Seolah untuk menyesuaikan dengan raungan mahluk itu, aku berteriak dan menerima serangannya dengan perisaiku.
Itu sama sekali nggak sakit.
"Gaah?!"
Bayangan hitam itu menertawai aku, mencemooh aku, tapi sekarang dia mengerutkan mulutnya dalam kebingungan dan terkejut.
Lucu sekali.
"Mati!"
Aku menangkap tangannya dan melemparkan dia dengan segala kekuatan yang bisa ku kerahkan.
Bayangan hitam itu mengeluarkan jeritan terkejut saat dia terlempar ke udara.
"Gaooooh!"
Tapi bukannya menyadari bahwa dia harus berpikir dulu sebelum menyerangku lagi, dia mengangkat kakinya dan berlari kearahku.
Aku bertanya-tanya.... apa aku masih nggak bisa menyerang siapapun? Meski dengan perisai ini?
Aku nggak bisa.
Mahluk itu berputar dan menyerangku dengan ayunan ekornya.
"Itu nggak akan berhasil!"
Ekornya terpantul seraya menghasilkan suara dentuman dari hantaman ekor itu dan perisaiku, serangannya nggak akan bekerja padaku.
"Sia-sia saja!"
Aku nggak punya cara untuk mengalahkan monster.
Atau begitulah yang kupikirkan. Tiba-tiba angin puyuh kobaran api hitam yang besar berputar-putar dengan aku di pusatnya. Api itu membakar ekor dan tangan mahluk itu.
"GAOOOOH?!"
Bayangan itu terjatuh di tanah karena terkejut.
"Heh.... Kalau serangannya sekitar ini, aku penasaran apakah aku bisa menyerang balik."
Bayangan itu menjauh dariku, tiba-tiba terintimidasi.
"Ha! Sekarang kau meminta ampun?! Jangan harap kau akan ku ampuni!"
Aku meneriakkan nama dari skill baruku.
"Iron Maiden!"
Tapi skill itu nggak aktif. Malahan, pohon skill muncul didepan mataku.
Shield Prison: Change Shield (serangan): Iron Maiden
Apaan ini? Ada persyaratan pada penggunaannya?
Sungguh menjengkelkan. Kalau memang begitu, aku akan membiarkan bayangan itu menyerangku dan mencoba untuk mengaktifkan serangan balik.
"Kau tunggu saja... Aku pasti akan membunuhmu!"
Saat aku mendekat, bayangan itu bersikap seolah dia takut pada kemarahanku, niat membunuh yang kumiliki. Dia mengayunkan tangannya secara membabi buta.
Tangannya mengenai perisaiku dan tiba-tiba terbakar.
Dagingnya terbakar, dan tulangnya meleleh.
Kobaran apinya nggak cukup kuat. Aku ingin melenyapkan mahluk itu sepenuhnya.
"!"
Aku paham! Shield of Rage lebih kuat bergantung pada seberapa marahnya aku. Semakin gilanya yang kurasakan, semakin kuat serangannya.
Yah, itu mudah bagiku.
Yang perlu kulakukan adalah berpikir tentang apa yang telah MEREKA perbuat padaku.
Myne Sufia... Kurasa nama aslinya adalah Malty.
Cuma berpikir tentang namanya saja membuatku dipenuhi kemarahan.
Selanjutnya si Sampah... Lalu Motoyasu, Ren, Itsuki...
Aku berpikir tentang semua yang telah mereka lakukan padaku, satu per satu ingatan tentang semuanya.....
Aku membenci mereka.... Aku ingin membunuh mereka....
Perisai berwarna merah darah beraksi pada kebencianku dan berubah menjadi hitam.
"Kali ini aku betul-betul akan membunuh mereka... Mereka semua..."
Aku menangkap tangan bayangan itu dan mengubah semua kebencianku menjadi bara-bara api yang menyala.
Bara-bara api itu terbang keluar dari perisaiku dan sepenuhnya melahap bayangan itu.
Lalu aku merasakan sesuatu, di tangan kananku, sesuatu yang hangat. Kebencianku yang mendalam mulai meleleh.
*jedug...*
Itu adalah.... kebaikan....
