Putri tampak seperti seorang maling dirumahnya sendiri, mengendap-ngendap di kegelapan malam. Langkahnya terhenti ketika melihat ruang kantor ayah dan ibunya masih menyala, ia pun membelokkan langkahnya karena terdengar suara ayah dan ibunya yang berbincang.
Putri berpikir, mungkin dia akan menyapa sebentar kedua orang tuanya sebelum naik ke atas tempat tidurnya. Baru saja Putri akan melangkahkan kakinya lagi, terdengar suara ayahnya yang lantang dan terdengar emosi.
"Bagaimana bisa, Ana? Kenapa kau tidak segera memberitahuku? Aku sungguh kecewa dengan sikapmu, yang seperti ini!" Ucap Bambang dengan amat kesal, Mariana hanya menatap sikap suaminya dengan masih tidak percaya. "Cukup Bam, sudah cukup kamu merusak makan malam kita tadi." Balas Mariana dengan lantang. "Apa kamu enggak bisa menahan diri, walau hanya sebentar." Mariana melanjutkan pembicarannya, dan kali ini membelakangi suaminya.
"Jangan katakan, kalau kamu selama ini tahu mengenai putra kembar kita! Dan apa yang sudah mereka berdua lakukan." Tanya Bambang dengan curiga, menatap punggung Mariana yang masih tidak mau menatapnya. "Bam, bagaimanapun mereka anakku. Sudah cukup Surya dan Roy yang menjadi korban keegoisanmu." Balas Mariana.
Emosi Bambang sudah tidak terkendali, dia mendekati istrinya dan membalikkan tubuhnya dengan amat kasar. Mariana pun tercengang melihat reaksi suaminya. "Kenapa, kamu gak terima aku ngomong seperti ini." Ucap Mariana tanpa takut, sedangkan wajah suaminya sudah mulai memerah.
"Aku pikir, pada saat memutuskan menikah denganmu. Kau bisa merubah sikapmu, dan aku bisa melindungi anak-anakku. Nyatanya tidak." Mariana melanjutkan. "Apa Maksudmu?" Tanya Bambang dengan penuh emosi menatap istrinya.
"Kamu terlalu egois, bahkan anak-anak kita tidak berhak untuk menentukan jalan hidup mereka masing-masing." Mariana semakin menekankan suaranya, sedangkan Bambang semakin erat menekan bahu istrinya.
"Egois, kau bilang? Lihat kerja keras ku saat ini. Dengan kondisi sekarang kau bilang aku masih egois." Jawab Bambang membela dirinya. Mariana menyingkirkan dengan paksa pegangan suaminya, dan bergeser untuk menjauhi suaminya.
"Cukup Bam, kau hanya melanjutkan kerja keras dari orang tuamu. Dan mengenai masalah Kerja Kerasmu itu. Masih ada cara lain Bam, tapi tidak dengan anak-anakku." Suara Mariana bergetar dan masih menahan emosinya. Suaminya pun menghampirinya, "Mereka anak-anakku juga." Balas Bambang yang tidak mau kalah pembelaan dengan istrinya.
"Dengan semua yang terjadi, apa kau masih pantas sebagai ayah mereka." Jawab Mariana semakin lantang. Putri tidak yakin suara ibunya hanya terdengar di ruangan tersebut, bahkan Putri yakin dirinya tidak perlu menguping untuk mendengarkan perseturuan orangtuanya.
Bambang yang emosi mendengar ucapan istrinya, tanpa sadar melayangkan tamparan keras ke wajah Mariana. Bahkan Putri yang tidak melihat langsung, sangat yakin dengan suara tamparan tersebut.
Putri sangat ketakutan akan keributan orang tua mereka yang baru kali ini ia dengar dan saksikan. Sesaat ia tidak mendengar suara dari ayah dan ibunya, sedetik kemudian Mariana keluar dari balik ruangan. Mariana cukup terkejut dengan keberadaan Putri, dan ia juga melihat wajah Putrinya yang menatap dirinya dengan cemas.
Ekspresi wajah Putri lebih kaget ketimbang ibunya, Putri melihat ibunya sudah penuh dengan air mata dan keluar sambil memegang pipinya. Putri ingin memeluk ibunya segera, tetapi Mariana lebih dahulu menyentuh wajah Putri dengan lembut dan penuh makna. Kemudian berlalu dengan cepat meninggalkan Putri.
Terdengar suara pintu rumah yang dibuka dan ditutup dengan sangat kencang. Mariana memutuskan untuk keluar rumah, dan tidak lama terdengar suara mobil yang melaju keluar. Putri yakin ibunya telah pergi dari rumah.
