Bab selanjutnya telah up. Semoga kalian suka.
Selamat membaca.
Semoga sehat selalu.
Perkataan teh Yati terus menerus mengganggu pikirannya Cempaka. Seperti malam itu dia tidak bisa tidur karena, teringat terus semua ucapannya
teh Yati yang tajam dan menusuk jauh ke dalam hatinya.
"Sudahlah!... Terima saja!... Sekarang itu bukan waktunya untuk memilih, sudah telat!... Sekarang waktunya menerimanya sebagai seorang suami bukan calon suami!... " Terdengar lagi perkataan Kakak sulungnya terasa sangat jelas di telinganya.
"Ingat umur!... Sekarang waktunya melepaskan predikat Jomblomu itu!...
Malu sama tetangga, harus malu sama teman-temanmu!... Lepaskan titel putri jomblo itu!... Jangan biarkan titel jomblo melekat di belakang namamu!...
Jomblo!... Jomblo!... Apa mau di langkahi lagi oleh adikmu?" Terngiang lagi ucapan teh Yati tadi sore.
"Terima, jangan!... Kalau di terima, hatiku sedikitpun tidak merasa cocok
dengan orang itu. Aku belum tahu bagaimana sifat dan karakter orang itu. Kalau tidak di terima, berarti... Julukan putri jomblo terus melekat di belakang namaku" Gumam Cempaka dengan gelisah.
"Tapi, kenapa teh Yati begitu antusias sekali untuk menjodohkan aku dengan si Kardiman itu?... Apa tujuan sebenarnya kakakku itu?" Cempaka jadi kebingungan sendiri.
Berbagai pertanyaan muncul dari dalam benaknya.
Hingga larut malam, Cempaka belum bisa memejamkan matanya.
Dia jadi gelisah tak menentu. Entah jam berapa dia bisa memejamkan matanya.
"Allahuakbar... Allahuakbar" Belum lama Cempaka memejamkan matanya. Gema adzan subuh sudah terdengar berkumandang. Suaranya menyebar ke seluruh penjuru Desa itu.
Cempaka belum terbangun. Dia masih nampak terlelap dalam tidurnya.
"Pak, sudah adzan subuh!... Ayo bangun" Bu Tini membangunkan pak Hamid, suaminya.
Bu Tini pun keluar dari kamarnya. Biasanya setiap bu Tini bangun, Cempaka sudah bangun terlebih dahulu. Dia sudah cuci piring, sudah ngepel lantai.
Pekerjaan itu dia kerjakan sebelum adzan subuh. Tapi, sekarang hal itu belum dia kerjakan, membuat bu Tini bertanya-tanya.
"Kenapa Cempaka belum bangun?... Apa dia sakit gitu?" Pikir bu Tini penuh rasa heran.
"Seruni, kakakmu belum bangun?" Waktu berpapasan dengan putri bungsunya di ruang makan.
"Enggak tahu bu, aku juga belum lihat dia sejak tadi" Seruni menjawabnya seperti yang dia tahu.
"Lalu, piring itu! Siapa yang nyuci?" Bu Tini menunjuk ke tempat cuci piring yang sudah rapi.
"Sama aku dong" Seruni bangga.
"Nah gitu!... Jangan kakak kamu terus yang nyuci, kasihan!... Kamu mau shalat di kamarmu kan?... Sekalian tolong bangunin Cempaka, takut dia sakit" Ujar bu Tini sambil berlalu menuju ke kamar mandi, hendak mengambil air wudhu.
"Baik bu!" Seruni melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya Cempaka.
"Kak!... Kak!... Bangun kak!... Sudah subuh" Tak ada jawaban, sepi tak ada suara apapun dari dalam kamarnya Cempaka.
"Apa dia masih tidur gitu?... Atau... Sedang shalat Subuh?" Seruni merasa penasaran. Di bukanya perlahan pintu kamarnya Cempaka. Nampak Cempaka masih tertidur di atas tempat tidurnya.
"Tidak biasanya kak Cempaka tidur sampai lepas subuh gini. Biasanya dia bangun paling awal" Seruni masuk ke dalam kamar kakaknya itu, hendak membangunkannya.
"Kak, bangun kak!" Seruni membangunkan kakaknya. Tapi, Cempaka belum bangun juga.
"Astaghfirulahaladziiim!..." Seruni kaget sa'at tangannya memegang bahunya Cempaka yang terasa panas.
"Ya Allah!... Kal Cempaka demam. Pantesan dia belum bangun" Ujar Seruni setengah berteriak kaget.
Dia segera keluar dari kamarnya Cempaka, dan bergegas masuk ke kamarnya untuk melaksanakan shalat subuh dulu.
Setelah selesai shalat subuh dan wiridan, serta mengaji satu halaman seperti yang di anjurkan oleh ibunya. Dia pun lalu bergegas pergi ke dapur untuk mengambil handuk kecil dan air hangat untuk mengompres kakaknya.
"Bu, kak Cempaka demam. Badannya sangat panas" Ucap Seruni khawatir.
"Pantesan dia belum bangun. Tidak seperti biasanya" Bu Tini pun segera ke kamarnya Cempaka.
Ternyata benar, badannya Cempaka sangat panas.
Seruni segera mengompresnya biar agak reda demamnya.
Cempakapun terbangun.
"Seruni, kompres kakakmu ya!... Ibu mau ke dapur dulu mau nyiapin sarapan" Ujar bu Tini. Dia segera bergegas menuju ke dapur.
"Kenapa kakak bisa demam begini?" Seruni bertanya lembut kepada kakaknya yang baru bangun.
"Enggak tahu kakak juga, uah... Sudah jam lima lebih sepuluh menit. Aku mau shalat subuh dulu. Terimakasih ya de!....
Sudah ngompres kakak" Suara Cempaka terdengar lemah.
"Iya kak, hati-hati" Seruni menatap wajah kakaknya yang sepertinya penuh dengan berbagai beban.
"Kasihan sekali kakakku ini" Bathinnya.
Cempaka melangkah menuju ke luar kamarnya.
Tepat di lawang pintu kamar, badannya Cempaka nampak limbung seperti yang tak kuat menahan berat badannya.
"Brug!" Tubuh Cempaka ambruk di atas lantai, tepat di lawang pintu kamarnya.
"Kakak?" Seruni berteriak kaget. Dia segera menyimpan mangkuk berisi air hangat yang di pegangnya.
"Ibu!... Bapak!..." Teriak Seruni panik.
"Ada apa?" Bu Tini dan Pak Hamid segera menghampiri anaknya yang tengah terduduk sambil menangis, di samping tubuh kakaknya yang tergeletak di atas lantai. Tak sadarkan diri.
"Ya Allah... Cempaka kenapa?" Bu Tini juga panik melihat anaknya tergeletak tak berdaya.
"Ayo kita pindahkan, Seruni" Pak Hamid segera menggotong Cempaka dan di baringkannya di atas tempat tidur.
"Ambilin kayu putih , cepat!" Bu Tini panik dan khawatir.
"Ini bu, kayu putihnya" Seruni menggosok telapak kakinya Cempaka dengan minyak kayu putih.
Sedangkan bu Tini menggosok pelipisnya Cempaka perlahan.
"Cempaka, kamu itu kenapa nak? Pak, ini gimana pak? Aku khawatir pak" Bu Tini menangis khawatir.
"Sudah bu, jangan khawatir. Sebentar lagi juga dia siuman" Pak Hamid berusaha menenangkan Isterinya.
"Kenapa dia belum sadar juga pak?... Sudah setengah jam dia tidak sadarkan diri. Ya Allah... Sembuhkan anakku" Bu Tini menangisi putrinya. Dia begitu terpukul.
Satu jam lebih sepuluh menit, Cempaka baru siuman. Dia membuka matanya perlahan, matanya nampak sayu. Terlihat begitu beban di sana.
"Syukurlah kau sudah siuman" Di peluknya Cempaka erat-erat, dengan airmata yang menetes membasahi kedua pipinya.
"Kak, kamu kenapa?" Seruni menatap wajah kakaknya, dia tidak tega melihat kakaknya seperti itu.
Cempaka tidak menjawabnya, dia hanya
tersenyum lemah, membalas tatapan adiknya.
"Kamu makan dulu ya, biar tidak lemas.
Sebentar ya ibu ambilin dulu makanannya" Bu Tini pergi menuju ke dapur untuk mengambil nasi.
Sementara itu Seruni mengambilkan peralatan untuk menggosok gigi untuk kakaknya.
Selesai sarapan, dan minum obat. Bu Tini bertanya dengan hati-hati kepada Cempaka.
"Kamu kenapa nak?... Sampai jatuh pingsan segala"
" Enggak tahu bu, badanku lemas dan kepalaku ini terasa sangat pusing" Tutur Cempaka perlahan.
"Assalamualaikum... Cempaka!... Ini ada tamu mencarimu" Terdengar suara Yati berteriak dari luar.
"Waalaikumsalam..." Sahut kami yang di dalam rumah.
"Tunggu di sini ya mas!... Saya nyari Cempaka dulu" Yati menyuruh Kardiman supaya menunggu di teras depan.
"Iya bu" Kardiman pun duduk di kursi yang ada di sana. Sedangkan Yati langsung masuk ke dalam rumah, hendak mencari Cempaka.
"Cempaka!... Tuh tamu istimewa mu sudah datang. Kamu sudah mandi kan?"
Teriakkannya menyebalkan yang mendengarnya.
"Seruni!... Mana kakakmu?" Waktu itu Seruni baru keluar dari kamarnya Cempaka, hendak menyimpan peralatan bekas Cempaka gosok gigi.
"Di kamar, kakak lagi sakit. Tadi subuh dia pingsan di lawang pintu" Seruni menjelaskan apa yang telah terjadi kepada kakaknya.
"Kemarin juga tidak apa-apa, masa sekarang bisa jatuh pingsan. Aneh!" Yati mencibirkan bibirnya tak percaya.
Dia segera masuk ke kamarnya Cempaka.
"Tuh Kardiman sudah menunggu kamu di teras depan!... Sudah bangun!... Jangan pura-pura sakit, pura-pura pingsan segala" Yati menarik selimut yang menyelimuti seluruh tubuhnya Cempaka yang demam menggigil kedinginan.
"Ayo bangun!... Jangan manja-manjaan.
Tuh calon suamimu sudah siap untuk menikahi mu. Tidak usah banyak mikir.
yang penting dia mau nikahin kamu, langsung terima saja" Yati menarik tangannya Cempaka biar bangun.
"Aku sakit kak" Ucap Cempaka lemah.
"Laaah!... Suara pake di lemesin segala.
Aku tak percaya!" Sambil menarik tangannya Cempaka.
"Heh!... Yati!... Mau kau apakan dia?... Punya perasaan tidak?... Dia itu sakit, tadi subuh juga jatuh pingsan sampai hampir satu jam" Bu Tini membentak anak sulungnya.
"Nih... Pegang dahinya!" Ditariknya tangan Yati dan di sentuh kan ke dahinya Cempaka yang terasa panas.
"Adikmu pura-pura kan?... Adikmu berbohong kan?" Sambil menghentakkan tangannya Yati, kesal.
" Ma'af. Lalu, itu Kardiman bagaimana?"
Yati minta pendapat ibunya.
"Bilangin saja lagi sakit" Ucap bu Tini ketus. Dia segera menyelimuti tubuh Cempaka lagi. Bekas tadi di acak-acak oleh Yati.
Yati lalu ke teras depan menemui Kardiman yang sedang duduk di sana.
"Cempakanya sakit, tadi dia pingsan sepertinya kecapean" Yati duduk di hadapan Kardiman.
"Itu kesempatan buat kita. Coba kasih sedikit perhatian kepadanya, biar dia merasa berhutang budi. Jadi mau deh sama kamu. Ok kan ide ku?...Ayo cepetan" Yati berbisik di telinga Kardiman .
Kardiman mengangguk sambil tersenyum penuh arti. Kemudian dia mengikuti Yati menuju ke ruang tengah.
"Cempaka!... Ini Kardiman mau nengok"
Yati sedikit berteriak dari ruang tengah, supaya kedengaran oleh Cempaka.
Pintu kamarnya Cempaka terbuka lebar. Dan, Seruni keluar dari kamar itu.
"Kak Cempakanya baru saja tidur setelah minum obat. Semalaman kakak enggak bisa tidur karena sakit" Seruni menjelaskan kepada kakaknya.
Yati mendelik tidak suka mendengar perkataan adiknya.
"Mas!... Kamu tungguin saja di sini!... Jangan dulu pulang! Tunjukkin rasa perhatian kamu kepadanya. Biar dia suka sama kamu" Bisik Yati lagi.
Seruni menatap kakaknya dengan tatapan mata yang curiga. Dia merasa aneh dengan tingkah kakaknya itu.