Haii
Happy Reading!
***
Suasana Cafe sangat mendukung, dengan adanya penyanyi tampan di Cafe Melati, pantat ketiga gadis yang sudah berkepala dua itu enggan beranjak pergi. "Haaah, gila.. Mau di liat berapa kali pun Jay emang ganteng! Mana suaranya Deep banget lagi," Putri menatap penyanyi utama di Cafe Melati yang diketahui bernama Jayen Steward.
Jika Putri dan Rani asik terpesona dengan ketampanan Jay, si vokalis utama. Ziya, gadis itu justru sangat terkesima dengan sosok gitaris bernama Bima Aditya. Wajahnya yang sangat pribumi dengan kulit sawo matang membuat Ziya meleleh. Bima itu beda dari yang lain! "Tatapannya adem banget.." puji Ziya meleyot sendiri.
Tersadar kalau sekarang bukan waktunya terus memuji penampilan band yang tengah tampil, Ziya memukul kedua pipinya pelan. Matanya melirik Putri dan Rani yang masih terkesima, Ziya berinisiatif untuk mencubit lengan keduanya. "Aduh! Apaan si Yayaa?!" tanya keduanya tidak senang karena Ziya menghancurkan lamunan keduanya.
Ketika Ziya menunjukkan tanggal 1 bulan September melalui ponsel pintar-nya, barulah mereka berdua tersadar. Ni anak minta di kasih kado, ceritanya?' pikir keduanya menghela napas.
Karena tidak ingin melihat mata berbinar Ziya lebih lama, Putri dan Rani kompak mengeluarkan sesuatu dari tas masing-masing. Menyerahkan benda kecil yang sudah terbungkus kertas kado rapi. Curiga dengan isi kado yang sangat sus itu, mata hazel Ziya menatap wajah sahabatnya.
"Kalian gak ngerjain gue, kan?" tanya Ziya curiga.
Setelah menoyor kening lebar Ziya, baru lah Putri menjawab. "Yakali! Ini barang penting yang pasti elu pake!"
Penasaran dengan isinya, tanpa aba-aba gadis itu merobek kado dari Putri, wajahnya terlihat sangat cengo setelah mengetahui apa yang sahabatnya berikan. "Koyoo?!"
Tampaknya, pengunjung lain tahu kalau meja yang berisikan Ziya, Rani dan Putri itu tengah merayakan perayaan ulang tahun, dan sedang bagian pembukaan kado. 'Kado apaan sekecil itu?' begitulah pikiran beberapa orang ketika melihat kado yang kedua sahabat Ziya keluarkan.
"...?!"
Mendengar seruan tak percaya yang Ziya keluarkan, semua pengunjung ikut terkejut. Mereka menunjukkan tatapan iba pada Ziya. "Kasian.." bisik mereka merasa sakit hati sendiri terhadap teman seperti Putri dan Rani.
"Gilaa, kok lu tahu sih gue lagi lembur bagai kuda seminggu belakangan?! Hueee! Lu the best, Putu! Aing soo happyy!" Ziya yang terpekik kegirangan membuat semua rasa iba para pengunjung tersia-siakan.
Ada pepatah jangan pernah mencampuri hidup orang asing, sepertinya mereka harus mengingat pepatah itu di sisa hidup mereka mulai dari sekarang. Sedang Ziya, gadis itu langsung membuka bungkus koyo dan menempelkannya di bagian belakang leher yang terasa cenat cenut.
"Sisa punya gue!" seru Rani dengan mata berbinar, ia menatap kado darinya yang kini ada di atas meja Cafe. Ziya mengangguk saja, setelah merapikan bekas kado dari Putri, baru lah tangannya meraih kado yang terbungkus koran. Lucu' pikir Ziya dengan pipi memerah bahagia.
Srek!
"WOIIIII! RARAAAAAA!"
Terkejut mendengar teriakan heboh dari Ziya, tubuh Putri terlonjak. Matanya melotot sempurna kepada Ziya yang kini jingkrak-jingkrak sendiri. "Astaga, Ziyaa! Nyebut! Jangan sampe lu kerasukan di sini!" pekik Putri menepuk punggung Ziya keras, agar gadis itu tersadar. Namun, kebahagiaan Ziya tak kunjung surut. Berkat hadiah Photo Card dari charakter fiksi yang gadis itu sukai, dia seolah gila dibuatnya.
"My honey Keijiiiii! Huaaaaa Raraaaaaa!" Ziya terus berteriak seraya menggoyangkan tubuh Rani yang kini merasa risih sendiri.
Menurut kalian, bagaimana akhir bagi pembeli yang berisik hingga membuat pengunjung lain merasa risih? Yap, terusir. Di sini lah ketiganya sekarang, halaman Cafe Melati yang telah menjadi tempat nongki selama lebih dari tiga bulan. "Cafe Melati udah kehilangan kustomer ter ter mereka! Sumpah, sakit hati gue di giniin!" Putri menggerutu sebal, bersandar di mobil yang Ziya bawa.
Lain dengan putri yang mengomel hebat, Rani dan Ziya justru anteng karena di beri eskrim vanilla sebelum terusir oleh waiters. Mereka baik' pikir keduanya dengan semburat merah di pipi. Putri yang menyadari kalau pikirannya tidak sejalan dengan kedua sahabatnya pun mengomel. "Lu pada setuju gak sih sebenarnya?! Kok diem terus?!"
Sambil menitipkan bekas wadah eskrim untuk di buang pada Rani, Ziya tersenyum dengan sudut bibir yang masih kotor karena eskrim. "Cari Cafe baruuuu!!! Rani traktir!" pekik Ziya mengalihkan emosi Putri. Mendengar kata traktir, mata hitam gadis itu berbinar. Tanpa aba-aba di tariknya tangan Rani yang baru datang dan di masukkan ke dalam mobil Ziya.
Setelah menghubungi kekasih Rani untuk membatalkan janji yang telah mereka buat karena ingin jalan bareng, Putri menyuruh Ziya segera mengendarai mobil mewah milik ayahnya.
"Goo! New Cafe! We come in!" teriak Putri heboh sendiri.
Ziya tertawa puas, sambil mengangguk paham, dia menjawab. "Aye aye, Capten!"
***
Setengah jam keliling ibukota, akhirnya ketiga gadis yang sudah kepala dua itu menemukan sarang baru, berlokasi di daerah jalan Cikarang, Kopi Tikung namanya. Sepertinya pemilik kedai kopi ini sering di tikung, hingga menamai kedainya seperti itu.' pikir Ziya keras.
"Sayang banget yah, padahal kan band di sana ganteng-ganteng.." Putri sedikit menyesal ketika teringat kembali pada Jay, vokalis band di Cafe melati. Mengangguk setuju, Rani dan Ziya juga memasang wajah suram. Ketiganya segera keluar mobil dan melangkah ke tempat tujuan, yakni Kopi Tikung.
Klining!
"Selamat datang di Kopi Tikung," barista tampan menyapa dari arah jam 11.
Ketiganya sontak menoleh, jika Rani serta Ziya masih mematung, Putri. Gadis yang lebih tua 3 tahun di antara ketiganya segera mendekati sang barista. "Mas, bisa mesan mas-nya ga?" goda Putri menaik-turunkan alisnya pada barista yang kini siap mencatat pesanan ketiganya.
Kedai sekarang memang tergolong lengang, Putri leluasa bisa menggoda barista yang menurutnya tampan dengan gaya rambut wolf cut dan wajah vibes orang luar Negeri. Malu dengan tingkah sahabatnya satu itu, Rani menyohor Putri. Dia menarik gadis itu untuk menjauh dari barista yang terlihat risih dengan tingkah Putri.
Setelah mendengar pesanan Rani, Ziya mengangguk paham. Biar untuk urusan pesan-pesan begini serahkan saja padanya. "Maaf yah, Mas.. Maklum, baru keluar dari kandang!" kekeh Ziya mengajak barista tampan itu bergurau.
Sebuah keajaiban kini Ziya alami, reaksi barista itu lebih nakal ketika berbicara dengannya. "Gapapa, jadi mau pesan apa mbak imut?" tanya barista ber name tag Hendra Rainhart. Apasih?!' sekarang Ziya merasa kikuk sendiri dibuatnya.
"Eum, Long Black-nya satu, yang Ice ya.. Caramel Machiatto yang Ice satu, sama Earl Grey satu. Untuk sampingannya saya pesan Macaroni schotle, D'Cinnammon Roll Matcha, Brule Bomb, masing-masing satu. Desertnya Tiramisu Jar Cake tiga."
Barista itu mengangguk paham, sambil membaca tulisan yang telah dia catat, lalu menatap wajah Ziya. "Baik, saya ulangi. Long Black Ice, Caramel Machiatto Ice, Earl Grey, Macaroni Schotle, D'Cinnammon Roll Matcha, Brule Bomb, dan tiga Tiramisu Jar Cake. Benar?"
Enggan menjawab, Ziya mengangguk saja. Merasa sudah selesai, gadis itu langsung beranjak pergi, menghampiri dua temannya yang kembali beradu mulut. Tak heran dengan tingkah keduanya, Ziya duduk dalam diam. Membaca beberapa pesan dari editor pribadinya, dan mengangguk beberapa kali setelah memahami pesan dari editor tersebut.
"Jan berlebihan ya, ntar malu sendiri." tegur Ziya pada keduanya.
Usai memastikan kondisi kedua temannya baik-baik saja setelah saling jambak jilbab, baru lah Ziya mengerjakan beberapa permintaan dari editor. Namun, ketika dia asik mengerjakan tugas tersebut, celetukan dari Rani menghentikan gerak ketikan tangan Ziya pada keyboard wireless yang tersambung pada Ipad 5 miliknya.
"Lu kapan hijrahnya sih?"
Mata hazel Ziya bergerak dari layar Ipad, menatap wajah sahabatnya. "Kok tiba-tiba nanya gitu?"
Panik saat merasakan suasana mulai mendingin di meja mereka, Putri menepuk bahu Rani berulang kali dan menyuruh sahabatnya untuk berhenti. Sambil menyingkirkan tangan Putri, Rani menjawab. "Maaf sebelumnya, tapi lu gak kasihan sama bokap lu? Dengan gaya berpakaian lu kaya gini, dan gak pake jilbab. Gak takut ayah lu dapat hukuman di akhirat karena elu?"
"..."
Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibir kecil Ziya, gadis itu terpaku menatap wajah cantik Rani yang terbalut hijab menutup dada. Lalu menatap Putri yang juga mengenakan pakaian sopan dan hijab pula.
"My Dad didn't stop me, dia gak pernah mempermasalahkan gaya pakaian anak-anaknya. Tapi, Maharani. Emang gue ada salah apa sama lu? Gak etik banget lu nanya kaya tadi, sumpah." Ziya berkata demikian sambil merapikan barang-barangnya.
Merasa kedua sahabatnya masih terdiam, Ziya berdiri lalu melanjutkan. "I thought our friendship would be ruined once you said the difference that lies between us."
Di saat Ziya ingin pergi dari sana, pesanan mereka datang. Ziya membayar semua pesanan itu terlebih dulu lalu beranjak meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terdiam. Ini menyakitkan' pikir Ziya merasakan sesak di hatinya.
***
Makasih udah baca, Luv yuu
— Un nuevo capítulo llegará pronto — Escribe una reseña