Putri masih terdiam terpaku dibalik ruangan, tersadar dari lamunan ketika ada yang menyentuh bahunya. Roy sudah berada dibelakang Putri, raut wajahnya terlihat sangat lelah. Putri melihat kakanya dengan sedih, tapi tidak bisa mengatakan satu katapun terhadap kakanya.
"Kembali ke kamarmu Putri, sekarang." Perintah Roy dengan pelan, Putri mengangguk pelan dan berjalan menjauhi Roy dan ruang kerja. Putri sempat melirik ke belakang, dan melihat Roy masuk kedalam ruang kerja. Putri berharap kakaknya dapat menenangkan perasaan ayahnya.
Putri tidak memutuskan untuk langsung ke kamar, ia sempat berpikir pertengkaran orangtuanya pasti terdengar dirumah ini. Kemana kakak-kakaknya? Kenapa mereka hanya berdiam diri di kamar (itu yang dipikirkan oleh Putri saat itu).
Kenyataannya, setelah satu persatu dirinya mengecek kamar kakaknya. Baik Raja, Rafa, Rian, ataupun Wira tidak terlihat dikamar mereka. Bahkan kakak iparnya Renata pun juga tidak terlihat.
Putri mengecek kembali satu persatu setiap ruangan, kecuali ruang kerja orangtuanya. Tetapi dia tidak menemukan saudara laki-laki lainnya. Dengan putus asa, Putri mengecek dapur dan melihat Bi lastri masih sibuk membereskan sisa makan malam.
Bi Lastri yang menyadari kehadiran Putri langsung menyapa Putri dengan lembut. "Malam Non, kenapa kok ke dapur? Mau makan? Mau bibi siapin?" Tanya Bi Lastri tersenyum. Tapi Putri yakin, sesaat sebelumnya bi Lastri bertanya kepadanya. Putri melihat assisten rumah tangganya itu menyeka air matanya. Putri tidak menjawab pertanyaan Bi Lastri, justru dia berjalan mendekatinya.
"Bi, ada apa tadi? Selama Putri gak ada?" Tanya Putri dengan tatapan tajam. Belum sempat bi Lastri menjawab pertanyaan Putri, Putri sudah memberikan pertanyaan. "Dan pada kemana yang lain?" Bi Lastri menatap Putri dengan ragu.
"Eh...eh.. Kalau Mba Renata memang dari sore gak ada, yang bibi tau lagi ke tempat orangtuanya. Kalau..." Ucapan Bi Lastri terhenti, dan kali ini tidak berani menatap Putri. "Jawab bi," desak Putri cepat.
"Kalau Den kembar, Den Rian, Den Wira. Abis makan malam langsung keluar non, bibi gak tau pada kemana." Jawab bi Lastri. Putri tidak lama berada di dapur, karena bi Lastri juga tidak banyak memberikan informasi kepadanya.
Putri memustuskan untuk kembali ke kamarnya, pada saat ia melewati kamar Roy yang pintunya masih terbuka. Dirinya pun tidak mendapati Roy, yang tampaknya belum kembali dari ruang kerja.
Putri tidak segera mengganti bajunya, meringkuk di atas tempat tidur dan merasakan kesedihan yang mendalam. Pertama kalinya dia melihat orangtuanya bertengkar hebat, selama ini Putri selalu melihat sosok ibunya yang kuat dan tegar. Putri kembali mengingat wajah ibunya yang keluar dengan air mata, membuat Putri semakin sedih dan tidak bisa menahan air matanya.
Chat to Raja:
Kalian dimana?
Chat to Rafa:
Kalian dimana?
Chat to Rian:
Kalian dimana?
Chat to Wira:
Kalian dimana?
Chat to My Mama:
Mama kemana? Are you OK?
Putri masih menggenggam erat ponselnya, berharap bisa mendapatkan balasan dari salah satu kakak laki-lakinya. Sampai akhirnya, mata itu kembali berkaca-kaca. Dan mulai-lah Putri menangis sedih dan terisak, ini adalah malam kedua dia menangis dan bersedih. Tapi kesedihannya yang sekarang jauh berbeda dengan pertengkarannya dengan Mega.
Terimakasih untuk yang sudah membaca sampai bab ini.
Jangan lupa untuk dukung saya. caranya.
