"Bagaimana keadaanmu akhir akhir ini," tanya Ardana.
"Bukankah kau bukan tipe yang khawatir dengan putranya?" sinisnya.
"Woi, bukannya kau yang selalu me reject telepon dariku?"
"Kau tidak makan bersama Dio?"
"Apa ini? Jangan bilang sekarang ini kau…" Ardana menahan tawa. "Cemburu?"
"Kau pikir aku gila?" Arvy mengalihkan pandangannya malas.
"Putraku, jujurlah padaku. Lalu cemburu karena aku sering mengajak makan Dio kan?"
"Memangnya kapan kita seakrab itu? Makan bersama? Jangan konyol."
Ardana mengiris daging steak lalu ia taruh daging itu di atas nasi milik Arvy.
"Makanlah yang banyak. Jangan tumbuh terlalu cepat."
"Aku bukan anak 17 tahun. Kau lupa berapa usia anakmu?"
Ardana tersenyum.
"Lalu, siapa yang dengan absurd nya pesan steak di restoran mahal semacam ini tapi minta sepiring nasi? Ayah tidak malu melakukannya?" Arvy menatap orang orang di restoran steak mahal itu. Ada beberapa yang menatapnya dengan aneh, karena memesan steak dengan nasi.
"Apanya yang aneh. Negara kita kan makanan pokoknya nasi. Aku malah tidak mengerti kenapa orang orang hanya makan steak, tapi tidak memakai nasi."
Arvy menahan tawanya. "Dasar orang tua kolot." namun ia tetap memakan dagingnya bersama nasi.
"Belum makan nasi artinya belum makan."
"Benar benar kolot."
Sembari mengiris daging, ayah mengatakan sesuatu.
"Apa kau mencari gadis yang namanya Gita?"
Arvy terkejut. Ia melihat ayahnya yang duduk di depannya dengan serius.
"Apa ayah bilang?"
"Gadis yang bernama Gita itu, apa dia perempuan yang kau sukai?"
Arvy mengingat ingat kira kira siapa yang memberi tahu ayahnya, hingga mengetahui nama itu.
"Ah!" Arvy meletakkan sendoknya, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia menduga seseorang.
"Pasti kakek yang memberitahu ayah."
"Jangan marah pada kakekmu. Dia sudah tua, dia keceplosan saat berbicara denganku.kenapa kau tidak memberitahu ayah?"
"Apa ayah perlu tahu? Apa yang akan kau lakukan kalau mengetahuinya? Tidak ada kan?"
"Arvy," ayah tiba tiba menjadi serius. "Kau masih benci ayah?"
"Apa?"
"Aku tanya apa kau masih membenciku?"
"Apa aku harus menjawabnya?"
"Ayah minta maaf. Aku terlalu fokus pada Ziva dan lupa kalau aku memilikimu. Seharusnya aku tidak menggila seperti dulu. Selain pada ibumu, hal yang kusesali selain itu adalah kesalahanku pada putraku satu satunya."
Arvy membisu. Ia melanjutkan makan nasi dan steak nya.
Mereka berdua mengingatnya masing masing. Ardana dulu adalah pemabuk dan pemarah, karena itulah Arvy keluar dari rumah dna membiarkan ayahnya tinggal di rumah itu sendirian. Ayah akan datang ke apartemen dan meracau padanya, entah itu tentang Raziva atau keluhannya.
"Aku lupa bahwa bukan hanya aku yang kehilangan Ziva, namun juga putraku yang kehilangan ibunya."
Brak.
Arvy menaruh pisau dan garpu ke meja dengan kasar. Memberi tanda agar ayahnya berhenti bicara.
"Setiap makan denganku kau selalu membahas masa lalu. Bukankah kau sudah tenang dan sembuh dari depresi sialanmu itu? Kau bersenang senang di perusahaan kan sekarang."
"Karena itulah. Usiaku perlahan berkurang. Kau tahu betapa senangnya aku saat mendengar ada gadis yang kau sukai? Semenjak sekolah kau tak pernah tertarik dengan gadis manapun. Dasar membosankan, kenapa kau harus sama sepertiku dahulu?" Ardana mulai mabuk, ia meminum wine di sampingnya.
"Sudah kubilang kan tidak perlu memesan alkohol tadi?" Arvy prihatin melihat ayahnya yang sudah setengah sadar.
"Dasar anak bodoh. Kau pikir aku punya nyali mengatakan ini jika sadar? Kau bahkan tak memahami ayahmu."
"Memesan wine dengan nasi? Benar benar epik."
"Syukurlah." kata Ayah tiba tiba.
Arvy menatapnya cuek. Seolah bertanya apanya yang syukurlah.
"Syukurlah kau baik baik saja sekarang, hidup dengan baik dna menyukai seorang gadis. Aku meminta ayah untuk mencari gadis itu secepat mungkin."
"Ha? Ada apa dengan ayah?"
"Aku sudah tua. Kau tahu kita harus meneruskan keturunan kan?"
"HA?!"
"Aku ingin menggendong cucu." ayah tiba tiba tersenyum membayangkannya. "Ah aku senang sekali jika cucunya cantik mirip ibunya dan Ziva."
"Ayah," panggil Arvy namun ayahnya sibuk melamun dan berimajinasi. Arvy akhirnya menyerah dan diam saja tak melanjutkan obrolan.
***
Arvy memarkirkan mobilnya di depan rumah besar bertaman. Itu adalah rumah kakek. Seorang tukang kebun menghampirinya sembari sumringah.
"Tuan Muda, akhirnya pulang juga. Sudah lama tidak mampir."
Arvy keluar dari mobil dan memberikan kunci mobil padanya.
"Tolong parkirkan mobilku ya, Pak. Saya mau langsung masuk," kata Arvy ramah.
"Baik Tuan."
Arvy masuk ke dalam berniat menemui kakek Rossan.
Di ruangannya, seorang pelayan memberitahu bahwa cucunya datang.
"Tuan, Tuan Muda datang."
"Cucuku yang mana?"
"Tuan Muda Arvy."
"Siapkan makanan di meja." Rossan tersenyum sembari tersenyum senang.
Di rumah direktur Rossan hanya menghabiskan hari harinya memeriksa perusahaan, anak perusahaan dan pabrik, rumah sakit dan cabangnya seperti apotek melalui orang orang terpercayanya. Ardana masih sering pulang. Direktur menyuruhnya pindah karena toh putranya memilih tinggal di apartemen. Sejak Ziva koma, rumahnya hanya dirinya yang menempati. Karena itulah ia sering mabuk dan mengunjungi apartemen Arvy. Sekarang rumahnya lumayan terurus karena Ardana telah kembali bekerja dan tidak luntang lantung menangisi istrinya. Saat ini pun sekarang Dana jarang pulang dan sibuk memegang perusahaan utama dan yang lain. Holan juga tidak mungkin bisa pulang semudah yang lain. Rumah Holan hanya diisi Dio seorang, Dio sengaja tak keluar karena tahu rumahnya tak ada yang mengurus sedang Amy memilih tinggal di apartemen seperti Arvy, meskipun berada di tempat yang berbeda.
"Ada apa ini?" Arvy terkejut melihat banyak hidangan bermacam macam di meja makan panjang di tengah. Ia melewatinya dna bertanya pada pelayan yang menyajikan.
"Ini untuk menyambut anda, Tuan Muda."
"Apa?!" Arvy menggeleng. Lalu melangkah ke ruangan Rossan.
"Kakek," panggilnya begitu membuka pintu tanpa mengetuk.
"Kenapa menghidangkan banyak makanan di meja? Siapa yang akan memakan semuanya?"
"Tentu saja aku dan kau." Kakek berjalan pelan dan lemah ike arah Arvy lalu merangkul bahunya sekilas. "Kau belum makan kan? Ayo makan denganku."
Arvy pun tak bisa menolak kakeknya yang tersenyum lebar itu. Ia tahu kakeknya sangat senang karena memang jarang cucunya berkunjung. Mereka akhirnya duduk bersama. Arvy hanya bisa menghela napas melihat semua makanan itu.
"Astaga siapa yang akan menghabiskan ini, Kek?"
"Kau tenang saja, tidak usah khawatir begitu ekspresimu."
"KAKEK!" panggil seseorang tiba- tiba.
Itu adalah suara Amy, cucu perempuannya.
"AMY! Cucuku!"
Di belakang Amy ada Dio dan Alfa. Keduanya tersenyum lebar melihat keduanya.
Dengan berjalan tertatih dibantu tongkatnya, kakek berdiri dari kursi hendak menghampiri Amy.
"Tidak usah berdiri, Kek. Aku yang akan menghampiri Kakek."
Entah sejak kapan keluarga itu kini menjadi lebih baik dari sebelumnya. tidak ada sinis sinisan seperti dahulu. Kakek benar benar senang dengan keakraban cucu cucunya.
"Apa kalian sedang syuting sinetron. Sok dramatis sekali," cibir Arvy. Namun ia tersenyum kecil melihat keduanya.
"Aku tahu kalian akan datang, makanya aku membuat banyak makanan. Amy, Dio dan Nak Alfa, duduklah.
"Wah chicken nya besar sekali!" Amy tertawa.
"Bukannya kau selalu makan itu di apartemen? Kau bahkan membeli banyak porsi dan tidak membaginya padaku."
"Kau beli saja sendiri. Wlek!"
"Ke, dia ini benar benar adik yang tidak berguna." Dio dan Amy saling olok. "Dia bahkan membeli dispenser elektrik di kamarnya. Untung Alfa menjualnya kembali. Dasar!"
"Aku menghasilkan uang sendiri, sialan kau!"
"Hahahaha. Kalian benar benar cucuku." Kakek terus tertawa melihat cucu cucunya itu.
"Astaga kekonyolan apa ini." Arvy memegang dahinya frustasi.