Télécharger l’application
69.54% TIKAM SAMURAI / Chapter 185: Saya tahu, ransel Anda tidak tertinggal.

Chapitre 185: Saya tahu, ransel Anda tidak tertinggal.

Si Bungsu yang baru saja tiba di Kota Da Nang ini akhirnya melangkah mengikuti gadis itu.

SEBENARNYA, apa asal muasal makanya dia terlibat dalam kasus di bar itu? Kenapa tadi dia sampai diusir? Si Bungsu masuk ke bar tersebut karena bar itulah yang terdekat saat dia turun dari taksi, yang membawanya dari lapangan udara. Dia ingin mencari penginapan.

Namun rasa haus membuat dia memasuki bar pertama yang nampak oleh matanya di pusat Kota Da Nang ini. Setelah duduk, seorang pelayan, nampaknya gadis asal Vietnam, mendekatinya. Gadis itu bicara padanya. Dia tak mengerti bahasa yang diucapkan gadis cantik tersebut. Tapi dari nada ucapannya dan telunjuknya yang mengarah ke pintu, dia mengerti bahwa gadis pelayan itu menyuruhnya keluar.

"Saya hanya minta Cola Cola…." ujarnya perlahan.

Ucapan dalam bahasa Inggeris yang baik itu sudah untuk kali ketiga dia ucapkan. Pelayan itu akhirnya bosan, mungkin juga muak dan marah. Dia berjalan ke arah bar, bicara dengan seorang gadis yang sejak tadi asyik mencatat-catat sesuatu di mejanya.

Gadis itu, nampaknya pemilik bar, menoleh ke arah lelaki yang tak mau disuruh keluar itu. Dia menyelipkan ballpoin di tangan kirinya ke daun telinga kanan. Kemudian bersiul. Siulan pendek yang keluar dari sela bibirnya yang merah, menyebabkan dua lelaki kekar yang sedang membersihkan meja meninggalkan pekerjaan mereka. Lalu melangkah mengikuti si bos ke meja si lelaki yang masih saja duduk dan menatap ke manusia yang lalu-lalang di jalan, di luar restoran.

Vietnam saat itu masih berada dalam suasana mabuk kemenangan. Tak satu negara pun di dunia yang percaya Amerika yang memiliki ribuan pesawat tempur super moderen dan senjata tercanggih di dunia, akan mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Vietnam Utara yang hanya bermodal nekat. Tapi, beberapa bulan yang lalu ketidak percayaan itu menjadi kenyataan. Amerika harus menelan kekalahan teramat pahit dan amat memalukan. Kabur dari negeri itu setelah puluhan ribu tentaranya terbunuh. Belasan ribu lainnya dinyatakan hilang tak tahu rimbanya.

Kekalahan yang benar-benar tak terbayangkan akan terjadi dalam sejarah negara super kuat itu. Vietnam yang sebelumnya satu negara, kemudian terpecah menjadi dua. Utara yang berada di bawah pengaruh Cina komunis dan Selatan yang berada di bawah perlindungan Amerika. Kini, setelah Amerika berhasil diusir, dua Vietnam itu kembali menjadi satu negara berdaulat di bawah kekuasaan Partai Komunis.

Lelaki yang disuruh keluar dari bar itu baru sadar, kalau sebuah tim yang "siap tempur" sudah mengepungnya, yaitu tatkala si pemilik restoran berdiri persis di hadapannya. Menghalangi tatapan matanya yang sejak tadi memandang ke luar.

Dia tak tahu bahwa gadis yang tegak di depannya itu adalah pemilik bar. Dia menyangka gadis itu hanya pelayan yang lain. Bedanya pelayan ini cantiknya melebihi kecantikan rata-rata gadis yang pernah dia temui di lobi hotel maupun di jalan-jalan Kota Da Nang yang penuh sesak oleh manusia. Mata si gadis tak begitu sipit, sebagaimana jamaknya mata gadis-gadis asli Vietnam. Matanya juga tidak hitam sebagaimana mata orang Asia, melainkan kebiru-biruan. Dengan mata seperti itu, ditambah hidung mancung, sekali lihat orang dengan mudah mengetahui bahwa dia lahir dari sebuah perkawinan campuran.

Mungkin gadis ini blasteran Perancis. Hal itu kentara dari tubuhnya yang mungil dan bahasanya yang rada sengau. Negeri ini dahulu memang menjadi jajahan Perancis. Wajar saja kalau kemudian di negeri ini banyak lahir anak-anak blasteran Perancis.

