Suasana kini tampak sepi, salju turun lagi untuk yang pertama kali. Nicholas sedang berjalan menyusuri salju itu, dengan langkah tertarih dan tubuh menggigil hebat. Dia bahkan lupa membawa mantelnya, lupa membawa sepatunya. Dia hanya memakai kaus kakinya yang kini berawarna kumuh, berjalan tertatih menyusuri pinggiran distrik kotanya.
Matanya tampak menerawang, penuh ketakutan dan terancam. Dia terus mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat, mencari barangkali dia sedang diikuti. Dia benar-benar takut sekarang. Wajah Nicholas tampak terasa perih, dari hasil sayatan yang sangat menyakitkan tapi apa yang dia rasakan tak sesakit apa yang dia lihat. Ketika orangtuanya dihabisi dengan cara brutal tepat di depan mata dan kepalanya sendiri. Bahkan tubuhnya, tubuhnya telah berlumur darah orangtuanya yang kini bercampur dengan salju yang turun dari langit. Nicholas langsung terduduk dan hampir kaku, dia memeluk lututnya sendiri dengan gigi bergetar dengan sangat hebat, bibirnya membiru, dan bahkan kini mengeluarkan darah segar dari bagian-bagian yang terkoyak. Dia… kini seorang diri di dunia ini.
"Mom! Dad!" teriakan itu, terngiang di kepala Nicholas. Di bawah badai salju Nicholas mengenang kembali saat-saat menegangkan itu.
"Mom, bisakah besok aku berangkat sekolah sendiri? Ada bus sekolah yang datang setiap pagi. Ayolah, aku sudah dewasa untuk bisa berangkat bersama dengan teman-temanku tanpa kau antar," Nicholas sedari tadi terus menggerutu, saat mereka pulang dari merayakan natal bersama Kakek dan Neneknya di salah satu kota di ujung negaranya. Tapi, orangtuanya hanya tersenyum seraya abai, mendengar protes dari Nicholas sebab ini bukan kali pertama putra semata wayang mereka melakukan hal itu. "Dad, Mom! Aku sednag bicara dengan kalian!" Nicholas agaknya kesal, kemudian dia berdiri tepat di depan pintu kamar orangtuanya sambil berkacak pinggang.
"Ayolah, Nick. Kau tahu jika ini sudah larut. Jika kau tak lekas tidur maka Santa tidak akan datang untuk memberimu hadiah natal, Sayang. Tidurlah, sebab ini masih musim liburmu. Kau harus sekolah masih beberapa pekan lagi, bukan? Dan, mungkin kau akan lekas dewasa setelah beberapa pekan kemudian,"
"Aku tidak mau dicium Mom saat aku bersama dengan teman-temanku. Itu terasa sangat menjijikkan! Aku sudah besar dan aku tak butuh ciuman, dan pelukan kalian! Aku tak butuh perhatian kalian! Dan aku tidak butuh kalian memperlakukanku seperti anak kecil. Apa kalian mengerti apa yang aku inginkan, huh?"
Orangtua Nicholas kini tampak saling pandang, kemudian dia memandang putra kecilnya yang sedang merajuk itu. Baik Mom dan Dad dari Nicholas kini hendak berjongkok dan menyentuh putranya. Namun, putranya langsung menepis tangan mereka dan Nichola berlari menjauh.
"Sudah kubilang, Dad, Mom. Kalau jangan sentuh aku! Aku lelah ketika semua teman-temanku mengataiku jika aku ini adalah bayi besar yang tak bisa melakukan apa pun sendiri! Aku sudah bilang kepada kalian, bukan. Jika aku ini sudah dewasa, aku bukan anak kecil lagi! Jadi mulai mala mini, jangan pedulikan aku! Menjauhlah dari kamarku selamanya, jangan sentuh aku, jangan peluk dan cium aku! Dan jangan pernah antarkan lagi aku ke sekolah! Apa kalian mengerti!" Nicholas langsung berlari masuk ke dalam kamar bahkan sampai menutup kamar setengah dibanting. Kemudian dia masuk ke dalam selimutnya, rasa kesalnya seolah membuatnya tidak peduli dengan apa pun.
Di luar, orangtuanya kembali saling pandang. Agaknya mereka paham dengan masalah putranya dengan teman-temannya sekarang. Jujur, mereka bisa saja mengabulkan permintaan dari Nicholas untuk lebih tak memperlakukannya dengan posesif. Tapi karena Nicholas lahir setelah lama penantian mereka lah yang membuat mereka seolah tak ingin membiarkan Nicholas berada dalam bahaya apa pun alasannya. Terlebih, pekerjaan Dad Nicholas yang memang benar-benar sangat rawan dengan hal itu.
