Plak!
Suara tamparan keras menggema di ruang kantor direktur. Atmosfer di ruangan tersebut menegangkan dan serius. Direktur menatap tajam seseorang yang tengah berlutut di hadapannya. Ia menamparnya lagi dan lagi hingga pipi orang tersebut memerah. Meski usianya sudah lebih dari 70 tahun dan memakai tongkat, staminanya sangat besar hingga menimbulkan luka memar di wajah orang itu. Dia adalah Mayor Holan.
"Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya, Holan," kata Direktur dengan pelan namun penuh penekanan dan berapi-api. "Kau lupa siapa yang memungutmu?"
Direktur mencengkeram pipi Mayor dan menekannya dengan kuku panjangnya di bagian yang ia tampar. Mayor terangkat wajahnya, ia menatap direktur dengan tatapan datar dan kosong. Seolah sudah tahu bahwa ini akan terjadi. Direktur dengan air mukanya yang bersungut-sungut membisikkan kejadian belasan tahun yang lalu sebelum Holan menikah dengan putri semata wayangnya, Nadia. Ia terbilang orang yang cukup kuno, seperti mengungkit-ungkit peristiwa sebagai ancaman, namun terlihat sakti dan kuat.
"Aku harus menyadarkanmu dari semua tanggung jawab yang sepertinya hampir pudar dari otak kosongmu itu." direktur kembali ke tempat duduknya dan berusaha mengendalikan amarahnya. Ia membuka laci mejanya dan mengambil sebuah surat.
Ia memandangi surat itu dan menghela napas.
"Beberapa hari yang lalu, Nadia kemari," katanya tiba-tiba, dengan nada yang tidak tinggi seperti sebelumya.
Mayor terkejut. Ia mendongak.
"Kemarilah. Ambil surat ini. Dia menitipkannya untukmu."
"Apa? Mungkinkah Nadia…"
"Ya, dia sudah tahu sejak lama. Tentang siapa sebenarnya dirimu dan jati diri ayahnya yang sebenarnya."
Mayor menunduk, matanya berkaca-kaca.
"Aku menyuruhnya lari dari hidupnya, tapi dia keras kepala. Kepalanya seperti batu yang cuma diisi wajahmu. Padahal dia sudah tidak muda lagi."
"Maafkan aku…maafkan aku, Direktur. Aku tidak bisa melindungi, Nadia."
"Ambilah dan pulang. Bawa Dio sekali-kali main ke rumah. Nadia juga bilang katanya kau ingin memiliki anak perempuan. Dia juga tahu itu."
Mayor sesenggukan, begitu juga Direktur yang meratapi surat itu dengan pedih. Namun tidak ada yang bisa mengubah keputusan Nadia meskipun dirinya tahu sebelumnya bahwa tubuhnya dijangkiti kutukan ganas.
Sementara itu di rumah sakit, Dio duduk termangu di kursi lobi. Ada sebuah layar televisi besar terpampang di depannya. Matanya menatap layar itu namun pikirannya kosong, ia melamun seharian.
"Pembohong. Ibu bilang akan datang di hari kelulusanku dengan ayah besok. Tapi ternyata semua itu bohong. Ibu adalah seorang pembohong," ratapnya tanpa emosi.
Dari balik dinding, Amanda melihat Dio duduk termenung dengan penuh arti. Ia tidak tahu apakah perlu menghiburnya, Manda berpikir itu tidak ada gunanya karena dirinya adalah orang asing dalam keluarga mayor. Tapi ia ingat kembali kata-katanya bahwa mulai sekarang keluarga Mayor adalah keluarga Amanda juga. Namun dirinya tak yakin apakah ini hal yang benar. Kecuali ia ingin melarikan diri dari kasus bekunya dan masuk ke penjara anak.
"Kenapa aku terbebani padahal aku hanya 9 tahun?" gumam Amanda. "Amy? Nama norak itu tidak seharusnya terdengar di telingaku."
Amanda berbalik dan menjauh dari Dio yang berakhir menangis sesenggukan. "Aku tidak sama dengan anak malang itu. Aku tidak kehilangan siapapun."
Brak.
Amanda menabrak tubuh tinggi seseorang. Ia mendongak dan terkejut setengah mati.
"Mayor?"
"Sudah kau putuskan?"
"A…apa?"
Mayor berjongkok dan memegang bahu Amanda. "Kau putriku mulai sekarang."
"Dari awal aku tidak memiliki apapun. Aku tidak kehilangan siapapun. Cukup lindungi aku dari jauh, kutukan beku itu tidak akan membuat isterimu meninggal, hanya koma dalam waktu yang lama. Tentunya jika Mayor dan aku masih hidup. Jadi aku sudah memutuskannya. Kita bukan keluarga, kita hanya terikat perjanjian."
Mayor memegang lengan kecil Amanda. Ia tersenyum miris.