Melihat gadis itu tegak di depannya, si lelaki kembali berkata dengan sopan.

"Boleh saya pesan Coca Cola dengan es….?"

"Tuan sudah diminta untuk keluar dari restoran ini…." ujar gadis itu dengan suara datar, dalam bahasa Inggeris dengan aksen Perancis tapi berlogat bahasa Vietnam dari rumpun An Nam Tinggi.

Si lelaki merasa heran bercampur terkejut. Dia ingin bertanya, namun tatapan si gadis membuat dia menoleh ke belakangnya. Dua lelaki kekar, keduanya punya wajah yang mirip dengan gadis yang di depannya, kelihatan tegak hanya beberapa jari dari tengkuknya. Menatap ke arahnya dengan tatapan setajam pisau cukur.

"Bar ini hanya melayani orang Vietnam, tidak melayani orang asing…." ujar si gadis dengan suara datar.

Lelaki asing itu terdiam mendengar suara yang demikian dingin dan tak bersahabat. Untuk sesaat dia masih duduk berdiam diri.

"Tuan keluar baik-baik atau…."

Lelaki itu memutus kalimat si pemilik restoran dengan mengangkat tangan kanannya.

"Maaf saya salah masuk…." ujarnya sambil berdiri dan melangkah ke pintu, lalu meninggalkan tempat yang tak bersahabat itu.

Hanya belasan detik setelah dia meninggalkan kursinya, enam serdadu Vietkong, dua di antaranya berpangkat perwira, masuk dengan suara gaduh. Mereka nampaknya mencari minuman, kendati sebahagian sudah sempoyongan karena mabuk.

"Ha… kita senang bisa minum lagi di restoran Madam… mmmm… siapa namanya? Mm… Amigo… mm.. Amiflo rence… oh ya Ami… Ami…!" ujar salah seorang perwira sambil menarik kursi.

Jelas ucapan sindiran. Nampaknya orang-orang utara yang kini menguasai seluruh tanah Vietnam amat mencurigai, sekaligus membenci segala sesuatu yang berbau Eropah. Gadis pemilik bar ini, yang dia sebut bernama Amigo, amat 'berbau' Eropah. Baik bahasa apalagi wajahnya. Kedua lelaki bertubuh kekar yang tadi berdiri di belakang si lelaki asing yang keluar itu, buru-buru menarikkan kursi untuk keenam tentara tersebut. Akan halnya gadis pemilik bar yang baru disindir dengan sebutan madam, amigo dan amiflorence oleh si perwira, untuk sesaat memerah mukanya. Namun demi keselamatan dia harus bisa menyesuaikan situasi. Dia tersenyum dan berjalan ke bar.

"Kemari…! Kemari… Madam. Biarkan orang lain yang mengambilkan minuman untuk kami. Madam harus duduk di sini bersama kami, kecuali madam merasa tak sederajat dengan kami…."

Gadis itu berhenti melangkah. Kemudian memberi isyarat kepada dua gadis asli Vietnam yang bertugas sebagai pelayan, agar menyediakan minuman.

"Tuan mau minum apa….?"tanya Ami.

"Duduklah disini.."ujar perwira yang sudah merah mukanya karena kebanyakan minum itu, sambil menepuk pahanya. Menunjukan dimana gadis itu harus duduk.

Karena dimeja itu, semua kursi sudah terisi oleh keenam tentara itu, Ami menarik kursi dari meja disampingnya. Namun niatnya itu tidak kesampaian, sebelum tangannya sempat menyampai sandaran kursi, pinggangnya tiba-tiba sudah diraih oleh si perwira. Kemudian sekali sentak pinggul sintal gadis itu sudah terhenyak di pangkuan si perwira. Selain karena dipengaruhi alkohol, rasa amat berkuasa karena baru saja menang perang, apalagi sudah lama tidak 'mencicipi' gadis asing. Membuat si perwira ingin melampiaskan hasratnya.

Tentang kemolekan dan kemontokan si gadis pemilik bar, seorang indo-prancis yang cantik dan bertubuh amat menggiurkan, sudah beredar dari mulut-kemulut para tentara yang bertugas di Kota Da Nang ini. Ketika si gadis menolak untuk dicium, dengan kesombongan seorang penguasa dan pemenang perang, perwira itu merobek blus gadis tersebut. Urutan selanjutnya adalah kemunculan si Bungsu yang kembali untuk mengambil ransel yang berisi pakaian, yang tertinggal waktu dia diusir tadi.