"Apakah Nich benar-benar marah dengan kita dan tak mau bicara dengan kita?" tanya Mom Nicholas sambil memeluk dirinya sendiri. Suaminya tampak memeluknya dari belakang, kemudian dia mencium puncak kepala istrinya.
"Kau tenanglah, Nick masih sangat kecil untuk paham betapa kita mengkhawatirkannya. Lihat, sebentar lagi jam 00.00 tepat. Bukankah malam ini adalah hari ulang tahunnya juga? Bagaimana kalau kita siapkan pesta kejutan untuknya?"
"Baiklah, aku akan menyiapkan kue ulang tahun dan hadiahnya. Kau tak lupa untuk menaruh hadiah kejuatannya di pohon natal, kan?"
"Tentu, aku tidak akan lupa."
Brak!! Brak!!
Dorr! Dorr! Dor!!
"Ah!!!" teriak Mom Nicholas.
Nicholas menutup telinganya, dia tak mau peduli tentang keributan yang terjadi di luar kamarnya. Suara ketukan keras itu pun tidak dihiraukan sama sekali. Hingga dia terkejut dengan suara tempakan yang terdengar nyaring, dan pintu kamarnya didobrak dengan paksa.
Nicholas langsung menjerit kesakitan, saat rambutnya ditarik paksa oleh seseorang tanpa ada rasa kasihan sama sekali. Kemudian, tubuhnya ditendang dengan sangat keras, dia langsung terpental keluar dari kamar. Dan melihat jika di rumahnya kini tak lagi sepi. Tidak hanya ada orangtuanya, melainkan ada banyak laki-laki berjas hitam dan seorang laki-laki lain yang berwajah jauh lebih tua dan lebih beringas dari pada yang lainnya.
"Ini putramu, Kyle? Kau benar-benar sangat menyedihkan harus mati di depan putra semata wayangmu ini,"
"Apa yang kau inginkan, Bowman! Aku telah melakukan apa pun yang kau inginkan. Tapi kau tetap memburu istri dan anakku! Lepaskan mereka! Ini masalah antara kita, tidak ada kaitannya dengan mereka!"
Dorr!!
"Diam kau, Kyle! Bedebah kau! Kau berkomplotan dengan polisi untuk memburuku dan sekarang kau berdalih jika kau tak bersalah dengan semua ini? Apa kau tak ada otak!" teriak laki-laki yang dipanggil Bowman oleh Dad Nicholas itu.
Nicholas hanya bisa melihat kejadian itu dengan tatapan takutnya, bahkan dia tak pernah bisa membayangkan jika dia ada di posisi seperti saat ini.
"Rusak wajah anak kecil itu! Agar ayahnya bisa melihat bagaimana teriksanya putra kesayangannya itu sebelum dia mati!"
Salah seorang yang ada di sana langsung menyodorkan pisau di depan Nicholas, kemudian dia menyayat wajah Nicholas. Nyeri, perih, panas, dan sakit semuanya bercampur aduk hingga rasanya seperti darahnya tercabut dari ubun-ubunnya. Nicholas menjerit kesakitan, membuat orangtuanya langsung memohon kepada laki-laki itu agar menghentikan menyiksa putra mereka.
"Kumohon, jangan lakukan ini kepada putraku. Masa depannya masih panjang, dan jika dia cacat maka masa depannya akan hancur sekarang," pinta Dad Nicholas.
Laki-laki itu tampak sangat puas, melihat orangtua Nicholas memohon di depan kakinya. Kemudian dia tersenyum menyeringai, memandang tangan-tangan kanannya dengan tatapan tajamnya itu.
"Bunuh mereka, tembak sebanyak peluru yang kalian miliki sekarang," perintah itu langsung dilaksanakan tanpa ampun.
Nicholas berteriak sampai suaranya hilang. Tidak… orangtuanya tidak boleh mati, orangtuanya tak boleh meninggalkannya. Bahkan dia masih punya banyak salah, bahkan dia baru saja mengatakan dan marah-marah kepada orangtuanya.
"Jangan! Jangan!" teriak Nicholas yang berakhir sia-sia. Suara tembakan dan teriakan orangtuanya terdengar sangat nyata. Bagaimana orangtuanya terkapar dengan darah yang mengalir deras dari berbagai bagian tubuhnya.
"Dad! Mom! Tidak!" teriak Nicholas.
"Nick, pergi… pergi… kami menyayangimu. Pergi!"