Kegelapan ini begitu sunyi.
Jemariku menggigil akan ketiadaan mentari.
Tubuhku melayang seolah tak ada gravitasi.
Apakah ini alam baka?
"Bukan, Rahl." Suara itu mengalihkan perhatianku.
Di sana sesosok yang telah kukenal berwujud dalam balutan cahaya yang redup. Wajahnya tersenyum walau sorot matanya sendu.
"Tir!" Lekas aku memeluknya. Namun tubuh seolah tak bermassa, membuatku mampu menembusnya. "Eh? Apa yang terjadi? Tir?"
Tir menghela napasnya.
"Rahl, aku terpaksa menggunakan sisa kekuatanku untuk menyelematkanmu dari Marduk."
"Marduk? Spartan besi itu?"
Tir mengangguk lalu menyentuh tangan kananku.
"Harusnya sisa kekuatanku ini digunakan untuk membuatmu keluar dari Babylon Tower. Namun aku yakin kau pasti akan bisa menemukan cara lain. Yang terpenting, lihat sekelilingmu, Rahl."
Mataku langsung mengamati menuruti ucapannya.
Awalnya terasa sangat gelap, namun perlahan beberapa celah cahaya menunjukkan gambar seperti adegan film yang diperlambat ribuan kali. Aku melihat Spartan besi itu diterkam oleh cakar raksasa. Begitu pula suara teriakan yang bergema dalam frekuensi yang aneh.
Aku menoleh pada Tir. Wajahnya kembali tersenyum.
"Ini adalah void syndrome. Kemampuan yang kau miliki sebenarnya, Rahl."
Mataku terbelalak. Seluruh pecahan misteri di dalam kepala akhirnya menyatu. Seluruh mimpi itu ternyata benar adanya. Tanganku sampai gemetaran. Sungguh sulit dipercaya.
"Aku tidak punya banyak waktu. Untuk mempersingkatnya, ingat beberapa hal penting mengenai void syndrome, Rahl."
Aku mengangguk dan mendengarkannya dengan serius.
"Pertama, void syndrome bukanlah kekuatan seperti sihir atau ledakan energi. Void syndrome adalah gejala ketimpangan yang membuatmu bisa melihat dan memasuki celah dimensi."
"Celah dimensi?" Mataku kembali menatap gambaran sebelumnya. "Jadi proyeksi itu adalah celah dimensi?"
"Benar. Saat kamu masuk ke sebuah celah dimensi, kamu akan berada dalam wilayah yang mendekati penciptaan dan kehancuran. Artinya, aliran waktu yang ada di sini hampir mendekati nol. Sebuah wilayah yang dekat dengan tempat Sang Maha Kuasa berada."
Aku hanya bisa tertegun. Mendengarkan betapa rumit dan hebatnya sesuatu yang kumiliki. Senyumanku langsung melebar. Tawa aneh mulai keluar dari mulut yang sombong tak bertuan.
"Jangan senang dulu, Rahl. Void syndrome tidak bisa membuat celah atau retakan dimensi sendiri. Itu adalah kelemahan terbesarnya."
"Maksudnya?"
"Artinya jika kamu berada di sebuah tempat yang tidak memiliki celah ataupun retakan dimensi seperti Babylon Tower, void syndrome akan tidak berfungsi sama sekali."
"Bukankah itu berarti void syndrome ini tidak berguna sama sekali?"
Senyumanku langsung pupus. Harapan yang telah dibangun runtuh seketika.
"Void syndrome bukanlah kemampuan untuk mengalahkan musuh. Namun bisa digunakan untuk kabur. Kira – kira seperti itulah kegunaannya." Ia tersenyum centil, manis sekali.
"Hoi! Hoi! Berhenti membuat void syndrome terdengar seperti kemampuan seorang pengecut, Tir!"
Aku hanya bisa menolak pernyataan Tir. Walau kenyataan tidak pernah bisa berubah sesuai egoku.
Senyuman Tir menghilang dan kembali berbicara dengan nada serius.