"Meskipun seluruh dunia menentangmu, aku nggak akan menentangmu. Aku akan mengatakannya lagi dan lagi: Tuan Naofumi nggak melakukannya."
Apa?
Pada suara itu, dunia yang diselimuti kegelapan dihadapanku mulai goyah.
Di suatu tempat di dalam hatiku, aku tau bahwa menyerahkan diriku pada kemarahan akan menghasilkan kehilangan sesuatu yang bahkan lebih penting.
Aku ingin mengabaikannya.... namun...
"Tolong, percayalah padaku. Aku percaya pada Tuan Naofumi. Dia nggak melakukan tindak kejahatan apapun. Dia memberiku obat dan menyelamatkan hidupku. Dia mengajari aku bagaimana bertarung, bagaimana untuk bertahan hidup. Dia adalah Pahlawan Perisai yang hebat. Aku adalah pedangmu. Nggak peduli seberapa keras jalannya, aku akan menjalaninya bersamamu."
Suara itu berbisik padaku.
Aku gak boleh membiarkan diriku ditelan oleh kebencian. Aku masih punya sesuatu yang harus kulindungi. Kemarahanmu melemah...
Aku gak boleh melupakannya. Tapi... Tapibaki ingin menyerahkan diriku pada orang-orang yang mempercayai aku. Apa kau akan menolakku?
Aku gak suka diperintah. Aku memilih jalanku sendiri! Aku selalu memperhatikan. Memperhatikan kelemahanmu.
Suara gelap itu menghilang, dan cahaya kembali ke dunia ini.
"Uhuk! Uhuk!"
Aku kembali tersadar. Raphtalia ada disampingku, batuk-batuk parah, dan memegang tanganku.
"Apa kamu baik-baik aja?"
"Ya... Ya, aku... baik-baik saja. Uhuk!"
Dia mengalami luka bakar cukup parah. Tapi nggak ada musuh disini yang menggunakan api.
Mungkinkah itu.... Tidak!
Efek khusus dari Shield of Rage, Self Curse, pasti telah melukai dia juga!
"Raphtalia! Kenapa kamu memegang tanganku?!"
"Kupikir bahwa kamu... bahwa kamu akan menghilang kalau aku... kalau aku nggak melakukannya.... Uhuk!"
Raphtalia tersenyum, lalu pingsan di tanah.
Ini salahku... salahku yang membuat Raphtalia terluka!
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan pahamilah, sembuhkan dia! First Heal!"
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan pahamilah, sembuhkan dia! First Heal!"
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan pahamilah, sembuhkan dia! First Heal!"
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan pahamilah, sembuhkan dia! First Heal!"
Aku terus merapal mantra sampai aku kehabisan MP.
Raphtalia... Raphtalia adalah satu-satunya orang yang mempercayai aku. Dia sangat penting buatku!
Luka bakarnya sangat parah. Sihirku yang berlevel rendah nggak cukup untuk menyembuhkannya. Aku berlari ke kereta untuk mengambil salep penyembuh.
"Gaooooooooh!"
Aku berbalik dan melihat naga itu ada disana, meraung dan mengayunkan tangannya yang terbakar kearahku dan bersiap melepaskan semburan beracunnya.
"Enyahlah dari hadapanku!"
Aku mengangkat tanganku untuk menangkap serangan Zombie Dragon itu. Saat aku melakukannya, perisaiku mulai bersinar dengan cahaya hitam dan hampir mengaktifkan skill Self Curse Burning.
"Hentikan!"
Perisaiku menjadi tenang karena teriakanku.
Kalau apinya meledak, api itu akan membunuh Raphtalia. Itu nggak akan bagus. Tapi dengan seberapa lemahnya keadaan Raphtalia, aku nggak tau apakah dia bisa selamat dari sembutan nafas beracun.
Seolah perisaiku mengetahui apa yang kupikirkan, perisai itu mengaktifkan Self Curse Burning, tapi cuma membakar gas beracun itu saja. Api itu nggak cukup kuat untuk membunuh naga itu.
Apa ini?
Perisai ini terus-menerus menyerap kebencian dan kemarahanku, membakarnya. Aku bisa bertahan dari sepenuhnya ditelan oleh kemarahan dan kebencian itu cuma dengan upaya yang besar. Berapa lama lagi sampai aku tertelan boleh kebencian itu?
