"Apa ayah membelanya karena perusahaan itu? tidak kan? Jadi kenapa ayah tidak bisa menjelaskannya padaku?!" teriak Arvy pada ayahnya.
Ia tidak percaya ayahnya yang telah terluka oleh perlakuan kakeknya masih memintanya untuk tidak membenci kakek. Ardana hanya diam mendengarkan keluhan putranya. Selama ini ia tahu bahwa betapa sulitnya Arvy menerima semua ini.
"Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ayah memintaku untuk tidak membencinya?!"
"Kau tahu betapa aku harus menahan untuk bersikap di depan Holan dan anak anaknya?"
"Apa ayah tahu?!"
"Aku tidak membenci mereka! Aku tidak bisa! Amy dan Dio…apa aku harus membenci mereka karena kakek?!"
Ingatan Arvy melayang saat bertengkar dengan kakek.
Flashback.
"Amy, keponakanmu…kau paham kondisinya sekarang?"
"Itu bukan urusanku."
"Tentu saja itu urusanmu. Aku hanya ingin tahu sejak kapan kau menjadi anak indigo."
"Kenapa, Kek? Kenapa baru sekarang kau peduli?! Apa karena Amy?" Arvy menatap kakeknya dengan benci.
Direktur Rossan sendiri terkejut melihat reaksinya. Ia tidak tahu Arvy bisa mengeluarkan emosi seperti itu. Perlahan kakek menunduk, sepertinya ia mengerti apa yang sedang dibicarakannya.
"Jawab pertanyaanku, Kek? Bukannya kau membenci ayah? Bukannya kau benci keluargaku?! Aku bahkan tidak sudi datang ke sini. Aku sampai tidak habis pikir kenapa kau akhirnya menyerahkan perusahaan pada ayah. Setelah kucari tahu ternyata menantu kesayanganmu Holan tetap berada di kepolisian," Arvy tersenyum miris. "Apa kakek pernah sekali saja… sekali saja menjenguk ibu? Aku tidak akan berterima kasih atas uang yang sudah kau berikan, meskipun aku sangat muak menerimanya. Dan sekarang apalagi? Memang akan ada yang berubah jika aku indigo? Kupikir hal itu tidak seistimewa sebutannya. Kau tahu aku menyebutnya apa? Samsara. Semua yang terjadi di hidupku adalah Samsara…"
Matanya berkaca-kaca dan memerah, tangannya mengepal. Arvy memaksa keluar tanpa mendengarkan penjelasan dari kakeknya. Ia menutup pintu dengan keras. Kakek tidak berniat menjelaskan apapun. Ia kembali duduk di sofa panjang dengan tatapan nanar ke udara. (cek bab 36)
"Tidak bisa….aku tidak bisa seperti ini lagi."
Arvy dengan tubuhnya yang lemah, hampir tidak bisa menyangga tubuhnya sendiri, melangkah gontai keluar dari bar. Ardana melihat putranya yang melangkah pedih. Arvy berhenti di depan pintu lalu tiba tiba ia oleng, penglihatannya buram, seketika dirinya terjatuh dan pingsan. Ayah berlari mendekatinya, lalu berjongkok menatapnya dengan menghela napas.
"Kau menyiksa dirimu sendiri selama ini. Maafkan, Ayah. Ayah tidak tahu kau sangat terpuruk seperti ini."
Ayah menggendongnya menuju mobil lalu membawanya pulang ke apartemennya. Beruntung kata sandinya tidak berubah dari dulu. Itu adalah hari ulang tahun ibunya. Ardana membawanya ke kamar, membuka sepatu dan coat nya, lalu menyelimutinya. Ia duduk di tepi ranjang sembari mengelus kepala putranya dengan lembut.
"Ah sudah lama aku tidak melihatnya tertidur seperti ini. Rasanya seperti baru kemarin kau berada di gendongan ibumu, kini kau sudah dewasa, bahkan lebih tinggi dari ayah.
***
"Kenapa kau pucat sekali?"
Valen hanya bisa diam dan pura pura tidak memimpikan apapun karena yang sebenarnya ia impikan adalah pilar nomor 2 itu sendiri, saat ia mendorongnya dari atap dan jatuh.
"Maaf, aku hanya bermimpi buruk," kata Valen beralasan.
"Kau tidak sedang bermimpi kalau aku membunuhmu kan?" lirik Okta, ia tersenyum smirk.
"A…apa? Tentu saja tidak!"
"Baguslah." Okta masuk ke dalam kamarnya sembari tersenyum menertawakannya. (cek bab 139)
"Kau bisa menggunakan mantramu?" tanya Okta memastikan.
"Itu…" Valen ragu menjawab. "Maaf…"
"Sudah kuduga. Mantra penghubung itu benar benar sudah dibarengi dengan kutukan di tubuhmu. Kita tidak tahu sampai kapan dia mencekal mantramu itu."
"Sial!" umpat Valen kesal.
Mantra dan Kutukan adalah dua hal yang berbeda namun hampir sama. Mantra akan menyerang saat itu juga, namun Kutukan akan menyerang orang itu untuk seterusnya. Seperti halnya untuk kasus Rowlett dan Valen, Rataka memantrai Rowlett dengan mantra penghubung, yaitu dengan menghubungkan orang orang yang ada di ingatannya, dan Taka menghubungkannya dengan Valen, yang artinya yang terkena mantra penghubung itu akan kesakitan karena ingatannya seolah digali dan terpecah dengan rasa sakit yang amat sangat. Dan beruntungnya, Taka tidak mengutuk Rowlett, melainkan menyalurkan kutukan itu ke Valen melalui mantra penghubung dari ingatan Rowlett. Mudahnya, Rowlett dimantrai Taka dan melalui Rowlett, Taka menyalurkan kutukannya ke Valen dari ingatan Rowlett. Rowlett mengalami cedera serius, juga Valen, namun karena Rowlett tidak dikenai kutukan, ia akan pulih. Berbeda dengan Valen, karena Taka menyalurkan di tubuhnya dengan mencekal mantra penyamar atau pengubah wujudnya. Ia tidak akan bisa menggunakan mantranya.
Ini sama dengan yang dilakukan Ramon pada Nadia dan Raziva serta Amy dan Alfa. Yaitu kutukan mantra ilusi. Namun berbeda tingkatannya, Alfa adalah tingkat paling rendah, Nadia dan Ziva tidak hanya kutukan ilusi dan namun juga kutukan pemakan usia.
Flashback
"Mayor, izinkan aku membekukan kutukannya."
"Apa kau pernah melakukannya sebelumnya?"
Amanda menggeleng.
"Kutukannya tidak mudah dihapus kecuali dengan cara tertentu yang hanya mereka tahu. Kalaupun terhapus, masih ada kemungkinan terburuknya, karena sejak ditanam kutukan itu telah memakan umur Nadia perlahan. Terhitung delapan hari, itu menguat dan melemah bersamaan karena kekuatanmu yang menekannya dari luar." (cek bab 4)
Kutukan Ramon adalah kutukan Ilusi dan kutukan pemakan usia. Dia terbilang sangat sangat kuat. Namun kutukan pemakan usia, juga cukup rumit untuk dilakukan, sebelumnya Ramon menyamar menjadi seorang anak remaja di supermarket dan berpura pura menabrak Nadia hingga jatuh, saat itulah ia menanamkan kutukan itu. Kutukan pemakan usia memiliki syarat, kedua belah pihak antara pengutuk dan yang dikutuk harus bersentuhan dan memiliki kontak fisik. Karena itulah Ramon harus mendapatkan Amy jika ingin segera menumbalkannya.
Terutama Amy yang memiliki kekuatan untuk membekukan kutukan yang sangat langka. Ia berhasil menanamkan kutukan ilusi di telapak tangan kirinya saat di rumah sakit.
***
Saat menjenguk Nadia di rumah sakit. Amy berjalan lurus dan sampai di belokan kanan, ada sebuah lift di ujung lorong. Amy menunggu hingga lift terbuka. Diliriknya tanda monitor kecil yang menunjukkan nomor lantai. Nampaknya ada seseorang yang juga datang ke lantai 7. Seorang pria berpakaian serba hitam, memakai topi dan kacamata hitam keluar dari lift. Melewati Amy begitu saja.
Zraashhh
Seolah petir di siang bolong yang menyambar pikiran Amy begitu saja. Ia merasakan aura kuat dan aneh dari diri orang asing itu. Ia menoleh dan melihat pria itu telah berjalan jauh. Tanpa berpikir dua kali, dikejarnya orang mencurigakan itu sebelum keluar dari rumah sakit. Amy berlari namun mendadak muncul gerombolan dokter dan suster yang menghalangi pandangannya. Tubuhnya yang kecil pun tak bisa melewatinya. Ia tertahan di sana. Setelah beberapa saat, gerombolan itu pergi, barulah Amy kembali mengejarnya, namun jejaknya sudah hilang. Ia bahkan keluar dari gedung rumah sakit dan menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak melihat siapapun dengan setelan hitam yang sama dengan orang tadi.
"Sialan!" umpatnya dalam hati. Ia melihat telapak tangannya yang tiba-tiba mengeluarkan abu berwarna hitam aneh. "Kenapa aku tidak bisa melihat auranya? Aku bahkan tidak menyentuhnya, tapi telapak tanganku terasa terbakar seolah dimantrai," batinnya.
Amy menahan sakit di telapak tangan kirinya yang masih berasap. Tanda semacam itu adalah tanda seseorang yang tengah memantrainya atau sengaja memunculkan aura dari tubuh indigo Amy. Tanda itu seolah permulaan bahwa seseorang tengah mengancamnya atau ingin melukainya secara terang-terangan melalui mantra khusus. Tentunya, orang yang bisa melakukannya tanpa ritual adalah orang berkekuatan supranatural tinggi.