"Nadia benar. Kau hanyalah seorang anak perempuan yang terlalu lama menanggung beban berat sendirian. Ini bukan tentang aku menyukaimu atau tidak, Nak, apalagi tentang perjanjian terikat. Ini tentang pesan terakhir isteriku sebelum berada di ruangan dingin dengan selang-selang asing itu. Aku ingin mengasuhmu, kau hanya perlu memanggilku ayah, Amy."
Amanda tertegun. Ia melihat iris mata Mayor yang berbinar namun sayu di waktu yang bersamaan. Ibu panti tak pernah menganggapknya manusia sebelumnya. Memukuli, menghina, melempar barang. Dari luar ia baik dan lembut pada anak-anak yang lain, tapi Amanda hanyalah mosnter baginya. Jadi bagaimana ia menanggapi ini? Sebenarnya siapa yang membuatnya menemui Mayor malam itu?
"Baiklah. Aku hanya perlu menjadi anak baik, kan?" kata Amanda yang akhirnya menerimanya.
Tanpa mereka sadari, Dio mendengar percakapan mereka dari balik dinding.
***
Panti asuhan Motherwood kembali seperti biasa setelah beberapa minggu. Pak Santos terpaksa mengelola panti tersebut sendirian, namun kini ia memperkerjakan tiga orang suster anak untuk menjaga mereka, karena Pak Santos tidak selalu berada di panti. Sedang isterinya masih dirawat di rumah sakit karena gula darahnya naik.
Seorang anak laki-laki bernama Alfa yang berusia 10 tahun bermain pasir mainan bersama dua anak perempuan lainnya. Ia membangun sebuah rumah kotak kecil, di tengahnya ia membentuk sebuah tanda aneh, yaitu tanda segitiga yang sama dengan tanda kutukan itu. Pengasuh mengahmpirinya dan bertanya.
"Dek Alfa, di tengah itu tanda apa?"
"Neraka."
"Eh? Apa? Suster tidak mendengarnya."
Alfa berhenti membangun pasir. Ia menoleh ke arah suster itu.
"Ini neraka. Neraka yang membuat semua orang terkubur dan lupa dengan diri mereka sendiri."
Suster menelan ludah dan memasang wajah takut melihat tatapan Alfa yang aneh.
"Sekarang aku sendirian. Aku ingin bermain dengan Amanda seperti biasanya," katanya. Tatapannya kini berubah menjadi lembut seperti anak-anak lagi. Suster mendekat dan membantunya membangun rumah pasir.
"Amanda sekarang sudah berada di tempat yang lebih baik dan menemukan keluarga yang membuatnya bahagia. Jadi Dek Alfa jangan khawatir."
Tiba-tiba seorang anak laki-laki berlarian sembari membawa bola dan tidak sengaja menabrak rumah pasir yang dibangun Alfa, anak itu adalah Rama. Suster berdiri dan menegur Rama, ia meminta Rama untuk minta maaf pada Alfa, namun Rama menolak dan malah kembali bermain sepak bola dengan teman-teman lainnya.
Rama adalah anak yang aktif, sebaliknya Alfa tidak menyukai kegiatan fisik. Ia lebih suka hal-hal yang berhubungan dengan kognitif untuk megembangkan pengetahuannya. Meski begitu Rama sering bermain dengan Alfa karena mereka satu kamar. Keduanya juga dekat dengan Amanda. Mereke bertiga sering bermain bersama di halaman. Namun setelah Amanda pergi, keduanya sering bertengkar karena berbeda sifat dan kebribadian.
"Dasar lemah!" teriak Rama pada Alfa ketika mereka hendak tidur. Tempat tidur mereka adalah ranjang susun. Alfa berada di atas dan Rama di bawah. Mereka seumuran.
"Amanda sudah pergi sekarang. Jangan mengaharapkannya kembali. Kau tidak tahu dia yang membunuh Kak Marina?! Ibu memanggilnya monster."
"Bukan! Amanda bukan monster! Bukan dia yang membunuhnya! Kau yang tidak tahu apapun!" Malam setelah peristiwa itu mereka berdua sering bertengkar di kamar.
"Katanya kau sahabat tapi kenapa kau tidak percaya padanya?" tanya Alfa menyudutkannya.
"Amanda bukan anak biasa. Kau tahu itu kan? Kita tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Dia kadang menakutkan seperti mosnter. Sekalipun bukan Amanda yang membunuh Kak Marina, faktanya dia tetap bukan anak normal seperti kita. Jika kau terus membelanya aku tidak bisa menjadi sahabtamu lagi." Rama mengambil selimutnya lalu keluar kamar. Ia minta pada suster untuk bertukar kamar.
Alfa hanya membisu. Bibirnya bergetar, ia menangis. Suster masuk ke dalam dan mengetahui bahwa Alfa dan Rama tengah bertengkar. Suster memeluknya dan memberikannya segelas susu hangat, lalu menyuruhnya tidur.
"Aku akan menemukan Amanda. Aku pasti akan menemukannya suatu hari nanti," gumam Alfa pada dirinya sendiri.