Télécharger l’application
5.08% IHeart You / Chapter 18: Potongan Yang Hilang.

Chapitre 18: Potongan Yang Hilang.

Flashback - Satu tahun lalu.

Sangat sulit baginya untuk dapat menggerakkan tubuhnya, seperti ada berton-ton batu yang berada di atas tubuhnya. Tapi ia terus berusaha mencoba sedikit menggerakkan jarinya, dan berhasil. Tidak hanya tubuhnya yang terasa amat berat, ia sadar kelopak matanya cukup berat untuk dibuka. Dirinya merasa sangat takut akan kesunyian yang ia rasakan, dan bau yang tidak nyaman sungguh ingin membuatnya segera bangun dan berlari.

Pelan-pelan ia menggerakkan kedua bola matanya, walaupun matanya masih terpejam. Ia harus berusaha untuk membuka matanya dan melihat apa yang terjadi dan berada dimana dirinya sekarang?

Dengan usaha yang cukup keras, ia berhasil membuka matanya. Menatap sebuah atap putih, masih berfikir keras apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Ia pun tersadar, ada sebuah alat bantu nafas yang terpasang antara hidung dan mulutnya.

Sebuah Infus juga terpasang dan selangnya yang terhubung dengan punggung tangan kanannya. Ternyata itu yang membuat dirinya tidak nyaman, bukan hanya satu tabung infus dia melihat ada dua tabung infus yang berada di samping tempat tidurnya.

Dirinya kembali mencoba mengingat hal terakhir apa yang bisa dia ingat, ya dia mengingat kejadian di toilet sekolah. Setelah perkelahiannya dengan Putri, Mega sudah tidak sadarkan diri. Mega pun menyadari, ada sesorang yang memegang erat tangan kirinya.

Tapi dia tidak bisa melihat sosok tersebut, sosok tersebut sedang tertidur sambil memegang erat tangannya. Mega masih belum sanggup untuk menggerakkan kepalanya yang sudah cukup membuatnya pusing.

Mega memutuskan untuk menggerakkan jari jemarinya, setelah mencoba berkali-kali akhirnya sosok tersebut sadar. Wira mengangkat kepalanya dan masih menahan rasa ngantuk, Wira yang terbangun masih belum sadar bahwa Mega yang membuatnya terbangun.

Mega kembali menjerakkan jari jemarinya, dan berhasil menarik perhatian Wira. Wira langsung menatap Mega yang sudah membuka kedua matanya. "Mega, kamu udah sadar!" Ucap Wira dengan lantang.

Tidak hanya Wira yang dibuat terkejut, seorang wanita tua yang sedak duduk di sofa diruangan tersebut soktak ikut terbangun. Dengan langkah pelannya, langsung menuju tempat tidur Mega.

Mega masih belum sanggup menggerakkan mulutnya untuk berbicara, tapi ia bisa melihat wajah neneknya yang penuh dengan kecemasan. "Mega Sayang, cucukku kamu sudah sadar." Ucap Neneknya tersenyum dan menahan air matanya.

Wira memegang pipi mega dengan lembut, terlihat senyum bahagia yang ditunjukkan olehnya. "Nenek, Wira panggil dokter dulu ya." Ucap Wira dengan tergesa-gesa dan meninggalkan ruangan.

Tidak lama dokter memasuki ruangan, memeriksa kondisi Mega yang sudah sadar. Tapi kepulihannya tidak membuat Mega harus meninggalkan rumah sakit. Hari-hari berikutnya Mega habiskan didalam kamar di rumah sakit.

Siang itu akhirnya Mega bisa menegakkan tubuhnya, dokter yang merawatnya mengatakan bahwa ini adalah sebuah kemajuan yang bagus. Apalagi setelah tiga hari dari dirinya sadar, Mega sudah bisa bergerak dengan lancar.

Neneknya masih terus menjaganya, dan selalu berada disampingnya tanpa kenal lelah. "Mega kamu mau makan buah jeruk ini, biar nenek bantu kupas ya." Ucap Neneknya sambil mengambil buah jeruk yang belum Mega habiskan di sarapan paginya.

