"Ini untuku?". tanya Ana heran. "Mmmm". jawab Alvin sambil menganggukkan kepalanya.
"Terus kamu pakai apa?". tanya Ana. "Jangan khawatirkan aku". kata Alvin.
Mendengar perkataan Alvin, Ana menghelai nafas panjang, dan tanpa fikir panjang lagi, dia langsung memakai jaket itu.
Setelah itu keadaan kembali hening, sesekali Ana melirik wajah Alvin yang basah oleh tetesan air hujan dengan berani.
"Kok ada ya cowok yang memiliki wajah mulus seperti dia? cantik pula? astagfirullahaladzim aku tidak boleh memandangnya seperti itu". Batin Ana.
Ana menggelengkan kepalanya karena, merasa bersalah, ekspresinya menjadi rumit dan jantungnya terus berdetak tidak karuan.
"Panggil saja Alvin!". kata Alvin memecah keheningan yang sedang terjadi. Dan sebenarnya dia tersenyum ketika menyadari Ana mencuri pandang darinya.
"Aku Ana". kata Ana. "Aku tidak bertanya". sahut Alvin tanpa eskpresi.
Mendengar perkataan Alvin, Ana menjadi kesal sekaligus malu, langsung saja dia menunduk.
"Ahhh malu banget, kenapa dia nyebelin sekali?". dia saja ngasih tau nama tanpa aku tanya, kenapa dia harus mempermalukanku?. Batin Ana.
Karena kesal Ana memberanikan diri melirik Alvin lagi untuk protes, tapi sayangnya dia tersihir melihat teduh wajah mulus yang basah oleh air hujan itu.
Subhanallah Indahnya. Batin Ana. Kali ini setan berhasil mempengaruhinya sehingga tatapannya tidak bisa berpaling dari Alvin.
Ana fikir, benar kata Fida, kalau Alvin sangat tampan, menyadari tatapan Ana, Alvin langsung melirik Ana dengan heran, seketika itu mata mereka beradu. Tepat saat itu hujan dan mahoni menunjukkan dramanya, angin pun mendukung dengan menggugurkan bunga pohon mahoni yang indah dan harum.
"Hujan sudah reda". kata Alvin memecahkan kediaman dan kecanggungan diantara mereka.
"Astagfirullahaladzim". ucap Ana sambil memalingkan wajahnya.
"Iya, hujannya sudah reda, kalau begitu aku pergi dulu". kata Ana dengan salah tingkah, dia bergegas pergi sambil membawa keranjang sayurannya.
Ana benar-benar merasa malu karena ketahuan menatap Alvin, sedang Alvin tersenyum lucu melihat tingkah Ana.
Ana terus berlari, dan beberapa saat kemudian dia sampai di dapur dan langsung menaruh keranjang sayur itu.
Setelah itu Ana langsung kembali ke asrama putri.
"Astagfirullah Ana, kamu kenapa basah begini, habis dari mana?". Syifa tampak bingung melihat Ana yang tiba-tiba datang dengan pakaian yang basah.
"Aku kehujanan habis memetik sayuran di kebun". jelas Ana.
Mendengar penjelasan Ana, Syifa hanya menarik nafas, "Ya sudah, sebaiknya kamu segera ganti baju biar tidak masuk angin!".
"Baiklah". kata Ana, setelah itu dia langsung masuk ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Ana termenung sejenak mengingat apa yang terjadi di kebun tadi.
Astagfirullah, aku kelepasan lagi mandangin Alvin, dia kan jadi besar kepala, "aduhhh Ana ayo mikir, rasanya aku ingin jadi pawang hujan biar bisa berhentiin hujan tadi, sungguh sangat canggung semoga aku tidak bertemu dia lagi deh". Batin Ana.
"Ana, kenapa kamu melamun". tanya Syifa yang baru saja masuk kamar.
Syifa adalah kembang desa yang terkenal cantik dan lembut, dia sahabat baik sekaligus teman sekamar Ana selama di pesantren, selain Syifa ada juga Fida yang bawel dan ceplas ceplos, mereka bertiga tinggal sekamar sejak pertama kali tinggal di pesantren.
"Ah, aku tidak melamun kok, aku cuman mengingat hafalanku sudah berapa, begitu". jelas Ana dengan rasa bersalah karena telah membohongi Syifa.
"Oh ya Fida Mana?". tanya Ana.
Belum saja Syifa jawab, Fida tiba-tiba masuk ke kamar sambil berjingkrak-jingkrak.
"Assalamualaikum sahabatku yang soleha, oh iya tau gak sih, tadi aku lihat cucunya pak kyai yang tampan itu loh, ya Allah rasanya aku meleleh".
"Bukanya Alvin tadi sama aku ya, apa dia lewat gerbang asrama putri?". Batin Ana.
"Lihat Di mana?". tanya Ana menyelidiki.
"Tadi aku melihatnya keluar dari kebun belakang, dia tampak kehujanan soalnya rambutnya basah, dan itu membuat dia terlihat semakin tampan hee". jelas Fida
"Astagfirullah, nyebut Fida, kamu tidak baik menghayalkan lelaki seperti itu, kita ini seorang santriwati dan tidak pantas bersikap seperti itu, apa kamu mengerti?". Syifa mencoba menasehati Fida, secara Syifa dikenal santriwati yang paling tegas dengan peraturan pesantren.
Mendengar nasehat Syifa, Fida hanya menunduk manyun, setelah selesai bicara dengan syifa mata fida langsung ke arah jaket yang dipegang Ana, "Ana itu jaket siapa yang kau bawa? sepertinya milik anak cowok".
Syifa juga memperhatikan jaket itu, tapi dia tidak mau bertanya kalau bukan Ana sendiri yang menceritakan nya.
"Ah ini... ". belum saja Ana menyelesaikan ucapannya, Syifa langsung menyela perkataannya " Sudah, jangan gobrol lagi, ini sudah hampir Zuhur ayo kita ke musholla!". kata Syifa.
Ana mengangguk dan langsung siap-siap.
"Alhamdulillah selamat, untung saja Syifa menghentikan si kepo Fida". Batin Ana sambil bernafas lega.
»Keesokan harinya«
Pagi ini Ana terlihat letih dan ada lingkaran hitam di matanya, karena semalam dia gelisah sehingga tidak bisa tidur, pikirannya terus dipenuhi kejadian siang kemarin di kebun.
"Ya Allah aku kenapa kebayang Alvin terus? ini tidak mungkin, ini pasti kerjaan setan yang berusaha membuyarkan hafalanku". Batin Ana.
Seusai sholat subuh mentari menunjukan wajahnya pada pagi, Ana berjalan menuju taman samping asrama yang di mana itu tempat paling indah yang ada di pesantren, tidak jauh dari area pesantren nampak persawahan yang hijau, sungai kecil yang airnya mengalir jernih menenangkan, udaranya juga sangat bersih karena pesantren memang jauh dari perkotaan.
Entah mengapa suasana hati Ana jauh lebih indah dari sekedar apa yang dipandangnya meskipun dia tidak tidur semalaman.
"Ana kenapa masih di sini? ini kan hari untuk lomba karate, yang tanding kak Firaz loh he he ". kata Fida mengagetkan Ana dengan semangat.
Firaz adalah kakak senior Ana yang cukup terkenal di pesantren selain wajahnya yang cakep, dia juga atlet karate yang sering mewakili pesantren, dia dikenal orang yang disiplin, cerdas dan penuh tanggung jawab.
"Apaan sih Fida, gak usah heboh begitu, kan gak biak!". ucap Ana seraya menghentikan tingkah Fida yang kadang suka berlebihan.