Tapi sekarang ini, aku harus ke kereta dan mengambil obat untuk Raphtalia.
Aku harus melindungi Raphtalia dengan kehendak yang cukup kuat untuk terus mengesampingkan kemarahanku.
"Gah?!"
Kami saling bertukar serangan dan kemudian, dipertengahan pertempuran, naga itu mengeluarkan suara yang mengerikan karena kebingungan dan rasa sakit.
"A...Apa...."
Apa yang terjadi? Apa ini artinya bahwa Self Curse Burning memangsa naga itu?
"Gaoooooooooooh!!!!"
Akhirnya, Zombie Dragon itu berhenti bergerak dan kembali ke wujud kerangkanya.
Tapi ini bukan waktunya untuk diam saja dan mengamati pertempuran.
Para Poison Fly sudah nggak ada lagi. Naga yang mengamuk itu pasti telah menakuti mereka.
Aku menggendong Raphtalia dan berlari kearah kereta, mengambil salep penyembuh dan mengoleskannya pada luka bakarnya. Lalu aku memberi dia penawar racun.
"Oh.... Tuan Naofumi...."
Nafasnya semakin teratur, dan dia membuka matanya dan tersenyum.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Ya... berkat obatmu..."
Lukanya masih kelihatan parah. Lukanya sendiri tampak mengecil dan disembuhkan oleh obat itu, tapi masih ada bekas-bekas hitam yang tersisa, mungkin karena black magic yang digunakan perisai. Yang jelas, luka bakarnya masih kelihatan cukup buruk.
"Jangan... kuatirkan aku... urus saja naganya."
"Naga itu sudah nggak bergerak lagi."
"Oh... kalau begitu... cepatlah singkirkan kerangkanya."
"Oke."
Matanya mendesak dan ngotot. Matanya mengatakan: aku harus melakukan sesuatu.
"Apa kamu nggak apa-apa berada disini sekarang ini?"
"Aku bisa melindungi diriku sendiri kalau memang perlu."
"Baguslah kalau begitu."
Aku turun dari kereta dan berjalan kearah bangkai naga itu.
Aku harus memotong-motongnya dan membiarkan perisaiku menyerap semuanya.
Dan Filo... Setidaknya aku ingin menyatukan tubuhnya dan melakukan penguburan yang tepat untuk dia.
Aku mendekati bangkai itu dan bisa melihat bahwa organ-organnya masih berdenyut dan menggeliat.
Apa yang terjadi? Mungkin ada cara buatku untuk melawannya.
Shield of Rage.
Perisai berbahaya ini yang mengancam untuk memangsa hatiku juga kebetulan memiliki tingkat pertahanan yang fantastis dan sebuah serangan balik yang kuat.
Hatiku nggak bisa menahannya, jadi aku harus mengubah perisaiku kembali menjadi Chimera Viper Shield. Tapi aku siap mengubahnya setiap saat... kalau memang diperlukan.
Organ dalam yang menggeliat bergerak lalu berhenti. Lalu berguncang dengan kekuatan yang kupikir perut itu akan robek... lalu... Lalu aku bisa melihat....
"Huff!"
Itu adalah... seekor burung yang kukenali. Dia berlumuran dengan cairan busuk dari naga itu.
"Huff! Akhirnya aku bisa keluar!"
Filo kayaknya sedang dalam suasana hati yang bagus, dan baik-baik saja, meskipun sedang merangkak keluar dari perut mahluk yang menelan dia.
"Filo?! Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka?!"
"Aku baik-baik saja!"
"Terus... Terus darah apa yang mengalir saat naga itu mengigitmu?"
"Darah? Oh itu, saat naga itu menggigitku, dia menekan perutku, dan aku memuntahkannya."
Apa yang dia makan? Oh ya, semua tomat itu! Itu pasti kelihatan seperti darah.
Benar juga... Dia memakan buah itu secara terus menerus.
"Jangan menakutiku seperti itu! Kupikir kau mati!"
"Dengan serangan kayak gitu? Serangan itu nggak sakit sama sekali!"
Burung ini adalah seekor monster. Kurasa dia betul-betul seekor "monster".