"Nanti kamu akan paham, Rahl. Betapa pentingnya kemampuan ini untuk menyelamatkannya."
Dadaku menjadi berat. Kalimat yang Tir lontarkan tepat sasaran. Mengingatkan kembali pada apa yang harusnya menjadi prioritas diri.
"Aku mengerti, Tir."
Dari tubuhnya, bulir – bulir cahaya mulai menguap. Membuatnya semakin terlihat transparan.
"Waktuku sebentar lagi akan habis, Rahl. Satu lagi yang harus kau ingat. Di dalam celah dimensi, kau bisa memanfaatkan waktu untuk menyembuhkan diri. Seperti kakimu yang telah sembuh saat ini."
Benar saja. Kakiku yang hancur oleh serangan tombak spartan besi telah kembali seperti sedia kala.
"Bagaimana mungkin?"
"Kau sendiri akan memahaminya lebih baik dari pada diriku. Kalau begitu sampai jumpa lagi, Rahl. Takdir akan menuntunmu padaku."
Setelah ucapannya berakhir, Tir telah sepenuhnya menghilang dari hadapanku. Bulir – bulir cahaya itu berpencar lalu lenyap. Meninggalkan diriku bersama kesunyian.
Sesaat Tir telah pergi, kegelapan ini menjadi tidak stabil. Rasa sakit yang hebat menyambangi kepalaku. Dengan mengingat cara kerja dari void syndrome, aku meraih proyeksi gambar yang mirip seperti portal itu. Seketika tubuhku ditarik seperti karet yang dimelarkan sampai tak terhingga. Rasa sakit di sekujur tubuh membuatku kehilangan kesadaran.
Saat aku terbangun, kepalaku sudah berada di pangkuannya.
Namun bukan sensasi lembut yang menjadi perhatianku. Tapi wajahnya yang begitu berantakan saat pertama kali aku membuka mata.
"Alisha ... Kamu cengeng sekali," celetukku.
"Kenapa kamu tidak meminta pertolongan?" lirihnya, nada yang serius.
Aku tidak bisa mengeluarkan senyuman seperti biasanya. Aku yakin bahwa dia tidak akan bisa tersenyum saat ini, seaneh apa pun yang akan kukatakan dan lakukan.
"Maaf."
"Tidak akan kumaafkan."
"Aku tidak akan mengulanginya lagi."
" ... "
Ia menyeka air matanya, pelan sekali. Wajahnya yang sendu berusaha menampakkan senyuman walau air mata hendak terjatuh lagi.
Alisha menatapku. Tatapannya begitu dalam. Sorot matanya seolah mampu menembus setiap kebohongan yang akan kuperbuat saat ini.
Alisha menggerakkan tangan dan mengeluarkan jari kelingkingnya di depan wajahku.
"Janji?"
Aku pun mengaitkan jari kelingking pada kelingkingnya.
"Janji."
***
Alisha menuntut penjelasan atas kejadian tidak masuk akal itu. Tentang keberadaanku yang tiba – tiba saja lenyap seperti yang dijelaskan Bahamut. Aku menjelaskannya. Tentang void syndrome dan lelaki cantik yang kutemui dalam mimpi. Walau Alisha sendiri juga tidak bisa memahami sepenuhnya.
Sebagai bentuk perhatian dan kompensasi atas kejadian itu, aku berada dalam perawatan Alisha. Berbaring di tempat tidurnya yang empuk dan ditemani oleh tupai yang memasang wajah buriknya padaku.
Matanya menunjukkan kekesalan yang tak terhingga. Wajar saja, dalam beberapa hari ini aku begitu dimanja oleh Alisha. Bahkan dilindungi dari gangguan tupai jahannam. Hohoho! Aku menang! Ea~
Namun hari ini, setelah Alisha menyuapiku sarapan, ia pergi dan belum kembali. Padahal sebentar lagi makan siang—Ah! Sialan! Kenapa aku jadi manja seperti anak kecil! Astaga! Di mana wajahku! Pasti Alisha tidak kembali karena muak dengan tingkahku yang tidak sesuai umur! Astaganaga!
