Pagi ini aku seperti biasa, mengantar Putri Manja Tiara pergi ke sekolah. Entahlah, rasanya hari ini aku merasa sangat malas. Apalagi saat ku tahu besok siang Pak Handoko dan Bu Verona sudah pulang. Ya, jadwal ke pulangannya memang lebih cepat dari yang aku perkirakan.
"Mama sudah dulu ya, Tiara sudah sampai sekolah." Anak manja itu menutup sambungan dengan Mama tercintanya. Lihatlah, dia benar-benar terlihat bahagia.
Aku memberhentikan mobilku tepat di depan gerbang sekolah. Memang tidak biasanya aku berhenti tepat di depan gerbang. Biasanya, aku menghentikan mobilku dengan jarak dua puluh meter dari gerbang.
"Kenapa berhenti disini?" Tiara terlihat panik. "Bagaimana jika ada yang melihat kita berciuman?"
Benar setiap mengantar dan menjemputnya, aku selalu minta jatah ciuman. Dan itu sudah menjadi kebiasaan kami dalam kurun waktu satu setengah bulan ini. Kecuali hari ini, hari ini aku benar-benar lupa serta tidak terlalu nafsu.
"Turunlah Tiara, aku sedang malas denganmu. Termasuk menciummu." Balasku untuk pertanyaannya tanpa melihat wajah adik angkatku.
Anehnya dia tidak segera turun. Dia masih diam dan duduk manis di tempat duduknya. Lebih menyebalkan lagi, sisi lemot Tiara telah menyebabkan kemacetan. Sehingga, aku mendapatkan banyak klakson dari mobil di belakang kami.
Aku pun memandang jengkel Tiara. Mencari tahu kenapa dia tidak segera turun. Lucunya, dia malah menatapku dengan heran dan juga...terlihat khawatir. Tiara terlihat khawatir.
"Kau sekolah atau tidak?" Tanyaku dengan nada dongkol.
"Kau kenapa?" Dia malah balik bertanya. "Kau baik-baik saja?" Bukannya aku yang harusnya menanyakan itu padanya. Bukan dia yang bertanya padaku.
"Kau turun atau tidak?" Aku diambang batas kesabaranku. "Kalau tidak_"
"Iya aku turun." Tiara membuka pintu mobil kami dan segera keluar. Lalu menghilang diantara puluhan siswa yang memasuki sekolahnya.
🦇🦇🦇🦇🦇
Hari kebahagian Tiara sudah datang. Itu artinya, hari penderitaanku pun juga demikian. Pak Handoko dan Bu Verona kembali dari Vietnam dengan keadaan selamat. Bahkan, mungkin lebih dari selamat.
Tiara benar-benar sangat amat bahagia. Apalagi, dia juga mendapatkan banyak buah tangan dari kedua orang tuanya. Pastinya, oleh-oleh yang dibawa Pak Handoko dan Bu Verona bukanlah barang yang berharga murah.
Oleh-oleh itu terlihat banyak sekali. Bahkan, hampir memenuhi ruang tamu. Hanya saja, aku sama sekali tidak mendapatkan oleh-oleh dari mereka. Baiklah, abaikan soal diriku. Mereka bahkan melupakan Bi Darmi dan Mang Udin! Astaga! Padahal kedua orang itu sudah berada di rumah ini begitu lama. Sangat lama. Mungkin sebelum Tiara lahir ke dunia ini. Dasar orang kaya kikir.
🦇🦇🦇🦇🦇
Hampir seminggu lebih, aku sudah tidak berbicara pada Tiara. Aku juga tidak mengantarnya ke sekolah. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan tugas-tugas kasar yang menumpuk.
Biasanya aku bisa memanfaatkan anak manja itu. Tetapi sekarang, dia sedang menikmati hidupnya menjadi seorang putri kembali. Tentu saja aku tidak mau mendapatkan hukuman dari raja serta ratu yang otoriter itu karena meminta anaknya berkerja.
Jika pekerjaanku cukup kasar dan berat, aku akan dibantu oleh Mang Udin. Tetapi, akhir-akhir ini Mang Udin sering sakit. Jadi, aku melarangnya untuk membantuku. Aku takut jika sakit Mang Udin semakin parah. Meskipun itu artinya aku harus berkerja sendiri.
Pekerjaanku hari ini adalah mencabuti rumput taman yang tingginya nyaris seperti pohon kelapa. Becanda. Tapi serius, aku sedang mencabuti rumput taman. Dengan luas taman yang hampir lima ratus meter. Tidak perlu kasihan. Karena orang yang seharusnya kasihan padaku, sudah tidak peduli dengan hidupku. Lagipula aku tahu, hidup manusia tidak selamanya manis meski selalu pahit.
🦇🦇🦇🦇🦇
Malam ini badanku sangat lelah. Tulang-tulangku serasa lepas dari persendiannya. Ini, karena aku memforsir tenagaku untuk mencabuti rumput taman tadi. Hal baiknya adalah, tugas yang berat itu akhirnya selesai juga.
Hujan deras tidak mau mereda sejak sore tadi. Setelah mandi air hangat, pikiranku hanyalah berbaring di bawah selimut. Memejamkan mata sambil menantikan pagi. Terkadang rencana memang selalu indah.
Saat aku membaringkan tubuhku untuk menelusuri pulau kapuk, saat itulah Bi Darmi masuk kamarku dan mengabarkan kalau Pak Handoko menungguku di kamar Tiara. Jujur, aku memiliki firasat tidak enak tentang hal ini.
🦇🦇🦇🦇🦇
"Apa Pak? Pancake?" Ulangku atas perintah Pak Handoko.
"Iya pancake." Jawab Pak Handoko dengan santai. "Tiara dari tadi tidak mau makan. Mual-mual terus. Dan dia ingin pancake. Coba kau belikan!"
"Tapi di luar sedang hujan, Pak. Lagipula ini sudah sangat malam."
"Aku tidak bertanya diluar hujan atau tidak. Aku memintamu untuk membeli pancake. Iya, ini memang sudah malam. Itu sebabnya aku memerintahmu. Kalau ini sore atau pagi, mungkin Tiara bisa beli sendiri."
Bangsat! Kata-kata Pak Handoko benar-benar tidak enak untuk didengarkan oleh telingaku. Sialan!
Ku pandang ke arah Tiara yang berbaring di ranjang dengan di temani Bu Verona. Pastinya aku memandangnya dengan penuh kebencian. Dia benar-benar beruntung. Tiara benar-benar anak yang sangat beruntung.
Tetapi kebencianku memudar saat kulihat wajah Tiara begitu pucat. Bibirnya berubah menjadi putih. Tatapnya terlihat sayu dan menyedihkan. Entahlah, mungkin karena aku masih manusia jadi aku tidak tega melihatnya.
"Baiklah pak, akan saya belikan." Pamitku. Lalu keluar dari kamar Tiara dan menuju garasi mobil untuk mencari sesuatu yang bernama pancake.
Bersambung...