Mega hanya mengangguk dengan pelan, kemudian dia memegang dahinya yang masih ditutup perban. Sakit itu masih sangat dirasakannya, "Auu.." Serunya dengan pelan, Nenek langsung memandang Mega yang meringis, bahkan meletakkan asal.jeruk yang ia pegang.

"Pelan-pelan sayang, dokter belum mengijinkan untuk perbannya dibuka." Ucap Nenek memperingatkan. "Nenek luka ini sepertinya dalam, apa aku akan menjadi cacat?" tanya Mega dengan penasaran. "Nenek dengar dua hari lagi baru boleh dibuka." Ucap Nenek dengan manis seraya menurunkan tangan Mega yang memegangi dahinya.

"Nek, berapa lama Mega sudah disini?" Tanya Mega menatap balik wajah neneknya. Nenek kembali memegang jeruknya dan mulai membelah jeruknya dan memberikan potongan kecil ke cucu tersayangnya.

"Sayang, Nenek ingat sekali waktu itu nenek sedang berada di Toko Bunga. Nenek sedang menyiapkan beberapa pupuk yang sudah datang. Kamu masih ingat kan, kamu yang pesan." Nenek tersenyum, kemudian duduk membelakangi Mega.

Nenek mengambil sisir yang berada di meja, dan mulai menyisir rambut Putri dengan pelan-pelan. "Siang itu Wira datang, wajahnya pucat dan bikin nenek takut. Dia gak bilang banyak waktu datang ke toko. Dia bilang, nenek harus ikut dia ke rumah sakit karena katanya kamu ada disana." Ucapan Nenek terhenti, kemudian terdengar nenek menarik nafasnya dengan pelan dan panjang.

"Nenek benar-benar takut kehilangan cucu tersayang nenek. Sampai rumah sakit kamu sudah diruang operasi. Cukup lama." Ucap Nenek, kemudian mengepang rambut Mega.

"Berapa lama nek?" Tanya Mega penasaran.

"Setelah operasi itu, kondisi kamu cukup kritis karena luka kamu cukup dalam dan ada retakan di bagian kepala. dua minggu kamu koma setelah operasi." Nenek telah menyelesaikan kepangannya. Bangkit dari duduknya dan menatap Mega masih dengan senyuman.

"Dua minggu, aku enggak sadarkan diri nek?" Ucap Mega memastikan kembali. "Iya sayang, tapi yang terpenting sekarang kamu sudah sadar, dan sudah lebih baik kan." Nenek menggenggam tangan Mega dengan sangat erat.

"Kamu tau gak, selama tiga hari Wira tidak masuk sekolah cuman menemani kamu dirumah sakit. Dan setiap hari datang, membawa semua keperluan yang kamu butuhkan." Nenek menjelaskan, tetapi Mega hanya terdiam mendengarkan penjelasan neneknya.

"Wira nek? Hanya Wira yang datang?" Tanya Mega, dirinya penasaran apakah tidak ada teman-temannya yang datang untuk berkunjung melihatnya dirumah sakit. "Ada yang lain datang, tapi saat kamu masih koma. Ada saudara-saudara Wira datang, termasuk Ibunya Wira." Jawab Nenek dengan nadanya yang lembut.

"Saudara Wira Nek? Ehh,, apa dia ada?" Tanya Mega dengan Ragu. "Maksud kamu yang namanya Putri?" Nenek balik bertanya. "Nenek tau kan, penyebab aku bisa begini karena adik Wira itu." Kali ini suara Mega terdengar kesal dan emosi, tapi neneknya tidak terlihat kaget justru semakin tersenyum memandang cucunya.

"Ya nenek tau sayang, Wira sudah cerita semua. Wira dan Ibunya juga bahkan meminta maaf kepada nenek atas apa yang sudah terjadi. Ibu Wira mengatakan akan memberikan pengobatan terbaik untuk kamu." Mega memandang neneknya dengan sangat bingung. "Nenek gak marah, lihat cucu nenek seperti ini?" Tanya Mega dengan kesal.

"Pastinya Nenek marah, kamu kan cucu nenek satu-satunya. Tapi yang terpenting dari semua ini adalah kesehatan kamu." Nenek kembali tersenyum dan menyentuh pipi Mega dengan sentuhan hangat.

"Ibu Wira juga bersedia memberikan ganti rugi atas kejadian ini." Nenek kemudian mengangkat wajah Mega yang sedari tadi menunduk kesal. "Dan nenek akan terima?" Tanya Mega dengan kesal.

Nenek tidak menjawab, tapi raut wajahnya langsung terlihat sedih. Nenek bangkit dari duduknya, dan berbalik menuju lemari yang ada di belakangnya. Mengambil beberapa selimut dan melipatnya dengan rapi kemudian memasukkan ke dalam lemari tersebut.

"Nenek hanya ingin kamu bahagia, tidak lebih." Ucap Nenek yang Mega yakin bahwa neneknya membalikkan wajahnya karena tidak ingin cucunya melihatnya menangis. Mega pun menahan kesalnya.

"Maaf aku ganggu." Wira memasuki ruangan, dan melihat Mega menatapnya dengan air mata yang masih membasahi pipinya. "Eh, dek Wira sudah datang, kebetulan nenek mau keluar dulu. Tolong jaga Mega sebentar ya." Ucap nenek yang serta menyeka air matanya, dan pergi meninggalkan ruangan.

"Kamu, ngapain kesini?" Ucap Mega sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar. Wira tidak mempedulikan sikap penolakan Mega, masih terus berjalan menuju tempat tidur Mega dan duduk disamping tempat tidur.

"Aku mau jenguk kamu." Ucap Wira dengan tenang, Mega memberanikan untuk menatap wajah Wira. Terlihat Wira tersenyum, dan menyodorkan sebuah rangkaian bunga. "Ini buat kamu." Ucap Wira masih dengan senyumannya.

"Kenapa kamu masih baik sama aku, kamu tau kan bekas luka ini akan membuat wajahku buruk." Ucap Mega masih belum menerima rangkaian bunga di depannya. Wira meletakkan rangkaian bunganya tepat berada disampingnya.

"Kalau soal ini, kamu gak perlu khawatir. Aku sudah bicarakan semuanya dengan ibuku." Ucap Wira sambil memegang dahi Mega yang masih tertutup dengan balutan kain. "Yang terpenting kondisi kamu sudah lebih baik, dan kamu gak perlu khawatirkan apapun. Kalau ada hal lain yang kamu inginkan, tolong katakan saja."

Mega memandang Wira dengan tatapan yang penuh makna, dia sangat menyayangi orang yang berada di depannya. Sungguh tidak mengira Wira sangat penuh perhatian dan selalu berada disampingnya.

Mega pun memeluk Wira dengan erat, air matanya pun bercucuran. Tidak peduli dengan luka dahinya yang bersentuhan dengan bahu Wira. Wira membalasnya dengan pelukan erat, pelukan untuk melindungi orang yang selalu ia sayangi.

Ternyata rasa sakit itu tidak hilang begitu saja, Mega hampir tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak. Bahkan mimpi-mimpi buruk terus berdatangan di setiap malam selama ia tinggal dirumah sakit. Nenek dan Wira sangat mengkhawatirkan kondisi mentalnya, Mega semakin histeris ketika dia sudah bisa melihat bekas luka di dahinya.

Walaupun kini dirinya sudah berada di rumah, Mega masih belum bisa menerima kondisinya saat itu. Wira sudah berkali-kali menawarkan untuk melakukan operasi plastik agar bekas luka itu hilang, tapi Mega terlalu menjunjung tinggi harga dirinya. Hubungannya dengan Wira pun tidak semakin baik.

Penolakan demi penolakan dilakukan olehnya terhadap Wira, bahkan Mega belum berani untuk kembali ke sekolah. Dengan bantuan Nenek dan Wira, Mega melakukan home scholling. Lagi-lagi Mega menerima bantuan Wira dan keluarganya, lalu kemana orang yang menyebabkan masalah ini?

Mega pada awalnya tidak pernah membenci Putri, tapi pelan-pelan Putri sendiri yang menabuhkan benih-benih kebencian. Mega menatap ke arah luar jendela, menatap guru private-nya yang telah pergi meninggalkan pekarangan rumah.

"Mega, sayang." Terdengar langkah nenek memasuki kamar Mega, tapi Mega tidak bergeming dan masih menatap jendela kamar. Kali ini bukan gurunya yang dia lihat, tapi pantulan wajahnya di jendela, dia pun melihat bekas luka yang panjang yang ada didahinya.

Apakah ini nasibnya sekarang? apakah dia akan menerima begitu saja semua penderitaan yang dirasakan selama ini. Atau bisakah dia kembali berjuang, kembali melawan dan menunjukkan bahwa dia adalah orang yang kuat dan membuang jauh-jauh rasa takutnya.

"Sayang.." Nenek kembali memanggil dan mulai khawatir. Mega masih tetap tidak bergeming. "Nek," ucapnya dengan pelan. "Mega sudah putuskan, Mega akan melakukannya. Dan Mega ingin kembali bersekolah." Ucap Mega dengan pelan, tapi cukup membuat Neneknya terkejut.

Mega meletakkan handphone yang ia pegang sedari tadi, dan berbalik memandang neneknya dengan senyuman. Tapi Nenek merasakan, bukan senyuman kebahagian. Entah mengapa Nenek merasakan senyuman penuh dengan kebencian dan kepalsuan.

Notification Message From Mega:

Aku terima tawaranmu, dan setelahnya aku ingin kembali bersekolah.

Wira memegang handphonenya, tersenyum senang membaca pesan yang masuk. Kembali menatap ke arah papan tulis yang berada di depannya. Sambil mengingat kembali pesan yang baru saja diterimanya, berharap sebuah permulaan yang baik akan dimulai.


Chapitre 19: Menghibur.

Suara ketukan yang pelan, membuat Putri terbangun dari tidurnya. "Siapa??" Ucap Putri dengan lirih. Tapi Putri tidak mendengar ada jawaban dari pertanyaannya. Putri semakin menarik selimutnya lebih dalam, matanya masih terasa sakit dan sedikit bengkak. Sudah cukup ia menangkis semalaman, dan Putri hanya ingin tidur dan beristirahat.

Putri tidak menyadari bahwa ada yang membuka pintu kamarnya, dan memasuki kamarnya. Sosok tersebut pun menarik selimut Putri dengan cepat, Putri yang merasa jengkel kembali menarik selimutnya tanpa memperhatikan seseorang yang mencoba membangunkannya.

Tenaganya tidak cukup kuat, dan kali ini selimutnya sudah tidak lagi berada digenggamannya. Orang tersebut sekarang malah membuaka tirai jendela kamar Putri, membuat sinar matahari masuk kedalam ruangan tersebut dan kali ini Putri bisa melihat sosok sahabatnya berdiri tepat di depannya.

"Andii...??!" Ucap Putri dengan lantang dan kesal, sambil menutup bagian matanya dengan tangan mencoba menghalangi sinar matahari yang menyilaukan. "Mau jadi Putri Tidur kamu? Cepat Bangun! Udah siang begini masih aja tidur." Kali ini Andi duduk di tepi tempat tidur dan menyilangkan kedua tangannya.

Putri menatap wajah Andi dengan kesal, "Andi, please? Gue butuh istirahat." Bela Putri dengan kesal. "Pagi-pagi lo chat, dan bilang kalau sakit terus sekarang gue liat lo cuman lagi bermalas-malasan di tempat tidur." Andi masih belum bergeming.

Putri melirik jam yang berada persis di belakang Andi, waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, kemudian kembali menatap Andi. Kali ini Putri tidak menutupi matanya, sudah terbiasa dengan cahaya yang masuk kedalam kamarnya.

"Kok, kamu bisa disini?" Tanya Putri yang keheranan, kali ini Putri sadar Andi masih menggunakan seragam sekolahya. "Tadi aku ijin, abis jam istirahat langsung kesini." Ucap Andi datar. Putri masih kaget dengan pernyataan Andi. "Lagian kan gue baru menang lomba senin kemarin, masa gak dikasi ijin walau cuman satu hari." Andi melanjutkan penjelasannya.

"Trus kok lo gak ada kabarnya dari kemarin, chat juga gak dibalas. Ucapan selamat juga gak ada." Terlihat Andi kesal, dan mulai memajukan badannya ke arah Putri. Kali ini wajah mereka cukup dekat.

"Iya, sorry. Selamat ya buat kemenangan kamu." Ucap Putri yang tidak nyaman wajah Andi terlalu dekat dengannya. "Ehh kok mata kamu bengkak yaa??" Tanya Andi yang melihat mata Putri yang bengkak, dan Putri mencoba menutupinya dengan mengucek-ngucekkan matanya.

"Gak kok." Bela Putri kembali, "Gak usah bohong, jadi ini alasan kamu gak masuk sekolah? Kata Bi Lastri dari pagi kamu belum turun buat sarapan loh." Andi semakin memperhatikan gerak gerik Putri yang aneh.

"Masih belum mau cerita nihh?" Tanya Andi dengan senyuman liciknya, "Apa sihh Ndi, gak kenapa-kenapa kok. Ini kelilipan debu ajja, jadinya sakit mata." Putri beralasan aneh dan membuat Andi tertawa geli.

"Aduh, Put, Put. Aku ini kenal kamu." Andi bangkit dari duduknya dan mengelus kepala Putri seperti seekor kucing. "Udah sana Mandi dulu, bau asem kamu. Abis itu kita makan di luar yaa." Ucap Andi masih tersenyum.

"Gak ah malass." Jawab Putri ketus. Andi memegang lembut dagu Putri, membuat Putri sedikit menengadah yang melihat Andi berdiri di depannya. Wajahnya yang manis, membuat Putri terpesona untuk sesaat. "Mau aku yang mandiin kamu?" Ledek Andi.

Seketika Putri langsung memukul kepala Andi dengan bantal yang dipegangnya.. "Ihh Otak mesum, keluar sanaa." Teriak Putri kesal, dan Andi keluar kamar dengan tertawa geli. "Jangan lama mandinya, aku tunggu dibawah." Dan Andi Pun menghilang dari balik pintu kamar.

Seketika Putri menghempaskan tubuhnya di kasur yang empuk, tidak rela untuk meninggalkan tidurnya yang panjang. Tapi dirinya pun berhasil meyakinkan raganya untuk bangun.

Tidak lama bagi Putri menghabiskan waktu untuk bersiap-siap. Andi sudah menunggu dibawah, sedang berbincang-bincang dengan bi Lastri yang sedang sibuk dengan pekerjaan rumah tangganya.

"Sudah?" Tanya Andi yang melihat Putri lebih segar dibandingkan sebelumnya, "Ayo, kali ini lo yang traktir ya, lapar banget ini." Ucap Putri sambil memegang perutnya yang sudah siap menampung banyak makanan. Andi pun menyeringai dengan lebar, kali ini ia sudah berganti baju. Putri yakin, Andi sudah niat untuk membolos hari itu.

"Lo udah ganti baju Andi?" Tanya Putri curiga, "Baru juga beli, sebelum sampai ke rumah kamu. Aku mampir ke distro dekat sekolah." Ucap Andi santai. Dan Putri hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat aksi berani temannya untuk membolos.

Andi dan Putri pun pergi, mereka memutuskan untuk pergi ke salah satu Mall terdekat. Andi sudah menyiapkan beberapa daftar yang akan dilakukan, "Put, kita makan dulu ya, abis itu gue mau nonton." Ucap Andi sambil menunjuk restoran yang berada dekatnya. "OK, beres pokoknya" Jawab Putri singkat.

Setelah mendapatkan tempat duduk untuk menikmati makan siang mereka, dan pesanan mereka sudah datang. Andi masih memperhatikan wajah Putri dengan sangat serius. "Andi.. Andi.." Suara Putri yang sedikit lantang menyadarkan Andi dari lamunanya

"Eh.. Sorry Put." Ucap Andi, kemudian kembali fokus ke makanannya. "Put, kamu masih gak mau cerita. Ada apa sama kamu?" Andi kembali bertanya. Kali ini gantian Putri yang menatap Andi. "Apaan sih, gue gak kenapa-kenapa kok." Putri mulai dengan cepat mengunyah kembali makanan dan minumannya.

Melihat reaksi temannya, Andi yakin Putri belum mau menceritakannya. Walaupun Andi sudah mengetahui kebenarannya, Andi kembali mengingat kejadian tadi Pagi. Mendapati ada siswi baru di kelasnya, jika saja teman sebangkunya tidak memberitahu kalau itu adalah Mega, jika saja teman sebangkunya tidak membicarakan kejadian kemarin antara Putri dan Mega. Andi pasti akan mengira kalau Putri memang benar-benar sakit, dan dia tidak mungkin untuk membolos usai jam istirahat.

Mereka banyak menghabiskan waktu bersama, Andi senang melihat Putri yang kembali ceria dan bersemangat. Setelah menghabiskan waktu nonton bersama, Andi memutuskan untuk mengantar Putri pulang sebelum jam makan malam. Tapi kenyatannya jalanan yang padat membuat Andi terlambat untuk mengantar Putri sebelum jam makan malam, bahkan mereka sempatkan diri untuk melipir di pinggir jalan hanya demi mencoba beberapa makanan cemilan.

"Duh, Sorry ya Put. Jadinya ngelewatin makan malam lo nih." Ucap Andi menyesal, dan Putri yang berdiri di depan pintu masuk hanya tersenyum memandang Andi. "Gak apa-apa kali ndi, lagian aku udah chat nyokap kok dan tadi kan udah banyak makan sama kamu." Ucap Putri memandang Andi yang masih berdiri di depannya.

"Okey,, kalau begitu aku pamit pulang dulu ya. Dan besok aku jemput ya seperti biasa." Wajah Andi pun memerah pada saat mengatakannya. "Iya Andi, anyway makasih ya buat hari ini." Balas Putri. Andi pun mulai berjalan menjauhi Putri dan tiba-tiba dia pun membalikkan badannya, "Selamat istirahat Putri." Ucap Andi dengan sangat manis, membuat Putri yang melihatnya menjadi terkesima dan malu.

Andi pun berlalu dari pandangan Putri, melirik ke arah jam tangannya dan waktu sudah menunjukkan setengah sepuluh malam. Putri pelan-pelan membuka pintu rumahnya, suasana tampak sepi, sepertinya seluruh anggota keluarga sudah tertidur pulas.


Load failed, please RETRY

Cadeaux

Cadeau -- Cadeau reçu

    État de l’alimentation hebdomadaire

    Chapitres de déverrouillage par lots

    Table des matières

    Options d'affichage

    Arrière-plan

    Police

    Taille

    Commentaires sur les chapitres

    Écrire un avis État de lecture: C18
    Échec de la publication. Veuillez réessayer
    • Qualité de l’écriture
    • Stabilité des mises à jour
    • Développement de l’histoire
    • Conception des personnages
    • Contexte du monde

    Le score total 0.0

    Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
    Votez avec Power Stone
    Rank 200+ Classement de puissance
    Stone 0 Pierre de Pouvoir
    signaler du contenu inapproprié
    Astuce d’erreur

    Signaler un abus

    Commentaires de paragraphe

    Connectez-vous

    tip Commentaire de paragraphe

    La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.

    De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.

    OK