Duh... Dia betul-betul membuatku ketakutan.
"Master, apa kau kuatir padaku?"
"Terserahlah."
"Master! Kau tersipu!"
"Mau kuberi sanjungan pada upacara pemakamanmu?"
"Enggak! Tapi aku senang! Tidaklah kau mulai berpikir tentang membeli penggantiku!"
Benar... Yah, dia baik-baik saja.
Filo tersenyum, yang mana membuatku jengkel. Lebih baik dia mengingat semua ini.
"Btw, apa yang terjadi?"
"Yah, naga itu menelanku, dan kemudian saat aku berada didalam peruinyai, aku berjalan-jalan dan menemukan kristal ungu yang berkilauan dan aneh ini."
Mungkinkah bangkai naga itu dibangkitkan oleh kristal ungu ini?
Filo merobek bankai itu. Di dadanya.... Mungkinkah itu jantungnya?
Tapi kenapa?
Karena itu adalah seekor naga? Meskipun sudah mati, mungkinkah sisa-sisa kekuatan magis naga itu berkumpul di jantungnya dan mengkristal?
"Jadi ada apa dengan kristal itu?"
"Ugh! Glup!"
Kurasa itulah jawabannya... dia sudah menelannya. Perutnya kelihatan seperti bersinar juga.
Astaga... Aku bisa memukul dia.
"Masih ada sedikit sisanya. Apa Master mau cemilan?"
Dia mengulurkan sayap kecilnya, dan ada pecahan kristal ungu ditanganya (sayapnya??). Apa-apaan itu?
Aku memecahnya menjadi dua dan membiarkan perisaiku menyerapnya.
Sudah kuduga.... Pohon perisaiku masih kurang maju untuk membuka sesuatu.
"Raphtalia sakit, jadi kau dan aku akan membersihkan naga ini."
"Oke!"
Beneran deh... Burung ini lama-lama akan membuatku gila.
Baguslah kalau aku berpikir aku nggak membiarkan diriku ditelan oleh amarah.
Aku mengubah perisaiku menjadi Curse Shield untuk membalas dendam Filo, tapi aku hampir sepenuhnya ditelan oleh kebencian.
Kalau Raphtalia nggak menghentikan aku, aku akan membakar naga itu sepenuhnya... dan membakar Filo juga.
Amarah... Perisai itu adalah kutukan.
Itu akan membawaku ke akhir dari perisai itu sendiri.
Kalau aku membiarkan perisai itu menguasai aku, aku akan membunuh para pahlawan yang lain saat aku selesai menghabisi naga itu.
"Lezat!"
"Filo! Daging itu busuk, jangan dimakan!"
"Daging yang baru mulai membusuk adalah yang terbaik, Master!"
"Apanya yang "baru mulai", itu sudah betul-betul membusuk!"
Kami melanjutkan pembersihan dengan setengah hati dan main-main. Nggak lama kemudian, naga itu habis gak tersisa.
Aku menyerap apapun yang bisa diserap, tapi pohon perisai milikku masih belum mumpuni untuk membuka sesuatu.
Meski begitu, tulang dan kulitnya kelihatan seperti material yang berguna, jadi aku mengambil sebagian dan menaruhnya di kereta.
***
"Ya, itu adalah sebuah kutukan."
Kamu kembali ke desa dan bergegas menuju dokter untuk melihat apakah kami bisa mendapatkan perawatan untuk Raphtalia.
"Ini juga sangat kuat. Pegunungan naga itu dikuasai oleh kutukan sekuat itu?"
"Yah... Sebenarnya... tidak...."
Aku nggak yakin apakah aku harus jujur tentang apa yang terjadi. Aku bingung.
"Ya, secara nggak sengaja daging naga itu mengenai aku, dan daging itu membakarku seperti ini..."
Raphtalia berbicara dan menatap mataku seolah untuk mengatakan bahwa itu adalah rahasia kita.
"Bisakah kau melakukan sesuatu untuk dia? Kami akan membayar apapun yang kau butuhkan."
Raphtalia adalah seorang cewek. Dia nggak boleh menjalani kehidupan dengan dipenuhi bekas luka yang hitam dan mengerikan ini.
"Yah, ada satu hal...."
