"Saat kau menuju rumah sakit bersama ibumu saat itu," kakek ragu sejenak namun akhirnya ia memberitahunya. "Apa kau melihat ada tanda aneh di telapak tangannya?"
"Apa? Tanda aneh?"
Arvy mengingat ingat lagi memang ada bekas luka aneh seperti luka bakar di telapak kirinya padahal ibu tidak pernah terluka di sana sebelumnya. Bekas luka itu awalnya kecil namun saat ia mengingatnya lagi itu tiba tiba mulai melebar saat ia berada di dalam taksi menuju rumah sakit saat ibunya kecelakaan. Taksi yang sama dengan yang menabraknya.
"Tunggu dulu…" kata Arvy pada kakeknya. Ia sepertinya mengingat sesuatu. "Iya, ada tanda aneh di telapak tangan kirinya. Sampai sekarang juga masih ada. Ah bisa bisanya aku lupa. Mungkin aku sudah lama tidak menengoknya."
"Itu adalah tanda kutukannya."
"APA?!"
"Kutukan yang ada dalam tubuh ibumu… memang membuatnya tidak meninggal saat itu juga… namun sengaja Ramon dan sekte itu perdayakan di tubuhnya, demi menunggu semua tumbalnya tercapai."
"Ta..tapi..bekas luka itu…" Arvy nampak bingung dan panik. Ia tiba tiba berdiri.
"Apa yang kau lakukan?"
"Aku harus pergi."
"Apa? Sekarang? Kemana?"
"Ke rumah sakit."
"Tunggu…tunggu dulu…"
Namun Arvy keburu melangkah cepat dan keluar. Ia meninggalkan kakek sendirian di ruangan itu.
"Astaga," keluh Rossan. Ia menatap semua makanan yang masih banyak di meja. "Ia bahkan belum makan banyak."
***
Di Markas Sekte Segitiga Merah
Di sebuah ruangan yang nampak seperti sauna. Asap hangat membuat tubuh Ramon berkeringat. Ramon tengah duduk bersila dengan telanjang dada, meletakkan kedua tangannya di atas ujung lutut sembari memejamkan mata. Ia sedang latihan yoga untuk melatih tingkat konsentrasinya dan meningkatkan energi dalamnya.
Ramon membuka matanya perlahan. Sorot matanya tajam, ia menarik napas panjang lalu mengeluarkannya melalui mulut perlahan.
Ingatannya kembali pada masa itu. Saat ia melancarkan rencana untuk membunuh Raziva.
"Apakah anak laki laki itu akan mengingatku akhirnya?"
FLASHBACK
Kecelakaan Raziva dari sudut pandang Ramon.
"Ikuti mobil itu," perintah Ramon pada supir taksi.
Mereka berdua mengikuti mobil Raziva dan Arvy di belakang hari itu. Mereka berada di belakang tepat, karena ada di jalan raya orang lain tidak akan tahu kalau ia sedang membuntuti seseorang apalagi ini adalah mobil taksi.
Supir taksi melirik ke arah kaca dan mendapati penumpangnya agak aneh. Memakai masker putih dan topi bisbol berwarna putih. Hanya terlihat sorot matanya saja yang tajam. Ramon sadar kalau supir taksi itu mencurigainya.
"Aku mengikuti mantan isteriku."
"Apa? Mantan…isteri?" supir taksi itu bertanya ragu ragu.
"Iya, kami bercerai minggu lalu. Aku curiga bahwa dia memiliki anak dari pria lain. Sepertinya ada anak kecil di mobil itu."
"Ahh ternyata begitu," batin supir itu. Yang tentunya didengar Ramon karena sangat kentara dengan ekspresinya.
"Kukira dia orang aneh," lanjut pikirnya.
"Baik, saya akan mengikutinya dengan hati hati."
"Terima kasih."
Tiba tiba saja mobil hitam yang diikutinya berhenti. Kemudian turun seorang wanita paruh baya yang cantik, rambutnya sebahu dan berkulit kuning langsat. Supir taksi nampak bingung.
"Mereka turun, Pak."
"Ikuti ibu dan anak itu."
Taksi itu berhenti tepat di depan garis zebra cross dimana Raziva dan Arvy berdiri. Mereka berdua terlihat bergandengan tangan.
"Sepertinya mereka akan menyeberang. Apa yang harus saya lakukan pak?" tanya supir.
Ramon diam tidak menyahut. Ia masih serius menatap ibu dan anak itu.
"Pak? Pak?" panggil supir tanpa menoleh.
Ramon melirik ampu yang berubah kuning, bergantian melirik Ziva dan Arvy.
Klik
Lampu berubah hijau.
Orang orang mulai lalu lalang menyeberang. Ramon fokus menatap Raziva, fokus, fokus, dan konsentrasi. Sampai ia tidak sadar supir terus terusan memanggilnya. Namun Ramon asih berkonsentrasi memantrai Raziva, matanya berubah merah. Hingga akhirnya mantra ilusinya mulai bekerja, Raziva pun mulai berlarian ke tengah mengira Arvy berlari menyeberang lebih dulu tanpa hati hati.
"Pak? Anda mau kemana setelah ini?" supir merasa dongkol akhirnya ia pun menoleh ke belakang dan betapa terkejut melihat mata penumpangnya berubah menjadi merah darah dan melotot ke arah ibu yang menyeberang itu.
"Astaga!" paniknya.
Ramon menyadarinya. Ia pun ganti menatap supir itu. Akibatnya supir itu ikut termantrai ilusi. Ramon pun mulai mengendalikan pikirannya.
"Jalan," perintahnya pada supir itu.
Supir itu tiba tiba mematung, ekspresinya datar dan nanar seolah hilang. Ia lalu mengangguk menuruti perintah Ramon begitu saja.
"Tabrak wanita itu."
Dan terjadilah kecelakaan itu.
Bruak!
Supir itu tiba tiba sadar kembali dari hipnotis Ramon dan terkejut mendengar ada suara tabrakan yang sangat keras. Ia melihat dari kaca depannya, seseorang tergeletak di jalan dengan bersimbah darah juga seorang anak laki laki yang menangis di sampingnya memanggil ibu.
"Aa…apa…apa yang terjadi?!" supir itu panik.
Ramon memegang bahunya dan mencondongkan tubuhnya ke depan lalu berbisik di telinga supir itu. Ia memegang bahunya sembari memantrainya lagi.
"Lupakan yang kau lihat dan kau dengar. Kau mengemudi sembari mengantuk dan penumpangmu adalah saksinya. Camkan itu," bisik Ramon.
Supir itu telah tertanam di pikirannya bahwa ia telah menabrak seseorang karena kelalaiannya dalam menyetir, yaitu berkendara dalam kondisi mengantuk. Karena mantra ilusi Ramon, Raziva berlari ke tengah jalan raya sembari kebingungan mencari putranya dan membuat supir taksi itu menjadi pelaku tabrakan yang mencelakai ibu Raziva.
"Tidak mungkin!" teriak supir itu sembari membuka pintu mobil dan berlari menghampiri korban. Orang orang mulai mengerubungi. Mereka memaki dan memarahi supir itu.
"Tanggung jawab!"
"Dasar supir bodoh!
"Supir br*ngsek! Kau membunuhnya!"
"Bawa dia ke rumah sakit!"
Orang orang yang di sana mencaci makinya. Supir yang berusia tiga puluhan itu juga panik, khawatir dan sangat ketakutan. Ia menyalahkan diri sendiri dan karena ulahnya ia telah membuat orang celaka.
"Aku akan bertanggung jawab" kata supir itu dengan tubuh gemetaran. "Tolong siapapun bawa dia ke taksi saya."
Ramon turun dari mobil dan berlari menerobos kerumunan di sana.
"Biar saya yang mengangkatnya," Ramon menawarkan bantuan bak super hero.
"Siapa dia?"
"Apa laki laki itu kerabatnya?"
"Yang pasti dia orang baik yang mau menolong."
Bisik orang orang.
"Saya penumpang taksi itu," Ramon pura pura panik. "Saya sudah mengingatkannya karena terlihat mengantuk tadi. Saya pun gagal mencegahnya agar berhenti berkendara."
Supir itu memegang kepalanya dan masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia bahkan lupa apa yang terjadi padanya beberapa menit yang lalu. Yang ia ingat hanya dia menyetir sambil tidur.
"Bagaimana bisa…bagaimana bisa ini terjadi Ya Tuhan!" teriak supir itu merasa bersalah.
"Tolong angkat dia ke punggung saya," kata Ramon.
2 orang laki laki mengangkat tubuh Raziva dengan perlahan dan meletakkannya di punggung Ramon. Ramon berlari membawanya ke dalam taksi.
"Pak Supir! Ayo cepat ke rumah sakit!" teriaknya.
Begitu juga orang orang yang di sana yang ikut meneriakinya karena supir itu malah sibuk kebingungan dengan sendirinya.
"Ah baik, baik aku akan membawanya ke rumah sakit," supir itu berlari ke dalam taksi.
"Anak laki laki itu…" tunjuk Ramon pada Arvy yang berdiri menatap ibunya yang digendong ke taksi. "Bawa dia sekalian."