Kini, setelah bar itu tutup, si Bungsu di ajak gadis pemilik bar itu kelantai atas bar tersebut. Sebuah ruangan yang menjadi tempat tinggal si gadis bersama dengan kedua abangnya.

Ruangan tamu dilantai atas itu sungguh mewah. Lantainya beralaskan permadani mahal. Ada tape deck, televisi serta Video serta sofa yang amat empuk, semua buatan Amerika. Ruangan sejuk oleh AC.

Tak lama dia duduk sendiri, gadis itu muncul dari kamarnya. Dia sudah mengganti pakaiannya yang compang-camping tadi. Kemudian duduk di sofa persis di depan si Bungsu. Pelipisnya yang sobek di sambar peluru sudah diperban.

"Saya buatkan minuman..?"tanya gadis itu, setelah menatap si Bungsu beberapa saat.

"Anda punya Coca Cola…?"gadis itu mengangguk.

"Dengan es.."tambah si Bungsu perlahan.

Gadis itu berdiri dan berjalan ke bar kecil di sudut ruangan itu. Tak lama dia datang membawa dua gelas Coca Cola, dengan potongan-potongan kecil es didalamnya. Lalu sepi.

Gadis itu kemudian mengulurkan tangan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian menyambut uluran tangan itu.

"Nama saya Ami Florence. Ibu saya orang Vietnam, dan Ayah saya seorang Insinyur dari Perancis. Keduanya sudah lama meninggal dunia…"ujar gadis itu memperkenalkan diri.

"Nama saya Bungsu…"

"Anda dari Philipina atau Malaysia?"

"Indonesia…"

"Ooo…Indonesia.."

Sepi beberapa saat.

"Saya benar-benar mohon maaf, karena mengusir anda tadi. Dan... saya tidak tahu harus bagaimana mengatakan terima kasih atas bantuan yang anda berikan…"Ujar gadis itu, perlahan sambil menatap tepat-tepat pada si Bungsu.

Si Bungsu menghirup minuman di gelasnya.

"Belum tentu saya membantu. Sebab masalah yang akan Anda hadapi lebih besar lagi. Semua tentara pasti dikerahkan untuk mencari keenam tentara yang sudah jadi mayat itu. Lambat atau cepat pasti ketahui kalau keenam tentara itu terakhir berada di bar ini, dan penyelidikan pasti sampai kesini…"

"Tanpa bantuan anda, apapun akibatnya pilihan hanya satu bagi kami, ternista seumur hidup. Diperkosa dihadapan Abang saya dan karyawan sendiri. Abang saya sudah mencoba menghentikan perbuatan opsir itu dan abang saya harus membayar dengan nyawa... Betapapun jua apa yang anda lakukan adalah salah satu hal terbaik yang menyelamatkan nyawa saya, yang takkan pernah saya bisa membalasnya…"

Sepi kembali menggantung diantara mereka berdua. Si Bungsu sudah berniat pamitan, ketika gadis itu kembali membuka pembicaraan.

"Anda nampaknya, baru sampai di Kota Da Nang ini.."si Bungsu tak segera menjawab.

Dia kembali mengangkat gelasnya, mengirup Coca Colanya, kemudian dia mengangguk.

"Agak aneh juga. Sementara semua orang-orang asing diseluruh Vietnam Selatan sudah angkat kaki. Anda justru datang kenegeri yang sedang dilanda teror ini.."

Mereka bertatapan. Abang Ami Florence tiba-tiba muncul diruang atas bar tersebut.

"Ada dua tentara menggedor pintu. Mereka menanyakan kemana enam teman mereka yang masuk ke bar ini. Saya katakan sudah pergi, bar tutup justru keenamnya pergi. Karena kita sedang mempersiapkan hari raya Thanh Minh, kita akan membersihkan kuburan orang tua sore ini…"

"Lalu mereka pergi setelah penjelasan abang..?"

"Ya…"

"Mereka tidak menaruh curiga..?"

"Nampaknya belum.." Abang gadis itu menatap pada si Bungsu.

Menghampirinya, mengulurkan tangan.

"Saya Le Duan, abang Ami. Terimakasih atas bantuan Anda. Kami berhutang budi dan berhutang nyawa pada anda…"

Si Bungsu menyambut salam itu. Menyebutkan pula namanya. Kemudian Le Duan kembali turun, karena mengatur banyak hal lagi diruang bawah.