Dokter itu masuk ke ruangannya dan kembali sambil membawa sebuah botol yang berisikan cairan bening.
"Ini sangat kuat... meski aku tidak tau apakah ini bisa menyembuhkan dia."
"Apa itu?"
"Air suci. Kutukan lebih baik dihilangkan dengan air suci..."
"Oh...."
Shield of Rage gak cuma melukai korbannya, itu juga akan memberi kutukan pada lukanya sehingga luka itu nggak akan sembuh.
Itu terdengar semakin dan semakin berbahaya. Perisai itu disertai dengan sebuah serangan balik yang nggak membedakan antara kawan atau lawan.
Dan aku melihat pohon perisainya, dan pohon itu nggak berkembang sama sekali.
Itu cuma sebentar, tapi sekarang aku tau bahwa aku nggak boleh membuka perisai itu.
"Kita akan membasahi perbannha dengan air suci sekarang..."
Dia membasahi perbannya, lalu perban yang basah itu dililitkan pada luka Raphtalia.
"Aku nggak bisa bilang dengan pasti apakah ini akan bekerja... Kalau kau bisa, kau harus pergi ke kota besar dan membeli air suci yang dibuat oleh gereja."
"Berapa banyak yang kami butuhkan untuk menyembuhkan dia?"
"Sejujurnya... kutukannya sangat kuat. Aku nggak tau apakah kau bisa menyembuhkannya... Bagaimana bisa naga itu melakukannya...?"
Akulah yang melakukannya... Itu adalah salahku. Tapi sepertinya kutukan itu cukup kuat sampai-sampai orang-orang percaya bahwa kutukan itu dilakukan oleh seekor naga.
"Ok... Berapa banyak obat yang sudah kau buat?"
"Aku baru membuatnya sedikit. Beloved Saint, tolong bantu orang-orang yang sakit."
"Tentu."
Aku mempercayakan Raphtalia pada dokter itu dan pergi ke bangunan yang dipenuhi dengan orang sakit.
Kau bisa bilang bahwa obat itu dibuat oleh seorang profesional.
Obat itu betul-betul menyembuhkan penyakit yang gak bisa kutangani menggunakan obatku sendiri.
Aku memperhatikan para pasien yang ada disana, tertidur pulas dan merasa lega.
Aku ingin kekuatan... Aku ingin menjadi cukup kuat hingga aku nggak perlu bergantung pada perisai itu.
Aku ingin bisa menyembuhkan orang-orang, bukan mengutuk mereka! Itu adalah karena kelemahanku.
Itulah akar dari semuanya. Aku benci kelemahanku.
Filo selamat. Dia baik-baik saja. Tapi ada saat-saat ketika dia nggak baik-baik saja, saat dia membutuhan aku. Saat dia menghilang dari depan mataku, aku sepenuhnya lepas kendali.
Aku membiarkan pikiran itu tetap ada di benakku. Ini bukanlah game.
Jika seseorang mati, mereka nggak akan kembali hidup. Aku mendapati diriku menatap kuburan yang ada dibelakang bangunan.
Mereka menghianati aku... menipuku! Ada alasan yang lebih bagiku untuk... untuk melindungi orang-orang yang mempercayai aku.
Aku kembali ke tempat dokter itu dan menemukan Raphtalia duduk disana, berbalut perban. Aku meminta maaf.
"Aku minta maaf."
"Nggak apa-apa."
"Tap aku...."
"Aku lebih takut kamu pergi... pergi ke suatu tempat yang jauh dariku."
"Apa?"
"Kekuatan itu, ingin membawamu ke suatu tempat yang jauh. Itulah yang kurasakan. Jadi kalau aku bisa menghentikan kamu, untuk menahanmu disini, maka luka-luka ini adalah harga yang murah."
Dia tersenyum, dan aku merasakan sebersit emosi yang tajam.
Aku harus melindungi dia. HARUS. Aku bertekad untuk nggak akan pernah kalah pada perisai itu.
Dan kemudian... Aku menyadari bahwa lari dari kelemahan... Bahwa lari dari kelemahan adalah kelemahan itu sendiri.
"Raphtalia... Kamu masuk kedalam pertempuran untuk mencegah ini, kan?"
"Apa?"
"Saat kita melawan naga itu, aku memerintahkan kamu untuk mundur. Tapi kalau kamu mundur, kamu nggak bisa melindungi aku."
Aku salah. Cuma melindungi... cuma lari... nggak akan cukup.
Yang bisa kulakukan adalah melindungi.
Tapi... Tapi saat aku melindungi mereka, aku harus memastikan musuh dikalahkan... sehingga aku nggak akan kehilangan teman-temanku.
Semua ini... semua ini menyakitkan karena aku harus lari dari kelemahan.
"Kamu salah! Aku... Aku berlari kedepanmu, untuk memuaskan diriku sendiri."
Raphtalia dengan tegas menolak teoriku.
"Keberanian dan kecerobohan bukankah hal yang sama. Aku ceroboh, dan kamu terus berusaha mengekang aku untuk melindungi aku... Tapi aku... Tapi aku..."
Bahkan tanpa berpikir tentang hal itu, aku mengulurkan tanganku dan menyentuh pipinya. Air mata mengalir di jariku.
"Sama seperti keberanian dan kecerobohan yang merupakan hal yang berbeda, begitu pula dengan waspada dan pengecut. Kamu bukan pengecut. Nggak seorangpun bisa melindungi seorang pengecut."
Jadi aku ingin memimpin penyerangan. Aku ingin berdiri didepan agar aku bisa melindungi Filo dan Raphtalia.
Saat di pegunungan, kalau aku berada didepan, aku bisa mengeluarkan Air Strike Shield, dan Filo bisa menggunakannya sebagai pijakan. Lalu naga itu nggak akan menelan dia.
Aku takut kehilangan dia.
"Jadi jangan kuatirkan itu. Lihatlah seberapa banyak pengalaman yang kita dapatkan, dan kita nggak kehilangan siapapun. Kita bisa menggunakan apa yang telah kita pelajari dimasa depan. Kita lebih kuat hari ini maka esok juga demikan."
Mata Raphtalia dipenuhi air mata, dan dia mengangguk.
"Ya... Jangan maju terlalu jauh... Jangan pula mundur terlalu jauh... Itu adalah suatu keseimbangan yang sulit."
"Memang, tapi kurasa kita bisa melakukannya. Ingat saja bahwa Pahlawan Perisai, aku, berdiri di barisan depan. Melindungi dirimu sendiri, dan jika kamu mendapati dirimu cukup luang, lindungi yang lainnya. Itu mudah."
"Saat kamu memikirkannya seperti itu, itu terdengar mudah."
"Itu akan mudah."
"Apa mbakyu baik-baik saja?"
Filo menjulurkan kepalanya kedalam ruangan, dan melihat kearah Raphtalia dengan gugup.
"Aku baik-baik saja."
Ini akan jadi hari istirahat untuk Raphtalia. Filo dan aku pergi keluar.
"Master!"
"Apa?"
"Aku biasanya berpikir bahwa aku berharap aku bisa tetap menjadi seorang manusia selamanya.... karena kamu dan dia begitu dekat."
Dia dalam wujud manusia, dan tersenyum.
"Tapi aku nggak bisa. Itu menyenangkan untuk menarik kereta, dan aku cuma menipu diriku sendiri karena aku ingin kamu menyukai aku. Bahkan jika aku berpura-pura menyukaimu, aku nggak bisa melakukannya!"
"....."
"Tapi, Master! Aku adalah Filo yang sama, nggak peduli apapun wujudku."
"Itu benar."
Aku terkejut saat dia berubah menjadi manusia, tapi aku nggak merasa aku memperlakukan dia secara berbeda. Meski begitu, aku memperlakukan dia seperti anak kecil.
"Aku ya aku, Master ya Master, dan mbakyu ya mbakyu, kan? Kamu nggak bisa menjadi siapapun juga selain dirimu sendiri, dan aku... aku nggak bisa menjadi manusia sejati. Tapi meski demikian, nggak seorangpun yang bisa menggantikan aku, bukankah begitu?"
Itu kan alasan dia berubah menjadi manusia?
Aku mengangguk dalam menanggapi rentetan pertanyaannya.
"Tapi, apa kamu tau? Aku menyukaimu, Master! Aku menyukaimu sebesar Mbakyu menyukaimu! Aku akan menjadi Filo yang terbaik yang aku bisa!"
"Itu... bagus."
Siapa yang menyangka Filo akan menceramahi aku mengenai hal ini?
Melindungi semua orang seharusnya adalah tugasku, tapi aku menyadari, dengan takjub, bahwa aku nggak marah karena mendapati tugasku dicuri dariku. Aku bertanya-tanya kenapa bisa begitu?
"Apa kau tau? Demi Master dan Mbakyu, aku akan melakukan apapun yang aku bisa! Aku akan berusaha keras, yup!"
"Baguslah. Gimanapun juga melindungimu adalah tugasku."
"Yup!"
* * * * *
Kami menghabiskan hari dengan bersantai di kereta.
Esok harinya kami bekerja keras untuk berusaha menghapus penyakit itu.
Dokter menanyai aku apakah aku bisa melakukan sesuatu, dan aku mulai membuat obat. Kami menyelesaikannya lebih cepat daripada yang kami duga. Aku berpikir bahwa dia bisa mengajariku sesuatu tentang obat dan penyembuhan, tapi aku kurang pengetahuan, dan aku nggak mau mengganggu.
"Terimakasih banyak, Beloved Saint!"
Seorang cewek muda dari rumah sakit melambaikan tangan padaku dan bilang terimakasih.
Apa aku... melindungi mereka?
Aku bertekad untuk tidak lari. Kalau aku lari, aku nggak bisa melindungi orang-orang yang harus kulindungi, dan aku cuma menyelamatkan nyawaku sendiri—tapi hal itu membuatnya menjadi kehidupan yang nggak layak.
Aku nggak lagi sendirian.
Aku adalah orangtua bagi Raphtalia dan Filo sekarang, dan aku harus melakukan apapun yang aku bisa untuk membuat dunia yang lebih baik untuk mereka, untuk membuatnya menjadi sebuah tempat dimana orang-orang bisa menjalani kehidupan dalam kebahagiaan.
"Tuan Naofumi?"
"Master!"
"Huh? Ada apa?"
Aku sedang berjalan-jalan di desa saat Raphtalia dan Filo memanggilku.
"Kamu terlihat betul-betul... kuatir?"
"Ya!"
"Jangan kuatir tentang itu."
"Tapi Master! Kau itu orang yang kuatiran! Tentu saja kami kuatir."
"Kuatiran?"
"Ya. Belakangan ini kamu selalu mengatakan pada kami 'apa kamu baik-baik saja?'"
"Dia benar. Tapi kamu nggak perlu kuatir lagi."
"Tapi aku...."
"Jangan perlakukan kami seperti anak kecil lagi. Kami bisa mengurus masalah kami sendiri."
"Ya!"
"Aku tau kami peduli pada kami... tapi disaat yang sama, kami juga peduli padamu, Tuan Naofumi. Kita akan baik-baik saja jika kita bersama."
"Ya!"
"Kamu benar."
Raphtalia sudah tumbuh. Dia punya pemikiran sendiri dan perasaan sendiri, sepertnya kedewasaannya telah menyusul penampilannya. Aku nggak bisa memperlakukan dia seperti anak kecil lagi.
Kurasa kami sekarang adalah sebuah tim.
Mengkhawatirkan semuanya sendirian nggak akan bagus untuk semua orang. Aku nggak bisa membawa kedamaian pada dunia ini sendirian. Satu kali menghadapi gelombang kehancuran membuat hal itu terlihat jelas, dan itu lebih jelas lagi buatku, sang Pahlawan Perisai, yang bahkan nggak bisa menyerang sendiri.
Kalau kita ingin dunia yang damai, kita harus bersama-sama.
"Baiklah. Ayo lakukan.... bersama-sama."
"Oh! Master tersenyum!"
"Dia benar. Dan itu bukanlah senyum palsu yang aneh juga. Itu adalah senyum yang sebenarnya."
Mereka berdua tersenyum balik padaku.
Heh... Apa begitu? Apa aku nggak pernah senyum?
Terserahlah.
Aku tersenyum sekarang.
Karena aku punya teman yang bisa kuandalkan.
***
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK