Tak. Tak. Tak.
Suara hak sepatu yang beradu dengan lantai terdengar menggema di sepanjang koridor kantor, seorang Wanita berparas cantik dengan rambut sebahu dan tampak berkilau kehitaman itu berjalan dengan Langkah tegas. Sesekali para pegawai dengan ID card yang tergantung di leher membungkuk memberi hormat kepadanya. Dialah Melisa Agata Yunanda, Wanita berusia 27 tahun dengan kulit putih langsat serta manik mata berwarna hitam pekat merupakan putri kedua dari keluarga Yunanda sekaligus pemilik Emeral Group.
Melisa adalah anak kedua dari dua bersaudara, sang kakak laki-lakinya yang Bernama Magdad Yunanda, kini menjabat sebagai CEO di perusahaan Emeral Group. Melisa sendiri saat ini hanya menjabat sebagai wakil CEO, meski demikian Melisa lebih sering menghabiskan waktunya untuk menekuni hobbynya memasak. Sejak SMP Melisa selalu bercita-cita untuk menjadi koki yang handal, namun sayangnya orangtuanya tidak mengizinkan Melisa menekuni hal lain selain bisnis. Itulah sebabnya Melisa hanya bisa menganggap memasak sebagai hobby dan bukanlah profesi.
Ceklek!
Suara pintu yang terbuka beriringan dengan tatapan yang menyambut kedatangannya.
"Ayah.." Melisa menyapa ayahnya.
"Ohh putriku.. duduklah sayang." Sapa Hendra dengan hangat, namun Melisa yang memiliki sifat cuek hanya merepson seadanya. Magdad tampak masih focus dengan lembaran berkas di mejanya sehingga tidak begitu memperhatikan kedatangan Melisa.
"Ada apa ayah memanggilku?" tanya Melisa tanpa basa-basi.
Seketika Hendra melirik kearah Magdad yang saat itu juga tiba-tiba berhenti membalik berkas yang sedari tadi di bacanya. Ia mengangkat wajahnya dan balas melirik ke arah ayahnya.
"Duduklah dulu Melisa." Pinta Hendra masih dengan nada suara lembut dan hati-hati. Perasaan Melisa langsung berubah, ada firasat buruk yang juga turut dirasakannya.
'Ada yang tidak beres.' Batin Melisa menduga, ia duduk tepat di sofa yang bersebelahan dengan kursi sang ayah.
"Magdad.." panggil Hendra, ia seolah melempar tugas kepada Magdad untuk menjelaskan semuanya kepada Melisa.
"Loh, kenapa aku ayah?" tanya Magdad panik, Hendra hanya mengerjapkan matanya beberapa kali seakan memberi kode tertentu.
Melisa yang menangkap gelagat tidak menyenangkan seketika langsung bangkit, ia sangat mengenal dua pria yang paling dekat dengannya saat ini. Mereka akan selalu saling melempar bola panas apabila itu menyangkut hal yang kurang menyenangkan.
"Jika tidak ada yang ingin bicara maka aku akan kembali keruanganku." Kata Melisa. Namun seketika itu juga Hendra menahan putri semata wayangnya itu.
"Melisa.. tunggu dulu." Hendra terlihat semakin panik, ia mulai memikirkan kalimat yang tepat untuk mengungkapkan maksudnya memanggil Melisa kesini.
"Hahh, kalau ayah masih bingung kita bisa lanjut bicara dirumah kan?"
"Tidak, tidak, jangan dirumah." Suara Magdad dan Hendra kompak berteriak. Melisa mengernyitkan dahinya heran.
"Jadi Melisa, sebenarnya.." Hendra terlihat ragu-ragu.
"Sebenarnya ayah berniat menjodohkanmu dengan anak dari teman lamanya." Sambung Magdad terus terang.
"Apa!" suara Melisa yang menggelegar langsung bisa membuat telinga Hendra dan Magdad berdengung. "Apa maksudnya dengan dijodohkan?" lagi-lagi Melisa berteriak.
