Mahendra merasa malas berada di rumah. Sebenarnya, ia tidak mau bersikap kasar kepada Melinda. Tapi, kenyataan bahwa Melinda melakukan hal yang tidak pantas membuat dia kesal dan kecewa. Sehabis makan malam, ia memutuskan untuk menemui Gadis dan ibunya.
"Kau mau ke mana lagi, Hen? Sudah malam," kata Hans yang sedang duduk di rumah keluarga bersama Arsea dan Melinda.
"Baru jam 8 malam,aku ada urusan sebentar, Yah."
"Adikmu belum pulang, coba sekalian kau keluar kau cari dia," kata Hans lagi.
"Dia kan bawa mobil sendiri, Yah."
"Ya, kau kan bisa meneleponnya dan tanyakan dia di mana. Tadi Ibumu sudah menelepon, katanya di jalan tapi, sampai sekarang belum sampai."
"Baiklah, Yah. Aku pergi dulu."
Tanpa menoleh pada ibunya lagi, pemuda itupun segera berlalu. Ia segera menuju ke rumah Gadis, namun ia terkejut saat rumah itu kosong dan lengang, bahkan tampak gelap gulita. Ia pun segera meraih ponselnya dan langsung menelepon Xabiru.
"Kau memang tidak tau? Gadis tinggal di hotel sementara sampai kami resmi menikah. Karena aku tidak tega dia berada di rumah kontrakannya. Sementara untuk tinggal di rumahku, kami kan belum menikah. Jadi, aku meminta mereka sementara tinggal di hotel. Lagi pula, pernikahan akan diadakan di hotel yang sama juga. Jika kau ingin mengunjungi adikmu kau datang saja ke sana. Kamar 5332."
"Baiklah, terima kasih."
Mahendra langsung memutuskan sambungan telepon dan segera menuju ke hotel. Sekilas ia melemparkan pandangan ke arah rumah yang pernah ditempati Gadis dan Ibunya. Benar, tampak dari luar pun rumah itu memang sudah tidak layak untuk di jadikan tempat tinggal.
Sesampainya di hotel kebetulan ia melihat Gadis tengah berjalan menuju lift dengan seseorang, Mahendra pun segera menyusul langkahnya.
"Gadis!"
"Mas Hendra? Sedang apa Mas di sini?"
Gadis tampak keheranan melihat kakaknya ada di lobby hotel. Namun, Hendra tampak lebih kaget lagi saat melihat siapa yang sedang berjalan bersama Gadis. Kaget namun sekaligus juga senang.
"Aku tadi ke rumah ingin bertemu dengan Ibu, tapi rumah itu kosong."
"Lalu bagaimana kau tau kami di sini?"
"Xabiru."
"Oh, ya sudah kita naik sama-sama saja. Ibu tadi sedang makan malam di kamar."
"Iya, eh hallo May, apa kabar?" sapa Mahendra.
"Baik, Mas."
Ketika sampai di kamar, Karina memang sedang menikmati makan malam. Mahendra pun bergegas menghampiri dan menciumi punggung tangan wanita itu penuh rasa penyesalan. Hingga membuat Karina keheranan.
"Hen, tumben? Apa ada pesan dari ayahmu?" sapa Karina.
"Tidak, Bu. Hendra sengaja ingin menemui Ibu dan Gadis untuk minta maaf."
"Maaf, untuk apa?" tanya Karina keheranan.
Mahendra melirik Gadis dan Mayleen, yang dilirik tampak mengerti dan langsung beranjak ke teras di balkon kamar meninggalkan Mahendra dan Karina bicara di sofa. Ya, Xabiru memang menyewa suite room untuk Gadis dan Karina. Sehingga dilengkapi dengan sofa untuk menerima tamu.
"Ada apa, Hen?" tanya Karina saat Gadis dan Mayleen sudah berlalu. Mahendra menatap wanita di hadapannya itu dengan tatapan penuh rasa bersalah.
"Bu,aku mau minta maaf atas kelakuan Ibuku."
"Memang apa yang sudah Melinda lakukan?" tanya Karina keheranan.
