Sekitar sebulan setelah pertempuran melawan Naga Hitam, daerah Hutan Pohon Suci bagian barat telah pulih lebih dari tiga perempat. Pepohonan yang terbakar dan rusak sudah mulai tumbuh kembali dengan cepat berkat Mana yang dihisap dari bangkai Naga Hitam yang mengeras.
Berjalan di dalam hutan dengan dedaunan berwarna aneh dengan seekor Rusa Tanduk Kristal dan dua Kera Ekor Bercabang, Reyah membawa bahan-bahan obat berupa tanaman herbal dan akar-akaran yang mengandung Ether dengan sifat unik untuk pengobatan. Tanaman yang dibawanya dalam keranjang anyaman akar itu tidak lain untuk Odo yang belum juga membuka mata sejak kejadian itu, dan sekarang anak berambut hitam tersebut masih terbaring di dalam Pohon Suci. Di bantu para Roh Tingkat Menengah yang menemaninya, Reyah mencari tanaman obat lain di dalam hutan. Para kera mengambil dedaunan herbal yang tumbuh di bawah pohon, sedangkan para rusa menggali dengan kuku kaki mereka mencari biji-bijian berkhasiat yang mungkin jatuh di tanah.
Sekarang Reyah sedang dalam bentuk perempuan remaja, sama seperti saat melawan Naga Hitam, mengenakan gaun berwarna hijau dan topi kerucut lusuh berwarna hitam. Meski tampangnya terlihat cantik dan cerah, tetapi entah mengapa tersiat kesedihan yang dalam dari ekspresinya.
Reyah membawa keranjang anyam akar berukuran kecil di depan dengan kedua tangannya, berdiri melamun dan tatapannya terlihat kosong. Dengan tanpa semangat, Dryad tersebut menyandarkan punggung ke pohon di belakangnya dan jatuh terduduk dengan tatapan mati. Sudah banyak cara dilakukan, dari ramuan hingga transfer Mana, tetapi semua itu tetap tidak bisa membuat Odo bangun.
"Kenapa ... dia belum bangun juga?" Reyah duduk bersimpuh, meletakkan keranjang akar di atas pangkuan. Mengambil obat bubuk yang dibungkus daun hijau, Reyah menatap dengan tatapan yang mulai berkaca-kaca.
"Kalau tidak bangun ..., tidak ada gunanya diriku mengalahkan Naga Hitam itu .... Memangnya untuk siapa diriku bertarung, kenapa engkau tidak kunjung bangun? Kalau begini ..., lebih baik diriku tidak ada posisi ini .... Roh sialan itu saja yang ada di sampingmu! Kenapa .... harus seperti ini ...."
Reyah melempar bungkus daun berisi obat dan melempar keranjang beserta seluruh tanaman herbal yang telah dikumpulkan. Roh Agung tersebut melipat kedua kakinya, lalu menundukkan wajah dan meringkuk. Air mata mengalir membasahi wajah dengan ekspresi datar itu, menghapus ekspresi wajah yang selalu tenang tersebut. Ia menangis tersedu, para Roh jenis hewan yang menemaninya melihat dengan tatapan cemas dan takut. Dua ekor kera mengambil keranjang akar, lalu mengumpulkan tanaman herbal yang berserakan.
Rusa Tanduk Kristal mendekat, lalu menarik ringan bagian bawah gaun daun Reyah dengan mulut. Roh Agung itu mengangkat wajah penuh berlinang air mata, lalu melihat ke arah para Roh hewan di hadapannya seraya berkata, "Maaf ..., membuat kalian takut. Rasanya diriku ..., emosi ini ... sungguh sangat ..., perasaan ini ... berat." Setelah Rusa yang memiliki tanduk kristal itu melepaskan pakaiannya, Reyah bangun dan merapikan gaunnya.
Mengusap air mata yang ada, Roh Agung itu menegakkan tubuh dan kembali menguatkan tekad akan prioritasnya. Dua kera ramai kecil bercakap-cakap dengan bahasa mereka, terlihat lega karena sosok penguasa hutan tersebut sedikit kembali semangat. Setelah mengambil keranjang berisi tanaman herbal yang diserahkan kedua Kera Ekor Dua itu, Reyah kembali melangkahkan kaki menuju Pohon Suci.
Sesampainya di dekat Pohon Suci, para Roh Tingkat Menengah yang mengikuti Reyah pergi. Memberi salam ringan dengan lambaian tangan kanan, Reyah melihat mereka yang masuk ke dalam hutan dengan tatapan mata yang masih terlihat sedih. Berbalik ke arah Pohon Suci, satu langkah pertama ke depan dan tercipta sebuah lingkaran sihir dari akar, dan saat langkah kedua, Reyah telah diselimuti cahaya hijau dan dipindahkan ke dalam Pohon Suci.
Sesampainya pada ruangan di dalam Pohon Suci, Ia membuka mata dan menatap datar tempat yang semuanya terbuat dari kayu tersebut. Reyah kembali melangkahkan kaki, lalu meletakkan keranjang anyaman di atas meja. "Hah ...." Menghela napas dengan berat, Roh Agung tersebut melihat ke arah ranjang bunga yang terletak di salah satu sudut ruangan tunggal yang luas tersebut. Dari tempat Reyah berdiri, terlihat tubuh Odo terbaring di atas tumpukan bunga, menutup mata dengan posisi terbujur dan tangan sedekap.
Melangkahkan kaki dan sampai di dekatnya, Reyah berdiri di samping ranjang tempat Odo terbaring itu. Menatap sedih anak laki-laki yang tak kunjung bangun tersebut, air mata Reyah kembali mengalir seakan tak bisa menahan rasa sedih. Itu terasa aneh baginya, meski dirinya memiliki ingatan tentang dunia, tetapi dirinya seharusnya tidak mewarisi perasaan dari para pendahulunya yang menjadi penjaga susunan kehidupan Pohon Sakral. Meski begitu, perasaan sedih yang menusuk dada membuatnya sakit. Berlutut dan membaringkan setengah tubuhnya di samping Odo, Roh Agung tersebut menatap dengan air mata berlinang.
Sebenarnya tanda keberadaan Naga Hitam dalam diri Odo sudah perlahan menghilang dan seharusnya anak tersebut bisa bangun kapan saja. Tetapi, dia masih tertidur, meski masih bernapas, tetapi detak jantungnya sangat lemah dan tanda-tanda kehidupannya bisa pudar dengan cepat. Dengan pakaian kemeja putih dan celana panjang berwarna gelap yang telah direkonstruksi Reyah dengan kekuatannya, anak berambut hitam itu terbaring seperti tidak bernyawa.
Melihat wajah polos anak tersebut, dorongan aneh dari dalam dirinya membuat Roh Agung tersebut mendekatkan wajah pada raut polos anak laki-laki tersebut. Dalam perasaan yang bercampur aduk, dengan gairah menyimpan, Roh Agung tersebut mendekatkan bibirnya ke bibir anak berambut hitam itu. Saat bibir mereka hendak bertemu satu sama lain, Odo tiba-tiba membuka mata dan .... Duak! Anak laki-laki itu menyundul hidung Reyah saat hendak duduk dan membuat Roh Agung itu terdorong, lalu tersandung kakinya sendiri dan terjatuh terkapar di atas lantai kayu.
Odo yang terbangun dengan tatapan kosong perlahan menoleh ke arah sesuatu yang disundulnya. Melihat Reyah yang terkapar di atas lantai, anak tersebut membuka mulut dan hendak berkata, tetapi suara tak bisa keluar karena dirinya tidur cukup lama dan membuat tenggorokkan dan pita suara sedikit kaku. Mengurungkan niat untuk berbicara, anak dengan tatapan lemas dan kosong itu menurunkan kedua kakinya ke lantai dan duduk di pinggir ranjang.
Reyah bangun dengan tergesa-gesa, berdiri dan melihat ke arah Odo dengan wajah tidak percaya. Rasa bahagia seketika menyelimutinya saat melihat anak laki-laki di hadapannya benar-benar telah terbangun. Tanpa berpikir dua kali, Roh Agung tersebut langsung memeluk Odo dan mulai meneteskan air mata dengan haru. Odo tetap diam saat dipeluk, dirinya tidak tahu mengapa, tetapi melihat ekspresi Reyah sebelum memeluknya membuat Odo memutuskan untuk membiarkannya seperti itu untuk sesaat.
"Syukurlah ... hiks ..., Odo .... Syukurlah engkau bangun ...."
Mendengar suara Reyah yang terserak-serak menangis sambil memeluknya, Odo tetap diam tanpa memeluk balik. Sorot mata anak itu masih terlihat kosong dan hampa, penglihatannya masih sedikit buram, dan suara masih belum bisa keluar dengan baik. Menelan air liur yang kering dari mulut, Odo berusaha berbicara.
"Su ... Sudahlah ...." Odo berbicara dengan sedikit serak. Reyah melepaskan pelukan dan memegang kedua sisi bahu anak tersebut, lalu menatapnya. Odo masih belum menatap balik Reyah dan masih terlihat kosong. Dengan kaku, anak berambut hitam itu mengangkat kepalanya, lalu melihat ke arah Reyah yang wajah dengan ekspresi datarnya masih berlinang air mata. Ingin berbicara, tetapi memang suara tak bisa Odo keluarkan.
"Sial ..., kenapa suaraku ...?" pikir Odo. Anak itu menggerakkan bahu kanan untuk menyingkirkan tangan Reyah. Tetapi saat hendak menggerakkan bahu kiri, tangan kirinya tersebut mati rasa dan tidak bergerak. "Pengaruh saat di Alam Jiwa, ya?" benaknya.
Reyah mengangkat tangan dari Odo, mengambil satu langkah mundur dan meletakkan kedua tangannya ke depan dada, dan menatap anak tersebut dengan penuh rasa bahagia yang terlihat jelas pada wajah. Odo yang melihat itu hanya bisa memasang ekspresi datar, Ia benar-benar tidak bisa menggerakkan tubuh dengan baik sampai otot wajahnya tidak bisa mengekspresikan apa yang dirinya rasakan.
"O-Odo ...?" tanya Reyah dengan sedikit cemas melihat ekspresi anak tersebut, rasa takut kalau tubuh anak itu diambil Naga Hitam masih ada.
Odo bangun dengan tubuh lemas. Saat hendak melangkah, tubuhnya yang terlalu lemah ambruk ke arah Rayah. Roh Agung tersebut menahannya dan memeluk anak tersebut dengan tatapan wajah yang terlihat bingung.
"Tubuhmu ...." Sadar kalau anak tersebut masih lemah, Reyah mengangkatnya dan membaringkan tubuh anak itu kembali ke atas ranjang. Odo merasa kesal karena dibaringkan lagi, tetapi wajahnya tidak bisa mengekspresikan hal tersebut.
Reyah segera berlari ke arah keranjang akar yang sebelumnya diletakkan di atas meja, lalu segera meracik obat untuk memulihkan tubuh Odo. Roh Agung tersebut tahu penyebab tubuh anak tersebut bisa sangat lemah, itu adalah salah satu efek dari orang yang pingsan terlalu lama, dengan kata lain ototnya masih kaku dan jaringan tubuhnya belum kembali normal. Atas sadar informasi tersebut, Reyah membuat sebuah teh dari dedaunan herbal yang ada.
Selesai membuat teh racikan, Reyah memasukkannya ke dalam gelas kayu dan menyeduhnya dengan Nectar Pohon Suci yang telah diatur suhunya. Setelah minuman obatnya siap, Reyah segera kembali ke Odo. Membantu anak tersebut kembali duduk, Reyah membantunya meminum teh tersebut dengan perlahan.
"Jangan terburu-buru ...."
Odo meminum satu gelas penuh teh obat tersebut. Suhu tubuh anak tersebut yang dingin mulai kembali normal, sorot matanya tidak lagi kosong, dan otot-ototnya kembali pulih. Setelah melatakan gelas di atas meja dekat ranjang, Reyah berbalik, dan menatap Odo seraya bertanya, "Apa engkau sudah lebih baik?"
"Lu-Lumayan ... Ugkh! Uhkh!" Dahak beberapa kali untuk menyesuaikan tenggorokkan yang serat, Odo menatap ke arah Reyah dengan wajah yang terlihat mulai cerah dan tidak pucat lagi. "Kurasa sudah mending ...," lanjutnya.
"Uhm ..., syukurlah .... Diriku sempat khawatir kalau dirimu permanen seperti itu ...."
"Haha." Odo tertawa kering, lalu mengamati sekitar dan paham kalau dirinya sedang berada di dalam Pohon Suci. "Ngomong-omong, Reyah .... Setelah itu bagaimana?" tanya Odo.
"Setelah itu ...."
Reyah mulai menjelaskan kejadian setelah Naga Hitam berhasil dikalahkan. Pada saat itu, prioritas Reyah adalah menyelamatkan Odo dan membawa anak tersebut ke dalam Pohon Suci untuk memulihkan kondisinya yang paling tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Setelah itu, Reyah menggunakan Mana yang direbut dari Naga Hitam untuk memulihkan hutan yang rusak dan menumbuhkan bagian Pohon Suci yang terkena serangan sang naga. Selain penjelasan tersebut, Reyah hanya berbicara tentang rasa khawatirnya pada Odo dan tidak terlalu penting untuk didengarkan, itu menurut anak berambut hitam itu sendiri. Pada saat mendengar penjelasan Reyah, Odo mendapat fakta mengejutkan bahwa dirinya telah tidak sadarkan diri selama hampir sebulan penuh menurut waktu yang berlangsung di daerah Hutan Pohon Suci.
"Padahal aku hanya mengobrol dengan Seliari, tapi laju waktunya sangat .... Apa karena memang konsep waktunya berbeda atau ... hanya karena aku ngobrol sampai lupa waktu?" pikir Odo
Anak tersebut bangun dari tempat tidur, lalu mulai melakukan pemanasan dengan meloncat-loncat ringan. Setelah memastikan kedua kakinya sudah mulai tidak kaku lagi, Odo berusaha menggerakkan kedua tangan. Tetapi seperti sebelumnya, tangan kiri masih mati rasa dan tidak bisa digerakkan sama sekali.
"Masih lumpuh, ya?"
"Odo ..., apa yang engkau lakukan?" tanya Reyah bingung melihat tingkah Odo. Ia mengusap air mata, lalu memperlihatkan wajah yang terlihat sedikit kacau sehabis menangis.
"Hmm, ini hanya pemanasan kecil. Peregangan ...." Odo kembali meregangkan tubuhnya, dari kedua kaki, lutut, pinggang, tangan kanan, dan leher. Setelah selesai, Odo kembali duduk di atas ranjang. Tanpa membuang-buang waktu, anak berambut hitam itu menatap Reyah dan berkata, "Jadi ..., untuk sekarang kau ingin apa, Reyah? Jujur saja, setelah mendengar kalau aku telah tidur selama hampir sebulan penuh, aku ingin segera membawa Tanduk dan Taring Naga Hitam setelah mendapat Mata Air Pohon Suci darimu."
Perkataan itu memang terdengar sangat tergesa-gesa untuk orang yang baru saja sadar. Reyah ingin memintanya untuk bersabar dan istirahat dulu sampai benar-benar pulih. Tetapi melihat sorot mata tajam anak tersebut, Reyah paham kalau Odo benar-benar sedang tidak ingin membuang-buang waktu.
"Kenapa dirimu sangat terburu-buru, Odo? Bukannya engkau tahu kalau waktu di tempat ini lebih cepat dari dunia nyata?" Reyah menatap dengan cemas, Ia ingin anak tersebut tetap diam di dalam Pohon Suci sampai benar-benar kembali pulih.
"Memang benar katamu. Tapi, sekarang waktu di dunia nyata seharusnya sudah seminggu terlewat .... Asal kau tahu, aku datang ke Dunia Astral ini bukan karena dikirim atau apa, aku datang mengendap-endap tanpa izin kedua orang tuaku .... Jadi ..., secepatnya aku ingin ...."
Reyah paham alasannya. Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan ringan, Roh Agung itu berkata, "Engkau datang ke Dunia Astral ini dengan tujuan sama seperti sang Ahli Pedang, bukan? Untuk mendapat bahan obat yang bisa menyembuhkan kutukan yang diderita sang Penyihir Cahaya ...."
"Ya ..., memang. Aku ingin mencari bahan obat yang bisa menyembuhkan ibuku, oleh karena itulah aku butuh Taring dan Tanduk Naga Hitam beserta Mata Air Pohon Suci milikmu ...."
"Setelah engkau mendapat semua bahan itu ..., memangnya engkau ingin menggunakannya untuk apa? Memangnya ... engkau punya kenalan yang bisa meraciknya menjadi obat yang bisa menghilangkan kutukan Penyihir Cahaya?"
Odo menyipitkan mata setelah mendengar hal tersebut. Memang saat ini dirinya tak tahu harus melakukan apa untuk semua bahan tersebut, dirinya juga tak tahu apa yang akan dilakukan ayahnya setelah mendapatkan bahan-bahan tersebut. Mempertimbangkan hal lain, anak berambut hitam itu berusaha mencerna perkataan Reyah tadi.
"Apa yang ingin kau katakan ....?" tanya Odo.
"Kalau diriku bilang ..., diriku ini bisa membuat obat yang dengan pasti bisa menghilangkan kutukan yang diderita Penyihir Cahaya, apa yang akan engkau lakukan?"
Odo sesaat diam, anak itu sadar kalau Reyah sedang menawarkan sesuatu yang sangat menguntungkan baginya. Secara harfiah, penawaran berarti harus ada timbal baliknya, oleh karena itu Odo merasa curiga padanya.
"Jangan berbelit-belit ..., katakan saja apa tujuanmu memberi tawaran ini?"
Reyah menurunkan tangannya dari depan dada, lalu menarik napas untuk menenangkan diri. Menatap serius ke arah Odo, Roh Agung tersebut menjawab, "Diriku ingin membangun hubungan denganmu ...."
Odo diam dengan wajah bingung, Ia tidak bisa memahami perkataannya. "Membangun hubungan ...? Apa maksudmu?" tanya Odo.
"Diriku ingin membuat Kontrak Roh denganmu, diriku ingin menjadi Roh milikmu."
Odo paham dengan apa yang dikatakan Reyah. Kontrak Roh, sebuah perjanjian yang dilakukan antara Roh dan makhluk dunia nyata. Dengan adanya kontrak tersebut, orang yang memiliki kontrak bisa membawa Roh dari Dunia Astral sebagai pendamping atau pelayannya. Seperti halnya Mavis yang membuat kontrak dengan Vil, isi kontrak bisa disesuaikan antar persetujuan kedua belah pihak pembuat perjanjian. Tetapi dari tawaran Reyah, Odo merasa ada sedikit hal yang tidak masuk akal. Kontrak Roh bukanlah hal ringan yang bisa dilakukan semua orang, semakin tinggi tingkat Roh, maka akan semakin tinggi pula konsumsi Mana untuk bisa mempertahankan Roh di dunia nyata. Dalam kasus Roh Agung, itu perlu melakukan sebuah media khusus seperti kuil atau tempat dengan struktur sihir yang amat rumit untuk bisa mempertahankan keberadaan di dunia nyata. Dengan kata lain, manusia tidak bisa menampung Roh Agung secara langsung dengan tubuh.
"Reyah, kau tahu kalau Roh Agung sepertimu butuh medium besar untuk b⸻"
"Diriku tahu dan paham akal hal tersebut. Mustahil bagi manusia membawa struktur bentuk dari Roh Agung. Para sebangsa diriku ini yang juga membuat kontrak dengan manusia juga hanya membuat kontrak untuk menjaga suatu tempat atau semacamnya, tak ada yang membuat kontrak dengan manusia secara langsung."
"Hah, asal kau tahu, aku tak punya tempat yang bisa menampungmu ...."
"Tidak ..., engkau seharusnya sudah punya itu." Reyah menunjuk lurus ke arah Odo. "Diriku telah membuatnya .... Dalam waktu dekat, seharusnya konstruksinya akan sesuai dan diriku bisa membangun kuil kecil di sana."
"Jangan bilang ..., kau ...."
"Ya, diriku telah memasukkan bagian dari Pohon Suci ke dalammu. Dalam waktu kurang dari satu tahun, seharusnya itu bisa berkembang dan tubuhmu akan setara dengan satu kuil kosong bergerak. Saat itu tiba, diriku akan membangun strukturnya dan diriku ingin engkau membuat kontrak denganku ini ...."
Odo diam dengan tatapan ekspresi datar. Pelaku dari pohon yang tiba-tiba tumbuh di Alam Jiwanya mengaku sendiri tanpa ditekan. Menarik napas dan menenangkan diri, sekilas Odo memalingkan wajah, lalu bangun.
"Akh ..., pohon itu juga membantuku ..., kurasa tidak ada ruginya menerima tawaran dari Reyah ini. Tapi ..., jujur saja kenapa ... dia ...."
"Baiklah, aku setuju," ucap Odo seraya menatap Reyah.
Mendengar itu, wajah Reyah seketika berseri-seri penuh rasa senang. "Benarkah engkau setuju?" tanyanya.
"Ya, tentu saja. Ini menguntungkanku juga, kurasa tidak ada ruginya .... Lagi pula, aku juga ragu ayahku punya kenalan yang bisa membuat obatnya lebih baik darimu."
"Hem, kenapa engkau yakin bicara seperti itu?"
"Kau ... Roh Pohon ini, 'kan? Pengetahuanmu luas ..., wajar kalau aku berpikir seperti itu. Terlebih lagi ..., ramuan yang kau buat tadi itu sudah cukup membuatku percaya ...."
"He~he~ memuji diriku engkau tak akan mendapat apa-apa, loh~"
"Aku tidak memuji, itu kenyataan, bukan?"
"Kalau begitu, diriku ambil dulu bahannya! Akan segera diriku buat obatnya ...."
"Soal kutukannya ...."
"Diriku sudah tahu, Ahli Pedang menjelaskan kondisinya saat Ia meminta Mata Air Pohon Suci padaku!"
Reyah berbalik dan hendak pergi keluar dari Pohon Suci untuk menyiapkan bahan-bahannya. Tetapi saat Reyah hendak melangkah, Odo mengucapkan sesuatu yang membuat Roh Agung tersebut terhenti.
"Kenapa kau terlihat sangat ingin membantuku, Reyah? Apa hubungan kita seakrab ini memangnya?"
Reyah terdiam dan berhenti melangkah. Dengan tatapan sedikit cemas, Ia berbalik ke arah Odo seraya berkata, "Apa yang engkau maksud? Diriku hanya ingin membantu, apa itu salah?" Tatapan ceria Roh Agung berambut hijau itu hilang, berganti dengan wajah yang cemas akan sesuatu.
"Bukan salah atau apa, hanya saja ini terlalu mulus .... Apa yang kau sembunyikan? Kenapa kau baik sekali padaku? Apa itu karena kau adalah Penjaga Pohon Suci ini dan mewarisi ingatan pohon ini dari dulu ...? Atau memang ada sesuatu yang lain? Yah, jujur saja ... aku ingin kau mengatakannya padaku ...."
Menatap Odo, melihat sorot mata biru anak tersebut, Reyah merasa ada suatu hal yang membuat nostalgia akan tatapan lurusnya. Tersenyum ringan dan sedikit memasang wajah bahagia, Ia menjawab, "Ini semua sudah ditakdirkan ...."
Jawaban tersebut membuat Odo diam. Dalam dirinya, kata takdir bukanlah hal yang bisa diterima sebagai jawaban. Menarik napas ringan dan menatap semakin tajam, Odo berkata, "Kau pikir aku tipe orang yang percaya takdir atau semacamnya?"
"Tidak ..., diriku rasa memang engkau bukan tipe orang seperti itu," ucap Reyah.
"Lantas ... kenapa jawabanmu ...."
"Karena itu faktanya .... Ini takdir .... Kita bertemu ..., itu adalah hal yang sudah ditakdirkan dan tidak bisa berubah. Karena itulah ketetapan ...."
Reyah tersenyum melihat wajah bingung Odo. Ia berbalik seraya meletakkan kedua tangan ke belakang pinggang, lalu sedikit menoleh dengan ekspresi senang dan tersenyum bahagia. Odo benar-benar bingung dengannya, meski anak tersebut sadar kalau Reyah memang sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi hal tersebut sangat tidak jelas dan sama sekali tidak bisa ditebaknya.
Reyah mengambil satu langkah ke depan. Pada lantai kayu yang Ia pijak, keluar lingkaran sihir berwarna hijau yang memulai proses perpindahannya ke luar dari Pohon Suci. Di saat partikel cahaya mulai menyelimutinya, Ia menoleh seraya tersenyum senang sampai kedua matanya terpejam. Saat membuka mata dan melihat Odo, Ia terlihat sedikit memasang wajah sedih, dan itu sangat tidak bisa Odo pahami dan menambah rasa penasaran.
"Engkau tak harus memikirkannya dalam-dalam, Odo. Anggap saja engkau ditipu dan jatuh pada perangkapku ini .... Kalau engkau masih tak percaya padaku, diriku ingin engkau tahu kalau memang diriku ini telah menunggu ... di tempat yang dijanjikan ini, pada momen ini .... Diriku punya mimpi seperti semua makhluk berkecerdasan tinggi di dunia, dan mimpi itu hanya bisa dikabulkan olehmu ...."
"Ap⸻"
"Jangan tanya itu apa. Kalau sekarang diriku katakan, mimpi itu takkan pernah terwujud .... Karena itu ..., kumohon ... berikan diriku ini kesempatan untuk ada di sampingmu ..., wahai R⸻"
Sebelum Reyah menyelesaikan perkataannya, tubuhnya diselimuti butiran partikel bercahaya dan menghilang, dipindahkan keluar dari Pohon Suci. Meski tidak dapat mendengar seluruh perkataan Roh Agung tersebut, tetapi Odo dapat mengeri apa yang dikatakannya dari gerak bibir yang sekilas terlihat sebelum Roh Agung tersebut dipindahkan keluar.
"Raja ....? Apa maksudnya?"
Odo tak bisa memahami apa maksudnya itu. Tetapi dari hal tersebut, memang jelas ada sesuatu yang ingin Reyah lakukan padanya. Menarik napas dalam-dalam, anak berambut hitam itu duduk dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang bunga, lalu melihat puncak langit-langit tempat tersebut.
"Haaah, masih banyak yang tidak aku mengerti .... Tapi ..., kurasa semua itu pasti ada alasannya dari reinkarnasi ini .... Kenapa harus aku? Kenapa di dunia ini? Dan juga ..., apa alasan dari semua ini ....?"
Memejamkan mata dan tenggelam dalam pikiran, perlahan Odo mulai mengantuk. Tetapi saat sadar tidak tahu cara keluar dari Pohon Suci, Ia membuka mata dengan panik. "Gawat! Benar juga, cara keluarnya gimana? Kalau begini, harus nunggu Reyah, dong!"