Kami selesai makan, meninggalkan restoran, dan berjalan ke padang rumput.
Raphtalia sedang dalam suasana hati yang bagus, dan dia menyenandungkan sebuah lagu saat kami berjalan. Tapi setelah kami meninggalkan kota dan sampai di padang rumput, dia kelihatan ketakutan, dan mulai gemetaran.
Dia pasti takut pada monster.
"Jangan takut. Aku akan melindungimu dari para monster itu."
Dia terlihat kebingunan lagi.
"Lihatlah. Mereka ini sudah menggigitku sejak tadi. Nggak sakit sama sekali."
Aku membuka jubahku untuk menunjukkan semua balloon yang menggigitku pada Raphtalia. Dia melompat kebelakang karena terkejut.
"Itu tidak... sakit?"
"Sama sekali nggak sakit."
"Sungguh..."
"Ayo pergi."
"Baik.... Uhuk!"
Dia batuk terus, tapi mungkin itu nggak apa-apa.
Mengambil rumput-rumput herbal disepanjang perjalanan, kami menuju ke arah hutan.
Ada satu!
Tidak... Ada tiga. Tiga Red Balloon. Mereka ada di semak-semak di pinggir hutan. Aku mengatakan pada Raphtalia untuk berhati dan menarik perhatian para balloon itu. Segera setelahnya, mereka menggigitku.
"Sama seperti sebelumnya! Tikam saja mereka dari belakang."
"...Baik!"
Raphtalia menyerbu kedepan dan menikamkan pisaunya pada balloon itu.
Bang! Bang! Bang!
Diakhir pertarungan, Raphtalia menjadi level 2.
Red Small Shield: persyaratan terpenuhi
kemampuan belum terbuka
Bonus equip: defense +4
Aku segera mengubah perisaiku menjadi bentuk terbaru. Raphtalia kagum oleh prosesnya.
"Bagaimana caranya.... Siapa kamu sebenarnya, Master?"
Apa dia nggak tau aku adalah sang Pahlawan Perisai? Yah, dia adalah seorang demi-human sekaligus budak.
"Aku adalah seorang pahlawan. Pahlawan Perisai."
"Pahlawan? Maksudmu seperti salah satu dari empat Benda Suci?"
"Kau tau tentang itu?"
Dia mengangguk.
Itu benar. Aku adalah pahlawan yang dipanggil. Tapi aku adalah pahlawan paling lemag!"
Aku menggigit jariku saat mengatakan itu. Hanya dengan berpikir tentang yang lainnya membuatku dipenuhi dengan niat membunuh.
Menyadari kemarahanku, Raphtalia tiba-tiba marah, jadi aku memutuskan untuk nggak melanjutkan ceritaku lebih lanjut lagi.
"Pokoknya, rencana untuk hari ini adalah untuk mengalahkan monster-monster yang ada dihutan ini. Aku akan menahan mereka, kau menikam mereka."
"B...Baik."
Mungkin dia semakin terbiasa denganku. Dia menjawab lebih cepat daripada biasanya.
Kami terus berjalan di hutan, dan setiap kali kami bertemu musuh, aku menarik perhatian musuh, memegangnya, dan Raphtalia akan menusuknya dari belakang.
Nggak lama kemudian, kami bertemu sesuatu selain para Balloon.
Loomush.
Warnanya putih, sesuatu seperti sebuah jamur, dan melompat-lompat. Monster itu memiliki mata sipit dan setengah tertutup, serta tingginya sekitar tinggi orang.
Aku mencoba memukulnya, tapi upaya itu sama persis dengan para balloon yang memggigitku.
Aku menyuruh Raphtalia membunuhnya.
Setelah itu kami bertemu Bluemush dan Greenmush.
perisai jamurMush Shield: persyaratan terpenuhi
Blue Mush Shield: persyaratan terpenuhi
Green Mush Shield: persyaratan terpenuhi
Mush Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: pengenalan tumbuhan +1
Blue Mush Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resep sederhana +1
Green Mush Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: keterampilan peracikan
Nggak satupun yang punya peningkatan statistik. Semuanya kayaknya merupakan kemampuan baru.
Peracikan... Itu akan berguna setelah aku menggunakan simpanan obat-obatanku.
Setelah seharian berburu, Raphtalia jadi berlevel 3, dan aku naik ke level 5.
Malam datang, dan kami meninggalkan hutan dan menuju tepi sungai.
"Uhuk..."
Raphtalia dia saja, nggak mengeluh sedikitpun, dan bersamaku sepanjang waktu.
Kami menghabiskan beberapa waktu berfokus untuk mengumpulkan yang.
Kami sampai di sungai. Aku membuka tasku, mengeluarkan beberapa kayu bakar, dan menyerahkannya pada Raphtalia. Dia menumpuk kayu tersebut dan menyalakan api.
"Mandilah. Kalau kau kedinginan, kau bisa menghangatkan diri di dekat api."
"....Baik."
Raphtalia melepaskan pakaiannya dan melompat ke air m aku mulai memancing dan mencari makanan untuk makan malam kami. Aku berusaha mengawasi dia saat aku memancing. Tapi nggak ada balloon di area ini, dan semuanya tampak aman.
Aku mulai mengumpulkan barang jarahan yang kami dapatkan hari ini.
Kami punya banyak herbal obat dan banyak tanaman yang nggak bisa kau temukan di padang rumput.
Kami punya beberapa kulit balloon, dan cukup banyak jamut juga.
Dan aku membuka empat jenis perisai.
Ya, perburuan jadi jauh lebih efesien bersama dia. Membeli seorang budak adalah hal yang bagus.
Aku harus mencoba meracik.
Aku membawa sebuah resep mudah.
Aku menemukan satu resep yang bisa dibuat menggunakan herbal yang kumiliki.
Adapun untuk bahan-bahannya... Aku harusnya bisa memanfaatkan batu dari sungai. aku bisa menggiling bahannya menggunakan batu. Untuk resep itu aku membutuhkan cobek dan penumbuknya.
Pasti ada caranya untuk membuatnya lebih mudah. Tapi caranya nggak dicantumkan dalam resep itu.
Aku berpikir tentang apa yang dijual di toko obat. Si ahli obat-obatan mengerjakan sesuatu yang tampak seperti bisa dibuat dari material yang kumiliki, jadi aku menirukan apapun yang bisa kuingat.
Obat Pemulihan telah dibuat
Kualitas Obat Pemulihan: buruk sampai menengah
Efektif ketika segera dioleskan pada permukaan luka.
Informasinya langsung muncul didepan mataku.
Kurasa itu adalah sebuah keberhasilan.
Perisaiaku menanggapi tapi nggak menyerap obat tersebut.
Kupikir itu sebuah ide yang bagus untuk mencoba beberapa kombinasi yang lain, beberapa hal yang gak kumiliki resepnya. Aku mencoba menggabungkan berbagai hal, dan kebanyakan upayaku berakhir dengan kegagalan, jadi tumpukan sampah berwarna hitam.
Itu mengingatkan aku pada sebuah game online. Meskipun pemikiran itu segera diikuti oleh ingatan para pahlawan yang lain. Aku jadi merasa jengkel.
Aku bisa mendengar suara derak kayu dalam api. Raphtalia sudah keluar dari air dan menghangatkan diri di dekat api.
"Sudah hangat?"
"Iya. Uhuk...."
Dia pasti mengalami suatu jenis flu. Si penjual budak mengatakan bahwa Raphtalia sakit. Yang mana itu mengingatkan aku... bukankah aku barusaja membuat obat? Aku nggak mau dia sekarat sebelum aku mengembalikan uang yang aku gunakan untuk membeli dia. Mungkin bukanlah tindakan yang cerdas untuk memberikan beberapa sumber daya punyaku yang langka, tapi aku betul-betul nggak punya pilihan.
Obat Normal
Kualitas: menengah
Efektif pada flu ringan
"Ambil ini."
Aku nggak tau apakah flu yang dia derita itu "ringan", tapi cuma ini yang aku punya.
"....Tapi itu sakit, jadi... ugh..."
Si pendiam ini, dia mencoba mengatakan sesuatu yang egois. Dia meraih dadanya kesakitan.
"Lihat?"
"Y...Ya, baik."
"Bagus."
Aku mengusap kepalanya, dan dia nggak mencoba menghentikan aku.
Telinga rakunnya begitu lembut. Aku menatap ekornya, dan keningnya mengerut, seolah mengatakan, "Apa yang kau lihat?" Ekornya mulai bergerak-gerak karena jengkel.
"Baiklah, waktunya makan malam."
Aku menusuk ikan pada sebuah tingkat, memanggangnya, dan menyerahkan pada Raphtalia. Aku mencicipinya, tapi nggak ada rasanya. Itu seperti tahu keras yang hancur tanpa ada rasa sama sekali.
Aku terkejut dengan seberapa menjijikkannya penampilan ikan saat kau nggak bisa merasakannya. Terserahlah. Itu mungkin kasar, tapi Raphtalia memakannya dengan rakus.
Aku memutuskan untuk kembali meracik.
Aku selalu menyukai pekerjaan rumit kayak gini. Matahari sudah terbenam, dan segala sesuatu tertelan dalam kegelapan. Aku melanjutkan kerjaan didekat api.
Kayaknya ada segala macam hal yang bisa kau buat.
Setelah dia selesai makan, Raphtalia menatap api, terpesona. Dia terlihat seperti mengantuk.
"Tidur saja kalau ngantuk."
Dia menggelengkan kepalanya.
Apalagi sekarang? Dia bertindak sama seperti seorang anak kecil yang gak mau tidur. Tapi kurasa dia memang anak kecil. Dia akan ketiduran kalau kubiarkan saja. Aku penasaran apakah obatnya berpengaruh pada dia. Dia sudah nggak terlalu sering batuk.
Aku melanjutkan meracik selama beberapa saat dan mulai mendapatkan ide tentang apa yang bisa ku buat.
Aku mengambil beberapa bahan murah yang akan aku buat dan membiarkan perisaiku menyerapnya untuk melihat apa yang kudapatkan.
Small Medicine Shield: persyaratan terpenuhi
Small Poison Shield: persyaratan terpenuhi
Small Medicine Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: kemujaraban obat meningkat
Small Poison Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resistensi racun meningkat
Perisai apapun bisa dipakai dari Leaf Shield atau Mushroom Shield. Aku nggak betul-betul tau seberapa bergunanya kemujaraban obat. Apa itu artinya bahwa penggunaan obat akan bekerja lebih baik? Atau itu artinya aku bisa meracik obat yang lebih kuat lagi? Itu nggak penting. Kami sudah mengumpulkan banyak bahan hari ini, dan itu akan membantu kami.
Raphtalia sudah tertidur namun secara tiba-tiba mulai berbicara.
"Tidak... Tidak... Tolong!" Dia mimpi buruk.
"Tidaak! Tidaaaaaaak!"
Suaranya mengerikan dan bernada tinggi bergema di telingaku. Ini buruk. Gimana kalau jeritannya menarik monster? Aku berlari mendekat dan membungkam mulutnya dengan tanganku.
"Ti.....!"
Tetap saja, jeritannya masih menembus melewati jari-jariku. Sekarang aku paham apa yang dimaksudkan oleh si penjual budak saat dia mengatakan kalau Raphtalia punya masalah.
Mungkin inilah masalahnya.
"Santai! Tenang!"
Dia menjerit, tapi masih tetap tidur. Aku mengangkat dia dan memeluk dia untuk menenangkan dia.
"Tidaak! Ayah... Ib...uuuu."
Dia memanggil orang tuanya. Air mata berlinang diwajahnya. Dia menggulurkan tangan, meminta tolong.
Aku nggak tau seperti apa situasi yang dia alami, tapi kayaknya dia trauma oleh perpisahannya dengan orang tuanya.
"Tenang tenang... Kau baik-baik saja..."
Aku mengarahkan tanganku ke kepalanya. Aku berusaha menenangkan dia.
"Ugh...."
Dia terus menangis. Aku memeluk dia erat-erat.
"ARRR!"
Seekor balloon muncul, tertarik oleh jeritan Raphtalia.
"Astaga..."
Sungguh waktu yang nggak pas....
Aku memeluk Raphtalia erat-erat dan berlari kearah balloon itu.
"Arrrrrrggghhhhh!"
Cuit! Cuit!
"Sudah pagi?"
Semalam adalah malam yang berat. Setelah aku menghabisi para balloon, tangisan Raphtalia mulai mereda. Tangisannya menjadi semakin keras kalau aku menjauh dari dia. Dan saat tangisannya menjadi keras, para balloon muncul lagi. Jadinya aku sangat mengantuk.
"Um..."
"Kau sudah bangun?"
"Ahh?!"
Dia terkejut mendapati dirinya ada dipelukanku, dan matanya terbuka lebar karena terkejut.
"Ah... Sungguh melelahkan."
Masih ada waktu sebentar sebelum gerbang kota dibuka. Waktu yang singkat inilah yang kupunya buat tidur.
Pekerjaan kamu hari ini adalah menjual obat yang sudah kubuat dan herbal yang sudah kami kumpulkan. Kalau herbalnya terjual dengan harga yang lebih baik daripada obatnya, maka nggak ada gunanya membuat obat.
"Aku mau tidur. Bisakah kau memakan ikan sisa tadi malam untuk sarapan?"
Dia mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu, selamat malam (batman detected :v). Kalau ada monster mendekat, bangunkan aku."
Sangat sulit untuk mempertahankan mataku tetap terbuka. Aku merasa diriku dikuasai rasa ngantuk yang berat dan tertidur.
Apa yang dia takutkan? Aku nggak berencana menanyai dia. Itu pasti kejadian bahwa orang tuanya menjual dia, atau bahwa dia diculik.
Bahkan jika kejadiannya adalah bahwa dia diculik, aku nggak perlu mengembalikan dia. Ini nggak seperti aku yang menculik dia, aku membeli dia.
Dia boleh membenciku kalau dia mau. Aku harus bertahan hidup.
Aku harus mencari cara untuk pulang.
***
Matahari sudah tinggi di langit saat aku bangun. Raphtalia menunggu aku.
"Apa kita akan kembali ke kota? Uhuk..."
"Ya."
Dia batuk lagi. Sambil diam aku mengulurkan obat pada dia yang mana obat itu dia telan dalam diam juga.
Kami pergi ke toko obat dan mencoba menjual obat-obatan kami.
"Yah ini nggak buruk... Pahlawan, apa kau punya pengalaman dalam obat-obatan?"
Dia bersikap seperti kami sudah lama kenal dekat saat dia melihat obat yang aku buat.
"Nggak punya. Kemarin adalah pertama kalinya aku mencoba. Akankah lebih menguntungkan untuk menjual obat-obat ini, atau menjual herbal secara langsung?"
"Itu sulit dijawab. Kalau efektif, obat lebih mudah digunakan, dan karena itulah mungkin lebih mudah dijual."
Si pemilik toko menatap Raphtalia. Dia tampak tenang dan kalem. Dia berbicara secara langsung dan sederhana, seolah dia tau kami akan meragukan penilaiannya kalau matanya jelalatan diruangan ini.
"Prediksiku sih menekankan harga pada obat, jadi mungkin lebih menguntungkan untuk menjual obat."
"Hmmm."
Itu akan bergantung pada resiko yang terlibat dalam peracikan, karena beberapa persentasi dari upaya tentu akan berakhir dengan kegagalan. Aku juga nggak tau seberapa banyak biaya untuk mendapatkan peralatan yang diperlukan untuk pekerjaan tersebut. Meski demikian aku masih membutuhkannya.
"Apa kau punya peralatan yang sudah nggak kau gunakan lagi?"
"Aku berpikir tentang memberitahumu dua minggu yang lalu, saat kau datang menjual herbal."
Si pemilik toko memasang ekspresi aneh, seperti setengah tersenyum. Pada akhirnya, dia mengambil herbal sebagai upah untuk instruksi, dan membeli obat yang kubuat, dan memberiku beberapa peralatan tua miliknya yang sudah nggak dipakai.
Dia memberiku sebuah cobek serta penumbuk, dan juga beberapa benda lain seperti: timbangan, termos dan sebagainya. Aku mendapatkan kesan bahwa kalau aki membeli peralatan baru, harganya akan cukup mahal.
"Peralatan-peralatan ini sudah tua dan susah dipakai, jadi aku nggak tau berapa lama kau bisa menggunakannya sebelum akhirnya rusak."
"Kedengarannya sempurna buat pemula sepertiku."
Meski demikian, itu adalah peralatan yang penting untuk memulai percobaan dalam peracikan dan penggabungan.
Sekarang yang harus kami lakukan adalah menjual kulit balloon yang kami miliki.
Kami berjalan ke toko lain saat seorang anak kecil yang kami lewati di jalan menarik perhatianku. Anak itu sedang bermain dengan sebuah balon, memantulkannya naik turun seperti sebuah bola.
Raphtalia melihat dia juga, kecemburuan ada dimatanya.
"Hei, itu..."
"Hm?"
Aku menunjuk bola yang dimainkan anak kecil itu dan menanyai pemilik toko tentang hal itu.
"Ya, itu dibuat dari barang-barang yang didapat dari perburuan. Dari kulit balloon."
"Aku mau satu. Bisakah kau membuatkan satu bola untukku? Kau bisa memotong biayanya dari jumlah kulit yang kami jual padamu."
Si pemilik toko menghitung biayanya, memotong hasil penjualan kami, lalu memberiku uang hasil penjualan serta sebuah bola yang terbuat dari kulit balloon.
"Ini buat kamu."
Aku melempar bola itu pada Raphtalia. Dia menangkapnya, menatap bola itu, lalu menatapku, terus menatap bola itu lagi. Dia terkejut.
"Apa? Kamu nggak mau?"
"Bukan begitu... Iya aku mau...."
Dia menggeleng dan tersenyum.
Itu adalah pertama kalinya aku melihat dia tersenyum.
....Terserahlah, itu nggak penting. Dia hanyalah seorang anak kecil.
"Saat kita menyelesaikan pekerjaan kita untuk hari ini, kamu bisa bermain dengan bola itu."
"Yay!"
Dia tampak gembira. Itu bagus.
Semakin dia bergembira, semakin banyak uang yang bisa kuhasilkan bersama dia.
Kami kembali ke hutan dan mulai mengumpulkan herbal dan bertarung melawan monster. Kami pergi kemanapun yang bisa kami tangani dengan tingkat pertahananku saat ini.
Rupanya ada sebuah kota di sisi lain hutan, tapi hanya dengan berpikir mengenai jalur yang disarankan oleh cewek itu membuatku marah, jadi aku memutuskan untuk nggak pergi kesana.
Kami melakukannya dengan sangat baik dan mengumpulkan banyak barang. Itu terasa seperti kami akan mendapatkan sedikit ketinggian, jadi aku memutuskan untuk mulai menuju ke gunung.
Huh? Seekor monster yang belum pernah kulihat sebelumnya telah muncul.
Itu tampak seperti sebuah telur. Kalau aku harus mengklasifikasinya, itu mungkin masih berkaitan dengan para balloon.
"Ada seekor monster baru. Aku akan maju duluan dan melihat apa yang terjadi. Kalau aku mengatakan nggak masalah, larilah dan tikam monster itu."
"Baik!"
Jawaban yang bagus.
Aku berlari kearah monster itu. Saat dia melihatku mendekat, dia menunjukkan taringnya.
Clamp!
Itu nggak sakit sama sekali. Aku melawannya sebentar untuk memegang dia dan memberi peluang buat Raphtalia untuk menyerang.
"Hiya!"
Dia menyerang monster tersebut dengan antusiasme yang lebih banyak daripada yang dia tunjukkan sebelumnya.
Eggug, itulah sebutan monster itu.
Eggug mengalami retak disertai suara keras, dan bagian dalamnya yang berwarna kuning menetes ke tanah.
"Ew! Jijik!"
Bisakah kami menjual cangkang telur itu? Kayaknya sia-sia saja kalau meninggalkannya disini. Tapi baunya busuk, jadi mungkin itu buruk kalau dimakan.
Perisaiku menyerap cangkang telur itu.
Segera setelahnya, sejumlah Eggug yang lainnya muncul, tapi Raphtalia menghabisi mereka.
Egg Shield: persyaratan terpenuhi
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: memasak +1
Kayaknya aku mendapatkan kemampuan lain. Kali ini memasak.
Segera setelahnya, lebih banyak musuh muncul. Meski mereka berbeda tipe, Eggug berbagai warna. Kami memburu mereka beberapa saat.
Blue Egg Shield: persyaratan terpenuhi
Sky Egg Shield: persyaratan terpenuhi
Blue Egg Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: penglihatan +1
Sky Egg Shield
Kemampuan belum terbuka
Bonus equip: resep sederhana
Gimana bisa aku cuma mendapatkan kemampuan kerajinan doang?
Aku bertanya-tanya apakah hal itu ada hubungannya dengan tipe musuh. Meski demikian, seiring berjalannya waktu kami juga mendapatkan berbagai jenis herbal obat baru. Dengan hati-hati aku mengumpulkan sebanyak yang aku bisa.
Matahari sudah condong ke barat. Mungkin sudah terlambat untuk pergi ke gunung. Selain itu, aku nggak yakin equipment milik Raphtalia mampu menghadapi monster disana.
Jadi apa yang kami capai hari ini?
Aku mencapai level 8. Raphtalia mencapai level 7.
Dia mengejar dengan cepat.
Kurasa itu masuk akal, dialah yang mengalah para monster.
Kayaknya sebagian besar poin exp akan didapatkan oleh orang yang mendaratkan serangan terakhir, yang mana hal itu akan menjelaskan perkembangan levelnya yang cepat.
"Aku lapar..."
Perutnya keroncongan. Dia menatapku.
"Baiklah. Ayo kembali dan cari makan."
Kami nggak melanjutkan perburuan dan kembali ke Kastil Kota.
Saat kami memasuki kota, aku menuju ke toko. Cangkang Eggug nggak banyak berguna dalam peracikan, jadi aku memutuskan untuk menjualnya.
Ditambah dengan penjualanku sebelumnya hari ini, kami memperoleh 9 silver.
Aku nggak bisa membayangkan akan digunakan untuk apa cangkang itu oleh mereka, tapi mereka membelinya dengan harga yang bagus, jadi aku memutuskan untuk nggak menekankan hal itu. Herbal serta obat kami juga terjual. Jadi makanan apa yang akan kami beli untuk makan malam?
...Itulah yang kupikirkan, tapi Raphtalia sudah memfokuskan makanannya pada sebuah keranjang makanan, dan ngiler. Aku nggak berencana memanjakan dia, tapi kayaknya harganya cocok. Jadi nggak masalah.
"Kamu mau makan itu?"
"Hm? Sungguh?"
"Yah, kamu mau makan itu, kan?"
Dia segera mengangguk.
Dia jauh lebih cepat menanggapi pertanyaanku sekarang.
"Uhuk...."
Dia masih batuk...
Dalam diam aku memberi obat pada dia dan memesan makanan di keranjang itu. Mereka menjual sesuatu seperti kentang, dibentuk bulat-bulat dan ditusuk sate.
"Ini buat kamu."
Aku memberi dia satu tusuk, dan setelah dia selesai menelan obatnya, dia mengambilnya dan tersenyum.
"Terimakasih!"
"Oh... Um..."
Dia terlihat sangat senang.
Dia mengunyah kentang tersebut sembari kami berjalan di kota, mencari tempat untuk menginap.
"Kamu mau menginap disini malam ini?"
"Tentu."
Aku ingin sebuah tempat untuk kabur dari teror malam Raphtalia dan aku capek melawan para balloon. Kami masuk ke penginapan. Si pemilik memasang wajah yang mendekati kemarahan saat melihatku, tapi setelah kami datang ke konter dia mendekati kami dengan memasang senyum pebisnis.
"Temanku ini mungkin sedikit menjerit dimalam hari, jadi boleh kami menginap disini?"
Aku nggak berniat mengancam dia secara langsung, tapi aku sedikit melambaikan jubahku jadi dia melihat sekilas para balloon yang ada dibalik jubahku.
"I-Ituu..."
"Nggak apa-apa kan? Kami akan berusaha tenang."
"Y-Ya..."
Aku perlahan menyadari sejak aku tiba bahwa suatu kegigihan sangatlah penting ketika melakukan bisnis di tempat ini. Semua orang di negara ini berpikir bahwa itu nggak masalah untuk mengolok-olok aku, tapi kalau sesuatu terjadi mereka akan lapor ke raja.
Bahkan jika mereka melapor ke raja, nggak ada pilihan lain selain membiarkan aku berbuat sesuka hatiku.
Ya ampun, sungguh dunia yang menyedihkan....
Aku membayar kamarnya, dan kami masuk lalu mulai membongkar barang bawaan kami.
Raphtalia memegang bola miliknya, dan matanya berkilauan.
"Kembalilah sebelum malam. Dan jangan jauh-jauh dari penginapan, ngerti?"
"Baik!"
Ya ampun, dasar bocah...
Sepertinya para demi-human merupakan subjek penganiayaan, tapi aku melihat bahwa jika dia adalah seorang petualang, dia bisa dibiarkan sendiri.
Aku melihat dia bermain bola dijalan dari jendela, dan mengalihkan perhatianku pada belajar meracik.
Sekitar 20 menit berlalu. Lalu aku mendengar teriakan dari anak-anak.
"Buat apa seorang demi-human bermain di tempat kami?"
Apa-apaan itu? Aku melihat keluar jendela. Di jalanan ada sekelompok anak kecil, jelas-jelas sekelompok bocah kurang ajar, dan mereka mendekati Raphtalia seolah mereka ngajak berkelahi. Nggak peduli kau ada didunia mana, selalu ada seseorang yang kayak gini.
"Aw, lihat, dia punya sesuatu yang bagus! Kasi sini!"
"Aku... Um..."
Raphtalia paham kalau para demi-human berada dikelas yang lebih rendah. Nggak kelihatan dia berencana melawannya.
Huff... Aku meninggalkan kamar dan berjalan menuruni tangga.
"Cepat berikan! Kau budek ya?!"
"Tapi aku... um..."
Dia terlihat lemah dan ketakutan, dan aku bisa bilang bahwa bocah-bocah itu akan mengambil bola itu dari dia secara paksa. Mereka membentuk lingkaran mengelilingi dia.
"Tunggu sebentar, bocah-bocah sialan."
"Apaan? Siapa pria tua ini?"
A...Apa? Pria tua? Terserahlah, aku berusia 20 tahun. Siapa yang tau usia berapa yang mereka anggap usia pertumbuhan ditempat ini? Kurasa aku adalah seorang "pria tua" bagi mereka.
"Maumu apaan coba-coba mengambil mainan dari dia?"
"Apa pedulimu? Itu bukan punyamu?"
"Itu MILIKKU. Aku meminjamkannya pada dia. Kalau kau mencurinya dari dia, berarti kau mencurinya dariku."
"Apa yang kau bicarakan?"
Aku nggak peduli meski mereka anak kecil. Aku nggak akan membiarkannya begitu saja. Kalau mereka merasa suka melanggar peraturan, mereka perlu dihukum.
"Oke, oke. Biar kuberi kalian bola lain yang aku punya."
Raphtalia menatapku sambil terkejut. Dia berbalik kearah bocah-bocah itu dan terlihat siap berteriak.
"Lari!"
Tapi mereka nggak lari. Mereka malah balik menatapku.
Aku menyeringai, dan mengeluarkan seekor balloon dari balik jubahku.
"OUUUUUUUUCH!!!!!"
Aku membiarkan balloon itu menggigit bocah itu sebelum segera menjauhkannya lagi.
"Nah sekarang... Apa kau yakin mau bermain dengan bola punyaku?"
"Ouch!"
"Apa yang kau bicarakan? Kau gila!"
"Mati saja sana! Argh!"
"Bodo amat, dasar bocah sialan!"
Mereka lari dijalan, dan aku mencemooh mereka sebelum masuk ke penginapan lagi.
"Um... Aku..."
Raphtalia memegang jubahku.
"Berhati-hatilah, kau tau kalau ada para balloon dibalik jubahku."
Dia segera melepaskan jubahku, terkejut. Dia gemetar ketakutan, tapi perlahan dia mengangkat wajahnya dan tersenyum.
"Terimakasih."
Apaan itu?
"...Kembali kasih."
Aku mengusap kepalanya, dan wajahnya tersipu saat dia berpaling.
***
Vous aimerez peut-être aussi
Commentaire de paragraphe
La fonction de commentaire de paragraphe est maintenant disponible sur le Web ! Déplacez la souris sur n’importe quel paragraphe et cliquez sur l’icône pour ajouter votre commentaire.
De plus, vous pouvez toujours l’activer/désactiver dans les paramètres.
OK