, membuat para tamu pulang satu persatu-satu meninggalkan kediaman mereka,
Putri yang masih duduk diruang keluarga, terus memandangi album foto keluarga. Membuka satu persatu halaman, foto-foto masa kecil bermunculan. Foto keluarga, dan foto-foto ibunya yang selalu terlihat cantik di foto.
TV masih menyala diruang keluarga, bahkan kali ini ada berita malam yang memberikan informasi kecelakaan Direktur utama Elang Industri bersama Istrinya. Putri langsung melihat ke arah TV, melihat penyiar wanita yang menyampaikan berita duka.
Putri masih menyimak penyiar TV itu meberikan penjelasan bagaimana kecelakaan itu terjadi. Penyiar itu menjelaskan bahwa, mobil yang dikendarai oleh Bambang ditabrak oleh pengemudi truk yang tidak sadar dalam kondisi mengantuk. Karena kejadian berlangsung di malam hari, hujan dan jalanan yang sepi. Pengemudi tersebut tidak menyadari, bahwa lampu merah yang berada di depannya. Pengemudi terus menjalankan truknya, tanpa menyadari mobil yang dikendarai Bambang melaju dari arah berlawanan.
Penyiar tersebut, bahkan menginformasikan bahwa mereka memiliki bukti CCTV. Putri semakin memperhatikan layar TV yang berada di depannya. Tiba-tiba saja Rian datang, dan mematikan siaran berita malam itu. Putri melihat lesu Rian, yang wajahnya juga sama lesu dan lelahnya seperti Putri.
"Putri, ini sudah malam. Ada baiknya kamu istirahat." Perintah Rian. "Ya kak," Jawab Putri pelan, dan berdiri meletakkan kembali album foto di dalam lemari yang ia ambil. "Kak?" Putri membalikkan badannya, "Ya?" Rian balik bertanya.
"Papa, Apa papa..?" Putri tidak berani meneruskan pertanyaannya. "Papa akan baik-baik saja OK. Kita tidak boleh pesimis." Jawab Rian dengan yakin. "Jaga kesehatanmu, kita akan bergantian menjaga papa di rumah sakit. Malam ini, Raja dan Rafa yang menjaga." Ucap Rian melanjutkan.
Putri pun menuruti perintah Rian, untuk beristirahat. Malam itu adalah malam yang sangat berat untuknya. Walaupun semua orang sudah berada di dalam kamar, ternyata tidak hanya Putri yang tidak bisa tidur dengan nyenyak. Semua anak Mariana, masih terjaga. Walaupun tubuh mereka berbaring di tempat tidur, tapi pikiran mereka tetap menerawang dan memikirkan kenangan-kenangan manis bersama ibu mereka.
Semua masih tampak terpukul, dan masih belum mempercayai apa yang baru saja mereka alami. Malam itu suasana rumah lebih sunyi daripada biasanya, kesunyian yang selama ini seperti diam-diam mengikuti keluarga Soedarmo.
*Senyumannya tak lagi kurasa.
Tangannya yang lembut, tak lagi menyentuhku.
Kenangan yang terindah yang tak kan pernah hilang walau termakan waktu.
Tak perlu menatap kesedihan yang terlalu dalam.
Cukup dengan tersenyum dan mengingat semua kebaikan yang ada.
Menguatkan hati, dan menghadapinya dengan cara yang bijak.
Jangan pernah menyalahkan-Nya
Jangan pernah berprasangka kepada-Nya
Karena Dia yang lebih tau, apa yang terbaik untuk semua.
Putri menutup buku catatannya, menarik selimutnya dengan panjang. Kali ini air matanya mulai mengalir, walau hanya sedikit tapi rasanya lebih menyakitkan. Mencoba memejamkan matanya dan mengingat-ingat wajah ibunya yang selalu tersenyum kepadanya. Berharap dia bisa mengatakan untuk terakhir kalinya bahwa dia sangat menyayangi ibunya hingga kapan pun.
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK