Ia sangat berbeda dengan keadaannya yang sekarang. Dari pada memikirkan hal hal itu ia sepatutnya bersyukur karena diberi kesehatan seperti sekarang ini. Namun manusia akan selalu meminta lebih, termasuk dirinya.
Alfa tiba tiba menitikkan air mata.
Amy melihatnya dengan khawatir.
"Alfa?"
"Eh?" Alfa kembali dari lamunannya.
"Kau kenapa?" Amy mengusap air matanya. "Apa sabunnya masuk ke matamu?"
Alfa yang menyadari kemudian membalikkan badannya. Ia tidak mau Amy menyadarinya bahwa ia mengingat semua yang telah terjadi selama ini tentang dia dan juga Alfa sendiri.
"Aku akan memakaikan celemeknya."
Amy memakaikan celemek itu ketika Alfa berbalik badan. Setelah itu membalikkan badan Alfa ke depan agar mereka berdua berhadapan.
"Kenapa kau menangis?"
"Tidak apa apa. Hanya sabun masuk ke mataku."
"Benarkah?"
Alfa mengangguk.
"Benar? Tidak berbohong?"
"Iya. Aku tidak apa apa."
Alfa lalu kembali memasak, sedang Amy duduk di kursi tinggi tanpa lengan di depan meja panjang yang berseberangan dengan Alfa. Ia menatap pacarnya yang tengah sibuk memaksa untuknya. Wajahnya yang tampan, lengannya yang digulung, hingga urat ototnya terlihat, serta cipratan bumbu di baju putihnya. Ia terus menatap Alfa dengan bahagia.
"Sampai kapan kau akan melihatku?" tanya Alfa.
"Eh? Hehe. Kau tahu rupanya."
"Kau senang aku memasak untukmu?"
"Tentu saja. Bukankah kata ibu ibu tadi kita sangat menantu able."
"Ha?" Alfa mematung kemudian tertawa.
"Kenapa? Kenapa tertawa?"
"Tidak. Kau ini lucu sekali."
"Ah ya Alfa, sejak kapan kau bisa memasak? Atau suka memasak? Kau bisa memasak semua makanan?"
"Tidak bisa semuanya. Hanya yang aku tahu saja. Kau tahu kan, aku sudah bercerita padamu, kalau aku keluar dari panti saat masuk smp. Saat itu aku hidup sendiri. Jadi aku harus bisa melakukan semua pekerjaan rumah sendirian."
"Ah begitu ya." Amy merasa bersalah. "Pasti berat."
"Tidak, tidak sama sekali. Lagipula itu sudah cerita lama."
Mereka berdua menyajikan makanan di meja. Amy sangat bersemangat melihat Alfa memasak banyak menu makanan rumahan. Ia seolah sedang di rumah, makan bersama Ayah dan Dio.
"Waahhh." Amy tidak bisa berhenti melihat seluruh menu yang ada di atas meja, benar benar pemandangan yang langka ketika mereka berdua ada di apartemen.
"Semuanya kelihatan enak. Sepertinya aku bisa menghabiskan semuanya."
Alfa tertawa pelan.
"Benarkah? Kau akan sakit perut kalau menghabiskannya sendirian."
"Kau benar benar chef," puji Amy.
"Aku bisa memasakkan menu rumahan setiap hari untukmu."
"Yang benar?"
"Iya, serius. Kau sendiri yang sering makan junk food. Pizza apalagi, kau yakin bisa bertahan dengan makan pizza di pulau terpencil?"
Mereka berdua duduk dan makan bersama. Sembari berbincang ringan hal yang tidak penting dan random.
"Memangnya ada pizza di pulau terpencil?"
"Mak dari itu, kau harus pandai menggunakan sayuran dan buah yang kau temui di alam. Jika kau terlalu sering makan makanan cepat saji kau tidak akan lama bertahan di pulau terpencil."
"Tunggu dulu, maksudmu aku akan cepat mati begitu?"
"Ya….itu mungkin saja."
"Apa? Cih. Lagipula kenapa kita harus pergi ke pulau terpencil? Kurang kerjaan saja."
Mereka berdua tertawa.
***
Di apartemen Arvy hanya berbaring sembari menutup mata dengan lengannya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan semuanya yang sudah terjadi. Apa hanya dirinya yang tidak tahu. Hubungan Kakek, Paman Holan, Rataka bahkan Amy. Alasan Taka mengapa terus berada di antara keluarganya. Dia bahkan bukan teman dekat atau kerabat. Dia hanyalah orang asing yang entah dari mana selalu ada, selalu muncul di tengah tengah keributan. Semenjak kasus Valen, banyak hal yang Arvy ketahui. Ia yakin kakeknya pasti merahasiakan banyak hal darinya, termasuk Rataka. Jika Taka hanya mengenal Holan, kemungkinan ia tidak mengenal ayahnya, Ardana. Dan mengenai Amy yang ternyata dijadikan Tumbal untuk kelompok yang diketuai oleh seorang bernama Ramon dan Alfa menjadi mata mata, artinya kondisi Alfa sekarang terbalik dari musuh menjadi sekutu, yang artinya Rataka pasti akan bersembunyi untuk sementara waktu karena kondisi sudah terbilang aman karena Valen sudah tertangkap. Namun yang tidak ia paham adalah keberadaan Rataka. Kenapa ia selalu ada dalam permasalahan keluarga Satria. Apa ia tangan kanan Kakek dan juga Holan? Apa Alfa adalah tangan kanan Rataka? Apa Amy tahu orang orang yang terlibat dalam masalah ini? Bahkan kakek sendiri pernah menyinggung agar dirinya menjaga Amy, sepupunya. Yang berarti kakek memang tahu masalah ini.
Arvy bangkit dari kasurnya. Ia duduk sembari menatap meja di sampingnya. Ia ingat ayahnya mengantarkannya kemarin. Ia mabuk berat dan entah bagaimana ayahnya bisa tahu dan menghampirinya di bar. Sungguh kebetulan atau memang ayahnya tahu bahwa ia sudah mengetahui masalah ini. Ia tidak tahu siapa yang harus ia percayai sekarang, ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang, ia tidak tahu apakah ia masih bagian dari keluarga Satria atau tidak sekarang?
"Semuanya sangat membingungkan. Aku tidak tahu kalau ceritanya akan jadi rumit seperti ini," batin Arvy.
Flashback
"Sudah, jangan minum lagi."
Itu adalah Ardana, ayahnya.
"Kenapa kau ke sini?" Arvy setengah mabuk.
"Setelah sekian lama tidak bertemu, begini cara menyapa ayahmu?"
"Apa aku tidak salah dengar? Kukira kau lupa kalau sudah punya anak."
Ardana duduk lalu menggantikan minum botol itu untuk Arvy.
"Apa yang kau lakukan?!" teriaknya.
"Kau sudah terlalu mabuk. Ayo masuk." Ayah berusaha membantu Arvy berdiri agar segera mengantarkannya pulang. Namun Arvy menolak dan melempar tangannya.
"Jangan menyentuhku!" teriaknya. Ia hampir limbung namun masih bisa menopang tubuhnya sendiri.
"Aku masih tidak mengerti padamu. Apa kau ayahku? Huh!"
"Aku tidak mengerti kenapa kau menjadi penurut pada direktur sialan itu! Kenapa? Kenapa?!" Arvy menarik kerahnya dan mengangkatnya
"Jangan terlalu membenci kakekmu." itulah yang ia lontarkan, pada Arvy yang tengah dirundung kebencian pada keluarganya sendiri. (cek bab 143)
"Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ayah memintaku untuk tidak membencinya?!"
"Kau tahu betapa aku harus menahan untuk bersikap di depan Holan dan anak anaknya?"
"Apa ayah tahu?!"
"Aku tidak membenci mereka! Aku tidak bisa! Amy dan Dio…apa aku harus membenci mereka karena kakek?!" (cek bab 144)
Flashback end
Arvy meringis memegang kepalanya yang sakit. Ia melangkah menuju kulkas untuk mencari air putih. Namun melihat ada minuman penghilang pengar di sana, ia tidak mungkin membeli minuman pereda mabuk, itu pasti dari ayahnya.
"Maafkan aku ayah, karena membentakmu semalam."
Setelah cuci muka, Arvy mengambil ponselnya dan ada 5 panggilan tidak terjawab dari Alfa. Ia lalu menghubunginya kembali, namun Alfa tidak menjawabnya.
Ting tong!
Seseorang datang, Arvy masih menempelkan ponsel di telinganya sembari melangkah menuju pintu. Ia membukanya dan ternyata itu adalah Alfa dan Amy.
"Kak Arvy? Kau menelponku?"
Seketika Arvy langsung mematikan panggilannya, ternyata orang yang ditelponnya keburu datang.
Mereka berdua masuk dan duduk di sofa tengah yang nyaman seperti biasa.
"Mau minum sesuatu?" tawar Arvy.
"Tidak, kita ke sini mau membahas rencana untuk besok."
"Ah itu." Arvy baru ingat masih ada misi khusus. Karena terlalu banyak pikiran ia sampai lupa.
"Kau lupa?" tanya Alfa ketika melihat reaksinya. "Padahal baru kemarin tapi kau sudah lupa?"