"Tup—Bahamut! Kemana Alisha pergi?"
Tupai itu mengabaikanku. Ia memberikan sebuah kentut yang terdengar seperti siulan nakal.
Aku menangkap Bahamut dan meremasnya seperti jemuran. Ia menggigit jariku lalu terbang meninju wajahku dengan pukulan lembutnya.
Lagi, aku menangkapnya. Pipinya menjadi sasaran kejahilan selanjutnya.
"Jawab, dasar tupai keras kepala!"
"Gwak! Aqyu gwak mawu menzwawabnya!"
"Dasar keras kepala!" Tanganku semakin mendominasi tubuh kecil berbulu itu.
"Rahl!"
Suara itu menghentikan perkelahian antar lelaki terhebat dengan naga terkuat dalam sejarah.
"Alisha?"
Alisha tersenyum setelah keluar dari balik pintu.Wajah Alisha dilengkapi tatapan yang memancarkan semangat juang 45.
Astaga! Aku tahu ini! Pasti Alisha telah menemukan sesuatu yang menarik seluruh perhatiannya.
Alisha segera memboyong kami berdua ke tempat di mana spartan besi itu hancur berkeping – keping.
Saat melihat spartan itu menjadi rongsokan, aku baru tersadar betapa mengagumkannya Bahamut.
"Kamu benar – benar naga yang kuat ya, Bahamut?"
"Tentu saja, Anak kecil! Bocah sepertimu tidak akan mampu memahami betapa hebatnya diriku ini!"
Teriakan tupai ini begitu songong. Bahkan lebih songong dari bibir monyong.
"Kemari!" seru Alisha, ia menunjuk pada sebuah tangga yang menuju ke bawah permukaan lantai.
Kami bergegas mengikutinya.
Saat menuruni tangga ini, kepalaku terasa sedikit pusing. Sudah lebih dari sepuluh menit namun akhir dari tangga yang berputar – putar ini belum juga terlihat. Walau cahaya yang ada di dindingnya memberikan penerangan yang cukup, tetap saja mataku terasa aneh. Pusing dan sedikit mual.
"Kamu tidak apa – apa, Rahl?" Alisha membantuku untuk tetap berjalan.
"Tidak apa, Alisha."
Aku melepaskan tangan Alisha dan membalasnya dengan senyuman.
"Aku ini kuat lho, Alisha."
"Kuat dari Hongkong!" cetusnya.
Aku cukup tersindir, namun hal itu membuatku tergelitik. Gelak tawa terlepas walau sudah kutahan sekuatnya.
Alisha juga ikut tertawa. Atau mungkin dia menertawakanku. Itu pun tidak mengapa. Dia yang bisa tertawa selepas ini, juga membuatku bahagia.
"Ada apa, Rahl? Mengapa kamu nangis?"
"Ah—bukan! Bulu Bahamut nyangkut! Oi! Bahamut!" Aku berusaha menyekanya sebelum jemari Alisha sampai di wajahku.
"Mengapa kau menuduhku anak kecil! Buluku itu selembut sutra!" Ia menggeram, sampai menendang – nendang kepalaku.
Tawa Alisha semakin terdengar keras. Ia menghentikan langkah dan menyeka bulir air mata yang hampir terjatuh ke pipinya.
"Kalian ini dekat sekali, ya."
"Enggak dong!" sambar kami berdua bersamaan.
Kekompakan ini, aku membencinya. Namun, raut bahagia Alisha mampu mengurangi kebencian itu.
Mungkin aku harus bersyukur atasnya.
Setelah menuruni tangga yang begitu panjang, kami tiba di sebuah gapura yang tinggi nan megah. Ornamennya begitu berkilau dan agung. Apa semua ini terbuat dari logam mulia? Dari lantai sampai pilarnya? Jika saja aku pencuri, tempat ini mungkin pantas disebut surga.
Aku mengikuti langkah Alisha yang masuk melintasi gapura tersebut. Saat memasukinya tubuhku terasa nyaman sekali. Bagaikan seluruh beban terangkat—terlepas dari pundakku. Namun saat melihat apa yang ada di hadapanku, hal itu menjadi biasa saja.
Bagaimana tidak? Setelah berjalan cukup jauh, terletak di hadapan kami sebuah buku besar—dalam kondisi terbuka—yang memancarkan kemilau galaksi. Membuat nyaris tidak percaya bahwa aku masih menginjakkan kaki di permukaan lantai.
Suatu yang sangat menakjubkan juga terlihat dari buku yang sangat besar tersebut. Sebuah pena yang melayang dan terus menulis di lembarannya. Tanpa ada yang memegangnya. Aku sangat terpesona sampai – sampai senyum cengegesan Alisha sempat terabaikan.
"Rahl!"
Teriakan Alisha membalikkan fokusku.
"Ada apa, Alisha? Dan buku besar ini ... apakah ini Mahfuzi?"
Wajahnya yang sempat cemberut bertransformasi menjadi raut yang penuh semangat kembali.
"Benar. Ini adalah Mahfuzi. Buku yang mencatat seluruh hal yang terjadi di dunia. Dari masa lalu hingga ke masa depan. Sebuah buku yang ditulis oleh Sang Maha Kuasa. Sebuah buku yang tidak boleh dibaca oleh makhluk manapun. Namun ... demi menyelematkan Earsia ..."
"Kita akan melanggar larangan itu," sambungku.
Bahamut diam membisu. Bukan, dia sedang memikirkan sesuatu. Sosoknya yang terlalu tenang itu—entah mengapa— membuatku terusik.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Bahamut? Untuk naga kuat sepertimu, harusnya ini bukan hal yang sulit bagimu untuk memahaminya."
"Bukan begitu, Anak Kecil." Sorot matanya menjadi tajam. "Mahfuzi ini ... aku bahkan tidak mengetahui eksistensinya sama sekali."
"Apa maksudmu, Bahamut?" Alisha ikut masuk ke dalam percakapan.
"Alisha ... kamu pasti tahu kalau aku bukan hanya naga terkuat dalam hal daya tempur, namun juga dalam pengetahuan di Elysium. Sebagai sosok yang menguasai keduanya, bukankah aneh jika aku tidak mengetahui tentang Mahfuzi sedikit pun?"
Pertanyaan itu menghujamkan keraguan yang besar pada benakku.
Raut wajah Alisha juga jatuh pada pemikiran yang dalam.
Benar saja, sangat mustahil jika Bahamut sampai tidak mengetahuinya. Ada perasaan ganjil menggerayangi tubuhku.
"Begitu rupanya!" seruan Alisha memecah keheningan.
"Apa yang kau pahami, Alisha?" tanyaku.
"Mudah saja. Apa yang kita tidak ketahui saat ini, kita hanya tinggal mencarinya di Mahfuzi." Alisha berbalik dan menghadap buku kolosal yang memancarkan kemilau galaksi. Lalu ia menatap kami kembali dengan senyuman yang terlihat sangat puas. "Tentang mitos tujuh pahlawan? Tentang apa yang meragukan dirimu, Bahamut. Dan apa arti dari void syndrome yang Rahl miliki. Semua pasti akan terjawab oleh buku ini, bukan?"
Sebuah jawaban yang membuat rahangku jatuh. Bagi seorang yang memiliki gelar profesor, jawaban ini seperti ungkapan menyerah. Atau mungkin saja Alisha yang sudah tidak sabar untuk menoda—maksudku, menggerayangi buku ini sepuas hasratnya. Apapun itu ...
"Kamu benar, Alisha. Yosh!" Aku menggulung lengan kaosku pendek. "Saatnya mulai membaca lagi!"
"Yay!" Alisha bersorak sorai.
Raut senangnya itu membuatku tersenyum.
Di saat kami sedang merasa puas atas pencapaian ini, Bahamut tidak sedikit pun tertular oleh kebahagiaan itu. Seolah dia telah mengingat kembali. Semuanya. Rahasia besar yang membuatku mengerti alasan di balik diamnya Sang Raja Naga.
***