"Berhenti berteriak Melisa." Tegur Magdad.
"Melisa, maafkan ayah. Ayah tidak mungkin membatalkan perjanjian itu. Apa kau tau ayah mendapatkan modal besar membangun Emeral group ini dengan bantuan dari teman ayah itu." Suara Hendra terdengar melemah, ia tau pasti bahwa Melisa akan susah untuk di bujuk.
"Gila! Kalau begitu kenapa tidak kakak saja yang dijodohkan?"
Magdad seketika mendelik mendengar ucapan Melisa.
"Jangan ngaco! Kau mau aku dibantai hidup-hidup sama Nana?" Magdad spontan bergidik ngeri membayangkan istrinya yang akan marah besar jika sampai tau Magdad akan berpoligami.
"Memang kakak pikir aku tidak punya pasangan?"
"Bukankah memang tidak ada? Kau bahkan tidak pernah mengajak teman laki-lakimu datang kerumah." Debat Magdad.
"Cukup! Anak Mauren itu laki-laki. Dia juga merupakan anak satu-satunya." Kata Hendra menghentikan perdebatan yang terjadi diantara kedua anaknya tersebut.
"Memang kapan ayah buat perjanjian itu?" tanya Melisa.
"Jauh sebelum aku menikah dengan ibu kalian."
Melisa terduduk lesu, seketika ia kehilangan semangat hidupnya. Hendra dan Magdad hanya menatap sedih kearah Melisa. Tapi Hendra tidak punya pilihan lain, itu bukan hanya sekedar perjanjian biasa tapi juga sudah seperti perjanjian bisnis agar Mauren mau menjadi investor utama di awal merintis Emeral Group.
"Apa tidak ada cara untuk membatalkannya?" tanya Melisa.
Hendra menggeleng pelan "Mauren sudah mencari tau tentangmu Melisa dan dia sangat senang mengetahui kau tidak hanya cerdas, tapi juga gemar memasak."
Melisa bangkit dari sofa yang kini bahkan tidak lagi terasa empuk untuk di duduki. Dengan Langkah gontai ia berjalan menuju pintu keluar. "Apa ibu tau mengenai perjodohan ini?" tanya Melisa sebelum pergi.
"Tidak, Reni belum tau mengenai hal ini. Aku bahkan sudah lupa tentang janji ini. Entah mengapa tiba-tiba Mauren yang sudah pindah ke Amerika menghubungiku dan menanyakan mengenai perjodohan itu." Sahut Hendra lemas, sementara Magdad hanya memijat kepalanya yang ikut merasa sakit karena permasalahan ini.
Tanpa berkata apa-apa Melisa meninggalkan ruangan CEO dan langsung menuju keruangannya. Ia bahkan tidak menghiraukan para pegawai yang memberi hormat saat berpapasan dengannya. Melisa sangat ingin belajar di sekolah memasak, ia bahkan berkeinginan untuk membuka restaurant dengan makanan yang mampu memanjakan lidah pelanggannya. Tapi jika ia memutuskan untuk menikah sekarang, maka ia akan sibuk mengurus suami dan anak. Hal itu akan membuat impiannya semakin terkubur dalam.
"hiks.. perjodohan macam apa iniii.?" teriak Melisa dengan posisi kepalanya menempel dengan meja. Ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menikahi pria yang bahkan tidak dicintainya sama sekali.
Braakk!
Tiba-tiba Melisa menggebrak meja dengan keras, membuat Hilda sekretarisnya terlonjak kaget karena mendengar kebisingan di dalam ruangan Melisa.
"Aku akan menolak keras perjodohan ini!" seru Melisa dengan suara lantang.
"Nona baik-baik saja bukan?" tanya Hilda yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Hmmm, aku baik-baik saja Hilda. Jangan pusingkan tentang hidupku yang akan segera hancur ini." Melisa yang semula berapi-api kini Kembali lemas seketika. Ia bahkan menangkupkan wajahnya di atas meja sambil menangis pelan.