"Apa yang saya katakan tadi, bahwa kalian akan dapat banyak masalah besar, sekarang sudah mulai nampak.."ujar si Bungsu perlahan.

"Apapun resikonya, kami sudah harus siap menghadapi. Peristiwa siang tadi bukan yang pertama saya alami. Dalam minggu ini saja sudah tiga kali. Dua orang pelayan sudah berhenti, karena diperkosa. Yang seorang di perkosa justru diruangan bar, dihadapan beberapa tentara yang lain…"tutur Ami.

"Apa ada kaitannya dengan ras..?"

"Tepatnya ada kebencian yang mendalam terhadap segala yang berbau barat. Apalagi keturunan seperti kami…"ujar Ami memotong ucapan si Bungsu. Kemudian melanjutkan.

"Vietnam sudah ratusan tahun berada dibawah telapak kaki penjajahan Perancis. Ketika merdeka terbelah dua, antara utara yang dikuasai komunis, dengan yang diselatan yang pro pada barat. Ketika akhirnya barat kalah dalam hal ini Amerika Serikat, maka dendam yang ratusan tahun itu ingin di balaskan seketika. Kami sebenarnya sudah diingatkan, agar ikut dievakuasi ke Amerika. Sebab, setelah rezim selatan yang ditopang Amerika kalah, bar saya ini memang tempat minum-minum tentara Amerika. Tentu saja kami dicap antek Imperialis.."

Si Bungsu menghirup Coca Cola digelasnya.

"Ingin tambah?"

"Terimakasih. Terimakasih juga untuk minuman gratis anda. Sudah saatnya saya pergi. Saya mohon diri, saya harus mencari penginapan.."ujar si Bungsu sambil meraih ranselnya.

"Anda bisa menginap disini.."ujar gadis itu cepat.

"Apakah bar ini juga berfungsi sebagai penginapan?"ujar si Bungsu sambil memperhatikan ruangan diatas bar itu.

"Tidak. Ini rumah pribadi. Namun saya sangat berterimakasih dan mendapat kehormatan jika anda mau menginap disini. Abang saya memiliki kamar dibawah. Di lantai atas ini ada tiga kamar tidur. Sebuah kamar saya, dua lagi kamar bargirl, para pelayan bar. Dahulu jumlahnya empat orang. Namun kini hanya tinggal dua orang. Kamar yang satu bisa Anda…"ucapannya terputus, karena si Bungsu sudah melangkah pergi.

"Terimakasih jamuan minumnya, Nona…"

"Tidurlah disini, please.."Mereka bertatapan sama-sama terpaku dalam diam.

"Nona, Anda belum mengenal saya. Anda sudah melihat di bawah tadi. Betapa saya memiliki keahlian yang nyaris tak tertandingi dalam membunuh orang. Dengan mudah Anda dan saudara lelaki Anda bisa saya habisi dan harta kalian saya rampok…."

"Anda takkan kembali ke bar setelah saya usir, jika Anda benar-benar tidak ingin menolong saya…."

Si Bungsu menatap gadis itu.

"Maksudmu….?"

"Saya tahu, ransel Anda tidak tertinggal. Tetapi Anda tinggalkan dengan sengaja. Agar Anda mempunyai alasan untuk kembali…."

Si Bungsu terdiam

"Saya sarjana psikologi, dan saya mata-mata Amerika. Saya sudah terlatih untuk mengetahui mana yang wajar dan mana yang tidak…."


Load failed, please RETRY

État de l’alimentation hebdomadaire

Rank -- Classement Power Stone
Stone -- Power stone

Chapitres de déverrouillage par lots

Table des matières

Options d'affichage

Arrière-plan

Police

Taille

Commentaires sur les chapitres

Écrire un avis État de lecture: C185
Échec de la publication. Veuillez réessayer
  • Qualité de l’écriture
  • Stabilité des mises à jour
  • Développement de l’histoire
  • Conception des personnages
  • Contexte du monde

Le score total 0.0

Avis posté avec succès ! Lire plus d’avis
Votez avec Power Stone
Rank NO.-- Classement de puissance
Stone -- Pierre de Pouvoir
signaler du contenu inapproprié
Astuce d’erreur

Signaler un abus

Commentaires de paragraphe

Connectez-vous