1. Vote dengan Power Stone.
2. Berikan Review anda.
3. Beritkan Rate bintang lima untuk bab yang sudah dibaca
4. Share Cerita ini pada teman dan keluarga ya.
Terimakasih :)
Find me on IG Sita_eh
Pagi hari
Putri bangun terlalu pagi, bahkan dia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bi Lastri yang menyadari kehadiran Putri di meja makan sedikit terkejut. "Non, pagi banget udah disini, lapar ya? Bibi baru mau siapin makanan." Ucap bi Lastri yang membawa tumpukan barang-barang.
"Gak kok bi, Putri gak lapar-lapar banget." Jawab Putri lemah, dan meletakkan handphone di sampingnya. Raut wajahnya masih penuh harap dan cemas, tidak ada satupun yang membalas chatnya.
"Bibi bawa apa?" Tanya Putri dengan heran, dan masih memperhatikan barang yang dibawa oleh bi Lastri, "Oh ini non. Ini lukisan." Jawab Bi Lastri tiba-tiba dengan suara pelan. Putri menghampiri bi Lastri dan mengambil lukisan yang terlihat rusak.
"Kok rusak parah begini bi? Kanvas dan bingkainya sampai hancur?" Tanya Putri dan mengembalikan lukisan tersebut ke tangan bi Lastri. "Aduh bibi gak ngerti non, kenapa rusak. Cuman Bapak suruh bibi buat buang ini aja." Jawab Bi lastri dengan ragu. Putri pun tidak banyak bertanya, dan kembali duduk di meja makannya.
Cukup lama Putri berada di meja makan, tidak nampak kehadiran ayah dan Roy diruangan tersebut. Suasana begitu sunyi dan hening, Putri memperhatikan keadaan sekitarnya. Biasanya ruangan itu penuh dengan kakak laki-lakinya, biasanya ada ibunya yang selalu sibuk mempersiapkan pekerjaan ayah dan sarapan pagi. Putri pun menyilangkan kedua tangannya di atas meja makan dan meletakkan kepalanya diantara lengannya.
Putri menghela nafasnya dengan panjang, mencoba menahan air matanya untuk tidak keluar. Lagi-lagi Roy mengagetkannya, Roy muncul tepat disamping Putri, dan Putri seketika mengangkat kepalanya.
Roy sudah tampak rapi dengan pakaian kerjanya, Roy memegang kepala Putri dan membuat rambut Putri menjadi berantakan. "Kamu mau tidur di meja makan." Ucap Roy dengan meledek adiknya. "Kak Royy.." Ucap Putri, dan langsung memeluk kakaknya erat.
"Eh apa ini, main peluk-peluk aja. Kamu gak liat baju kakak udah rapi begini." Tanya Roy dengan heran, Putri pun mengendurkan pelukannya. "Kak, sebenarnya ada apa sih? Putri bingung? Dan Kak Raja, Kak Rafa, Kak Rian, Kak Wira juga gak ada drumah." Putri menyeka air matanya yang sudah terlanjur keluar.
"Adik bodoh, kamu mikir apa sih? Mereka gak kenapa-kenapa, begitu juga dengan mama. Jadi gak usah mikirin macam-macam." Jawab Roy dengan lembut. "Kak Renata juga gak ada." Tanya Putri kembali, "Oh kalau Renata, dia kemarin siang ada urusan keluarga jadi harus kembali ke Kalimantan untuk seminggu saja." Roy kembali menatap Putri dengan sedikit membungkuk.
"Soal semalam kamu gak perlu bilang ke Renata ya," Ucap Roy yang sekarang sudah memegang bahu Putri. Putri menatap kakaknya dan mengangguk dengan cepat. "Papa sudah ada di mobil, dan aku harus segera berangkat ke kantor. Kamu sarapan sendiri dulu ya, dan ingat jaga kesehatan kamu, jangan ijin lagi kaya kemarin." Roy memberi nasihat untuk adiknya.
Roy berlalu meninggalkan Putri sendiri di meja makan, Putri tidak bisa menghabiskan sarapan paginya. Ada perasaan yang mengganjal membuatnya tidak bisa menelan makanannya. Dirinya pun memutuskan untuk menunggu Andi di depan pintu rumah, duduk di anak tangga sambil masih memperhatikan layar handphonenya.
Pak deden tukan kebun yang memperhatikannya, sesekali menegur Putri dengan senyumannya. Tapi tetap tidak bisa menenangkan perasaannya.
Tidak lama Andi muncul, seperti biasa dengan kegembiraan dan keceriaan yang dimilikinya yang diperlihatkan ke arah Putri. "Pagi Put, tumben udah nunggu di depan aja?" Tanya Andi yang tampak heran melihat reaksi terlalu biasa dari temannya.