"No, Nona.. Apa nona menangis?" tanya Hilda tidak begitu yakin dengan suara rintihan dan isakan lirih dari Melisa. Perlahan Melisa mengangkat wajahnya, terlihat genangan air di pelupuk matanya.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" teriak Melisa frustasi, sementara Hilda terlihat panik melihat atasannya menangis tanpa tau sebabnya.
"Nona jangan menangis." Kata Hilda sembari berlari mengambil tisu dan menyerahkannya kepada Melisa. Melisa adalah tipe orang yang cuek namun Ketika sudah nyaman dengan seseorang dia akan perlahan-lahan menunjukan sisi manja dan lemahnya. Begitu pula yang terjadi antara dirinya dan Hilda, kedekatan yang terbangun cukup lama sejak Hilda pertama kali bekerja sebagai sekretaris wakil CEO membuat Melisa terbiasa bercerita banyak hal dengan Hilda.
"Aku tidak bisa membayangkan jika harus menikah dengan pria yang bahkan belum pernah aku temui sebelumnya." Melisa mulai bercerita setelah dirinya merasa sedikit lebih tenang.
"Mmm, pasti sulit nona. Menikah itu kan tidak sesimple berpacaran. Kalau tidak cocok bisa dengan mudah untuk putus."
"Bagaimana jika dia laki-laki yang usianya jauh diatasku? Atau bagaimana kalau dia laki-laki yang jorok? Atau bagaimana kalau dia laki-laki yang tampangnya tidak enak di pandang?" Melisa mulai membayangkan sosok laki-laki yang akan di jodohkan dengannya, tapi tidak ada hal baik yang dibayangkan oleh Melisa.
"Ahh tidak mungkin nona, mana tega tuan Hendra menjodohkan anaknya dengan laki-laki seperti itu." Hilda mencoba membesarkan hati Melisa, tapi mengingat ayahnya pun belum pernah bertemu dengan pria itu membuat Melisa lemas seketika.
"Ayahku bahkan belum pernah melihat tampangnya." Sahut Melisa lemas.
Hilda tertegun mendengar pengakuan Melisa, ini bahkan lebih buruk dari yang dibayangkannya. Biasanya orang tua menjodohkan anaknya dengan orang yang minimal sudah pernah dijumpainya tapi Hendra justru belum pernah melihat wajah anak dari Mauren.
"Ohh, kata anda tuan Mauren itu adalah pemilik perusahaan investasi Bible Group bukan?" tanya Hilda kemudian, Melisa mengangguk pelan.
"Bagaimana jika kita coba lihat profilnya di internet? Perusahaan sebesar itu tidak mungkin tidak memiliki profil dari pemiliknya kan?" Hilda mengutarakan ide cerdas. Bola mata Melisa seketika membulat lebar, ia tidak terpikirkan sama sekali mengenai hal ini.
"ohh, cerdas sekali. Aku tidak memikirkan ide itu, ayo kita lihat." Kata Melisa dan langsung mengambil ponselnya. Ia mengetik nama Mauren Crish, dengan cepat tampilan layar ponsel menunjukan hasil pencahariannya. Tatapan Melisa dan Hilda terpaku pada layar ponsel. Saat ponsel itu berhasil menunjukan informasi yang ingin mereka cari, seketika mata Melisa dan Hilda membesar. Mereka terpanah dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Nonaa, lihatlah.." seru Hilda dengan tatapan terpukau, ia bahkan sampai meleleh melihatnya. Sementara Melisa menatap dingin pada foto yang ditampilkan oleh hasil pencaharian internet tersebut. Wajah Melisa justru menunjukan kebencian dan ketidaksukaannya pada gambar itu.
"Juan Mauren!" Melisa menyebut nama itu dengan nada suara datar dan tatapan dinginnya.