"Selama ini, seharusnya setiap bulan Ibu mendapatkan 5 juta rupiah dari Ayah. Tapi, Ibuku mengambil jatah yang seharusnya untuk kalian. Dan, aku baru mengetahui hal itu ketika pesta pertunangan Gadis. Saya menanyakan kepada ayah, dari situlah kecurangan Ibu terbongkar. Saya merasa malu dan sangat bersalah. Maafkan saya, Bu. Maafkan Ibu saya."
Karina menghela napas panjang. Ia tau bahwa Melinda sejak dulu memang menginginkan posisinya sebagai istri Hans satu-satunya. Tapi entah mengapa sampai hari ini Hans tidak pernah menceraikannya.
"Sudahlah, Ibu ikhlas,Hen. Yang paling penting sekarang, Ayahmu sudah tau kalau selama ini Gadis tidak hidup boros dan berfoya-foya. Semua yang Gadis katakan adalah kejujuran. Selama ini kami tidak pernah mengada- ada tentang kondisi kami. Sudahlah, jangan dibahas atau diingat-ingat lagi. Yang lalu biarkan saja berlalu."
"Maafkan juga kesalahan saya selama ini karena tidak pernah bisa untuk membela Gadis. Saya malu pada diri sendiri."
"Sudahlah, Hen. Yang penting sekarang Gadis sudah memiliki calon suami yang baik dan mencintainya."
"Xabiru adalah lelaki yang baik dan juga sangat bertanggung jawab. Dia pasti akan menjadi suami yang baik dan setia."
Ehem...
Kirana dan Mahendra menoleh dan Mayleen tampak sudah bersiap untuk pamit.
"Bu, aku pulang dulu, ya. Sudah malam."
"Loh, nggak nginep?"
'Lusa saja, Bu. Jadi, pagi harinya saya bisa membantu Gadis berdandan."
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan," kata Kirana.
"Aku juga pamit ya, Bu. Yang penting sekarang aku sudah merasa lega. Terima kasih sudah mau memaafkan," kata Mahendra.
"May, kalau begitu sama Mahendra saja," kata Kirana. Mayleen yang tadinya ingin menghindari Mahendra akhirnya mau tidak mau harus jalan berasama dengan Mahendra. Bagi Mahendra tentu ini adalah kesempatan baik untuk mendekati Mayleen.
Setelah berpamitan, Mahendra dan Mayleen pun langsung berjalan menuju lift.
"Jadi, kau ini sahabat Gadis yang paling dekat?"
"Mungkin, dia adalah saudara bagiku. Keluarga kami dekat, Ibu Gadis pernah bekerja di rumahku sebagai tukang cuci gosok. Tapi, karena kondisi Ibu yang sakit-sakitan Gadis biasa membawa pakaian kotor ke rumah dan dia yang mencuci. Sampai akhirnya Gadis menerima privat mengajar bahasa Inggris dan matematika untuk anak SD dan SMP kami pun tidak lagi menggunakan jasa Gadis untuk cuci gosok. Kalian selama ini ke mana saja?"
Mahendra menghela napas panjang. "Aku memang terlalu apatis dan terlalu bersikap masa bodoh dengan segala hal yang terjadi di rumah. Padahal seandainya saja aku bisa bersikap lebih peduli. Tentu semua tidak akan menjadi seperti sekarang. Ayah juga tidak tau dengan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Dia terlalu percaya pada ibuku sehingga abai. Aku terima jika kau memandangku sebagai seorang lelaki yang egois dan tidak peduli."
"Ya, kau memang salah. Sekarang apakah kau akan mendiamkan seandainya Dara atau Tania yang dipukuli oleh Ayahmu? Karena Gadis bukan adik dari rahim yang sama, itulah yang membuatmu tidak peduli," kata Mayleen dengan tegas.
Mahendra kembali tertohok dengan perkataan Mayleen. Ya, Mayleen benar. Malam itu, jika ia mau ia bisa menghalangi ayahnya untuk memukuli Gadis. Tapi, dia hanya diam, bahkan dia masih bisa makan dengan tenang. Bersikap seperti penonton yang menikmati pertunjukan teater. Apa bedanya dengan Melinda kalau begitu. Itu karena selama ini ia tidak pernah menganggap Gadis adiknya. Itu karena dia memang pria egois.
"Kenapa kau diam? Baru sadar kalau ternyata kau tidak jauh berbeda