"Pagi Andi, yuk langsung berangkat." Ucap Putri tanpa menjawab pertanyaan temannya. Sepanjang perjalanan Andi masih terus bertanya, apa yang terjadi dengan temannya. Tapi Putri lebih banyak memilih diam sepajang perjalanan ke sekolah.
Sampai akhirnya mereka tiba di sekolah. Andi tidak pantang menyerah dan terus menanyakan penyebab Putri yang lebih diam dari sebelumnya. Putri yang sudah kewalahan menghadapi sikap dominan Andi akhirnya bercerita tentang kejadian semalam.
"Nah, sekarang lo tau kan Andi, gimana situasi rumah aku sekarang." Jelas Putri dengan lemah, sambil berjalan di koridor sekolah. Andi pun merangkul temannya, "Udah jangan sedih, Kak Wira kan hari ini sekolah kan. Nanti kita cari aja, trus tanya deh kenapa - kenapanya." Jawab Andi mencoba menenangkan temannya.
Putri hanya membalasnya dengan senyuman kecil dan masih berpikir cara untuk menemui Wira, berpikir apakah Wira akan bercerita kepadanya. "Putri," ucap Andi yang membuyarkan lamunan Putri, "Kenapa Andi?" Tanya Putri heran. "Gue cuman mau kasi tau kalau Mega ternyata satu kelas sama gue." Andi terlihat ragu memberikan informasi Mega kepada Putri, terlihat reaksi Putri yang terkejut dan Putri langsung menata kembali raut wajahnya agar terlihat normal.
"Well,, bagus dong." Ucap Putri yang bingung dengan jawabannya sendiri. "Put, gue tau semua kok. Gak perlu lo cerita ke gue, gue udah tau semua kok soal kejadian hari Jum'at kemarin. Tapi karena gue teman lo, gue gak akan percaya dengan omongan orang lain." Andi menjelaskan dan kali ini langkahnya terhenti, begitu juga dengan Putri.
"Thank's ya Andi." Jawab Putri dengan malu karena temannya sudah mengetahui masalahnya. "Tapi Putri, gue mau lo tidak bertindak bodoh untuk mengakui kesalahan orang lain. "Jawab Andi dan Putri memalingkan wajahnya, bingung menatap wajah temannya.
Bel masuk pun berbunyi, Andi dan Putri tidak dapat mengobrol dengan banyak. Mereka memutuskan untuk kembali ke kelas masing-masing. Sepanjang jam pelajaran Putri tidak bisa konsentrasi, terlalu banyak ia pikirkan.
Bertemu dengan Wira?? chatnya saja hingga sekarang saja belum dibalas.
Hingga jam Istirahat pun Putri tidak bisa berpikir apapun selain memikirkan untuk bertemu dengan kakaknya. Putri sudah tidak bisa menunggu lama, di jam istirahat pun Putri memutuskan untuk segera mencari Wira, dan berhasil memenukannya di kantin sekolah.
Putri sedikit terkejut melihat Mega yang sedang bersama dengan Wira, mereka terlihat asik mengobrol. Bahkan hampir tidak menyadari kehadiran Putri, Mega yang melirik ke arah Putri membuat Wira tersadar akan kehadirannya.
"Kak Wira," Ucap Putri dengan lantang, beberapa murid yang duduk di sekitar area kantin mulai meperhatikan mereka. "Ada apa Put?" Ucap Wira datar. "Kayanya aku duluan aja ya Wira, sepertinya kalian butuh waktu buat berdua." Ucap Mega yang bangkit dari duduknya dan menunjukkan ekspresi tidak nyaman, "Jangan, gak apa-apa kok. Kamu disini aja." Wira memegang tangan Mega dengan erat dan membuat Mega kembali duduk.
"Kak Wira, Putri chat kakak dari semalam. Kenapa gak dibalas? Ka Raja, Ka Rafa, dan Ka Rian juga sama." Ucap Putri kesal dan mulai duduk di sebelah Wira, tidak memperhatikan Mega sama sekali, yang melihat Putri tampak kesal.
Wira tidak menjawab pertanyaan Putri langsung, matanya menatap Mega dengan bingung. Wira ragu apakah dia perlu menjawab dan memberikan penjelasan kepada adiknya di hadapan Mega.
"Kayanya kemarin kita terlalu sibuk, dan jadinya gak bisa jawab chat kamu." Ucap Wira dengan datar, tapi Putri yakin Wira berbohong terlihat dari raut wajahnya.
"Kak Wira jangan bohong sama Putri." Ucap Putri semakin mengeraskan suaranya, sedangkan Wira masih mencoba untuk bersikap normal dengan mengambil gelas dan meminum isinya.
