Sesuai agenda yang sudah dipersiapkan dari kemarin, Farani sengaja mampir ke rumah Sita sebelum berangkat kuliah. Kebetulan hari ini dia ada kelas siang, jadi ada beberapa jam sebelum kelas di mulai.
Jam 8 pagi, Sita masih mengenakan pakaian tidurnya ketika Farani datang.
"Kok masih pake piyama? Emang nggak kerja hari ini?" tanya Farani keheranan melihat Sita masih belum siap.
Memeluk Farani, "Gue mau sama lo. Lo bolos kuliah aja, oke?"
Melepas pelukan Sita dan mencubit hidungnya, Farani menatapnya dengan pandangan sinis. "Katanya mau dukung gue sampe lulus, kok sekarang malah pengen ngajakin bolos. Bapak sadar?"
Sita tidak pernah menang berdebat melawan Farani. Untuk mengalihkan perhatian Farani, Sita memeluknya dengan erat. Bahkan sempat mendaratkan beberapa kali ciuman di pipi dan bibir Farani.
"Gue kangen berat sama pacar gue. Apa itu salah?" Sita mencoba mencari sedikit pembenaran.
"Nggak salah sebenernya, tapi harusnya lo bisa lebih konsisten."
Farani lalu mendorong Sita menuju kamar mandi, menyiapkan baju yang akan dikenakan Sita, juga kopi. Tak lupa sarapan sereal kesukaan Sita.
Tak sampai 10 menit, Sita sudah keluar dengan pakaian rapih yang tadi dipilihkan oleh Farani. Dia segera menuju meja untuk melihat apa yang sudah disiapkan oleh Farani.
"Kalo kek gini, rasanya kita kek pengantin baru ya." ucapan Sita tentu membuat Farani tersipu malu.
"Emang cuma pengantin baru doang yang nyiapin sarapan?"
Ini lah yang diimpikan Sita selama ini, terlebih setelah dia menjalin hubungan dengan Farani. Minimal, ada yang menemaninya saat dia ada di rumah. Karena tinggal di rumah sendiri itu sebenarnya tidak enak. Terlalu sepi, dan bahkan tidak ada yang bisa dia mintai tolong.
Sejujurnya, Farani bukanlah gadis yang sempurna, yang bisa melakukan banyak hal dalam urusan rumah tangga. Tapi entah kenapa Sita sangat menginginkannya untuk menjadikan dia istrinya.
"Gue penasara, apa lo pake pelet ke gue?" Sita baru menyadari hal itu.
Dari sekian banyak perempuan yang dia kenal, wajah Farani bisa dibilang biasa saja. Dari segi keterampilan juga Farani biasa saja, bahkan bisa dibilang Farani tidak pintar memasak dan kegiatan rumah tangga lainnya. Tapi kenapa di bisa jatuh hati seperti itu? Apalagi penjelasan yang logis kalau bukan Sita kena pellet Farani?
Farani yang mendengar pertanyaan itu langsung menyernyitkan dahi. Apa maksud dari pertanyaan itu?
"Maksudnya?"
"Gue ngerasa, gue bakal ngelakuin apa aja buat lo."
"Itu mah lo nya aja yang lebay." ucap Farani sambil melanjutkan sarapan.
Mendengar jawaban Farani, Sita merasa ingin langsung menerkam pacarnya saking gemasnya. Bagaimana tidak, biasanya perempuan akan langsung merasa terenyuh saat mendapat kata-kata seperti itu. Tapi kenapa itu tidak mempan untuk Farani?
Terkadang Sita merasa tidak yakin dengan apa yang dia lakukan, termasuk berkencan dengan Farani. Karena terkadang mereka terlihat biasa saja. Bahkan tidak berkirim pesan untuk waktu yang lama pun tak ada yang akan mengomel.
Itu berbeda dengan pasangan kebanyakan. Tapi mereka melakukannya, bahkan beberapa hari juga tidak ada masalah.
Lalu saat pasangan lainnya bermanja ria, Farani tidak seperti itu. Dia lebih suka menjadi perempuan tangguh nan mandiri. Perempuan lain mungkin akan sebaliknya.
Meski begitu, Sita bersyukur mendapat kekasih macam Farani. Dia lebih banyak bertindak daripada hanya membual. Memang tidak ada chat intens diantara mereka, tapi setiap kali ada kesempatan bertemu, mereka akan memanfaatkan waktu untuk menikmati kebersamaan yang berkualitas.
"Hari ini lo ada acara?" tanya Sita saat bersiap untuk berangkat kerja.
Farani menganggukkan kepala, "Iya, abis kuliah trus bikin tugas sama anak-anak. Trus pulang."
"Ayo nonton. Gue juga bisa nemenin lo bkin tugas."
"Nggak, gue nggak mau temen-temen gue nggak konsen karena lo."
"Why?" Sita menyadari ada makna ganda dalam ucapan Farani tadi.
"Gue kelar jam 6, abis itu kita nonton. Gue sampe, tiket udah harus ada. Oke?"
"Deal."
Menggunakan mobil masing-masing, mereka berkendara beriringan. Perpisahan terjadi di perempatan sebelum gerbang kampus Farani.
Di kampus, Farani sudah ditunggui teman-teman cerewetnya. Mereka menantikan penjelasan untuk kejadian kemarin sore. Siapa lelaki tampan yang menunggui Farani dan mendapatkan pelukan dari Farani.
Satu jam sebelum kelas dimulai, Farani diseret menuju ujung kantin. Sasha, Tika dan Amel mengelilinginya dengan wajah penasaran.
"Kalian kenapa?"Farani kebingungan menghadapi kelakuan teman-temannya.
"Kemarin itu siapa?" Tika mengawali pertanyaan.
"Lo selingkuh dari Sita ya?" disusul pertanyaan Sasha.
"Keberuntungan apa yang lo lakuin sampe bisa deket sama banyak cowo ganteng gitu?" Amel juga mendaftarkan pertanyaannya.
Akhirnya Farani mulai memahami penyebab tingkah aneh teman-temannya. Setelah menghela napas beberapa kali, akhirnya Farani menjawab pertanyaan mereka.
"Dia Raffi, anaknya Mama. Gue nggak selingkuh karena Sita juga tau apa yang gue lakuin kemarin. Soal pertanyaan Amel, gue nggak tau jawabannya karena gue nggak ngerasa ngelakuin apa-apa."
Senyuman penuh kepuasan tergambar di wajah Farani.
"Ya ampun, jadi itu anak Mama? Wah, kalo gitu mah gue juga mau jadi calon mantunya." Dengan blak-blakan Sasha mengungkapkan keinginannya.
Lalu ketiga teman Sasha menatap tajam kearahnya.
*
Beruntung jarak antara kampus dan mall tidak terlalu jauh. Cukup berkendara 5 menit dan Farani sampai di parkiran mall. Berlari sekuat tenaga mencapai lantai 4 membuat dia kehabisan napas. Lift menutup pada saat yang tepat ketika dia melangkah masuk.
Sita mengirim pesan bahwa acara nonton mereka akan dimulai pukul 19.15, sedangkan Farani baru selesai mengerjakan tugas tepat pukul 7 malam. Itupun dia akan melewatkan sesi diskusi kelompok lanjutan untuk mematangkan presentasi mereka.
5 menit perjalanan ke mall dari kampus, 5 menit mencari parkiran, dan 5 menit terakhir dia gunakan untuk berlari menuju bioskop.
Sampai di bioskop, Sita sudah menunggu di depan pintu theater 3. Farani tidak bisa menebak bagaimana perasaan Sita, karena dia memasang ekspresi datar.
"I'm sorry, I'm late." Ucap Farani sambil terengah-engah.
Diam saja, Sita lalu berjalan untuk memberikan tiketnya kepada penjaga pintu. Farani menyadari, dia dalam masalah besar kali ini.
Selama film diputar, Sita diam saja. Sesekali memang menawarkan popcorn ataupun minuman ke Farani, tapi itupun dengan nada dan tatapan datar. Dalam hati Farnai mengutuk dirinya sendiri, kenapa dia harus banyak bercanda saat mengerjakan tugasnya tadi.
Dua jam yang terasa mencekam. Hampir seperti menonton film horror. Dan Sita masih saja diam setelah mereka keluar dari theater.
"I'm sorry. Gue telat karena banyakan main ketimbang ngerjain tugasnya." Wajah memelas Farani terpasang. Ini selalu sukses membuat Sita luluh.
Membalikkan badan, Sita hanya memandang Farani selama 5 detik. Setelahnya, dia menggandeng tangan Farani tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ya ampun, mending gue dimarahin sampe berbusa ketimbang didiemin kek gini, batin Farani sambil mengikuti langkah Sita.
Karena perbedaan panjang kaki yang mencolok, beberapa kali Farani hampir terjatuh karena berusaha menyeimbangkan langkahnya. Sita memang menyadarinya, tapi Sita tetap berusaha cuek. Bahkan beberapa kali dia hampir ketahuan menahan tawa melihat pacarnya mengalami kesulitan itu.
Restoran steak kesukaan Farani. Mereka duduk di bangku yang sedikit sepi, di pojokan.
Sita masih diam. Bahkan tidak mengajak bicara Farani saat memilih menu. Biasanya mereka akan berdiskusi tentang menu apa yang akan mereka makan, tapi kali ini sunyi senyap.
"Sita, gue minta maaf. Gue tau gue salah. Lo boleh marahin gue." Dengan putus asanya Farani berkata.
Kali ini Sita memandang wajah Farani sedikit lebih lama. "Gue nggak marah."
Beban yang menggelayuti pundak Farani terangkat setelah mendengar perkataan itu.
"Trus kenapa lo diem aja?" dengan hati-hati Farani bertanya.
"Nggak tau. Gue pikir kalo gue ngomong, gue bakal bikin lo sakit hati."
Bagi Farani, Sita adalah sosok dewasa yang selalu dia idamkan. Mampu mengalah dan menjaga Farani. Tak ada yang bisa Farani lalukan, tetapi dia hanya bisa mengenggam tangan Sita dengan penuh kasih.
mumpung lagi mood nulis.
terima kasih untuk yang selalu menantikan kelanjutan bacaan ini.