Andrea membalikkan badan setelah memastikan gate penerbangannya di layar dan tidak menyadari seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala tepat menabrak dadanya.
Gadis itu mungil sekali, hanya setinggi bahunya, dan karena dorongan tubuh Andrea yang besar ia pun terpelanting jatuh. Andrea kaget sekali dan buru-buru membantunya berdiri.
"Maafkan saya, saya tidak sengaja... Sini saya bantu berdiri."
"Nggak usaaaahh... gue bisa sendiri!!" Gadis itu galak sekali menepis tangan Andrea. Akhirnya Andrea hanya bisa mengangkat bahu dan berlalu. Gadis itu mencoba berdiri tetapi ternyata hak stiletto-nya copot sebelah dan ia jatuh kembali. Ia meringis sambil memijit kaki kanannya yang terkilir, "Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!"
Beberapa orang tampak mencoba membantunya tetapi dengan keras kepala ia mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Andrea berbalik lalu sambil geleng-geleng kepala menggendong gadis itu ke bangku terdekat, lalu mengumpulkan barang-barang yang tercecer dari tasnya dan menyerahkan tas tersebut ke pangkuan gadis itu.
"Coba dicek siapa tahu ada yang hilang. Kamu gate-nya di mana? Biar saya antar ke gerbang boarding."
"Gue baru mendarat dan sedang mencari paspor..." jawab gadis itu ketus. "Paspor gue hilang. Dari tadi gue udah naik turun beberapa lantai untuk nyari..."
Wajahnya mulai terlihat memelas. Gadis itu jelas kelelahan.
"Sudah lapor keamanan atau imigrasi?" tanya Andrea dengan sabar. Gadis itu menggeleng. "Kamu bisa jalan?"
Gadis itu menggeleng lagi, tetapi wajahnya sudah tidak ketus. Andrea melirik jam tangannya. Ia masih punya waktu satu jam sebelum boarding. Ia tahu betapa susahnya kehilangan paspor di dalam bandara karena gadis itu tidak akan bisa keluar tanpa paspornya.
Karena kaki gadis itu terkilir, akhirnya Andrea membantu melepaskan sepatunya yang rusak dan mencantelkannya di ranselnya sendiri. Ia kemudian menggendong gadis itu di punggungnya dan dengan sabar membawanya melintasi terminal untuk mencari petugas keamanan.
"Kalau kamu baru mendarat, kenapa ada di terminal keberangkatan? Sudah dicari di daerah kedatangan?"
"Sudah... tadi gue sempat naik ke atas beli kopi dulu sebelum keluar, tapi ternyata waktu mau keluar imigrasi, paspor gue ilang. Mungkin ketinggalan di coffee shop atau jatuh... Dari tadi dicari tidak ketemu juga..." jawab gadis itu memelas, sikap ketusnya sudah hilang sama sekali.
"OK, aku bawa kamu cari petugas keamanan bandara ya."
Setelah separuh jalan melintasi terminal tiba-tiba gadis itu berseru kecil, "Bagasi gue!! Pasti sudah sampai dari tadi."
"Tapi kan bagasi baru bisa diambil kalau sudah lewat imigrasi?"
"Gue penumpang prioritas, semua bagasi penumpang bisnis dan first class langsung diambil di lounge maskapai. I need to make sure bagasi gue aman. Please take me there..."
Akhirnya Andrea membawa gadis itu ke arah ruang tunggu lounge maskapai untuk mengurusi bagasinya. Sepanjang jalan mereka menjadi perhatian orang-orang, karena Andrea menggendong seorang gadis dewasa di punggungnya sambil membawa sepasang stiletto di ranselnya dan tas tangan Prada.
"Ini bagasinya, Mbak Ludwina." kata petugas saat menyerahkan dua koper gadis itu di lounge maskapai. "Mbak perlu diambilkan kursi roda?"
Andrea yang bisa membayangkan betapa susahnya ia mendorong dua koper dan kursi roda berisi Ludwina, segera menggeleng. Ia hanya menarik sebuah troli dan menumpuk kedua koper itu di atasnya. Kemudian ia mengangkat gadis itu dan mendudukkannya di bagian paling atas.
"Ehh.. apa-apaan kamu ini? Aku bukan koper tauk!" protes Ludwina ketika tubuhnya diangkat dan diletakkan di atas troli bersama koper-kopernya.
"Maaf ya, Tuan Putri. Saya nggak bisa mendorong troli sambil gendong kamu kayak tadi. Kalau kamu mau urusan paspornya segera beres, kita harus bergerak cepat. Setengah jam lagi pesawat saya boarding," kata Andrea dengan sabar.
Dengan muka cemberut Ludwina akhirnya mengangguk. Andrea mendorong troli berisi koper-koper dan Ludwina ke arah kantor Avsec terdekat. Mereka lalu melaporkan tentang paspornya yang hilang.
Proses BAP berjalan hampir setengah jam dan berkali-kali Andrea melihat jamnya dengan resah. Pesawatnya sudah hampir boarding. Setelah selesai dari Avsec mereka diminta pergi ke kantor imigrasi.
Dalam perjalanan ke kantor imigrasi, Andrea mendengar namanya dipanggil lewat loudspeaker karena pesawat ke Singapura sudah mau berangkat dan ia satu-satunya penumpang yang belum naik. Dengan mendesah panjang ia kembali mendorong troli itu.
Herannya, wajah Ludwina tampak sama sekali tidak cemas seperti tipikal orang yang kehilangan paspor. Setahu Andrea, kelalaian menghilangkan dokumen negara bisa dikenai denda besar dan bahkan tidak boleh memiliki paspor selama dua tahun, tetapi gadis ini tampak santai saja.
Malah secara mencurigakan ia terlihat menikmati perjalanan didorong dengan troli seperti bocah di supermarket.
Seorang lelaki berseragam yang melihat kedatangan mereka tampak tersenyum menyambut dari pintu kantor imigrasi.
"Oom... pasporku hilang di bandara barusan. Aku nggak bisa keluar. Bisa minta surat jalan, nggak?" tanya Ludwina dengan suara yang hampir terdengar manja. Andrea hampir tak percaya pendengarannya sendiri.
"Itu siapa?" tanyanya.
"Itu kepala bandara sini," bisik Ludwina. "Teman ayahku."
Pria itu menggeleng-geleng dan mengacak-acak rambut Ludwina dengan gemas, "Seharusnya kamu bawa asisten kalau bepergian, biar ada yang menyimpankan paspormu. Supaya barang-barangmu nggak berhilangan terus."
"Iya, Oom... Maaf. Tadinya aku mau langsung ke sini, tapi aku kecelakaan dan kakiku terkilir, jadi dibantu ke sini oleh..." Ludwina menoleh kepada Andrea, "siapa namamu?"
"Andrea," jawab Andrea masih keheranan.
"Iya, aku ke sini dibantu Andrea. Orangnya baik banget ya, sampai aku diurusin begini." Ia menoleh ke belakang dengan pandangan penuh kagum ke arah Andrea yang mendorong trolinya.
"Sini masuk, biar Oom bikinin surat jalan."
"Tadi kami juga sudah BAP di Avsec, Oom."
"Lah, buat apa ke Avsec dulu? Kan bisa langsung ke sini?" Kepala Bandara kemudian melihat Ludwina dengan pandangan curiga, lalu tersenyum sendiri. Ia tahu akal bulus gadis nakal itu, karena sudah mengenalnya sejak remaja. Ludwina pasti sengaja berlama-lama dengan mengambil bagasi dan ke Avsec sebelum mendatangi kepala bandara karena ia ingin berlama-lama dibantu pemuda jangkung berwajah tampan ini. "Sebentar ya... Oom cari dulu dokumennya."
Hingga 15 menit, dokumen yang dibutuhkan tidak juga ketemu, akhirnya kepala bandara meminta sekretarisnya ke kantor imigrasi di terminal sebelah untuk mengambil beberapa dokumen agar surat jalan untuk Ludwina bisa dikeluarkan.
Mereka terpaksa harus menunggu setengah jam. Teh dan kue-kue disajikan sambil mereka menunggu, dan kepala bandara asyik mengobrol dengan Ludwina tentang perjalanannya.
"Aku baru pulang dari Hong Kong, Oom. Ayah membuka hotel baru di Kowloon, jadi aku mau sekalian coba menginap di sana dan mencari inspirasi menulis. Oom punya koran kompas hari sabtu kemarin nggak?"
"Ada. Kenapa?"
"Artikel perjalananku ke Italia sudah terbit...ahahaha... aku senang banget. Susah lho menulisnya."
Andrea mengambil koran Kompas yang dimaksud dari tumpukan koran di atas meja lalu membuka-buka halamannya sambil mendengarkan obrolan kedua orang itu. Ia menemukan artikel yang dimaksud Ludwina, ia lalu membacanya.
"Ini dokumen yang bapak minta," kata sekretaris yang baru datang dengan setumpuk dokumen. Kepala bandara akhirnya segera mengambil satu formulir dan mengisi beberapa data dan memberi cap, lalu menyerahkannya kepada Ludwina.
"OK, sudah beres, kalian serahkan saja surat ini di pintu keluar." katanya sambil mengedip kepada Ludwina. Andrea mengernyitkan kening. Ia curiga jangan-jangan seharusnya proses meminta surat jalan ini bisa selesai dari tadi. Untuk apa kepala bandara sepertinya sengaja melama-lamakan?
"Terima kasih, Oom. Nanti aku sampaikan salamnya ke ayah."
"Baik. Oh, ya, Andrea... tolong antar Ludwina pulang sampai ke rumah, ya. Dengan kaki terkilir begitu dia tidak bisa pulang sendiri. Jadi laki-laki harus bertanggung jawab," ujar Kepala Bandara saat melepas mereka. Andrea mengangguk.
Toh pesawatnya sudah berangkat. Mungkin ia nanti masih sempat membeli tiket malam hari dan tetap bisa datang ke wawancaranya besok. Ia mendorong troli berisi koper-koper dan Ludwina keluar terminal dan segera mengambil taksi.
"Aku hanya naik Golden Bird," kata Ludwina cepat. Ia sudah tidak ber gue-elu lagi. "Aku yang bayar, tenang saja."
"OK." jawab Andrea. Supir menaruh koper-koper di bagasi dan Andrea membantu menggendong Ludwina masuk ke dalam taksi Golden Bird.
"Menteng ya, Pak. Jalan Teuku Umar."
"Baik, Non."
Gadis ini pasti kaya sekali, pikir Andrea. Ia tahu daerah Menteng adalah daerah paling elit di Jakarta dan berisi orang-orang kaya lama. Mengingat hubungan dekatnya dengan kepala bandara barusan, dan sekarang naik Golden Bird, ia pasti anak orang kaya. Andrea mendesah. Ia ingat keluarga Adelina juga dulu tinggal di Menteng sebelum pindah ke London.
Taksi berhenti di sebuah rumah megah bak istana, mungkin salah satu rumah paling mewah di kawasan perumahan elit tersebut.
Supir menurunkan koper-koper yang segera diambil oleh tukang kebun dan dimasukkan ke dalam. Ludwina mengulurkan tangannya memberi tanda agar Andrea menggendongnya turun.
Saat itulah Andrea baru memperhatikan wajah gadis manja itu baik-baik. Wajahnya kekanakan dan matanya besar bersinar-sinar. Kulitnya semulus salju dan ada bintik-bintik coklat di sekitar hidung dan pipinya yang membuatnya tampak imut sekali. Rambutnya lurus dan sangat lebat membingkai wajah cantiknya dengan sempurna.
Usianya mungkin masih 18 tahun. Kenapa orangtuanya membiarkannya bepergian sendirian ke luar negeri?
"Anak kecil seperti kamu kenapa dibiarkan pergi sendirian, sih?" tanya Andrea keheranan. Tapi diangkatnya juga Ludwina dari mobil dan digendong masuk ke rumah, melintasi taman asri yang sangat luas.
"Siapa yang anak kecil? Aku sudah 24 tauk! Aku baru lulus dari Columbia University dengan gelar terhormat," tukas Ludwina.
Oh, OK. Ternyata anak ini sudah lulus kuliah, tapi penampilan dan kelakuannya masih seperti kanak-kanak, pikir Andrea. Seorang perempuan cantik setengah baya keluar dari dalam dan cepat menghampiri mereka dengan wajah kuatir.
"Ya aampuuunn, Wina... ada apa? Kenapa kamu digendong begini? Kamu sakit?"
"Tadi aku tubrukan sama dia dan kakiku terkilir, mungkin retak...huhuhu..." Ludwina mulai meneteskan air mata buaya.
"Waduh...kalau begitu langsung ke Rumah Sakit saja ya, biar Johann yang periksa," kata ibunya dengan cemas.
Keduanya menoleh pada Andrea yang tidak punya pilihan selain mengangguk. Mobil Alphard dikeluarkan dan Andrea membawa Ludwina masuk ke dalam. Ia terpaksa menemani gadis itu ke rumah sakit. Ibunya duduk di sebelah supir dan dengan cepat mobil itu melaju ke RSCM.
Lagi-lagi Andrea menggendong Ludwina turun dari mobil ke rumah sakit karena kursi roda sedang habis. Mereka segera menemui dokter di poli tulang. Kaki Ludwina segera dirontgen dan mereka konsultasi dengan dokter sambil menunggu hasilnya.
"Kalau kakinya nggak retak dan nggak perlu digips, bisa penyembuhan sendiri di rumah." kata dokter muda di depan mereka.
"Tapi pasti perlu physiotherapy kan, Dok, biar bisa berfungsi normal dengan cepat?" tanya Ludwina buru-buru. Matanya menatap dokter Indra cukup lama hingga membuatnya tidak nyaman. Dokter Indra menoleh ke arah Andrea dan seketika mengerti maksud Ludwina.
Ia berdeham, "Yah, tergantung. Kalau mau cepat sembuh, memang harus physiotherapy."
Hasil rontgen pun tiba dan tidak ditemukan patah atau retak, yang membuat Andrea cukup lega. Ia tak bisa membayangkan bila Ludwina sampai mengalami patah kaki karena dirinya. Keluarganya yang kaya pasti tidak akan membiarkannya begitu saja.
Ia mendesah saat melihat jam. Sudah pukul 8 malam, ia tak mungkin bisa terbang ke Singapura malam ini dan menghadiri wawancara kerja besok.
Mereka lalu pulang kembali ke rumah Ludwina di Menteng. Karena sudah malam, seisi keluarga sudah berkumpul ketika mereka tiba. Ayah Ludwina adalah seorang lelaki separuh baya berwajah sabar dan kakaknya ternyata seorang dokter yang masih mengenakan jas dokternya saat baru tiba di rumah.
"Eh, sudah waktunya makan malam. Nak Andrea ikut makan di sini, ya. Terima kasih banyak sudah menolong dan mengurusi Ludwina kami seharian ini. Kami sangat berterima kasih..." kata ibu Ludwina saat Andrea meletakkan Ludwina di sofa. Ia tampak bingung, ia tidak menduga keluarga Ludwina akan begini ramah kepadanya.
"Iya, ikut makan di sini saja. Kita juga harus membicarakan jadwal fisioterapi untuk kakiku," tukas Ludwina. Johann tampak keheranan mendengarnya.
"Kakimu kan cuma terkilir? Buat apa fisioterapi?"
"Pssshh.. Dokter Indra sendiri yang bilang aku perlu fisioterapi. Kau tahu apa? Kau kan bukan spesialis tulang!" sergah Ludwina.
Andrea hanya bisa tersenyum simpul mendengar keributan mereka. Ia tahu niat Ludwina dan ia merasa tersanjung karena gadis itu sepertinya menyukainya dan sedari tadi berusaha mencari cara untuk membuat Andrea tinggal.
Keluarganya pun tampak sangat menyenangkan. Melihat dari rumahnya, keluarga ini pasti kaya sekali, tetapi sikap mereka sangat membumi dan ramah. Andrea merasa tersentuh.
Flashback ke masa lalu dan melihat kisah cinta ini dari sudut pandang Andrea, saya jadi sedikit terhibur. Kita bisa lihat manisnya awal pertemuan mereka dan saat-saat mereka jatuh cinta, lalu nanti menikah, dan pindah ke Singapura.
Eh, btw, beda banget ya, perlakuan keluarga Adelina dan keluarga Ludwina. Walaupun kaya banget, keluarga Ludwina memperlakukan Andrea dengan sangat baik. Ini salah satu alasan Andrea jatuh cinta sama Ludwina.
xx