"Kak Wira gak tau, kalau semalam mama keluar dari rumah." Suara Putri bergetar, kali ini dia yang mencoba menahan emosinya.
Wira yang mendengar ucapan Putri langsung tersedak dan menatap Putri dengan tidak percaya. Belum sempat Wira berbicara, seorang siswa mendekati Wira membuat percakapan mereka terhenti.
"Wira, dari tadi dicariin juga." Ucap siswa tersebut, kemudian sadar dengan Wira yang tidak hanya sendiri. "Gio? Kenapa?" Tanya Wira dengan bingung. "Pak Rahmat nyari lo, kayanya mau tanya soal acara outbond buat minggu depan." Gio menjelaskan dan mulai tidak enak dengan tatapan Putri yang tajam ke arahnya.
Wira pun bangkit dari duduknya, "Pulang sekolah, gue tunggu di gerbang keluar." Ucap Wira singkat ke arah Putri, "Mega aku tinggal kamu dulu ya, gapapa kan?" Tanya Wira ke Mega yang membalas dengan senyuman dan mempersilahkan Wira untuk pergi.
Tinggallah Wira dan Mega berdua, tatapan mereka saling berpandang tapi tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Mega menyingkapkan rambutnya yang panjang. Memandang Putri dengan senyumannya yang aneh.
"Putri , awalnya gue berpikir bakal ada perlawanan dari lo." Ucap Mega yang mulai membuka pembicaraan. "Maksud kamu Mega?" Tanya Putri dengan heran. Mega tertawa kecil mendengar pertanyaan Putri.
"Lo sadar gak, sekarang lo udah buat gue jadi playing victim." Ucap Mega kembali dengan wajah datarnya. "Bukan itu yang lo mau? Dari awal gue udah mencoba meminta maaf. Tapi kan kenyataannya, lo sendiri yang menginginkan ini kan." Ucap Putri membela dirinya.
"Maaf? kok gue jadi aneh ya dengarnya. Apalagi keluar dari mulut seorang Putri. Kemana Putri yang dulu arogan, egois, dan bertindak sesuka hatinya?" Tanya Mega dengan suaranya yang pelan, tapi Putri masih bisa mendengar setiap ucapan Mega yang dilontarkan kepadanya.
"Gue berharap lo bisa memaafkan gue Mega, gue gak akan pernah membenci lo atas apapun perlakuan lo kepada gue. Gue harap dengan begitu, Lo bisa maafin gue." Ucap Putri dengan sungguh. Dan Mega melihat Putri dengan tidak percaya.
"Gue gak akan bisa langsung percaya Put." Jawab Mega dengan ekspresi ketus. "Gue tau kok. Gue berharap lo dan Wira bisa punya hubungan lebih baik lagi." Balas Putri, dan Mega terlihat semakin tidak menyukainya.
"Putri, ada masalah?" Andi yang tiba-tiba muncul, mengejutkan mereka berdua yang sedang perang dingin. "Gak kok Andi." Jawab Putri dengan tersenyum. Mega memandang Andi dengan tatapan tidak suka, kemudian berdiri dengan cepat dan meninggalkan Putri dan Andi.
"Ada yang salah sama gue?" Tanya Andi keheranan melihat Mega yang sudah menghilang. "Kok langsung pergi sih?" Tanya Andi kembali. Putri tidak menjawab pertanyaan Andi, Putri pun memilih bangkit dari duduknya.
"Andi, nanti gue sama ka Wira mau ketemuan pulang sekolah." Putri memegang dagunya dan sambil berpikir. "Lalu?? Emang ada yang salah kalau ketemuan sama kaka sendiri?" Tanya Andi kembali, "Gak ada yang salah sih, tapi lo temenin gue ya Andi." Ucap Putri dengan wajah seriusnya, dan Andi tentunya tidak bisa menolak ajakan temannya.
Bel masuk istirahat berbunyi, Andi tidak memiliki banyak kesempatan untuk berbicara dengan Putri. Putri sendiri sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Wira usai sekolah.
Jam pelajaran terasa amat lama, Putri benar-benar tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran biologi saat itu.
Bahkan guru Biologinya – Bu Rani, sampai menegurnya. Karena terlihat tatapan Putri yang lebih banyak melamun.
Sampai akhirnya Bel Pulang pun berbunyi, dengan tergesa-gesa Putri langsung menuju keluar kelas. Berjalan dengan amat cepat hingga menabrak beberapa murid yang sudah berhamburan keluar kelas.
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK